Anda di halaman 1dari 6

Metodologi Pengembangan Sistem Informasi

Tugas Mata Kuliah MR3203 Perencanaan Sistem Informasi

Imanta Azaki 14413032


Program Studi Manajemen Rekayasa Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung

Pendahuluan
Centers for Medicare and Medicaids Services (CMS), sebuah lembaga di bawah Departemen Pelayanan
Kesehatan dan Kemanusiaan Amerika Serikat, pada tahun 2005 mengeluarkan artikel mengenai
pendekatan-pendekatan yang diterima dalam upaya pengembangan sistem informasi bagi CMS. Artikel
ini berisi penjelasan metodologi tiap pendekatan yang digunakan dalam pengembangan sistem informasi
secara umum, termasuk penjelasan mengenai cara penerapan, kelebihan dan kekurangan, serta gambaran
kondisi yang sesuai untuk penerapan masing-masing pendekatan.
Terdapat 5 pendekatan yang diterangkan dalam artiket CMS tersebut. Pendekatan-pendekatan tersebut
adalah waterfall, prototyping, incremental, spiral, dan rapid application development (RAD). Sebagai
tambahan, pendekatan waterfall merupakan suatu pendekatan tradisional yang didasari oleh siklus hidup
pengembangan sistem atau system development life cycle (SDLC).
Detail mengenai tiap pendekatan akan dibahas sebagai berikut.
Pendekatan Waterfall
Sebagaimana telah dijelaskan, pendekatan waterfall merupakan pendekatan yang didasari oleh siklus
hidup pengembangan sistem atau system development life cycle (SDLC) dan bersifat linear karena adanya
prosedur alur baku yang harus diikuti. Radack (2009) menjelaskan bahwa pengembangan suatu sistem
memiliki siklus hidup yang terdiri dari fase inisiasi, fase akuisisi/ pengembangan, fase
implementasi/assessment, fase operasi/pemeliharaan, dan fase disposal.
Fase inisiasi merupakan fase awal pengembangan sistem. Pada fase ini dilakukan identifikasi kebutuhan
dan tujuan pengembangan sistem. Identifikasi tersebut dibuat dalam bentuk suatu dokumen yang cukup
rinci dan diperuntukkan sebagai bahan dalam pengembangan di fase-fase lanjutan.
Fase kedua adalah fase akuisisi/pengembangan. Pada fase ini dilakukan tindak lanjut berdasarkan
dokumen kebutuhan yang telah dibuat pada fase inisiasi. Bentuk tindak lanjut tersebut antara lain dapat
berupa akuisisi (pembelian) sistem, maupun pengembangan sistem secara internal.

Fase ketiga adalah fase implementasi/assessment. Pada fase ini dilakukan pengujian rancangan sistem
yang ditindaklanjuti dengan otorisasi penggunaan sistem. Apabila rancangan tersebut diotorisasi, maka
tindakan lanjutan, tetapi masih dalam fase ini, adalah melakukan instalasi sistem.
Fase keempat adalah fase operasi/pemeliharaan. Fase ini merupakan fase di mana sistem telah
dioperasikan. Dalam operasional sistem, dilakukan pula perawatan berupa perbaikan atau modifikasi
secara kecil untuk memudahkan penggunaan sistem.
Fase kelima adalah fase disposal. Fase ini dapat dikatakan sebagai fase akhir dalam siklus hidup
pengembangan sistem. Walaupun tidak ada suatu batas akhir yang jelas dari suatu sistem (Radack, 2009).
Tindakan yang dilakukan dalam fase ini adalah melakukan penyesuaian dalam rangka transformasi dari
sistem lama ke sistem baru.
Adanya fase-fase tersebut menjadikan proses pengembangan sistem menjadi lebih baik karena ada
prosedur baku yang harus dilalui dan penilaian progress menjadi lebih jelas dan terukur. Walau demikian,
pendekatan waterfall masih memiliki kekurangan karena progress berjalan tidak begitu cepat, tidak
fleksibel, sulit untuk dilakukan perubahan mendadak, dan sedikit ruang untuk perbaikan ulang. Akan
tetapi, karena pendekatan ini memiliki alur yang baku dan standar yang jelas, maka pendekatan ini cocok
diterapkan bagi pengembangan sistem informasi berskala besar.
Pendekatan Prototyping
Pendekatan kedua adalah pendekatan prototyping. Pendekatan ini bersifat iteratif. Iteratif yang dimaksud
adalah adanya keterlibatan owner dan key user secara besar dalam pengembangan sistem informasi
sehingga memungkinkan adanya perubahan kehendak dan perbaikan. Perubahan-perubahan atau
perbaikan tersebut bertujuan untuk menyesuaikan sistem dengan kehendak owner atau user. Hal ini
mengakibatkan terjadinya pengembangan sistem secara berkali-kali (iterasi).
Sifat yang iteratif tersebut menjadi kelebihan bagi metode prototyping. Akan tetapi hal tersebut tetap
dapat memberikan dampak buruk. Salah satu dampak buruknya adalah kemungkinan proyek
pengembangan sistem akan selesai dalam waktu yang cukup lama apabila sering diadakan perubahan
kehendak oleh owner. Selain itu bisa saja hasil akhir yang dianggap beres oleh owner, dalam
kenyataanya belumlah benar selesai. Hal ini dikenal dengan istilah missed expectation. Dampak buruk
lainnya adalah kemungkinan pendokumentasian proses tidak berjalan dengan lancar dan baik sehingga

apabila terjadi hal yang tidak sesuai, maka akan timbul kesulitan dalam melacak akar masalah yang
terjadi.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah disampaikan, maka jelaslah bahwa pendekatan prototyping tidaklah
fleksibel dan dapat digunakan kapan saja. Melainkan hanya dapat digunakan dalam kondisi tertentu saja.
Adapun kondisi yang cocok untuk menggunakan pendekatan prototyping adalah saat proyek
pengembangan sistem informasi dibutuhkan segera dalam waktu cepat dan tim pengembangan yang
berpengalaman dan memiliki kapabilitas tinggi, serta objectives dari sistem yang hendak dikembangkan
tidak teridentifikasi secara baik dan jelas.
Pendekatan Incremental
Pendekatan incremental pada dasarnya merupakan gabungan pendekatan bersifat linear dan iteratif. Pada
pendekatan ini, pengembangan sistem dilakukan secara parsial dengan melakukan segmentasi proyek ke
dalam segmen-segmen kecil. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko yang mungkin terjadi.
Penanganan tiap segmen dalam pendekatan ini tidaklah sama. Bisa saja satu segmen menerapkan
penanganan secara linear (waterfall) sementara segmen lain menerapkan penanganan secara iteratif. Hal
ini menjadikan metode penanganan tiap segmen dapat disesuaikan berdasar pada karakteristik tiap-tiap
segmen.
Selain membuka kemungkinan penyesuaian penanganan untuk tiap segmen, pendekatan ini juga memiliki
kelebihan-kelebihan lain. Salah satunya adalah memungkinkan terjadinya pendokumentasian secara baik
akan proses pengembangan sistem. Selain itu hasil pengembangan dapat saja menjadi lebih lengkap
dibanding karena dilakukan segmentasi sistem sesuai dengan rumusan kebutuhan. Sistem pun dapat
selesai lebih cepat dan risiko dapat ditangani lebih dini.
Walaupun memiliki banyak kelebihan, pendekatan ini pun masih memiliki kekurangan. Kekurangan yang
mungkin terjadi salah satunya adanya kemungkinan kurangnya pertimbangan aspek bisnis dan aspek
holistik saat pengembangan per segmen dilakukan. Selain itu, segmentasi sistem ke dalam beberapa
segmen dengan metode penanganan yang berbeda antara tiap segmen dapat menyebabkan pengembangan
di satu segmen selesai lebih dahulu dibanding dengan segmen lain. Hal lain yang menjadi kekurangan
pendekatan ini adalah diperlukannya suatu cara untuk mengintegrasikan tiap-tiap segmen yang ada
sebagai akibat pengembangan tiap segmen dilakukan oleh pengembang yang bisa saja berbeda dan
dengan metode yang berbeda pula.

Kelebihan dan kekurangan yang telah diuraikan menjadikan pendekatan ini tidaklah fleksibel untuk
digunakan tiap saat untuk bermacam kondisi. Terdapat kondisi-kondisi tertentu di mana pendekatan ini
dapat digunakan. Kondisi-kondisi tersebut antara lain dalam suatu proyek di mana kebutuhan tidak
terdefinisi secara jelas atau mengalami perubahan, pengembangan sistem informasi berbasi web, dan
pengembangan leading-edge application.
Pendekatan Spiral
Pendekatan spiral merupakan salah satu metode pendekatan pengembangan sistem informasi. Pendekatan
ini pertama kali diusulkan oleh Boehm pada 1986 dalam bentuk tulisan pada sebuah paper berjudul A
Spiral Model of Software Development and Enhancement.
Pendekatan spiral pada dasarnya mirip seperti pendekatan incremental karena melakukan pembagian
proyek ke dalam beberapa segmen dan bersifat kombinasi linear dan iteratif. Akan tetapi terdapat satu
perbedaan mendasar antara pendekatan spiral dan pendekatan incremental. Perbedaannya adalah apabila
pendekatan incremental memiliki metode penanganan yang berbeda antarsegmen, maka pendekatan spiral
justru memiliki metode penanganan yang sama antar segmen. Yang dimaksud dengan metode penanganan
yang sama adalah dalam artian bahwa terdapat suatu alur baku yang perlu dijalankan untuk menangani
tiap segmen tersebut. Perbedaan lainnya adalah apabila segmen yang dimaksud pada pendekatan
incremental adalah segmen parsial di mana penanganan untuk tiap segmen dapat dilakukan secara
simultan, maka pada segmentasi yang dimaksud dalam pendekatan spiral lebih bersifat pembagian fase
kerja.
Alur penanganan bagi tiap segmen (fase) dalam pendekatan spiral dimulai dengan penentuan objective,
dilanjutkan dengan identifikasi constraints, identifikasi alternatif, identifikasi risiko, penanganan risiko,
serta rencana tindak lanjut. Siklus alur tersebut sama bagi tiap fase. Adapun pembentukan fase pada
pendekatan spiral dilakukan dengan membagi pekerjaan berdasarkan tingkat kesulitan, kerumitan
objectives dan constraints, serta perbedaan tingkat kesulitan penanganan risiko. Biasanya pekerjaan yang
dilakukan di fase lanjut akan lebih berat dibanding pada fase sebelumnya. Gambaran mengenai alur kerja
dengan pendekatan spiral dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1 Model pendekatan spiral bagi pengembangan software (Boehm, 1988).


Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, maka jelaslah bahwa pendekatan spiral tak ubahnya merupakan
suatu pendekatan yang mengakomodasi pendekatan waterfall, prototyping, dan incremental. Hal ini
merupakan nilai lebih bagi pendekatan spiral. Nilai lebih lainnya, pendekatan ini sangat berguna dalam
meminimasi risiko yang dapat terjadi. Dengan demikian pendekatan ini sangat cocok untuk diterapkan
dalam kondisi kebutuhan akurasi yang tinggi, minimasi risiko merupakan prioritas yang sangat tinggi,
sistem yang bersifat safety-critical, dan minimasi konsumsi sumber daya bukanlah menjadi prioritas
utama.
Pendekatan Rapid Application Development
Pendekatan yang terakhir adalah pendekatan rapid application development (RAD). Sifat pendekatan ini
adalah iteratif dengan tujuan utama mengembangkan suatu sistem secara cepat, berkualitas, dan ongkos
yang minim untuk kepuasan konsumen. Kunci utama dari pendekatan ini adalah prototype dan timebox.
Timebox pada dasarnya merupakan suatu mekanisme untuk mengendalikan sumber daya dan
menghantarkan scope yang diinginkan (Gottesdiener, 1995). Timebox berbeda dengan task deadline
karena timebox mengatur durasi batas pengerjaan proyek dan berorientasi kepentingan konsumen.
Sementara task deadline tak lain hanya berupa pembatasan waktu durasi pengerjaan terhadap tugas-tugas
spesifik. Dengan demikian apabila dalam jangka waktu yang ditentukan ternyata keberjalanan proyek

terganggu, maka yang dilakukan adalah mengubah konten sistem untuk dapat mengejar target waktu
dengan tetap berorientasi pada objective yang ditentukan di awal. Kondisi ini tentu akan berbeda dengan
task-orientation di mana apabila tenggat waktu sudah dekat dan proyek belum selesai, maka demi
kepentingan task (bukan consumer priorities) tenggat waktu perlu diperpanjang.
Pengerjaan pengembangan sistem informasi dengan pendekatan RAD pun dilakukan secara iteratif
dengan melibatkan konsumen (system owner atau user). Hal ini bertujuan supaya sistem yang dihasilkan
menjadi tepat memenuhi kebutuhan dan kehendak konsumen. Oleh karena itu, prototyping menjadi salah
satu kunci dalam pendekatan ini. Prototyping sendiri dapat diartikan sebagai membuat model kecil yang
berfungsi untuk merepresentasikan sistem yang nantinya akan digunakan. Dengan demikian bisa saja
dalam suatu pengembangan sistem informasi berbasis pendekatan RAD akan menghasilkan pula beberapa
prototype dengan spesifikasi yang berbeda-beda sebelum dihasilkan sistem yang 100% sesuai dengan
kebutuhan dan kehendak konsumen.
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan maka jelaslah bahwa pendekatan RAD merupakan
pendekatan yang memiliki nilai lebih karena berorientasi kepuasan konsumen (bisnis), ongkos yang
minim, dan pengerjaan dengan jangka waktu yang singkat dan jelas. Adapun pendekatan RAD sangat
cocok diaplikasikan dalam kondisi proyek berskala kecil-medium, project scope dan business objective
yang jelas, aplikasi yang interaktif dengan fungsionalitas yang jelas, dan tidak ada (tidak jelasnya) system
requirements.
Referensi:
Boehm, Barry. 1988. A Spiral Model of Software Development and Enchancement. (Diambil dari
http://csse.usc.edu/TECHRPTS/1988/usccse88-500/usccse88-500.pdf). Diakses pada 23 Februari
2016.
Centers for Medicare and Medicaid Services. 2005. Selecting a Development Approach. (Diambil dari
https://www.cms.gov/research-statistics-data-and-systems/cms-informationtechnology/xlc/downloads/selectingdevelopmentapproach.pdf). Diakses pada 23 Februari 2016.
Gottesdiener, Ellen. 1995. RAD Realities: Beyond The Hype to How RAD Really Works. Application
Development Trends. August 1995 Ed.
Radack, Shirley (Ed.). 2009. The System Development Life Cycle. (Diambil dari
http://csrc.nist.gov/publications/nistbul/april2009_system-development-life-cycle.pdf). Diakses
pada 23 Februari 2016.

Anda mungkin juga menyukai