Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN
Undesensus testis atau Kriptorkismus adalah gangguan perkembangan yang
ditandai dengan gagalnya penurunan salah satu atau kedua testis secara komplit ke
dalam skrotum. Sekitar 3-5% bayi baru lahir yang cukup bulan mengalami
undesensus testis. Insiden meningkat pada bayi yang lahir prematur dan bayi berat
lahir rendah. Prevalensi menurun menjadi 0,8 % pada umur 1 tahun dan bertahan
pada kisaran angka tersebut pada usia dewasa.1,2
Beberapa faktor penyebabnya antara lain kelainan gubernakulum, kelainan
intrinsik testis, kelainan endokrin, atau kelainan bawaan lainnya. Diagnosis dan terapi
dini diperlukan pada kasus ini mengingat terjadinya peningkatan risiko infertilitas,
keganasan, torsio testis, jejas testis pada trauma pubis, dan stigma psikologis akibat
skrotum yang 'kosong'. Esensi terapi rasional yang dianut saat ini adalah memperkecil
terjadinya risiko komplikasi tersebut dengan melakukan reposisi testis kedalam
skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara
pembedahan (orchidopexy) dan detorsi testis bila terjadi komplikasi torsio testis.3,4,5

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1.

ANATOMI DAN FISIOLOGI


Testis adalah organ genitalia pria yang terletak di dalam rongga skrotum.

Testis berbentuk ovoid, berat 10-14 gram. Ukuran testis orang dewasa rata-rata 4 x 3

x 2,5 cm dengan volume 15-25 ml. Testis mempunyai kapsula yang terdiri atas tiga
lembar lapisan, dari superficial ke profunda, yakni:6 , 7 , 8 , 9
1. Tunica vaginalis, merupakan bagian dari peritoneum, terdiri dari lamina
parietalis dan lamina visceralis. di bagian dorsal dari testis terjadi peralihan dari
lamina parietalis menjadi lamina visceralis.
2. Tunica albuginea, dibentuk oleh jaringan ikat, berwarna putih. Dibungkus oleh
tunica vaginalis, kecuali permukaan testis yang ditempati oleh epididymis. Di
bagian dorsal tunica albuginea menebal, membentuk mediastinum testis (Corpus
Higmori).
3. Tunica vasculosa, dibentuk oleh anyaman pembuluh darah dan jaringan ikat,
berada pada fascies profunda dari tunica albuginea dan mengikuti permukaan
septula testis.
Dari mediastinum testis terdapat beberapa septula testis kearah tunica
albuginea, membatasi testis dalam 250 buah rongga-rongga kecil (tubuli testis). Di
dalam setiap rongga terdapat dua buah tubuli seminiferi contorti, di mediastinum
tubuli tadi saling berhubungan dan berbentuk lurus disebut tubulus seminiferi recti.
Di dalam mediastinum testis, tubuli seminiferi recti mengadakan anastomose
membentuk rete testis. Dari rete testis terdapat 6-12 buah ductuli efferente testis yang
mengadakan hubungan dengan epididimis. 7,8,9

Gambar 1. Testis dan Epididymis (Dikutip dari kepustakaan 9)

Gambar2. A: Bagian-bagian testis. B: Vaskularisasi Testis.


(Dikutip dari kepustakaan 9)
Arteri utama yang memperdarahi testis adalah arteri testikularis yang
merupakan cabang dari aorta, keluar dari aorta di bawah arteri renalis. Terdapat dua
sumber darah lain yang memperdarahi testis, arteri vas deferens (arteri diferensial)
yang merupakan percabangan dari arteri vesikalis inferior dan arteri cremaster, yang
merupakan cabang dari arteri epigastrik profunda. Pembuluh-pembuluh vena berjalan
ke posterior menuju ke margo posterior, menembus tunica albuginea dan bergabung
dengan pleksus pampiniformis, menjadi vena testiskularis di dekat anulus inguinalis
internus. Vena testikularis dextra bermuara ke dalam vena cava inferior, dan vena
testikularis sinistra bermuara ke dalam vena renalis sinistra.7,8,9
Testis mempunyai dua fungsi dasar, memproduksi spermatozoa dan sekresi
hormone testosteron yang penting untuk fungsi reproduksi. Sekitar 80% massa testis
terdiri dari tubulus seminiferosa yang berkelak-kelok yang di dalamnya berlangsung
spermatogenesis. Spermatogenesis terjadi akibat dari rangsangan oleh hormone
gonadotropin hipofise anterior,
sepanjang hidup.

dimulai rata-rata pada usia 13 tahun dan berlanjut

Sel-sel endokrin yang mengeluarkan testosteron adalah sel-sel

interstitial (sel leydig), terletak di jaringan ikat (jaringan interstisiurn) antara tubulustubulus serninoferosa. Testosteron adalah suatu hormone steroid yang berasai dari
molekul prekursor kolesterol. Sel-sel leydig mengandung enzim-enzim dengan
konsentrasi yang tinggi yang diperlukan untuk mengarahkan kolesterol mengikuti

jalur yang menghasilkan testosteron. Setelah dihasilkan sebagian testosteron


disekresikan ke dalam darah dan terutama terikat dengan protein plasma. 8
EMBRIOLOGI DAN PENURUNAN TESTIS
Pada minggu ke-6 umur kehamilan primordial germ cells mengalami migrasi
dari yolk sac ke-genital ridge. Dengan adanya gen SRY (sex determining region Y),
maka akan berkembang menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yg berisi prekursor
sel-sel Sertoli besar (yang kelak menjadi tubulus seminiferous dan sel-sel Leydig
kecil) dengan stimulasi FSH yang dihasilkan pituitary mulai aktif berfungsi sejak
minggu ke-8 kehamilan dengan mengeluarkan MIF (Mullerian Inhibiting Factor),
yang menyebabkan involusi ipsilateral dari duktus mullerian. MIF juga
meningkatkan reseptor androgen pada membran sel Leydig. Pada minggu ke-10-11
kehamilan, akibat stimulasi chorionic gonadotropin yang dihasilkan plasenta dan LH
dari pituitary sel-sel Leydig akan mensekresi testosteron yang sangat esensial bagi
diferensiasi duktus Wolfian menjadi epididimys, vas deferens, dan vesika
seminalis.11,12
Penurunan

testis

dimulai

pada

sekitar

minggu

ke-10.

Walaupun

mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa terdapat
beberapa faktor yang berperan penting. yakni: faktor endokrin, mekanik (anatomik),
dan neural. Terjadi dalam 2 fase yang dimulai sekitar minggu ke-10 kehamilan segera
setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase transabdominal dan fase inguinoscrotal.
Keduanya terjadi dibawah kontrol hormonal yang berbeda. 7,11
Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan, di mana
testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal ini terjadi
karena adanya rcgresi ligamentum suspensorium cranialis dibawah pengaruh
androgen (testosteron), disertai pemendekan

gubernaculum

(ligamen yang

melekatkan bagian inferior testis ke-segmen bawah skrotum) di bawah pengaruh MIF.
Dengan perkembangan yang cepat dari regio abdominopelvic maka testis akan
terbawa turun ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3 kehamilan terbentuk
processus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke-arah skrotum. Selanjutnya
fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7 kehamilan. 6,11,12

Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai
dengan minggu ke-35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari regio inguinal kedalam skrotum dibawah pengaruh hormon androgen. Mekanismenya belum diketahui
secara pasti, namun diduga melalui mediasi pengeluaran calcitonin gene-related
peptide (CGRP). Androgen akan merangsang nervus genitofemoral untuk
mengeluarkan CGRP yang menyebabkan kontraksi ritmis dari gubernaculum.Faktor
mekanik yang turut berperan pada fase ini adalah tekanan abdominal yang meningkat
yang menyebabkan keluarnya testis dari cavum abdomen, di samping itu tekanan
abdomen akan menyebabkan terbentuknya ujung dari processus vaginalis melalui
canalis inguinalis menuju skrotum. Proses penurunan testis ini masih bisa
berlangsung sampai bayi usia 9-12 bulan. 6,7,11

A
B
Gambar 3. A: Skema penurunan testis menurut Hutson. Antara minggu ke- 8-15
gubernaculum (G) berkembang pada laki-laki, mendekatkan testis (T) ke-inguinal.
Ligamentum

suspensorium

cranialis

(CSL)

mengalami

regresi.

Migrasi

gubernaculum ke-skrotum terjadi pada minggu ke-28-35. B: Peranan gubernaculum

dan CSL pada diferensiasi seksual rodent. Pada jantan CSL mengalami regresi dan
gubernaculum mengalami perkembangan; sebaiiknya pada betina CSL menetap, dan
gubernaculum menipis dan memanjang. (Dikutip dari kepustakaan 7)
2.2.

EPIDEMIOLOGI
Dari laporan Scorer yang telah banyak dikutip penulis lain, telah diketahui

bahwa insiden undesensus testis pada bayi sangat dipengaruhi oleh umur kehamilan
bayi dan tingkat kematangan atau umur bayi. Pada bayi prematur sekitar 30,3% dan
sekitar 3,4% pada bayi cukup bulan. Bayi dengan berat lahir < 900 gram seluruhnya
mengalami undesensus testis, sedangkan dengan berat lahir < 1800 gram sekitar 68,5
% undesensus testis. Dengan bertambahnya umur menjadi 1 tahun, insidennya
menurun menjadi 0,8 %, angka ini hampir sama dengan populasi dewasa. 2,6,13
Laporan serupa yang lain menyebutkan dari 7500 bayi baru lahir di Inggris,
terdapat 5,0 % kasus ini pada saat lahir, dan menurun menjadi 1,7% pada umur 3
bulan. Setelah umur 3 bulan, bayi-bayi yang lahir dengan berat <2000 gram, 2000 2499 gram, dan >_2500 gram, insiden kasus ini berturut-turut menjadi 7,7%, 2,5%,
dan 1,41%.2,5

2.3.

ETIOLOGI
Segala

bentuk

gangguan

pada

proses

penurunan

testis

berpotensi

menimbulkan undesensus testis. Beberapa teori telah menjelaskan penyebab antara


lain kelainan gubernakulum, kelainan intrinsik testis, kelainan endokrin, atau kelainan
bawaan lainnya. Beberapa faktor penyebab tesebut antara lain : 3,4,5,14
A

C
D

Androgen deficiency/blockade
Pituitary/placental gonadotropin deficiency
Gonadal dysgenesis
Androgen synthesis defect (rare)
Androgen receptor defect (rare)
Mechanical anomalies
Prune belly syndrome (bladder block inguinal canal)
Posterior urethral valves (bladder block inguinal canal)
Abdominal wall defects (low abdominal pressure/gubernacular rupture)
Chromosomal/malformation syndrome (Connective tissue defect

block

migration)
Neurogical anomalies
Myelomeningocele (GNF dysplasia)
GFN/CGRP anomalies
Aquired anomalies
Cerebral palsy (cremaster spasticity)
Ascending/retractile testes (Fibrous remnant of processus vaginalis)
Kriptorchidism akan disebabkan oleh anomali apa saja yang mengganggu

penurunan testis normal. Mekanisme penurunan testis normal merupakan suatu


interaksi kompleks antara factor-faktor hormonal dan mekanis atau anatomis
sehingga penyebab undesensus testis merupakan multifaktorial. Meskipun penyebab
umum undesensus testis tidak diketahui, fase transabdominal jarang terkena, seperti
pada kebanyakan kasus testis telah turun atau melewati kanalis inguinalis.
Sebaliknya, migrasi aktif dari gubernakulum selama fase inguinoskrotal lebih rentan
terhadap gangguan. Undesensus testis umumnya terletak dekat leher skrotum atau di
luar cincin inguinal eksternal.14

Defek sekresi androgen prenatal dipercaya merupakan penyebab paling umum


undesensus testis, baik yang disebabkan oleh defisiensi stimulasi gonadotropin
pituitary atau produksi gonadotropin plasenta yang rendah. Dari hasil penelitian
mengusulkan bahwa defisiensi androgen dapat merupakan manifestasi dari fisiologi
abnormal GFN, yang mana mengganggu migrasi gubernakulum. Terlihat pada bayi
yang mengalami undesensus bilateral ternyata memiliki level gonadotropin yang
rendah dalam darah dan pada maldesensus dapat diturunkan dengan pengobatan
gonadotropin. 6,14
Undesensus testis umum terjadi pada sindrom congenital dengan anomali
multiple. Mikrosefali merupakan salah satunya, yang mana selalu disertai dengan
disfungsi hipotalamik atau pituitari. Anomali mekanis perifer juga umum terjadi dan
dapat menyebabkan kompresi ekternal pada regio inguinoskrotal. Gangguan urologis
spesifik seperti, sindrom prune belly dan katup uretra posterior, sering disertai dengan
undesensus testis. Defek dinding abdomen merupakan predisposisi terhadap
undesensus testis. (15% pada gastroschisis, >30% pada exomphalos). Tidak
mekanisme yang diusulkan termasuk tekanan abdominal yang rendah, disrupsi
gubernakulum traumatik, atau defek pada hipotalamus. Defek neural tube juga
memiliki frekuensi undesensus yang tinggi. 14
Pada umumnya undesensus testis disertai hernia inguinalis akibat prosesus
vaginalis bagian proksimal tidak terjadi obliterasi. Vas deferens yang berasal dari
duktus mesonefros tetap berkembang tapi pembuluh darah biasanya pendek sesuai
dengan tingkat penurunan testis dan ini yang kadang-kadang menyulitkan penurunan
testis ke skrotum. 6

2.4.

DIAGNOSIS

Anamnesis
Gejala utama ialah tak adanya testis dalam skrotum baik keduanya (bilateral)
atau salah satunya (unilateral). Mungkin juga penderita datang dengan keluhan ada

benjolan di tempat lain; perut, di atas paha dan lain-lain. Mungkin dating karena
gejala-gejala hernia atau torsio testis.6
Pada anamnesis harus digali adalah tentang prematuritas penderita (30% bayi
prematur mengalami undesensus testis), penggunaan obat-obatan saat ibu hamil
(estrogen), riwayat operasi inguinal. Harus dipastikan juga apakah sebelumnya testis
pernah teraba di skrotum pada saat lahir atau tahun pertama kehidupan (testis
retractile akibat refleks cremaster yang berlebihan sering terjadi pada umur 4-6
tahun). Perlu juga digali riwayat perkembangan mental anak, dan pada anak yang
lebih besar bisa ditanyakan ada tidaknya gangguan penciuman (biasanya penderita
tidak menyadari). Riwayat keluarga tentang undesensus testis, infertilitas, kelainan
bawaan genitalia, dan kematian neonatal.4,5,12
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis terlihat skrotum yang kosong, mengkrerut (kempes)
dibandingkan pada yang ada testis. Dapat teraba benjolan di tempat lain. Pemeriksaan
secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda sindrom tertentu,
dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigua. Pemeriksaan testis sebaiknya
dilakukan pada posisi terlentang dengan "frog leg position" dan jongkok. Dengan 2
tangan yang hangat dan akan lebih baik bila menggunakan jelly atau sabun, dimulai
dari SIAS menyusuri kanalis inguinalis ke-arah medial dan skrotum. Bila teraba testis
harus dicoba untuk diarahkan ke-skrotum, dengan kombinasi "menyapu" dan
"menarik"

terkadang

testis

dapat

didorong

ke-dalam

skrotum.

Dengan

mempertahankan posisi testis didalam skrotum seiama 1 menit, otot-otot cremaster


diharapkan akan mengalami "fatigue': bila testis dapat bertahan di dalam skrotum,
menunjukkan testis yang retractile sedangkan pada undesensus testis akan segera
kembali begitu testis dilepas. Tentukan lokasi, ukuran dan tekstur testis.6,15,16,17

Gambar 4. Teknik pemeriksaan testis A : Menyusuri kanalis inguinalis dimulai dari


SIAS. B&C : Bila teraba testis, menggiring testis dengan ujung-ujung jari D:
Memanipulasi ke-dalam skrotum. (Dikutip dari kepustakaan 17).
Lokasi undesensus testis tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%),
diikuti supraskrotal (20%), dan intra-abdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik
yang baik akan dapat menentukan lokasi tersebut. 5,6,17,18

10

Gambar 5. Kemungkinan lokasi testis pada undesensus testis dan ektopik


testis. (Dikutip dari kepustakaan 5)
Adanya undesensus testis bilateral yang tidak teraba gonad/testis apalagi
disertai hipospadia dan virilisasi, harus dipikirkan kemungkinan intersex, individu
dengan kromosom XX yang mengalami female pseudo-hermaphroditism yang berat;
atau Anorchia kongenital sebagai akibat torsi testis in utero. Sedangkan simple
undesensus testis merupakan hal yang seringkali dijumpai terutama pada bayi yang
prematur, akan tetapi masih dapat terjadi penurunan testis dalam tahun pertama
kehidupannya. 5,19,20
Pemeriksaan Laboratorium
Pada anak dengan undesensus testis unilateral tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium lebih lanjut. Sedangkan pada undesensus testis bilateral tidak teraba
testis dengan disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis
kromosom dan hormonal (yang terpenting adalah17-hydroxyprogesterone) untuk
menyingkirkan kemungkinan intersex. 5,12,17
Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT bilateral
dengan usia 3 bulan dan tidak teraba testis pemeriksaan LH, FSH, dan testosteron
akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atau tidak. Bila umur telah
mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus dilakukan dengan

11

melakukan stimulasi test menggunakan hCG (human chorionic gonadotropin


hormone). Ketiadaan peningkatan kadar testosteron disertai peningkatan LH/FSH
setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan anorchia.5,21
Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar
hormon testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Respon
testosteron normal pada hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi,
respon normal setelah hCHG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa
kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5 -10x. Sedangkan pada masa pubertas, dengan
meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi hCG
hanya sekitar 2-3x. 5,17
Pemeriksaan Radiologi
USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah
inguinal, di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan. Pada
penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan undesensus testis tidak teraba testis,
USG hanya dapat mendeteksi 37,5% (12 dari 32) testis inguinal; dan sulit mendeteksi
testis intra-abdomen. CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi
dibandingkan USG terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba testis).
MRI mempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang
lebih besar (belasan tahun). MRI juga dapat mendeteksi kecurigaan keganasan
testis.3,4
Laparoskopi
Metode ini sebaiknya dilakukan pada anak yang lebih besar dan setelah
pemeriksaan lain tidak dapat mendeteksi adanya testis di inguinal. Beberapa hal yang
dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah: kondisi cincin inguinalis interna,
processus vaginalis (patent atau nonpatent), testis dan vaskularisasinya serta struktur
wolfian-nya. Tiga hal yang sering dijumpai saat laparoskopi adalah: blind-ending
pembuluh darah testis yang mengindikasikan anorchia (44%), testis intra-abdomen
(36%), dan struktur cord (vasa dan vas deferens) yang keluar ke-dalam cincin
inguinalis interna. 4,17
2.5.

DIAGNOSIS BANDING 17,22

12

1. Testis ektopik : penurunan testis terjadi sepanjang canalis inguinalis dan melewati
anulus inguinalis externus, namun testis dapat terletak pada posisis ektopik
sehingga tampak superfisial dari oblik eksterna, pangkal penis, perineum atau
pada bagian atas dan medial paha.
2. Testis retraktil : penurunan testis secara normal dan aktivitas cremaster berlebihan
menarik testis ke atas melalui canalis inguinalis. Tarikan halus dapat
mengembalikan testis pada skrotum.
2.6.

KOMPLIKASI 5,6,23
Komplikasi utama yang dapat terjadi pada undesensus testis adalah keganasan

testis dan infertilitas akibat degenerasi testis, torsi testis, dan hernia inguinalis.
a) Risiko keganasan.
Risiko terjadinya keganasan testis pada anak dengan undesensus testis dilaporkan
berkisar 10-20 kali dibandingkan pada anak dengan testis normal. Makin tinggi
lokasinya makin tinggi risiko keganasannya, testis abdominal mempunyai risiko
menjadi ganas 4x lebih besar dibanding testis inguinal.
b) Infertilitas.
Perbedaan suhu yang leibh tinggi intra abdominal dan intra scrotal (beda 1 o C)
mempengaruhi proses spermatogenesis. Penderita undesensus testis bilateral
mengalami penurunan fertilitas yang lebih berat dibandingkan undesensus testis
unilateral, dan apalagi dibandingkan dengan populasi normal. Penderita
undesensus testis bilateral mempunyai risiko infertilitas 6x lebih besar
dibandingkan populasi normal, sedangkan pada undesensus testis unilateral
berisiko 2x lebih besar.
c) Torsio testis.
Testis yang terlalu mobile dalam kantong hernia memudahkan testis terpuntir
terjadilah torsio testis.
d) Hernia inguinalis.

13

Terjadi pada 25% pasien. Tak jarang penderita datang dengan hernia inkarserata
yang memerlukan tindakan segera yang tentunya kalau mungkin ditanggulangi
sekaligus orkidopeksi atau orkidektomi.
2.7.

PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi undesensus testis yang utama dan dianut hingga saat ini adalah

memperkecil risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi


testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan
cara pembedahan orkidopeksi (orchidopexy).4,5,17,22

Gambar 6. Alogritma penatalaksanaan UDT pada anak. Anak yang lebih besar
sebaiknya segera dirujuk saat diagnosis ditegakkan. LH = luteinizing hormone;
FSH=follicle-stimulating hormone;MIS ; Mullerian inhibiting substance; hCG =
human chronic gonadotropin. (dikutip dari kepustakaan 17).
Terapi Konservatif/Hormonal
Testis dapat turun spontan dalam 3 bulan sampai 1 tahun. Bahkan sampai 2
tahun terutama yang prepubik atau pada anulus inguinalis eksternus. Lebih dari 2
tahun biasanya tidak akan turun lagi.6

14

Hormon hCG mempunyai kerja mirip LH yang dihasilkan pituitary, yang akan
merangsang sel Leydig menghasilkan androgen. Cara kerja peningkatan androgen
pada penurunan testis belum diketahui pasti. tapi diduga mempunyai efek pada cord
testis atau otot cremaster. Berbagai regimen pemberian hCG telah direkomendasikan.
Rekomendasi yang sering digunakan adalah dari International Health Foundation dan
WHO yang merekomendasikan pemberian 250 IU untuk bayi < 12 bulan, 500 1U
untuk umur 1-6 tahun, dan 1.000 IU untuk umur > 6 tahun, masing masing kelompok
umur diberikan 2x seminggu selama 5 minggu.Angka keberhasilan terapi hCG
berkisar 25-55 % pada penelitian tanpa kontrol, dan sekitar 6-21% pada penelitian
buta acak. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi adalah: makin distal lokasi
testis makin tinggi keberhasilannya, makin tua usia anak makin respon terhadap
terapi hormonal, UDT bilateral lebih responsif terhadap terapi hormonal daripada
unilateral. 4,5,17,21
Terapi Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus
undesensus testis dengan orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam skrotum
denagan melakukan fiksasi pada kantong sub dartos. Mengingat 75 % kasus
undesensus testis akan mengalami penurunan testis spontan sampai umur 1 tahun,
maka pembedahan dapat dilakukan setelah umur 1 tahun (biasanya umur 2-3 tahun).
Orkidopeksi seharusnya dilakukan oleh ahli urologi yang telah terbiasa menangani
prosedur pembedahan tersebut serta manajemen komplikasinya.15,19
Keputusan melakukan orkidopeksi didasarkan oleh pertimbangan berbagai faktor,
antara lain: 4,21,24
a) Untuk meminimalisir resiko infertil.
b) Untuk menurunkan resiko kanker testis.
c) Untuk menurunkan resiko trauma pada testis.
d) Untuk mencegah terjadinya hernia inguinal.
e) Untuk mencegah torsio testis pada saat remaja.
f) Secara psikologis mencegah rasa rendah diri karena tidak mempunyai testis.
Orkidopeksi inguinal diatas yang dilakukan umumnya menggunakan prosedur
yang relatif sederhana, namun adapula prosedur yang lain pada undesensus testis
dengan lokasi testis yang rumit. Secara umum. orkidopeksi pada undesensus testis

15

yang terletak di depan skrotum atau inguinal dan suprainguinal adalah operasi yang
tidak terlalu sulit dibandingkan dengan tindakan pada testis intraabdomen. 17,24
Operasi dilakukan dengan cara insisi di atas canalis inguinalis. Testis,
funikulus spermatikus, pembuluh-pembuluh darah dibebaskan kemudian pole caudal
testis/gubernakulum difiksasi pada dasar bagian dari skrotum. Bila perlu jahitan dapat
ditembuskan keluar dari skrotum dan difiksasi di bagian medial pangkal paha dan
dipertahankan 2-3 minggu. 6,17,24
Bila kemudian funikulus spermatikus yang telah dibebaskan atau arteri
spermatikus masih pendek, yang menyebabkan testis belum sampai ke skrotum, maka
dapat dilakukan: 6,17,24
1. Pembuluh-pembuluh darah testis dibebaskan dari peritoneum.
2. Testis, vas deferens dan pembuluh-pembuluh darah dibebaskan dan melalui di
bawah dinding ke lubang canalis inguinalis di bawah pembuluh darah epigastrika
inferior keluar melalui anulus inguinalis eksternus untuk memperpendek jarak ke
dalam rongga skrotum.
3. Untuk mengetahui adanya pembuluh darah kolateral dari cabang arteri lainnya,
arteri spermatica interna yang pendek dapat diklem, bila testis tetap baik/tidak
menjadi biru, dapat dipotong sehingga testis dapat diturunkan.
4. Bila usaha sudah dilakukan dan testis belum dapat diturunkan ke dalam skrotum
maka dilakukan orkidektomi.
Bila didapatkan undesensus testis yang bilateral, maka operasi dapat
dilakukan dua kali. Yaitu testis yang satu dioperasi terlebih dahulu, kemudian dilihat
hasilnya apakah testis yang telah dioperasi dapat bertahan. Setalah itu dapat
dilakukan operasi kedua untuk testis yang satunya. Bila ternyata tidak berhasil masih
ada testis satunya yang masih memproduksi spermatozoa.6,17,24
Tehnik Fowler-Stephens sering digunakan ketika undesensus testis terletak
tinggi di atas skrotum atau di dalam abdomen dengan pembuluh darah testis yang
pendek. Hal itu dapat dilakukan dalam dua tahap dijadwalkan dalam beberapa bulan.
Pada tahap pertama. ahli bedah meletakkan testis ke bawah untuk sementara bagian
dalam paha. Pada tahap kedua, testis akan dipindahkan ke dalam skrotum dan terjahit
sesuai tempatnya. Tahap ini biasanya dilakukan 3-6 bulan setelah prosedur tahap
pertama.3,4

16

Orkidopeksi tipe lainnya yaitu auto-transplantasi testis (mikrovaskular


transplantasi). Ahli bedah mengangkal undesensus testis sepenuhnya dari lokasi dan
kembali meletakkan dalam skrotum dengan anastomosis mikrovaskular dari testis ke
arteri dan vena epigastrik inferior ipsilateral yang masih dapat digunakan. Teknik ini
rnengurangi risiko terjadinya suplai darah yang tidak adekuat pada testis. 3,4
Pemeriksaan post operatif (1-2 minggu setelah orkidopeksi) ditujukan untuk
menilai pertumbuhan luka operasi dan membuka jahitan. Untuk mencegah keluarnya
testis dan skrotum. penggunaan permainan seperti sepeda sebaiknya dilarang selama
kurang lebih 2 minggu. Aktivitas olahraga juga sebaiknya dibatasi pada anak yang
lebih tua. Pemeriksaan selanjutnya sebaiknya dilaksanakan 6 - 12 bulan setelah
operasi untuk menilai posisi testis apakah mengalami malposisi sekunder dan menilai
ukuran testis apakah mengalami atrofi. 21,24
Orkidopeksi sebagian besar berhasil pada anak dengan. undesensus testis yang
letaknya relatif dekat dengan skrotum. Tingkat kegagalan pada orkidopeksi
berdasarkan letak testis sekitar 8% jika testis berada tepat diatas skrotum; 10-20%
jika testis ditemukan berada pada kanalis inguinal; serta 25% jika testis ditemukan di
abdomen. Tingkat keberhasilan orkidopeksi pada testis (skrotum, inguinal dan
suprainguinal) sekitar 80-90 %. Prosedur Fowler-Stephens sekitar 77-95 %. Tehnik
mikrovaskular transplantasi sekitar 83-96%. Orkidopeksi sendiri tidak akan
mengurangi resiko terjadinya keganasan, tetapi akan lebih mudah melakukan deteksi
dini keganasan pada penderita yang telah dilakukan orkidopeksi.4,5,24
Komplikasi 3,4,6,21,24
Beberapa risiko komplikasi setelah operasi orkidopeksi antara lain :
1. Kegagalan testis berada dalam skrotum (posisi anatomi abnormal)
2. Atrofi testis
3. Oklusi vas deferens
4. Pembengkakan pada skrotum akibat perdarahan
5. Epididymoorchitis.
2.8.

PROGNOSIS 3,4,5,6

17

Sebagian besar undesensus testis akan turun ke dalam skrotum secara spontan
pada 3 bulan pertama setelah lahir, dan pada 6 bulan pertama insidensnya menurun
menjadi 0,8%.
Pada penderita kriptokidisme memiliki risiko kanker testis sekitar 3-5 %.
Orkidopeksi sendiri tidak akan mencegah risiko terjadinya keganasan, tetapi akan
lebih mudah melakukan deteksi dini keganasan setelah operasi. Risiko karsinoma in
situ sekitar 0,4% pada pasien riwayat orkidopeksi.
Pasien dengan undesensus testis memiliki resiko mengalami infertilitas.
Spermatogram ditemukan normal pada 20% pasien undesensus bilateral dan 75%
pasien undesensus unilateral. Sekitar 6% laki-laki infertil memiliki riwayat
orkidopeksi.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Disorders and anomalies of the scrotal
contens. In : Nelson textbook of pediatrics. 17!h ed. Philadelphia : Saunders; 2004.
p. 1817
2. Leung AK, Robson WL. Current status of cryptorchidism. In : Kappy MS, editor
Advances in pediatrics. Vol. 51. Philadephia : Mosby ; 2004. p. 351-69
3. Kolon TF. Cryptorchidism. Urolojy. Common Problems of the Testicle [online].
2006 Mar 8 [cited 2008 Nov 30]; [12 screen]. Available from : URL:
http://www.emedicine.com
4. Perez MR. Cryptorchidism. Pediatrics: Surgery. Urology, [online]. 2007 Nov 1
[cited
5.

2008

Nov

30];

[10

screen].

Available

from

URL:

http://www.emedicine.com
Faizi M. Penatalaksanaan undescensus testis pada anak. Divisi Endokrinologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR [online]. 2000 November [cited 2008

November 28]; [13 screen] Available from : URL : http://www.google.com


6. Palinrungi, Achmad M, Prof, Dr. Kriptorkismus dalam Diktat Kuliah Ilmu Bedah
II Urologi. Sub Bagian Urologi Bagian Ilmu Bedah FK-UH. Makassar; 2002. p.
30-8
7. Tanagho EA, McAninch JW. Smiths General Urology. 17 th ed. New York :
McGrawHill Medical ; 2008. P. 13-41
8. Colby FH. The testis an epididymis. Embryology, anatomy and physiology. In :
Essential urology 4th ed. Baltimore : The Williams & Wilkins; 1961. p. 87-95.
9. Purnomo BB. Kelainan skrotum dan isinya. Dalam: Dasar-dasar urologi. Edisi 2.
Jakarta : Sagung Seto; 2003. p. 137-40
10. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Jilid 2. Edisi 21. Jakarta : EGC ;
2001. p. 90
11. Skandalakis, Gray. The ovary and testis. In: Embriology for surgeons.
Skandalakis & Gray. 2nd ed. Philadelphia : Mosby ; 2000. p. 740-5
12. Wilson ED, Koyle MA, Furness PD. Cryptorchidism. In : Teichman JM, editor.
Common problems in urology. New York : McGraw Hill ; 2001. p. 29 -37
13. Osborn LM, DeWitt TG, First LR, et al. Disorders of the genitourinary system in
the newborn. in: Pediatrics. Philadelphia: Mosby ; 2005. p. 1360-1
14. Hutson JM, Hasthorpe S, Heys CF. Anatomical and Functional of Testicular
Descent and Cryptorchidism. Endocrine Reviews 1997; 18 (2): 259-75)

19

15. Ross JH. Pediatric potpourri. In: Potts JM, editor. Esential urology : a guide to
clinical practice. New Jersey: Humana Press; 2004. p. 22-5
16. Way LW. Doherty GM. Pediatric surgery. In: Current surgical diagnose &
treatment. 11th ed. New York : McGraw Hill; 2003. p. 1336-9
17. Docimo S, Silver R, Cromie W. The undescended testicle: diagnosis and
management. Am Fam Physician [serial online]. 2000 November [cited 2008
November 28]: 62: 2037-44. Available from : URL: h ttp: //www.aafg.org
18. Gardjito W. Saluran kemih dan alat kelamin lelaki. Dalam: Sjamsuhidajat R, Wim
de Jong, editor. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC ; 2005. p. 747-8
19. Budd C, Gardiner M. Genitalia. In : Paediatrics. London : Mosby ; 1999. p. 137
20. Nur Mantu F. Kriptokidisme. Dalam: Catatan Kuliah Bedah Anak. Jakarta : EGC;
1997. h. 38-9.
21. Hutson JM. Undescended testis, torsion, and varicocele. In: Grosfeld JL, O'Neill
JA, Coran AG. et al. editors. Pediatric surgery. 6th ed. Vol. 2. Philadelphia : Mosby
; 2006 p. 1 193-205
22. Fonkalsrud EW, Mengel W. Type of undescended testes. In : The undescended
testis. London : Year Book Medical : 1981. p. 159-62
23. Scwartz SI Shires GT. Spencer FC et al. Pediatric surgery. In: Principles of
surgery Jth ed. Vol.2. New York : McGraw Hill; 1999. p. 1744-5
24. Frey R. Orchiopexy. Encyclopedia of Surgery: A Guide for Patients and
Caregivers, [online]. 2007 [cited 2008 November 30]; [6 screen]. Available from :
URL: http://www.surgeryencyclopedia.com

20

Anda mungkin juga menyukai