Anda di halaman 1dari 7

Sepasang Kekasih

Rabu, 20 Februari 2013 07:30 |

Ditulis oleh Eduardo Galeano |


1 Comment dan 0 Reactions

1
Aku berangkat hari Minggu, ujarku. Ada penerbangan langsung ke
Barcelona.
Tidak, sahut Pedro.
Tidak?
Hari Minggu kaukitaakan pergi ke Guayaquil. Dan dari sana.
Aku tertawa terbahak-bahak.
Dengar, kata Pedro.
Aku tak bisa tinggal lain hari. Aku harus.
Maukah kau mendengarkanku?
2
Ketika aku berkata kepada Alexandra tentang perubahan rencana itu, dia
menyahut, Jadi, kau akan melihat Adam dan Hawa. Dia mengambil
sebatang rokok lalu menambahkan, Aku ingin mati dengan cara seperti itu.
3
Hari yang kelabu di semenanjung Santa Elena yang dulu dikenal sebagai
Zumpa. Ke arah utara, tak jauh dari sini, dunia terbagi dua. Cuaca pun
terbelah dua. Selama enam bulan setiap hari matahari bersinar cerah; enam
bulan berikutnya langit kelabu.
Kami berjalan melintasi tanah berdebu. Pedro menerangkan, ribuan tahun
lalu semua ini tertutup air laut. Jika kau menggali sedikit, kau akan
menemukan cangkang kerang. Tapi, kini angin selatan membuatnya menjadi
daratan kering. Angin selatan dan minyak yang ditemukan di dasar bumi.
Juga dapur-dapur Guayaquil yang menghabiskan kayu-kayu guiacum yang
hingga beberapa waktu lampau, lima puluh tahun paling tidak, masih
menyelimuti gurun ini dan pada suatu masa digunakan untuk persembahan
bagi para dewa. Yang tersisa kini hanyalah gerumbul semak berduri,
dikelilingi oleh mesin-mesin bor yang tengah mencari minyak di dataran luas
berdebu.

4
Kita sudah sampai, ujar Pedro seraya membuka penutup kayu.
Mereka rapat ke permukaan: dua sosok tubuh dalam sebuah lubang dangkal.
Kami menatap mereka. Waktu berlalu.
Mereka terbaring saling berpelukan. Yang lelaki wajahnya menghadap ke
bawah. Salah satu lengan dan kaki si perempuan berada di bawah tubuh si
lelaki. Satu lengan si lelaki terkulai di atas selangkangan si perempuan.
Sebelah kaki si lelaki membelit kaki si perempuan.
Sebongkah batu berat menindih kepala si lelaki. Sebongkah batu lain
menindih dada si perempuan. Alat kelamin si perempuan tertindih batu berat,
juga alat kelamin si lelaki.
Aku menatap kepala si perempuan yang bersandar pada tubuh si lelaki,
wajahnya seakan tersenyum. Betapa lembut tatapannya yang beku, ujarku.
Sebuah tatapan penuh cinta.
Tatapan ketakutan, Pedro membetulkan. Dia melihat para pembunuh itu.
Dia melihat mereka datang dan mengacungkan tangan. Inilah batu-batu yang
digunakan untuk membunuh mereka berdua.
Aku bisa melihat lengan si perempuan yang terangkat. Lengannya itu
melindungi sepasang matanya dari segala ancaman mimpi buruk yang
datang tiba-tiba, sementara seluruh anggota tubuhnya yang lain terbaring
tidur, meringkuk dalam lindungan tubuh si lelaki.
Kau lihat? ujar Pedro. Dengan batu ini mereka menghajar kepala si lelaki.
Ia berkata lagi seraya menunjuk tengkorak yang pecah, Tak ada batu
seukuran ini di sekitar sini. Orang-orang itu sengaja membawanya dari jauh
hanya untuk membunuh mereka. Kita tak pernah tahu seberapa jauh mereka
membawanya.
Selama ribuan tahun dua sosok itu saling berpelukan. Delapan ribu tahun,
menurut para arkeolog. Jauh sebelum ada para gembala atau petani.
Tampaknya lempung semenanjung itu yang mengawetkan belulang mereka.
Kami menatap mereka. Waktu berlalu. Aku bisa merasakan kehangatan yang
lembap dari langit tak berwarna dan bumi yang panas, merasakan bahwa
semenanjung Zumpa ini mencintai para pencintanya dan merawat mereka
tanpa memusnahkan raga mereka.
Aku merasakan banyak hal lain yang tak mampu kupahami, tetapi
membuatku bergetar.
5

Aku merasa gemetar dan telanjang.


Mereka terus tumbuh.
Itu hanya awalnya. Tunggu sebentar, kau akan tahu, Pedro
memperingatkanku saat mobil kami melaju melintasi awan debu kelabu
kembali ke pantai.
6
Seorang perempuan yang menemukan mereka, kata Pedro kepadaku.
Seorang arkeolog bernama Karen. Mereka masih sama seperti saat
ditemukan, dua setengah tahun lalu.
Kuharap tak seorang pun mengganggu mereka. Kini mereka telah tidur saling
berpelukan selama delapan ribu tahun.
Apa yang akan mereka lakukan di sana? Membangun museum?
Semacam itulah, ujar Pedro, tersenyum. Sebuah museum atau mungkin
kuil.
Aku berpikir: lubang itu adalah rumah mereka, tak tersentuh. Berapa malam
telah lewat di dalam kamar itu selama tidur panjang mereka?
Aku membayangkan Pertunjukan Sepasang Kekasih dari Zumpa di tangan
para pemandu wisata: sebuah pengalaman tak terlupakan, salah satu
keajaiban arkeologis dunia, kilatan kamera dan tustel para turis yang ingin
membeli ketegangan. Kembali terbayang bentuk indah yang mereka buat
saat berpelukan dan segala tatapan kotor yang memandang mereka. Tibatiba saja wajahku memerah, merasa malu karena begitu egois.
7
Kami makan di rumah Julio. Ada anggur tersaji di atas meja seperti sebuah
mukjizat. Aku tahu, ikan yang dihidangkan memang sedap dan percakapan
kami lumayan menyenangkan, tapi separuh diriku entah ada di mana.
Sebagian diriku minum dan makan dan menyimak percakapan dan sesekali
menimpali pembicaraan, tetapi sisanya melayang-layang hingga berhadaphadapan dengan seekor burung yang mengintip kami melalui jendela. Setiap
waktu makan siang, burung yang sama terbang dan hinggap di dahan pohon,
mengamati kami makan.
Setelahnya, aku memanjat naik tempat tidur gantung, tumbang dalam
buaiannya. Laut membisikkan kidungnya kepadaku. Kubuka kau, kusingkap
kau, kulahirkan kaunyanyi laut kepadaku. Sayup-sayup terdengar lagu
tentang sepasang kekasih, sejak masa prasejarah, yang mengawali sejarah

kami. Embusan angin menggoyang dedaunan menciptakan melodi. Hawa


kuno yang akrab mengangkatku, melipatku, menggoyangku. Kebahagiaan,
bahaya yang tak pernah berakhir.
Bangun, penidur!
Kuhalangi mataku dengan tangan.
mengembalikanku ke dunia nyata.

Panggilan

Pedro

yang

tiba-tiba

8
Tidak, ujar Karen, mereka tidak dibunuh. Batu-batu itu diletakkan di tempat
itu lama setelah mereka mati.
Pedro bersiap memprotes.
Batu-batu itu harus menggelinding, Karen sang arkeolog berkeras. Jika
batu-batu itu dilemparkan dengan sengaja ke arah mereka, batu-batu itu
akan menggelinding. Berarti seharusnya batu-batu itu terletak di dekat tubuh
mereka, bukan di atas tubuh mereka. Batu-batu itu telah dengan sengaja
diletakkan di atas tubuh mereka.
Bagaimana dengan tengkorak yang retak?
Tengkorak itu retak beberapa lama kemudian. Mungkin saja ada sebuah
mobil atau gerobak yang kemudian diparkir di atas mereka. Mayat-mayat itu
berada tepat di bawah permukaan tanah saat kita temukan. Hanya tulangbelulang yang sudah sangat tua umurnya yang bisa retak seperti keramik
Cina dalam posisi seperti itu.
Pedro memandanginya dengan tatapan bingung. Aku ingin bertanya
kepadanya mengenai perasaannya kala dia pertama kali melihat mayatmayat itu, tetapi aku merasa itu pertanyaan konyol, jadi aku hanya diam.
Batu-batu itu diletakkan di situ ketika mayat-mayat itu dikuburkan untuk
melindungi keberadaan mereka, lanjut Karen. Itu bagian dari sebuah
makam. Kami menemukan begitu banyak tengkorak, tidak hanya yang
tampak sebagai.
sepasang kekasih, aku menuntaskan kalimat itu.
Sepasang kekasih? ulangnya. Ya, begitulah mereka dikenal. Sebuah
gagasan yang manis.
Tapi mereka juga menemukan bekas puing-puing rumah, ujar Pedro, dan
bekas sisa-sisa makanankulit-kulit kerang dan tiram. Bisa saja mayatmayat itu terkubur di rumah mereka, seperti suku-suku lain yang.
Bisa saja, Karen mengakuinya. Masih banyak yang tidak kita ketahui.

Atau bisa saja itu terjadi pada masa yang berbeda, bukan? Jarak ribuan
tahun antara penguburan dan rumah-rumah itu. Sepasang kekasih itu
mungkin saja telah hidup lama sebelum atau setelah tengkorak-tengkorak
lain ada.
Bisa saja, ujar Karen, tapi aku meragukannya.
Dia menyajikan kopi kepada kami, anak-anaknya mengejar-ngejar seekor
anjing di halaman belakang, dan dia menjelaskan bahwa tidak mungkin
mengganggu tulang-belulang itu setelah sekian lama.
Kami membiarkannya sebagaimana asalnya, katanya, sehingga mereka
tak akan terpisah. Sejauh yang kutahu mereka adalah pasangan pertama
yang ditemukan terkubur dengan cara seperti itu sehingga membuat mereka
membangkitkan daya tarik ilmiah. Beberapa osteolog telah mendatangi
kuburan itu. Mereka membenarkan bahwa belulang itu milik sepasang lelaki
dan perempuan. Keduanya masih muda saat mereka mati. Antara dua puluh
hingga dua puluh lima tahun. Osteolog itu mengatakan seluruh belulang
berasal dari suatu masa yang sama.
Bagaimana dengan karbon-14? tanya Julio. Tidakkah Anda melakukan tes
itu juga?
Kami mengirim belulang lain dari pekuburan itu ke Amerika. Tes karbon-14
menyatakan usianya antara enam hingga delapan ribu tahun. Belulang
sepasang kekasih itu tak bisa dianalisis, kecuali sepotong gigi si lelaki. Sudah
dilakukan termoluminesensi dan yang sejenisnya. Hasilnya tak berguna.
Mereka menyebut usia belulang itu antara enam hingga sebelas ribu tahun.
Jika kami tahu seperti itu hasilnya, kami tak akan mengganggu giginya.
Pedro menunggu kesempatan ini. Bayangkanlah, ujarnya dengan penuh
kemenangan, ribuan tahun dari sekarang para ahli menggunakan metode
yang sama untuk menganalisis sisa-sisa peradaban kita. Mereka akan
menemukan sebungkus Marlboro di sudut Coloseum di Roma.
Merasa lucu atas pemikiran itu, Karen terpingkal-pingkal, tapi kemudian
setelah cangkir kopi kedua, dia berkata, Aku tahu kalian tak akan menyukai
apa yang akan kukatakan.
Dia memandang kami bertiga, menimbang-nimbang tanpa tergesa, lalu
dengan merendahkan suaranya, seolah-olah tengah membocorkan sebuah
rahasia, dia menerangkan, Mereka berdua tidak mati saling berpelukan.
Mereka dikuburkan seperti itu sesudahnya. Kita tak tahu alasannya. Mungkin
karena mereka suami-istri, tapi itu bukan alasan kuat. Jika memang begitu,
mengapa pasangan lain tidak dikuburkan seperti itu juga? Ini sebuah misteri.
Mungkin mereka berdua mati pada saat bersamaan. Belulang itu tak
menunjukkan bekas-bekas kekerasan. Mungkin mereka tenggelam. Bisa saja
mereka memancing bersama-sama dan tenggelam. Mungkin. Karena alasan

tertentu yang tak kita ketahui pasti, mereka dikuburkan berpelukan. Mereka
tak mati dalam posisi seperti itu dan mereka tidak dibunuh. Kami menemukan
mereka di dalam kuburan, bukan dalam rumah.
9
Kami berjalan di antara gundukan pasir saat malam tiba. Di kejauhan tampak
laut berkilauan.
Menurut para ahli, ujar Pedro, tak mungkin ada sepasang kekasih
semacam ini ribuan tahun silam di antara sekelompok nelayan semi
nomaden yang tak punya konsep kepemilikan. Kukira itu baru mungkin
terjadi pada zaman sekarang.
Kami bertiga berjalan dalam diam, menatap tanah.
Aku berpikir betapa besar mereka tampaknya walaupun mereka tak lebih
besar dari kita. Dan alangkah misteriusnya. Lebih misterius daripada
kerangka burung raksasa di Nazca, kurasa. Dan bagiku, lebih bermakna
simbolis daripada tanda salib. Juga, itu sebuah monumen yang lebih baik
bagi benua Amerika daripada benteng Machu Picchu atau piramida Matahari
dan Bulan.
Pernahkah kau melihat jasad seseorang yang tenggelam? tanya Julio. Aku
pernah. Tubuh mereka meringkuk dalam posisi yang mengerikan. Saat
diangkat keluar, tubuh mereka kaku seperti papan. Jika mereka tenggelam,
mereka tak akan bisa dipaksa berpelukan seperti itu setelahnya.
Bagaimana jika mereka tidak tenggelam? Ada banyak cara lain untuk mati.
Aku juga tak percaya, sahut Julio. Mayat biasanya cepat kaku. Aku tak
tahu, ujarnya bimbang. Karen seorang ahli arkeologi. Dia tahu, tapi aku
tak yakin. Kurasa mereka tidak dalam posisi wajar. Tak seorang pun akan
menguburkan mereka seperti itu. Cara berpelukan mereka tampak amat
nyata. Bagaimana menurutmu?
Aku mempercayai mereka, jawabku.
Siapa?
Mereka berdua.
10
Mengapa kalian tak membiarkanku tidur, wahai sepasang kekasih dari
Zumpa?
Aku terjaga tengah malam buta, pergi ke balkon, lalu mengambil nafas
panjang dan merentangkan lenganku lebar-lebar.

Aku bisa melihat mereka, diterangi bulan, di suatu tempat entah di udara atau
di atas bumi. Aku bisa melihat sosok-sosok telanjang merayap diam-diam
mengintai mereka, melintasi paya gambut, lalu melompat ke arah mereka
dengan belati batu hitam atau tulang hiu tajam terhunus. Aku bisa melihat si
perempuan ketakutan lalu darah tersimbah. Kulihat para pembunuh itu
menaruh batu-batu yang mereka bawa dari jauh di atas jasad mereka. Para
pendeta pemuja dewa pihak musuh meletakkan sebongkah batu di atas
kepala si lelaki, yang lainnya di atas jantung si perempuan, dua lagi pada
kelamin mereka untuk mencegah larik asap keluarasap yang membuat
kepala mereka pusing, yang mengancam dunia mereka. Dan aku tersenyum
karena aku tahu tiada batu yang bisa mencegah hal itu.
11
Esok paginya kami pulang.
Tetumbuhan bermekaran saat aku meninggalkan dataran di belakangku.
Aroma hehijauan memenuhi udara saat aku menembus alam Guayaquil yang
lembap. Di sampingku ada sepasang kekasih yang telah menjemput maut.
Kini dan selamanya. []

EDUARDO GALEANO
Penulis terkemuka Uruguay yang juga seorang aktivis politik. Ia menulis
cerpen dan esai. Bukunya, The Open Veins of Latin America (1971),
merupakan sebuah telaah berpengaruh dalam sejarah sastra Amerika Latin.
Setelah tinggal dalam pengasingan di Spanyol hampir selama satu dekade,
kini ia kembali ke Montevideo, tempat ia dilahirkan pada 1939. Cerpen di atas
diterjemahkan olehAnton Kurnia dari The Rest is Lies dalam The Faber
Book of Contemporary Latin American Short Stories, London: Faber and
Faber,1990, susunan dan terjemahan Nick Caistor dari bahasa Spanyol.

Anda mungkin juga menyukai