Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
Menopause suatu istilah yang sudahtidak asing lagi bagi masyarakatberasal
dari bahasa Yunani yangberarti berhenti haid (apauseinthemenses).Menopause terjadi
pada perempuan yangmemasuki usia menjelang 50 tahun. Melalui usiatersebut
merupakan bagian universal danirreversibel dari keseluruhan proses penuaan
yangmelibatkan sistem reproduksi dimana siklus haidsetiap bulannya mulai
terganggu dan akhirnyamenghilang sama sekali. Terganggunya atausampai hilangnya
proses haid disebabkanpenurunan dan hilangnya hormon estrogen, inimerupakan
masalah yang normal yang sadar atautidak akan dilalui oleh perempuan
dalamkehidupannya.

Sehubungan

menopausemerupakan

masalah

normal

sedangkanpenerimaannya berbeda - beda diantara paraperempuan maka alangkah


baiknya masalah inidiketahui secara jelas oleh setiap perempuan.1
Usia menopause setiap wanita bervariasi, tapi bagi sebagian besar wanita
terjadi pada usia 50-an. Dalam kehidupan sekarang ini, beberapa wanita telah
memutuskan penggunaan Terapi Pengganti Hormon (HRT) yang dapat menyebabkan
perdarahan pervaginam. Meskipun, beberapa perdarahan pervaginam pada wanita
menopause tidak pernah diharapkan selain perdarahan sesuai siklusnya pada wanita
yang mendapatkan terapi pengganti hormon sebaiknya diterapi dengan seksama.
Durasi atau derajat keparahan seharusnya dipertimbangkan. Spotting atau bercak
merah atau secret berwarna kecoklatan biasanya menggambarkan suatu penyakit

perdarahan. Menyingkirkan keganasan adalah suatu investigasi utama dan seharusnya


telah dilakukan, pertimbangan lain dari terapi sebagai penyebab yang dapat timbul.2
Perdarahan uterus adalah suatu gejala yang dijumpai dari ilmu ginekologi
sekitar 70% kunjungan oleh perempuan dengan usia sebelum dan setelah menopause.
Suatu gejala yang biasa, perdarahan pasca menopause terkadang dapat menjadi
indikasi dari suatu penyakit malignan. Penegakan diagnosis cara lama dapat diketahui
dengan melakukan biopsy endometrial, namun penegakan diagnose yang cenderung
kearah penggunaan ultrasound. Perdarahan uterus postmenopause didefinisikan
sebagai perdarahan uterus setelah penghentian permanenmenstruasi akibat hilangnya
aktivitas folikel ovarium. Pendarahan dapatspontan atau berhubungan dengan terapi
penggantian hormon ovarium atau penggunaan selektifmodulator reseptor estrogen
(misalnya, terapi adjuvan tamoxifen untuk kanker payudara).Karena anovulasi
"siklus" dengan episode amenore multi-bulan sering mendahuluimenopause, tidak
ada konsensus mengenai ada interval yang sesuai amenoresebelum episode
perdarahan yang memungkinkan untuk definisi pascamenopause perdarahan.3,4

BAB II
PEMBAHASAN
I.

MENOPAUSE
Menurut arti katanya, menopause berasal dari dua kata dari bahasa Yunani
yaitu men berarti bulan, pause, pausis, paudo berarti periode atau tanda berhenti,
sehingga menopause diartikan sebagai berhentinya secara defenitif menstruasi.
Diagnosa dapat ditegakkan setelah satu tahun amenorrhea. Kata menopause berarti
sebuah fase dimana berakhirnya siklus menstruasi yang diikuti oleh satu tahun
amenorrhea. Post menopause berarti beberapa tahun setelah masa menopause.5,6
Ovarium wanita memiliki jumlah oosit terbesar selama bulan kelima
kehamilan dan memiliki sekitar 1.000.000 2.000.000 oosit saat lahir. Pada saat
masa penuaan, proses atresia mengurangi jumlah oosit, sehingga dimasa menopause
seorang wanita mungkin hanya memiliki beberapa ratus hingga beberapa ribu oosit
saja yang tertinggal. Ovarium tersebut memproduksi tiga hormone penting yaitu
estrogen, progesterone dan androgen.6
Estrogen secara endogen memproduksi Estrone (E1), Estradiol (E2) dan
Estriol (E3). Estradiol (E2) diproduksi oleh folikel ovarium dominan selama siklus
menstruasi bulanan dan merupakan estrogen alami yang paling ampuh. Estrone (E1)
adalah bentuk dominan estrogen selama menopause. Ini diproduksi dalam jumlah
kecil oleh ovarium dan kelenjar adrenal, dan terutama diturunkan oleh konversi
perifer androstenedion dalam jaringan adipose.6

Progesteron diproduksi oleh korpus luteum dan menyebabkan penebalan


endometrium dalam persiapan untuk penempelan ovum yang telah dibuahi.
Progesteron juga menghambat tindakan estrogen pada jaringan tertentu. Pada wanita
yang anovulatori, tidak ada korpus luteum yang terbentuk. Oleh karena itu, estrogen
sering tidak terhalangi. Hal ini dapat mengakibatkan penumpukan pada
endometrium, menyebabkan perdarahan menstruasi yang tidak teratur pada fase
perimenopause.6
Pembentukan korpus luteum mengawali fase sekretori dimana estrogen,
progesteron dan androgen juga dikeluarkan. Estrogen menyebabkan proliferasi
seluler, sedangkan progesteron menyebabkan penebalan dan peningkatan sekresi
pada endometrium. Jika kehamilan tidak terjadi, kadar estrogen dan progesteron
turun bertahap. Penurunan hormon ini memberi tanda bagi penebalan lapisan dalam
rahim untuk dikeluarkan, menyebabkan perdarahan menstruasi dan memberi tanda
bagi ovarium untuk memulai proses kembali lagi dengan mulai menumbuhkan lebih
banyak follikel untuk ovum baru dan siklus baru.6
Ovarium pada saat menopause tidak lagi menghasilkan estradiol (E2) atau
inhibin dan progesteron dalam jumlah yang bermakna, dan estrogen hanya dibentuk
dalam jumlah kecil. Oleh karena itu, FSH (Follicle Strimulating Hormone) dan LH
(Luteinizing Hormone) tidak lagi dihambat oleh mekanisme umpan balik negative
estrogen dan progesteron yang telah menurun dan kemudian sekresi FSH dan LH
menjadi meningkat dan FSH dan LH plasma meningkat ke tingkat yang tinggi.
Fluktuasi FSH dan LH serta berkurangnya kadar estrogen menyebabkan munculnya

tanda dan gejala menopause, antara lain rasa hangat yang menyebar dari badan ke
wajah (hotflashes), gangguan tidur, keringat di malam hari, perubahan urogenital,
osteopenia/kepadatan tulang rendah, dan lain-lain.6
II.

PERDARAHAN PASCA MENOPAUSE


Post-Menopause bleeding (PMB) atau Perdarahan Pasca Menopause
merupakan salah satu dari sekian banyak kasus yang datang ke pelayanan
ginekologi, oleh karena penyebab dasar dari keganasan endometrium. Pada
umumnya, dilakukan Dilatasi dan Kuratase (D & C) di rumah sakit untuk
melakukan identifikasi, namun metode terbaru yang digunakan yaitu biopsy
endometrium , USG Transvaginal dan Histeroskopi.7
Dokter pelayanan primer biasanya paling sering menemukan kasus wanita
dengan perdarahan pasca menopause. Oleh karena itu, sangat penting untuk
mengetahui serta mendiagnosis penyakit ini. Penggunaan Terapi Pengganti Hormone
dapat juga meningkatkan resiko perdarahan pervaginam. Penggunaan Tamoxifen
untuk terapi kanker payudara dapat meningkatkan resiko kanker endometrium.7
A. Definisi
Perdarahan pasca menopause diidentifikasikan sebagai perdarahan yang
terjadi setelah 12 bulan amenorrhea pada wanita usia menopause (diatas 45 tahun).
Perdarahan pasca menopause ini adalah tidak lain dari kelainan patologis terhadap
perdarahan uterus abnormal pada masa usia reproduktif. Meskipun demikian, hal ini

perlu ditekankan bahwa perdarahan pasca menopause ini sebaiknya diinvestigasi


secara lebih lanjut untuk menentukan diagnosis yang tepat. Meskipun USG dapat
mendiagnosis polipendometrium dan leiomyoma, pengambilan sampel endometrium
untuk pemeriksaan histology juga dapat dilakukan untuk menentukan diagnosis.8
B. Etiologi
Penyebab perdarahan perimenopause atau pasca menopause antara lain Atrofi
Endometrium, Polip Endometrium, Terapi Pengganti Hormon, Hiperplasia
Endometrium dan Carcinoma Endometrium. Leiomioma seharusnya tidak termasuk
dalam perdarahan pasca menopause.9
1) Atrofi Endometrium
AtrofiEndometrium merupakan penyebab terbanyak pada wanita dengan
perdarahan pasca menopause, terhitung sekitar 60 80% perdarahan. Wanita
dengan atrofi endometrium biasanya telah mengalami menopause sekitar 10
tahun. Pada hasil biopsy endometrium terdapat insufisiensi jaringan endometrium
atau hanya darah dan mukosa, biasanya terjadi perdarahan pasca biopsy.
Perdarahan pasca menopause biasanya berasal dari penyakit jinak. Cho,dkk
menemukan bahwa sebagian besar kasus ditemukan dari atrofi endometrium.9
2) Polip Endometrium.
PolipEndometrium dipahami sebagai perdarahan abnormal vagina, biasanya
sebagian besar menometrorrhagiaatau pasca menopause. Polip terjadi pada umur
29 59 tahun, dengan mayoritas kasus terjadi setelah usia 50 tahun. Insiden polip
tanpa gejala pada perempuan pasca menopause sekitar 10%. Polip endometrium
biasanya muncul di fundus dan dapat ditandai dengan tangkai tipis (bertangkai)

atau memiliki dasar yang luas (sessile). Kadang-kadang, terjadi prolaps polip
melalui leher rahim. Jelas sekali, polip endometrium seperti beludru halus,
berwarna merah kecoklatan, massa bulat seperti telur dalam ukuran beberapa
millimeter sampai sentimeter. Secara histology, polip endometrium memiliki
corestroma ditandai dengan saluran pembuluh darah dan permukaan mukosa
endometrium yang dapat mencakup komponen kelenjar. Polip distal dapat
menunjukkan perdarahan stroma, inflamasi sel, ulserasi dan pembesaran
pembuluh darah. Kadang-kadang, terdapat lebih dari satu polip. Jenis yang jarang
terjadi adalah adenomiomapedunkulata.8
Diferensial diagnosis meliputi mioma submukosa, sisa hasil konsepsi, kanker
endometrium dan campuran sarcoma. Polip sensitive terhadap paparan estrogen
dan dapat mengalami keganasan, dalam hal ini, prognosis mungkin lebih baik
dibandingkan dengan kanker non-polyp endometrium. Tercatat sekitar 2 12%
dari kasus perdarahan pasca menopause. Polip biasanya terdiagnosa dengan
biopsy endometrium atau kuretase. Histeroscopy dan USG Transvaginal juga
dapat berguna untuk mendiagnosis polip endometrium. Diagnosis dibuat dengan
histeroskopi, dan pengobatan dengan eksisi. Hal ini dapat ditemukan dengan
mudah oleh histeroskopi diikuti dengan kuretase tangkai.8,9
3) Terapi Pengganti Hormon/Hormon Replacement Therapy (HRT)
Setelah menopause, ovarium tidak memproduksi lagi estrogen dikarenakan
habisnya folikel ovum. Sumber estrogen pada wanita pasca menopause itu
didapatkan dari konversi peripheral dari androgen. Sedang dengan berkurangnya
estrogen terjadilah hipoestrogenik yang menyebabkan peningkatan resiko

terjadinya osteoporosis, ketidakstabilan vasomotor,

atrofi genital, penyakit

kardiovaskular dan perubahan mood, dan bisanya untuk mengatasi itu


diberikanlah hormon pengganti estrogen yang salah satu efek sampingnya adalah
perdarahan pervaginam bahkan setelah terjadinya menopause.10
Terapi pengganti hormon juga merupakan salah satu faktor resiko hyperplasia
endometrium dan kanker. Resiko kanker endometrium adalah sekitar 4 8 kali
lebih besar pada wanita pasca menopause yang menerima terapi estrogen dan
meningkat seiring dengan lama dan jumlah dosis estrogen. Resiko dapat
dikurangi dengan penambahan progestin pada estrogen. Biopsi endometrium
dapat dilakukan untuk mendiagnosis.9
4) Hiperplasia Endometrium
Hiperplasiaendometrium merupakan lesi yang sangat penting karena
kemungkinan memiliki keterkaitan dengan kanker endometrium.

Tabel 1. Klasifikasi dari Hiperplasia endometrium dan


hubungannya dengan Carcinima Endometrium.
Dikutip dari kepustakaan 8

Pada pasien yang lebih tua, kadang kurang dapat dibedakan kanker
endometrum yang ternyata dapat berkembang tanpa tanda intervensi, tetapi pada
sebagian

besar

kanker

endometrium

ada

fase

premalignant

dari

hyperplasiaendometrium.HiperplasiaEndometrium terjadi pada 5 10% wanita


dengan perdarahan pasca menopause.8,9

Gambar 1. Efek endometrial pada wanita premenopause:


(a) Siklus normal; (b) Efek Estrogen yang tidak berhenti.
Dikutip dari kepustakaan 5
Terapi untuk hyperplasiaendometrium secara langsung terkait dengan derajat
hyperplasia,

usia

pasien

dan

keinginannya

dalam

reproduksi.

HyperplasiaAdenomatosa tipe sedang dan berat pada wanita yang melewati usia
reproduksi atau yang sudah tidak menginginkan anak pada umumnya
memerlukan histerektomi. Jika tetap ingin untuk mempertahankan uterus, dan
hati-hati terhadap D & C atau histeroskopi dengan biopsy terarah telah
dilakukan, terapi dapat dilakukan dengan Magestrol asetat (40 320 mg/hari)
selama beberapa bulan untuk benar-benar menekan endometrium. Pengobatan
endometrium secara menyeluruh dilakukan sampai enam bulan untuk
memastikan

keberhasilan

terapi.

Terlepas

dari

tingkat

keparahan

hyperplasiaadenomatosa, jika perdarahan abnormal berulang meskipun terapi


yang tepat, maka endometrium harus segera diperiksa jaringannya.8
Terapi untuk hyperplasiaadenomatosa tipe ringan terdiri dari D & C dan
mungkin progestin kurang kuat (misalnya, medroxyprogesterone asetat 10 mg
PO setiap hari selama 2 minggu sampai satu bulan). Endometrium harus di
sampel

lagi

dalam

12

bulan,

untuk

menilai

kelanjutan

tipe

hyperplasiaadenomatosa pada seorang wanita yang tidak menginginkan


reproduksi, maka histerektomi dibenarkan. Untuk hyperplasiaadenomatosa, D &
C menyeluruh mungkin merupakan terapi adekuat jika progestin atau induksi
ovulasi telah diberikan. Hal ini dilakukan hanya pada wanita yang menginginkan
reproduksi. Sampel endometrium harus diperiksa dalam 1 tahun untuk
memastikan bahwa hyperplasiaendometrium telah menurun.8
5) Ca Endometrium
Terdapat sekitar 10% wanita dengan perdarahan pasca menopause mengalami
kanker endometrium. Meskipun etiologinya masih belum diketahui dengan pasti,
tapi pemberian estrogen merupakan salah satu faktor utama yang terkait. Selain
itu, kejadian Caendometrium secara langsung berkaitan dengan peningkatan
estrogen (endogen dan eksogen) dan durasi dari stimulasi ini. Wanita
perimenopause dengan CaEndometrium biasanya mengalami perdarahan uterus
yang abnormal. Biasanya mengalami Menometrorrhagia (perdarahan siklus haid
yang tidak teratur dalam jumlah yang lebih dari normal) atau Oligomenorrhea
atau perdarahan yang teratur dan berkelanjutan setelah masa menopause. Faktor
resiko lain yang diketahui termasuk obesitas.8,9

Caendometrium dapat menyebar dari berbagai cara, antara lain permukaan


dalam endometrium sebagai tempat pertumbuhan (misalnya, ke dalam saluran
leher rahim), ke dalam myometriummenuju ke peritoneum dan parametrium,
melalui tuba uteri ke ovarium, ke uterus dan serviks, ke arteri dan vena di uterus,
atau ke daerah panggul. Invasi myometrium dan metastasis terjadi relative
lambat.8
Di sisi lain, terdapat 90% wanita dengan ca endometrium akan
bermanifestasi sebagai perdarahan pervaginam. Resiko keganasan bergantung
pada episode perdarahan meningkat sesuai usia hanya 1% wanita pada usia 50
tahun daripada 25% wanita dengan usia 80 tahun akan mengalami penyakit
tersebut.2
Penyebab lain dapat didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Meskipun 10 15% dari pasien, tidak ada
penyebab yang mendasarinya. Oleh karena itu, sangat penting untuk
memeriksakan darah dan urine. Khususnya apabila sumber perdarahan tidak
diketahui. Biasanya, Hematuria dan perdarahan rectum dapat bermanifestasi
sebagai suspek perdarahan pasca menopause.2
Gejala klinis dapat berupa perdarahan yang jarang, kadang disertai tidak
rasa sakit, kecuali infeksi intrauteri atau obstruksi serviks, Keputihan berlebih,
berbau busuk yang dapat terjadi sesekali.8

Pada kasus dini, tidak ada tanda-tanda kelainan yang ditemukan dari
pemeriksaan fisik, tetapi sebagai perlangsungan dari sebuah kanker, uterus
biasanya menjadi lebih besar, lebih bulat, dan tidak terlalu lunak. Serviks dapat
terasa lembut. Pada perempuan pasca menopause dengan usia yang lebih tua,
jaringan parut serviks atau stenosis dapat menghambat perdarahan eksternal, dan
mungkin pasien hanya akan mengalami kram perut.8
Pemeriksaan sitologi apusan serviks dan vagina harus selalu dilakukan pada
kasus ini, terutama untuk menyingkirkan neoplasiaserviks atau vagina. Sitologi
vagina mengungkapkan sel-sel karsinoma endometrium hanya sekitar 50% kasus.
Memang, teknik sitologi intrauteri kurang efektif dibandingkan pengambilan
sampel jaringan endometrium (90%) untuk diagnosis. Setiap kasus yang
dicurigai Caendometrium harus memiliki evaluasi endoserviks bahkan sebelum
pemberian terapi. Oleh karena itu, tindakana kuretase pada endoserviks
merupakan hal yang penting untuk mendapatkan sampel jaringan endometrium.8

C. Faktor Resiko
a) Usia

Faktor usia merupakan faktor terpenting pada terjadinya perdarahan


pervaginam yang disebabkan oleh Ca Endometrium menurut Scottish Cancer.
(Tabel 2)7
Tabel 2. Persentase terjadinya Ca Endometrium menurut Scottish Cancer
Dikutip dari kepustakaan 7
Angka Kejadian per 100.000

Kelompok Usia (Tahun)

pasien
0,4 %
6,36 %
8,68 %
8,22 %
7,28 %

< 50
50 59
60 69
70 79
> 80

b) Terapi Pengganti Hormon


Penggunaan

regimen

Terapi

Pengganti

Hormon

yang

lama

dapat

meningkatkan level estrogen yang akan meningkatkan resiko ca endometrium


yang digunakan selama 5 6 tahun. Penambahan progesterone diberikan pada
terapi pengganti hormone untuk mengurangi resiko hyperplasia endometrium dan
kanker. Penggunaan progesterone selama 10 12 hari atau dapat dikombinasikan
secara

bersamaan.

Insiden

kelainan

endometrium

pada

wanita

yang

menggunakan terapi pengganti hormone sangat tinggi di masyarakat umum jika


dibandingkan dengan penelitian karena penelitian terakhir menunjukkan bahwa
perdarahan dengan HRT sangat sedikit jika dibandingkan dengan wanita yang
Non-HRT. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kelainan jinak,seperti polip.7

c) Tamoxifen
Perempuan yang menerima Tamoxifen dalam pengobatan atau pencegahan
dari kanker payudara akan beresiko tiga sampai enam kali lipat lebih besar
mengalami kanker endometrium. Peningkatan kejadian terjadi pada perempuan
yang menerima terapi saat ini. Resiko dari peningkatan kanker endometrium
terjadi dengan dosis tinggi dan durasi yang lama pada penggunaan tamoxifen
secara bersama-sama. Pengobatan melebihi dari lima tahun akan meningkatkan
resiko paling sedikit empat kali lipat.7
Selain itu, terdapat bukti dari satu kasus penyakit mengenai kejadian kanker
endometrium dalam penggunaan tamoxifen jangka panjang yang memiliki
prognosis lebih buruk (seharusnya histology lebih sedikit baik dan tingkat
tertinggi) pada kanker-kanker yang terjadi pada perempuan. Disini terdapat
beberapa perdebatan tentang bagaimana lekat perempuan dengan tamoxifen
dimana seharusnya dapat dimonitor untuk perkembangan dari kanker
endometrium, termasuk saran-saran yang dapat membantu penyelidikan berkala
selanjutnya dalam pembahasan dari PMB.7

D. Diagnosis
Dalam situasi klinik, untuk menegakkan diagnosis Perdarahan Pasca
Menopause dibutuhkan beberapa tahapan seperti:2

1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang, seperti : Pemeriksaan sitology servix, USG,
Saline infusion sonography, Outpatient Histeroskopi, Biopsi endometrium
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting untuk mengetahui secara rinci durasi dan derajat
perdarahan dan apakah berkaitan dengan trauma. Riwayat pemberian hormon
sebaiknya dipertimbangkan, sekalipun dengan penambahan topical estrogen.
Beberapa sediaan, seperti krim estrogen konjugasi vagina diketahui dapat memicu
proliferasi endometrium. Insiden Ca endometrium ditemukan meningkat pada
penggunaan tamoxifen pada penderita kanker payudara. Faktor resiko Ca
endometrium meningkat seiring dengan dosis penggunaan tamoxifen. Terapi diatas
selama lima tahun baru meningkatkan resiko.2
Gejala yang berhubungan seperti nyeri, demam atau perubahan fungsi dari
bladder atau bowel sangat penting dan kemungkinan ada proses infeksi seperti
pyometra. Perdarahan kemungkinan berasal dari bowel atau bladder, oragan
tersebut dapat menunjukkan proses keganasan ginekologi.2
Informasi yang jelas tentang faktor resiko keganasan traktus genital sebaiknya
di deteksi. Termasuk riwayat paps smear dan apakah hasil sebelumnya adalah
sitology serviks yang abnormal. Keberadaan DM, Obesitas dan Tamoxifen
sebaiknya dicatat. Obesitas meningkatkan Ca Endometrium karena wanita yang
overweight dapat meningkatkan konfersi steroid ke estrone pada cadangan lemak
dan mengurangi hormon sex yang mengikat globulin. Diabetes juga beresiko

meningkatkan Ca Endometrium dan berkaitan dengan mediasi elevasi level


estrogen pada wanita DM, hiperinsulinemia, dan insulin seperti growth faktor.2
Riwayat keluarga juga sangat penting seperti riwayat kolorektal, endometrial,
atau kanker lainnya yang berhubungan dengan kanker herediter non-polip. Pada
akhirnya, riwayat pengobatan sebelumnya dan riwayat operasi pada gangguan
perdarahan atau antikoagulan sebaiknya ditanyakan.2
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keseluruhan abdomen dan pemeriksaan panggul, termasuk
pemeriksaan speculum sangat penting. Apabila penyebab perdarahan pasca
menopause adalah kelainan intrauterine, pemeriksaan fisik dapat menunjukkan
adanya kelainan tersebut.2
Pemeriksaan bimanual sangat penting untuk melihat apakah ada pembesaran
dari uterus dan untuk mengetahui posisi dan mobilitas uterus. Atrofi vagina dapat
terlihat dari inspeksi langsung. Kulit vagina terlihat tipis, kemerahan dan inflamasi
pada titik keluarnya darah.2
Pemeriksaan Paps smear sebenarnya tidak diperlukan akan tetapi merupakan
program skrining nasional. Pemeriksaan ini bukan untuk mendiagnosis akan tetapi
untuk mengidentifikasi neoplasia serviks yang tidak diketahui. Apabila hal tersebut
dicurigai, maka pemeriksaan kolposkopi sebaiknya dilakukan. Jika terdapat lesi
cervical neoplasia sebaiknya segera dirujuk ke ginekologi onkologi, yang dapat
melakukan biopsy dan pemeriksaan MRI serta terapi kanker.2

3. Pemeriksaan Penunjang
Transvaginal Ultrasound (TVUS)
Transvaginal Ultrasound (TVUS) merupakan prosedur non invasive diagnosis
tes yang dapat membantu mengidentifikasi pada wanita yang tidak dilakukan
histereskopi dan biopsy endometrium. Transvaginal Ultrasound dibandingkan
dengan USG Abdominal TVUS memiliki resolusi yang baik untuk mendeteksi
adanya Ca endometrium dan menampilkan visualisasi struktur rongga pelvis yang
baik.10
Endometrium yang tipis secara umum masih normal. Dimana area tersebut
kemungkinan menimbulkan sebuah polip endometrium, hyperplasia atau Ca
endometrium. Ketebalan endometrium pada wanita dengan Ca endometrium lebih
tebal 3 4 kali dibandingkan wanita normal.10
Pada penelitian, terdapat sebanyak 1168 wanita dengan perdarahan pasca
menopause, dengan rata-rata ketebalan endometrium disertai endometrial atrofi
ialah 3,99 mm (2,5 mm) dimana untuk Ca endometrium adalah berkisar 21,1 mm.
Jika ketebalan endometrium kurang dari 3 mm, maka diagnosis kanker dapat
disingkirkan, meskipun ditemukan 0,8% wanita dengan perdarahan pasca
menopause dengan ketebalan kurang dari 4 cm terdiagnosis kanker.10
TVUS memiliki kesamaan sensitivitas dengan biopsy endometrium, dan dapat
digunakan ketika biopsy endometrium tidak valid, tidak dapat terdiagnosis atau
tidak berhasil. TVUS dapat menjelaskan dengan jelas ketebalan dan morfologi

endometrium dan dapat juga mengidentifikasi kelompok wanita dengan perdarahan


pasca menopause yang memiliki endometrium yang tipis.7,10
Infus Saline Sonography
Jika

dicurigai

sonohysterography

sebuah

dapat

polip,

membantu

prosedur
untuk

ini

disebut

menjelaskannya.

juga

dengan

Dengan

cara

memasukkan larutan saline murni sebanyak 5 10 cc kedalam uterus melalui


kateter yang dimasukkan ke dalam rongga uterus, yang diikuti oleh TVUS. Hal ini
meningkatkan sensitivitas dari ultrasound untuk menampakkan lesi endometrium
seperti polip submukosa yang fibroid. Hasil dari TVUS dan infus saline sonography
merupakan kolaborasi terbaik. Oleh karena itu, biopsy, TVUS dan hysteroscopy
merupakan pilihan diagnostik.10

Histeroskopi
Prosedur dilatasi dan kuretase serviks saat ini telah berganti dengan
histeroskopi. Hal ini tersedia dan aman serta baik untuk digunakan sebagai prosedur
diagnostik untuk investigasi kelainan pada endometrium dan endoserviks pada
pasien dengan perdarahan pasca menopause.

Pemeriksaan pelvik merupakan langkah awal pemeriksaan fisik pada kanker


endometrium. Pada pemeriksaan pelvik, dokter memeriksa sepanjang kandungan
apakah terdapat lesi, benjolan, atau mengetahui daerah mana yang terasa sakit jika
diraba. Untuk daerah kandungan bagian atas dokter menggunakan alat spekulum.
Teknik pemeriksaan ini sebenarnya harus rutin dilakukan oleh wanita untuk
mengetahui kondisi vaginanya.
Biopsy endometrial diperlukan untuk menegakkan diagnosis kanker
endometrium. Pada pemeriksaan biopsy, akan diambil sebagian kecil dari lapisan
uterus (endometrium) kemudian dilihat sediaan tersebut di mikroskop. Karena
kanker endometrium dimulai di dalam uterus, kelainannya tidak selalu dapat
dideteksi dengan pap smear. Karena itu, sampel dari jaringan endometrium harus
diambil dan dilihat dengan mikroskop untuk dideteksi apakah terdapat sel kanker
atau tidak.

E. Penatalaksanaan
1. Atrofi Endometrium
Terapi estrogen sistemik efektif untuk menghilangkan kekeringan vagina,
dispareunia, dan kelainan saluran kemih. Bagi wanita yang tidak seharusnya atau
memilih untuk tidak menggunakan terapi estrogen, pilihan lain adalah krim topikal.
Karena penyerapan sistemik yang rendah, stimulasi endometrium minimal; sehingga
terapi estrogen vagina mungkin cocok bahkan untuk wanita dengan gejala kanker
payudara. Dosis rendah krim estrogen (Premarin, Estrace) (0,5 g) efektif bila
digunakan hanya 1 sampai 3 kali seminggu. Sebuah tablet estradiol pervaginam
(Vagifem) (25 g) dimasukkan dua kali seminggu, yang mungkin lebih mudah
digunakan daripada krim estrogen. Cincin vagina yang mengandung estrogen
(Estring) (7,5 g/hari), yang ditempatkan di dalam vagina setiap 3 bulan dan
perlahan-lahan melepaskan dosis rendah estradiol, juga tersedia.9
Penelitian dari tablet estrogen pervaginam dan cincin vagina telah
dikonfirmasi aman pada endometrium pada 1 tahun, tetapi pada efek jangka panjang
dari terapi estrogen dosis rendah pada endometrium tidak pernah diadakan penelitian.
Wanita yang ingin menggunakan terapi estrogen pervaginam harus diminta untuk
melaporkan setiap perdarahan vagina, dan perdarahan ini harus dievaluasi secara
menyeluruh. Biasanya, terapi progestin sistemik tidak diresepkan untuk wanita yang
menggunakan dosis rendah estrogen vagina. Dengan tidak adanya bukti-bukti yang

mendukung, itu tidak masuk akal untuk merekomendasikan penggunaan progestin


selama 12 sampai 14 hari, setiap 6 sampai 12 bulan, pada wanita yang pengguna
jangka panjang estrogen pervaginam, terutama perempuan dengan kelebihan berat
badan atau orang lain pada peningkatan risiko untuk hiperplasia endometrium.
Pelumas (misalnya, Replens, KY Jelly) merupakan alternatif non-hormon untuk
mengurangi ketidaknyamanan dengan hubungan seksual di hadapan atrofi urogenital.9
Terapi estrogen pervaginam muncul untuk mengurangi efek gejala saluran
kemih, seperti frekuensi dan urgensi, dan telah terbukti mengurangi kemungkinan
infeksi saluran kemih berulang pada wanita pascamenopause. Efek terapi estrogen
pada inkontinensia urin tidak jelas. Sedangkan beberapa studi menunjukkan hasil
peningkatan inkontinensia dengan terapi estrogen, yang lain menunjukkan
memburuknya gejala.9
2. Polip Endometrium
Pada wanita yang memiliki gejala, penatalaksanaa normalnya bisa dilakukan di
bawah pengaruh general anastesi. Bagaimanapun, hal ini bisa dilakukanpada pasien
rawat jalan salah satunya dengan mengangkat langsung polip yang terlihat, atau
pengobatan dengan menggunakan instrument diathermy khusus. Salah satu yang
memungkinkan adalah memisahkan polip dari dasarnya dan kemudian mengangkat
seluruh lesi secara utuh. Alternatifnya, lesi yang terlihat jelas dapat dipotong-potong
dalam potongan kecil dan diangkat secara langsung.Polip yang tak teridentifikasi
dapat juga bermanifestasi sebagai perdarahan berkelanjutan atau berulang, sehingga
perlu dilakukan histerektomi.5,9

3. Terapi Pengganti Hormon


Tidak ada terapi khusus untuk terapi pengganti hormon, tapi ada hormon
pengganti dengan nama Raloxifene yang memiliki modul reseptor estrogen selektif
dimana memiliki efek sebagai estrogen-agonist pada tulang dan kolesterol, tetapi
estrogen-antagonist pada payudara dan endomentrium.
4. Hyperplasia Endometrium
Terapi untuk hyperplasia endometrium sebaiknya diterapi berdasarkan hasil
kriteria histology, faktor predisposisi, umur pasien. Disisi lain, tergantung dari
prognosisnya, beberapa tipe hyperplasia endometrium biasanya berespon dengan
pemberian terapi progestogen. Ferensy dan Gelfand melaporkan bahwa hasil dari
wanita dengan hyperplasia endometrium berespon 85% dengan terapi progestogen
(medroxyprogesteron 10 20 mg per hari atau megestrol acetate 20 40 mg selama 2
minggu). Pada pasien dengan hyperplasia atipikal di diagnosis dengan specimen
biopsy endometrium dan D & C. Hal ini telah disarankan bahwa apabila pada epitel
terdapat stroma pada specimen kuretase, meskipun diagnosisnya hyperplasia
endometrium, tetap ada kemungkinan untuk berubah menjadi karsinoma.11

5. Karsinoma Endometrium
Terapi utama pada karsinoma endometrium adalah pembedahan. Termasuk
mengangkat bagian uterus, serviks dan struktur Adneksa. Jika uterus telah diangkat,

harus dilakukan pemeriksaan patologi anatomi. Pada pasien yang tidak


memungkinkan untuk dilakukan laparotomy, maka vaginal histerektomi atau
laparoskopi dapat dilakukan. Pilihan terapi untuk karsinoma endometrium adalah
kemoterapi. Pada bebrapi kasus, manajemen Ca endometrium dengan metastasis
adalah progestin dosis tinggi atau kemoterapi merupakan terapi paliatif, dengan
harapan kecil untuk mengontrol penyakit dalam jangka panjang. Bahan kemoterapi
yang biasanya digunakan adalah Doxorubicin hydrochloride (Adriamycin) dan
Cisplatin (Platinol) atau Carboplatin (Paraplatin).11
Pada beberapa tahun ini, telah ditemukan bahwa karsinoma endometrium
dapat diterapi, meskipun dengan kontra indikasi terapi pengganti estrogen, seperti
adenocarcinoma pada endometrium bisa disebabkan oleh estrogen dependent
neoplasma.

Estrogen

dapat

memicu

proliferasi

endometrium

yang

akan

mengakibatkan hyperplasia endometrium pada wanita menopause yang mendapat


terapi pengganti hormone.11

DAFTAR PUSTAKA
1. Ghani, Lanaiwaty. 2009. Seluk Beluk Menopause. Pengembangan Kesehatan
Vol.XIX. Jakarta.

2. Munot, Sarika. 2008. Modern management of postmenopausal bleeding. Trends


in Urology Gynaecology & Sexual Health. www.tughs.com
3. Appleton,Kellie. Kupesic,Sanja Plavsic.Role of Ultrasound in the Assessment of
Postmenopausal Bleeding. Donald School Journal of Ultrasound in Obstetrics
and Gynecology.2012
4. G Munro,Makolm. Investigation of Woman with Postmenopausal Uterine
Bleeding: Clinical Practice Recommendations. California. 2014
5. Edmonds, D.Keith. Dewhurst,s Textbook of Obstetrics & Gynaecology. Chapter
47 : Menopause and Postmenopausal Woman. USA Blackwell Publishing. 2001
6. Cunningham,FG. Williams Gynaecology. Menopausal Transition. Newyork:
McGrawHillPublisher. 2014
7. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Investigation of Post Menopausal
Bledding. 2002
8. Pernoll,ML. Benson & Pernolls handbook of OBSTETRICS & GYNAECOLOGY
Disease of The Uterus. Newyork : McGrawHill.
9. Lurain,JR. Berek & Novaks Gynaecology. USA : Lippincott; 2007.
10. Norwitz,Errol. Obstetrics and Gynaecology at a Glance Abnormal Vaginal
Bleeding. USA: Wiley-Blackwell. 2002.
11. G.Mutch,David. Danforths Textbook of Obstetrics & Gynaecology Uterine
Cancer. USA: Blackwell Publishing. 2001.

Anda mungkin juga menyukai