Anda di halaman 1dari 6

Aku Ingin Melihat Matahari Terbit Bersamamu

Rabu, 09 Januari 2013 08:30 |


Pramudhaningrat |

Ditulis oleh Yuni Kristyaningsih


0 Comments dan 1 Reaction

Aku ingin melihat matahari terbit bersamamu.


Aku membuka daun jendela kayu jati berukir bunga-bunga bulat yang
menjulur ke sana ke mari itu dan melihat langit sudah terang tapi matahari
belum tampak. Apakah aku bangun terlambat?
Aku melihat seseorang berdiri di jalan setapak di dalam taman, di antara
batang-batang melati. Aku melangkah ke pintu dan kemudian berjalan
mengitari bunga azalea dalam pot keramik besar dan serumpun mawar putih
menuju ke arahnya. Guten morgen,sapaku. Berjalan tanpa alas kaki di atas
batu-batu bulat pada pagi hari adalah rutinitas penghuni rumah itu. Aku
mengetahuinya dari sisa-sisa ingatanku.
Sapaanku tidak dijawab. Orang itu hanya menoleh sebentar lalu tanpa
mengubah gerakannya yang meliuk dengan lembut mengikuti pola-pola
tertentu dia berkata, Tidurmu nyenyak?
Iya. Terima kasih. Semalam aku tidak dapat tidur sekejap pun. Rumah
tradisional itu tidak memiliki palang pintu. Dia bisa masuk dan menusuk
dadaku dengan pisau kapan saja. Aku tidak takut mati. Aku hanya tidak ingin
tidak terjaga ketika dia sedang membalaskan dendamnya. Aku berharap dia
melakukannya. Setidaknya dengan begitu aku punya alasan untuk meminta
maaf. Saat ini mustahil meminta maaf padanya tanpa melukai harga dirinya.
Ini apa? Aku mengamatinya. Tai-chi?
Andrew dan aku berlatih tai-chi setiap pagi. Aku suka gerakannya yang
seperti menari. Dalam taraf tertentu ini adalah jurus bela diri yang berbahaya.
Prinsipnya adalah memukul balik musuh dengan memanfaatkan tenaga
musuh itu sendiri. Aku belum pernah menggunakannya untuk memukul orang
tapi mungkin Andrew pernah.
Maukah Anda mengajariku? kataku. Dia punya kebiasaan berbicara dengan
kalimat-kalimat pendek. Aku berharap kesopansantunan akan mengubahnya
sedikit. Aku percaya pada kata-kata. Orang yang sedikit bicara membuatku
ngeri. Sejak aku datang kemarin kami belum bertukar kata lebih dari
setengah lusin.
Tidak. Ini tidak cocok untuk anak muda sepertimu.
Saya sudah tua. Umur saya tiga puluh tiga saat ini.

Dia tertawa tapi tidak ada nada senang di dalam tawanya. Itu umur di mana
orang-orang bertindak bodoh, katanya. Puterinya meninggal saat berusia
tiga puluh tiga. Bukan untuk disebut tua.
Aku melihat sosoknya yang tinggi dan besar. Matanya yang berwarna seperti
laut pada musim badai dan rambut kecokelatan dengan beberapa jumput
warna keperakan. Dia tidak memperlihatkan definisi kata tua. Saya bodoh
sejak lahir. Dan mungkin akan tetap begitu sampai mati, kataku.
Dia menghentikan gerakannya. Sepertinya merasa terganggu.
Sepertinya kau terbiasa mendapatkan pemaafan, ucapnya sambil berjalan
ke arah bangku taman dan meraih handuk kecil yang tersampir di kursi.
Tubuhnya berkeringat. Aku mengikuti berjalan di belakangnya.
Tidak dari diri saya sendiri, jawabku. Tidak juga dari pria ini dan kekasihku,
kurasa.
Oya? Yang seperti itu susah untuk dilihat. Orang mungkin iri padamu. Aku
tahu dia mengatakannya untuk melampiaskan kemarahan. Orang cenderung
tidak menyukai orang yang melakukan sesuatu tanpa mendapat risiko apa
pun.
Apakah ada orang yang begitu?
Aku tidak tahu. Mungkin beberapa.
Dia duduk di bangku taman dan mengusap lututnya.
Dia mendapat kecelakaan ketika masih muda yang membuatnya berhenti
menjadi tentara dan mulai belajar kedokteran. Dia perlu membawa tongkat
kemana-mana tapi dia tetap tipe pria Eropa yang elegan dan menakutkan.
He has my bad temper in an original version.
Masih pagi, ujarnya. Kembalilah ke kamar. Kami baru sarapan sekitar jam
delapan.
Saya ingin pergi ke suatu tempat.
Sebelah alisnya menaik. Menurutku kau akan tetap pergi walau aku
melarangmu ke sana.
Saya ingin melihat matahari terbit.
Matahari terbit setiap hari.
Aku ingin melihat matahari terbit bersamamu. Kekasihku berkata begitu tahun
lalu dan juga tahun-tahun sebelumnya.
Saat itu aku tertarik pada banyak hal tetapi matahari terbit tidaklah termasuk
di dalamnya.

Aku tidak percaya akan masa depan. Meskipun aku tahu bahwa dalam hidup
ini orang selalu akan ngunduh wohing pakarti, ketidakpercayaan itu
membuatku hidup sesuka hatiku. Aku sama sekali tidak tahu kalau pada
suatu hari dia akan menjadi salah satu buah perbuatan yang harus aku petik.
Bagiku cinta baru bisa dipikirkan setelah semua hal yang lain diurus dengan
baik. Itu baru fair. Kebanyakan orang memperlakukan cinta seperti semacam
hiburan saja. Sesuatu yang diam-diam mereka nikmati ketika mereka
kelelahan atau melarikan diri dari hal-hal lain yang lebih serius dan realistis.
Kekasihku wanita yang terlalu romantis, dia gembira karena hal-hal kecil dan
sangat mudah terluka. Dia mencintaiku dengan sepenuh perasaan. Sesuatu
yang selalu membangkitkan rasa kasihanku
Saya tahu, jawabku, menatap laki-laki itu. Tapi matahari tidak sama setiap
harinya.
Aku mengangguk padanya dan hendak melangkah pergi. Beberapa langkah
aku mendengar suaranya. Apa kau tahu dia mengidap hemochromatosis?
Aku berbalik. Apa itu?
Jadi kau tidak tahu?
Maaf saya tidak tahu. Tolong Anda jelaskan apa itu.
Aku tidak suka padamu. Dia berbicara dengan nada datar seperti biasanya.
Ketika dia meminta persetujuanku atas pernikahan kalian kami bertengkar
hebat. Kukatakan dalam hubungan semacam itu orang sepertimulah yang
akan lebih cepat bosan dibandingkan orang seperti dia. Tapi rupanya dia
sangat percaya kepadamu. Dia mewarisi kebodohan ibunya.
Saat pertama kali bertemu ayahku, ibuku jatuh cinta padanya dan
menyerahkan seluruh hatinya. Ayahku terlalu manja untuk bisa mengambil
tanggungjawab semacam itu jadi dia pergi. Perlu waktu dua puluh tahun
baginya untuk menyadari bahwa aku adalah anak yang lahir karena
kecerobohannya.
Saya.... Aku ingin sekali meminta maaf tapi tidak mampu mengucapkannya.
Lalu ketika kau memutuskan hubungan dengannya aku berpikir aku harus
meluangkan waktu untuk membujukmu. Dia tertawa kecil. Sangat satir. Kau
harus lihat bagaimana dia begitu antusias menyiapkan pernikahannya. Kau
tahu dia menganggap dirinya harus menjalani hidup seperti biarawati karena
pandangan orang-orang yang kolot tentang anak haram. Dia tidak pernah
peduli pada pria manapun seumur hidupnya. Ide tentang pernikahan dan
keluarga tidak pernah singgah di kepalanya. Sampai dia bertemu denganmu
dan kau berhasil menyusupkan ide itu ke dalam angan-angannya. Dia
mengikuti pelayanku sepanjang hari dan mengganggunya dengan
pertanyaan bagaimana melakukan ini dan itu. Dia belajar memasak dan

menangis ketika ikan yang dia goreng gosong. Katanya kau suka makan
ikan. Dia membeli bermeter-meter kain brokat untuk dijahit menjadi kebaya.
Dia memang sangat lugu dan bodoh. Dia menatapiku. Kenapa kau tiba-tiba
membatalkan pernikahan?
Saya sudah menikah. Saya pikir tidak adil bagi...
Lalu kenapa kau memulainya, demi Tuhan? Suaranya meninggi. Seorang
pria terhormat tidak seharusnya memulai sesuatu yang tidak dapat dia
lakukan sampai akhir. Tidakkah kau mendapatkan pelajaran itu ketika kecil?
Saya bukan pria terhormat.
Oh, itu jelas sekali. Ketajaman suaranya membuatku merasa agak nyaman.
Aku harus mendapatkan hukuman darinya entah bagaimana. Itu akan
membuatku merasa lebih baik. Aku seharusnya membunuhmu. Semua
orang akan maklum kalau kulakukan itu. Tapi bahkan puteriku sendiri saja
tidak membuat keributan sedikit pun. Walaupun sebenarnya dia punya hak
untuk itu. Katanya itu supaya hidupmu tidak terusik. Kau punya keluarga dan
anak-anak. Kau punya pekerjaan yang mengharuskanmu menjaga martabat.
Dia lebih memilih menghinakan dirinya sendiri dengan berkumpul bersama
iblis di neraka.
Aku menyaksikan kesedihan mendalam yang tersembunyi di dalam kata-kata
kerasnya. Kalau membunuhku dapat....
Tidak. Aku tidak bisa membiarkanmu menemuinya di sana. Setidaknya itulah
yang kuharapkan. Dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak
tangannya. Lakukan apa yang kau mau dan segeralah pergi. Sudah cukup
aku melihat wajahmu hari ini dan kemarin.
Berjalan kaki aku mengikuti jalan yang sudah kuketahui. Jalanan desa yang
mengikuti arah tepian sungai. Langit sudah terang dan aku melihat beberapa
orang berjalan di pematang sawah. Mungkin ini waktu dimulainya jam kerja
bagi petani.
Aku berjalan dengan langkah yang makin kupercepat. Di langit sebelah timur,
di balik pegunungan sudah terlihat semburat merah keemasan meskipun
ujung celanaku basah kuyup oleh embun. Setelah mendaki dua bukit kecil,
menyeberangi sungai, melewati beberapa rumah, berjalan di daerah
persawahan, aku sampai di tempat itu. Masih sama seperti yang ada dalam
ingatanku.
Aku melihat cahaya pertama matahari menyinari ujung-ujung ranting jati yang
kering.
Tempat paling indah di desaku adalah pemakaman. Berada di satu bagian
dari tanah milik keluargaku. Di atas sebuah bukit kecil yang kanan-kirinya
diapit oleh dua sungai berlereng terjal. Di lereng-lereng itu tumbuh bunga-

bunga anggrek liar. Bunga yang akan mati jika kau mencoba
memindahkannya dari tempatnya tumbuh. Pemakaman itu dikelilingi hutan
jati. Dahulu tidak ada satu pun pohon disitu kecuali pohon pulai tua yang
bunganya melimpah ruah pada musim penghujan. Kemudian kakekku
menanaminya dengan pohon jati satu demi satu sejak dia masih kecil sambil
membayangkan batang-batangnya yang tumbuh lurus akan menjadi tiangtiang dari rumah-rumah yang akan dibangun anak cucunya kelak. Kalau kau
sempat berada di sana pada saat matahari terbit atau tenggelam kau akan
berpikir hidup itu lumayan menyenangkan.
Aku melepas sandal yang aku pakai di pintu masuk pemakaman yang hanya
berupa dua pohon kamboja berjarak dua atau tiga meter yang rantingrantingnya saling bertautan membentuk semacam lengkungan. Banyak sekali
bunga kamboja yang gugur berserakan di tanah. Aku memungut salah
satunya.
Sewaktu kecil aku suka mencari bunga kamboja dengan jumlah mahkota
genap karena katanya siapa yang menemukannya akan beruntung. Aku tidak
tahu kalau bunga kamboja itu makhota bunganya selalu ganjil. Aku memang
tidak pernah beruntung.
Aku berjalan berkeliling sebentar lalu duduk di dekat sebuah nisan dari
marmer hitam. Aku datang untuk melihat matahari terbit bersamamu. Aku
berkata sambil melihat ukiran huruf emas di bagian kepala nisan itu. Di sana
terukir nama wanita itu.
Aku melihat cahaya menyilaukan memantul dari embun di pucuk-pucuk daun
sesemakan liar.
Aku ingat setiap patah kata yang ditulisnya dalam surat terakhirnya padaku:
Dear I.
Everything that happened was to save you. Your family and your name. And
thats okay, because I love you so much. But somehow Im always the one
who get hurt. How can I deal with it?
Today, I did things I abhor to protect the one thing I value most, my pride. If
anyone can understand it, its you. Your compassion is a gift, I. Carry it with
you, as I will carry my regret. Always and forever.
Y.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku mengakui aku merasa
kesepian. Barangkali inilah yang dirasakan kekasihku ketika dia berjalan
masuk ke danau dan menenggelamkan dirinya. []

Catatan:

Guten morgen: bahasa Jerman, berarti selamat pagi.


Ngunduh wohing pakarti: memetik buah perbuatan sendiri

Hemochromatosis adalah penyakit genetis dimana tubuh mengalami


ketidakmampuan memetabolisme zat besi sehingga menyebabkan
kerusakan mental dan fisik. Penyakit ini banyak diderita oleh orang
keturunan Eropa. Pada beberapa kasus, penyakit ini diduga
menyebabkan penderitanya memiliki kecenderungan untuk melakukan
bunuh diri. Hemingway dikabarkan menderita penyakit ini.
Pemakaman yang saya gambarkan dalam tulisan ini adalah pemakaman
Thuk Sekar di desa Wotan kecamatan Pulung kabupaten Ponorogo.
Nama Thuk itu adalah penggalan dari kata puthuk yang berarti bukit.
Pemakaman ini berada di atas bukit dikelilingi hutan jati. Bukit dan tanahtanah di sekitarnya dimiliki oleh keluarga saya sejak turun-temurun.

BIODATA
RR YUNI KRISTYANINGSIH PRAMUDHANINGRAT
Lahir di Ponorogo, 16 April 1979. Selepas SMA, melanjutkan kuliah di
Universitas Brawijaya, Malang, di Fakultas Pertanian, Jurusan Hortikultura,
lulus pada tahun 2001. Mendapatkan beasiswa program magister dan
doktoral di University of Heidelberg pada tahun 2007, dan lulus pada awal
tahun 2011 dengan penelitian tentang biopestisida. Bercita-cita mendirikan
sekolah untuk anak-anak kurang beruntung dan mereka yang membutuhkan
perlakuan istimewa dengan model seperti SD Tomoe Gakuen. Sangat
menikmati membaca buku mengenai bermacam-macam topik terutama
sastra. Mulai menulis sejak SMA. Cerpen pertamanya Lukisan Senja dimuat
di majalah sastra Horison pada tahun 2003. Cerpen-cerpen berikutnya
dimuat
di
majalah
sastra Horison,
harian Kompas,
tabloid Nova,
majalah Femina, harian Tribun Jabar, Jurnal Cerpen Indonesia dan lain-lain.
Buku terjemahan pertamanya diterbitkan oleh Penerbit Serambi tahun 2009,
berjudul The Old Man And The Sea karya Ernest Hemingway.

Anda mungkin juga menyukai