Anda di halaman 1dari 15

Eceng gondok merupakan jenis tumbuhan yang memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi

dan dengan mudah menyebar melalui saluran air, sehingga dianggap sebagai gulma karena dapat
merusak lingkungan perairan. Keberadaan eceng gondok di perairan menyebabkan sulitnya sinar
matahari masuk menembus perairan dan berkurangnya kandungan oksigen dalam air. Di
Indonesia, populasi eceng gondok sangat melimpah namun masih belum teroptimalkan
pemanfaatannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya untuk mengendalikan populasi
eceng gondok, salah satunya dengan pembuatan carboxymethyl cellulose (CMC) dari selulosa
eceng gondok. Carboxymethyl cellulose (CMC) merupakan turunan selulosa yang paling
banyak digunakan pada berbagai industri, seperti industri makanan, farmasi, detergen,
tekstil dan produk kosmetik sebagai pengental, penstabil emulsi atau suspensi dan bahan
pengikat (Wijayani dkk., 2005). Pada mulanya CMC banyak dibuat dari selulosa kayu karena
kandungan selulosanya yang cukup yaitu sekitar 42-47% (Dumanauw, 1990). Namun, sekarang
ini banyak dikembangkan CMC dari bahan bukan kayu seperti pelepah dan tandan kosong
kelapa sawit, pisang, dan tanaman eceng gondok. Eceng gondok berpotensi untuk dijadikan
bahan baku pembuatan CMC karena memiliki kandungan selulosa yang cukup tinggi yaitu
hingga 65,41% (Joedodibroto, 1983).

Indonesia sebagai Negara dengan keanekaragaman hayati yang luas memiliki


kekayaan alam yang sangat melimpah yang dapat diolah lebih lanjut untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Salah satunya adalah kekayaan akan serat alam yang tersusun dari
selulosa (serat selulosa). Selulosa merupakan komponen struktural utama dinding sel dari
tanaman hijau. Untuk mendapatkan serat selulosa dari tumbuhan harus dilakukan beberapa
perlakuan untuk mengekstraksi selulosa keluar dari dinding sel tersebut dan disusun menjadi
serat. Potensi ketersediaan serat selulosa yang besar dari tumbuhan ini dapat dikembangkan
lebih lanjut lagi untuk menghasilkan produk yang lebih bermanfaat dan bernilai tinggi.
Karakteristik serat selulosa antara lain muncul karena adanya struktur kristalin dan
amorf serta bersifat hydrophilic (suka air) dan biodegradability. Sebagai kandidat serat alam
yang mengandung serat selulosa, tanaman yang berpotensi adalah tanaman eceng gondok
(Eichornia crassipes), yang merupakan tumbuhan yang dianggap gulma bagi lingkungan
perairan. Eceng gondok merupakan jenis tumbuhan yang memiliki kecepatan tumbuh yang
tinggi dan dengan mudah menyebar melalui saluran air, sehingga dianggap sebagai gulma karena
dapat merusak lingkungan perairan. Keberadaan eceng gondok di perairan menyebabkan
sulitnya sinar matahari masuk menembus perairan dan berkurangnya kandungan oksigen dalam

air. Di Indonesia, populasi eceng gondok sangat melimpah namun masih belum teroptimalkan
pemanfaatannya. Eceng gondok ini merupakan salah satu bahan serat alam yang belum
banyak termanfaatkan sehingga potensinya yang cukup beragam. Ketersediannya sangatlah
melimpah di Indonesia karena pertumbuhannya yang cepat, sehingga memiliki potensi yang
besar dilihat dari segi bahan baku, juga dari segi nilai jual yang tak terlalu tinggi.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas tanaman gulma perairan ini,
namun tidak pernah berhasil karena tingkat pertumbuhan tanaman ini lebih cepat dari
pembuangannya (Koes, 2010). Dengan populasi yang begitu melimpah dan pengendaliannya
yang kurang maksimal maka eceng gondok harus dimanfaatkan khususnya serat pada eceng
gondok. Sifat seratnya yang kuat menjadikan eceng gondok memiliki potensial tersendiri.
Sedangkan kandungan kimia eceng gondok itu sendiri yakni 60% selulosa, 8% hemiselulosa
dan 17% lignin (Ahmed, 2012).
Eceng gondok suatu gulma air yang mudah sekali tumbuh dan berkembang ternyata
mempunyai kandungan serat selulosa cukup tinggi, yakni berkisar 60%. Hal ini sangat
memungkinkan bahwa eceng gondok berpotensi sebagai bahan dasar pembuatan selulosa yang
kedepannya dapat diaplikasikan ke arah yang beragam.
Pemanfaatan selulosa dapat dilihat untuk salah satu aplikasi turunannya, yaitu
karboksimetil selulosa atau yang dikenal dengan CMC (carboxymethyl cellulose). Fungsi
CMC banyak digunakan di industri farmasi, deterjen, tekstil, kosmetik, dan pengeboran (Oil
& Gas), hal ini dikarenakan CMC memiliki fungsi sebagai pengental, penstabil emulsi dan
bahan pengikat.

Tabel 2. 1. 1. Kandungan Kimia Enceng Gondok Segar

Senyawa Kimia

Persentase (%)

Air

92,6

Abu

0,44

Serat kasar

2,09

Karbohidrat

0,17

Lemak

0,35

Protein

0,16

Fosfor sebagai P O
2

Senyawa Kimia
Kalium sebagai K O
2
Selulosa
Klorida
Pentosa
Alkanoid
Lignin

0,52
Persentase (%)
0,42
64,51
0,26
15,61
2,22
7,69

Silika

5,56

Abu

12

Tabel 2. 1. 2. Kandungan Kimia Enceng Gondok Ke


ring

Karena eceng gondok memiliki kandungan selulosa yang tinggi,


sehingga berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan bakar.

PERPUSTAKAAN CYBER

Perpustakaan Cyber, Jurnal, Artikel Ilmiah, Referensi, Sains, Teknologi, Materi Pelajaran, Cerita
Rakyat, Dongeng.
HOME
ABOUT US
FAQ
PRIVACY AND POLICY
PANDUAN PENGUNJUNG
DAFTAR ISI
TESTIMONI

Home Artikel dan Makalah Selulosa, Eceng Gondok, Bahan Baku Papan Partikel : Artikel dan
Makalah

Selulosa, Eceng Gondok, Bahan Baku Papan Partikel : Artikel dan Makalah
10:57 PM

Artikel dan Makalahtentang Selulosa, Eceng

Gondok, Bahan

Baku

Papan

Partikel - Eceng

gondok (Eichhornia crassipes) termasuk tumbuhan air yang menyebar ke seluruh dunia dan tumbuh
pada daerah dengan ketinggian berkisar antara 0-1600 m di atas permukaan laut, pada iklim tropis
dan sub tropis. Eceng gondok termasuk tumbuhan air yang sangat berguna jika populasinya
dapat dikendalikan. Sebaliknya, eceng gondok juga dapat mengganggu lingkungan dan aktivitas
manusia jika populasinya tidak dapat dikendalikan. Eceng gondok sangat sulit dikendalikan
populasinya karena pertumbuhannya sangat cepat dan daya tahan hidupnya tinggi. Pertumbuhan
eceng gondok yang sangat cepat memerlukan penanganan yang serius. Pemberantasan secara
mekanik, kimia, dan biologi di beberapa negara tidak pernah memberikan hasil yang optimal.
Bahkan karena hal ini akan berdampak negatif (Amin dkk, 2002). Indonesia mempunyai lebih dari
satu juta hektar danau alami dan danau buatan. Banyak dari perairan tersebut yang ditumbuhi eceng

gondok sebagai gulma, terutama di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Bahkan Danau Sentani di Irian
Jaya sebagian permukaannya telah tertutup eceng gondok (Tjondronegoro dan Pantjawarni, 1999).
Hal ini memerlukan penanganan yang serius agar populasi eceng gondok dapat dikendalikan.

SELULOSA CROSS AND BEVAN TANGKAI ECENG GONDOK


SEBAGAI BAHAN BAKU PAPAN PARTIKEL

Willy Saputra, Dedy Dwi Prasetyo


Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

ABSTRAK

Eceng gondok termasuk tumbuhan air yang sangat berguna jika populasinya dapat dikendalikan.
Sebaliknya, eceng gondok juga dapat mengganggu lingkungan dan aktivitas manusia jika
populasinya tidak dapat dikendalikan. Pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat memerlukan
penanganan yang serius. Kandungan selulosa Cross and Bevan eceng gondok sebesar 64,51%
dari berat total (Joedodibroto, 1983) memungkinkan eceng gondok dapat dipakai sebagai bahan baku
pembuatan papan partikel. Pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan baku pembuatan papan
partikel merupakan salah satu alternatif manfaat yang memberikan nilai tambah eceng gondok bagi
masyarakat.

Dengan bertambahnya

cara

pemanfaatan

eceng

gondok

maka

populasinya

diharapkan dapat dikontrol, sehingga permasalahan yang timbul sebagaimana yang dipaparkan
sebelumnya dapat diatasi. Penlitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi resin dan
ukuran partikel terhadap mutu papan berdasarkan standar SII 1983 dan SNI 1996 pada pembuatan
papan partikel dari selulosa Cross and Bevan tangkai eceng gondok dan menganalisa prospek
ekonominya. Persiapan

penelitian

dimulai

dengan

mengeringkan

batang

batang

eceng

gondok, memotongnya sepanjang 1 cm kemudian menggilingnya. Setelah itu dilakukan pemisahan


partikel yang berukuran lebih dari 20 mesh dankurang dari 20 mesh. Selanjutnya mengoven partikel
eceng gondok tersebut pada suhu 105

C hingga kadar airnya 2-8%. Tahap akhir dari persiapan

bahan ini adalah mempersiapkan perekat dengan campuran resin, air, kanji, dan hardener dengan
perbandingan 100:80:50:6

Kata kunci: selulosa Cross and Bevan, enceng gondok, papan partikel

PENDAHULUAN

Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan kayu meningkat. Kebutuhan kayu untuk
industri perkayuan di Indonesia diperkirakan sebesar 70 juta

m3 per tahun dengan kenaikan rata-rata

sebesar 14,2% pertahun. Produksi kayu bulat diperkirakan hanya sebesar 25 juta m3 per tahun,
dengan demikian terjadi defisit sebesar 45 juta

m3 (Priyono, 2001 dalam Setyawati, 2004). Hal ini

menunjukkan bahwa daya dukung hutan sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan kayu. Keadaan ini
diperparah oleh adanya konversi hutan alam menjadi lahan pertanian, perladangan berpindah,
kebakaran hutan, praktek pemanenan yang tidak efisien dan pengembangan infrastruktur lain yang
diikuti oleh perambahan hutan. Kondisi ini menuntut penggunaan kayu secara efisien dan bijaksana
dan pengembangan produk-produk inovatif bahan lain pengganti kayu.

Salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan kayu dapat dilakukan dengan teknik
laminasi. Dengan teknik laminasi, potongan-potongan kayu atau bahan berligno-selulosa lainnya
yang relatif kecil ukurannya dipadukan untuk memperoleh lembaran papan kayu yang lebih luas
sebelum digunakan sebagai bahan konstruksi. Produk laminasi yang ada antara lain berupa
papan serat, papan partikel, kayu lapis, serta produk-produk perekatan lainnya (Fakhri, 2002).

Kandungan selulosa Cross and Bevan eceng gondok sebesar 64,51% dari berat total (Joedodibroto,
1983) memungkinkan eceng gondok dapat dipakai sebagai bahan baku pembuatan papan partikel.
Kandungan ekstraktifnya rendah, yaitu sekitar 6% dari berat total, sehingga tidak mengganggu
perekatan. Pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan baku pembuatan papan partikel merupakan
salah satu alternatif manfaat yang memberikan nilai tambah eceng gondok bagi masyarakat. Dengan
bertambahnya cara pemanfaatan eceng gondok maka populasinya diharapkan dapat dikontrol,
sehingga permasalahan yang timbul sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya dapat diatasi.

Tujuan dari penlitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komposisi resin dan ukuran partikel
terhadap mutu papan berdasarkan standar SII 1983 dan SNI 1996 pada pembuatan papan partikel
dari selulosa Cross and Bevan tangkai eceng gondok dan menganalisa prospek ekonominya.

Eceng Gondok

Winarno (1993) menyebutkan bahwa dekomposisi kimiawi eceng gondok dari berat total adalah 36,59
% bahan organik, 21,23% C organik, 0,28% N, 0,0011% P, dan 0,016% K. Joedodibroto (1983)
mengemukakan hasil analisis komponen kimia eceng gondok yang tidak digiling ternyata
mengandung kadar abu 12% dan setelah digiling menjadi 5,77%. Kandungan zat ekstraktif juga
mengalami penurunan setelah digiling.

Tabel 1. Susunan Kimia Batang Eceng Gondok Dalam Keadaan Kering Tanur.

No Analisa

1.
2.
3.
4.
5.

Abu
Silikat
Lignin
Pentosan
Selulosa Cross and Bevan

Eceng gondok
Sebelum digiling
Setelah digiling
(%)
(%)
12,00
5,56
7,69
15,61
64,51

5,77
0,65
8,93
18,14
72,63

Sumber : Joedodibroto, 1983

Papan Partikel

Papan partikel adalah papan komposit yang dibuat dari potongan-potongan kecil kayu, termasuk
serbuk gergaji atau bahan berligno-selulosa lain. Potongan-potongan tersebut direkatkan dengan
perekat atau resin sintetis, kemudian ditekan sehingga membentuk papan dengan disain dan ukuran
tertentu (Salomba dan Purwanto, 1995).

Geometri partikel, jumlah resin, densitas papan, dan proses pembuatan dapat dimodifikasi untuk
menghasilkan produk yang sesuai pemakaian dan spesifikasi. Pada proses pembuatan, bahan aditif
dapat ditambahkan agar papan partikel mempunyai karakteristik yang lebih stabil, tahan api, tahan
kelembaban dan lebih kuat.

Papan partikel biasanya dibuat dari pohon jarum (konifera). Papan partikel juga dapat dibuat dari
serat selain kayu, misalnya ampas tebu, bambu, dan rami. Menurut Kolman dan Cote (1975), papan
partikel dapat digunakan untuk dinding, lantai, platform rumah, almari atau perabot lainnya yang
menggunakan papan lebar.

Gambar 1. Papan Partikel.

METODE PENELITIAN

Variabel Penelitian

Variabel Bebas terdiri dari :


1. Komposisi resin : 20 % (a1), 30 % (a2), 40 % (a3) berat partikel
2. Ukuran partikel : > 20 mesh (b1) dan < 20 mesh (b2)
Variabel yang ditetapkan terdiri dari
1. Komposisi bahan perekat : resin, air, kanji, dan hardener dengan perbandingan 100:80:50:6
2. Tekanan Kempa : 60 kg/cm2
3. Suhu pengovenan papan : 110 OC
Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan adalah alat press hidrolik, cetakan, oven, blender, dan ayakan berukuran
20 mesh. Bahan baku adalah eceng gondok yang diperoleh dari sungai di daerah Gunung Sari,
Surabaya. Bahan perekat yang digunakan berupa resin urea formaldehid, diperoleh dari Intan Wijaya
Chemical Industries, Tangerang dengan merk dagang UFP 1001. Hardener menggunakan ammonium
sulfat, dan bahan pengisi menggunakan tepung kanji.

Prosedur Penelitian

Persiapan Bahan baku

Persiapan penelitian dimulai dengan mengeringkan batang batang eceng gondok, memotongnya
sepanjang 1 cm kemudian menggilingnya. Setelah itu dilakukan pemisahan partikel yang berukuran
lebih dari 20 mesh dankurang dari 20 mesh. Selanjutnya mengoven partikel eceng gondok tersebut
pada suhu 105 OC hingga kadar airnya 2-8%. Tahap akhir dari persiapan bahan ini adalah
mempersiapkan perekat
perbandingan 100:80:50:6

Pembuatan Papan partikel

dengan

campuran

resin,

air,

kanji,

dan

hardener

dengan

Pembuatan papan partikel dimulai dengan mencampur partikel eceng gondok dengan perekat, sesuai
variabel komposisi resin. Campuran yang telah dimasukan ke dalam cetakan yang telah diolesi mirror
glaze, dikempa dengan tekanan 60 kg/cm2 selama 30 menit. Memasukkan campuran ke dalam oven
yang bersuhu 110 OC selama 30 menit. Mendinginkan dan melepaskan papan partikel dari cetakan.

Pengujian Papan Partikel

Pada pengujian papan, papan diuji kekuatan lentur, Kerapatan, dan uji tahan kelembaban papan
partikel berdasarkan standar SII 1983 dan SNI 1996.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Dari penelitian ini dihasilkan papan uji berbentuk silinder dan papan berukuran 28 x 8 x 2,5 cm.
Papan berbentuk silider digunakan untuk pengujian kerapatan papan dan pengembangan volume
papan dalam air sedangkan papan berukuran 28 x 8 x 2,5 digunakan untuk pengujian kekuatan
lentur.

Tabel 1. Hasil Pengujian


b1 ( > 20 mesh )

Memenuhi
standar
Ya

a1 20%
Resin

a2 30%
Resin

-kekuatan lentur = 75.6


kg/cm2
-kerapatan = 0,768
g/ml
-pengembangan
volume 2 jam = 16,90
%
-pengembangan
volume 24 jam = 22,69
%
-kekuatan lentur =
105,84 kg/cm2
-kerapatan = 0,802
g/ml
-pengembangan
volume 2 jam = 10,36
%
-pengembangan
volume 24 jam = 12,37
%

Tidak

b2 ( <20 mesh )

Memenuhi standar
Ya

-kekuatan lentur =
68,04 kg/cm2
-kerapatan = 0,792
g/ml
-pengembangan
volume 2 jam =26,46
%
-pengembangan
volume 24 jam = 47,22
%
-kekuatan
lentur
=83,16 kg/cm2
-kerapatan = 0,813
g/ml
-pengembangan
volume 2 jam = 11,92
%
-pengembangan
volume 24 jam = 29,56
%

Tidak

a3 40%
Resin

-kekuatan lentur =
158,76 kg/cm2
-kerapatan = 0,873
g/ml
-pengembangan
volume 2 jam = 3,94 %
-pengembangan
volume 24 jam = 7,41
%

-kekuatan lentur =
113,40 kg/cm2
-kerapatan = 0,897
g/ml
-pengembangan
volume 2 jam = 4,74 %
-pengembangan
volume 24 jam = 8,23
%

Kekuatan Lentur Papan


Rata-rata kekuatan lentur papan partikel berada diantara 158.76 68.04 kgcm2. Berdasarkan standar
SII 1983 menyebutkan bahwa persyaratan minimal kekuatan lentur papan adalah 100 kg/cm2. Dari
tabel 1. dapat menginformasikan bahwa papan yang memenuhi persyaratan minimum kekuatan
lentur adalah papan dengan perlakuan a3b1, a3b2, dan a2b1.

Gambar 2. menginformasikan hasil penelitian bahwa kekuatan lentur papan meningkat dengan
meningkatnya komposisi resin. Meningkatnya jumlah resin akan meningkatkan persen luasan kontak
antar partikel, sehinga ikatan antar partikel semakin besar. Semakin besar ikatan antar partikel
menyebabkan rongga antar partikel semakin kecil, sehingga papan semakin padat dan kompak.
Fakhri (2002) mengatakan bahwa semakin padat dan kompak ikatan antar partikel, maka sifat
mekaniknya akan semakin baik.

Gambar 2. Grafik hubungan komposisi resin dan kelenturan papan.

Gambar 2. juga menginformasikan pengaruh ukuran partikel terhadap kekuatan lentur. Partikel yang
lebih kecil mempunyai luasan permukaan kontak yang lebih besar dan membutuhkan banyak resin
untuk melingkupi seluruh permukaan partikel, artinya semakin kecil ukuran partikel, kebutuhan
resin semakin besar (Walker, 1997). Pada jumlah resin yang sama, papan dengan ukuran partikel
lebih kecil akan mempunyai persen kontak antar partikel semakin kecil. Lin dan Huang (2004)
melaporkan bahwa semakin meningkatnya persen kontak antar partikel akan meningkatkan ikatan

antar partikel. Jalaluddin, dkk (2004) melaporkan hasil penelitiannya tentang pembuatan papan
partikel dari bambu bahwa semakin besar ukuran partikel, semakin bagus modulus of rupture dan
modulus of elasticity. Hal inilah yang menyebabkan papan partikel struktural dibuat dari partikel yang
relatif panjang dan lebar (Walker, 1997).

Menurut Joedodibroto (1983), eceng gondok yang telah digiling dan disertai penyaringan dapat
menghilangkan sel-sel halus non serat. Sel-sel halus ini adalah sel parenkim yang mempunyai
susunan sedemikian hingga kadar abu dan ekstraktifnya tinggi. Penghilangan sel-sel parenkim
mempunyai implikasi positif untuk meningkatkan mutu papan partikel. Untuk mendapatkan papan
partikel dengan kekuatan yang memadai, maka diperlukan ukuran papan yang tepat, kadar air yang
tepat, kadar ekstraktif, dan abu yang kecil (Walker, 1997).

Kerapatan Papan Partikel

Gambar 3. menginformasikan bahwa komposisi resin mempengaruhi kerapatan papan. Kerapatan


papan semakin besar sesuai dengan kenaikan komposisi resin. Semakin besar jumlah resin yang
digunakan resin semakin kuat mengikat partikel dan mengisi rongga-rongga antar partikel, sehingga
partikel semakin rapat. Pada semua perlakuan, kerapatan papan masih sesuai dengan standar yang
diizinkan menurut SNI 1996, yaitu antara 0,5 0,9 g/ cm3.

Gambar 3. Grafik Hubungan Komposisi Resin Terhadap Kerapatan Papan.

Gambar 3. juga menginformasikan bahwa ukuran partikel mempengaruhi massa jenis papan.
Semakin besar ukuran partikel, maka kerapatan papan semakin kecil. Lin dan Huang (2004),
menyebutkan bahwa semakin besar partikel, semakin besar fraksi rongga. Sedangkan semakin besar
rongga antar partikel, massa jenisnya semakin kecil.

Persentase Pengembangan Volume dalam Air

Uji pengembangan dalam air bertujuan untuk mengetahui ketahanan papan terhadap air.
Pengembangan volume papan ditetapkan setelah contoh uji direndam dalam air dingin / suhu kamar
(30 OC selama 2 jam dan 24 jam. Pada perendaman dalam air selama 2 jam, hanya papan dengan
komposisi resin 40% yang memenuhi SII 1983, yaitu maksimal pengembangan volumenya
10%. Sedangkan pada perendaman selama 24 jam, yang memenuhi standar adalah papan dengan
perlakuan a3b1, a3b2, dan a2b1.

Gambar 4. Hubungan komposisi resin terhadap % pengembangan volume dalam air selama 2 jam.

Hasil pengujian (gambar 4. dan 5.) menunjukkan bahwa semakin besar komposisi resin, maka %
pengembangan volume papan semakin kecil atau semakin tahan terhadap kelembaban. Carll (1997)
menyimpulkan dari hasil penelitian sebelumnya bahwa pengembangan volume papan dalam air
berkurang sesuai dengan bertambahnya jumlah bahan perekat yang digunakan.

Gambar 5. Hubungan komposisi resin terhadap % pengembangan volume dalam air selama 24 jam.

Ukuran partikel mempengaruhi terhadap pengembangan volume papan dalam air. Gambar IV.3. dan
IV.4. menunjukkan bahwa semakin besar ukuran partikel, maka % pengembangan volume dalam air
semakin kecil. Semakin besar ukuran partikel, maka absorbsi air semakin kecil. Semakin kecil
absorbsi air maka % pengembangan volume papan dalam air semakin kecil (Carll, 1997).

Aspek Ekonomi

Peluang Produksi

Saat ini cadangan sumber kayu semakin menipis karena luas hutan sebagai sumber kayu semakin
berkurang (Massijaya, 2004). Fenomena ini terjadi karena manajemen hutan yang salah dan
eksploitasi secara besar-besaran pada masa yang lalu. Pada beberapa tahun mendatang, produksi
kayu dari hutan alam akan mengalami penurunan secara signifikan (Massijaya, 2004). Berkurangnya
sumber kayu dapat menyebabkan industri pengolahan kayu semakin menurun di masa yang akan
datang. Keadaan ini dapat menyebabkan sisa dari industri pengolahan kayu semakin berkurang.
Berkurangnya sisa pengolahan kayu akan menimbulkan dampak negatif pada industri yang
memanfaatkan sisa pengolahan kayu, seperti industri papan partikel, MDF, dan lain sebagainya.

Sekitar 95% industri papan partikel menggunakan bahan baku dari sisa pengolahan kayu, sedangkan
sisanya dibuat dari bahan serat bukan kayu, seperti bagas dari tebu, rami, dan bambu. Penggunaan
bahan-bahan, baik bahan kayu maupun serat non kayu, seringkali mengalami kendala akibat
terbatasnya persediaan bahan baku. Bahan kayu penyediaannya terkendala karena produksi kayu
yang semakin berkurang seperti yang dipaparkan sebelumnya, sedangkan serat non kayu
penggunaannya sangat terbatas karena tumbuhnya tergantung pada musim (Walker, 1997). Kesulitan
dalam penyediaan bahan baku turut mempengaruhi produksi papan partikel.

Kelayakan Bahan Baku

Kandungan selulosa Cross and Bevan tangkai eceng gondok sekitar 64,51% (Joedodibroto, 1983)
memungkinkan eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan papan partikel.
Purwanto dan Salomba (1995) mengatakan bahwa papan partikel merupakan komposit yang terbuat
dari bahan berligno-selulosa. Kandungan ekstraktif eceng gondok juga sangat kecil, yaitu sekitar 6%,
sehingga tidak mengganggu dalam proses perekatan. Bahkan dengan proses penggilingan,
kandungan ekstraktif eceng gondok tersebut mengalami penurunan (Joedodibroto, 1983). Oleh
karena itu, pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan baku pembuatan papan partikel sangat
mungkin dilakukan.

Kelangsungan Produksi

Pertumbuhan eceng gondok perlu diperhatikan untuk menjaga kesinambungan penyediaan eceng
gondok sebagai bahan baku industri papan partikel. Kelangsungan produksi papan partikel dengan
menggunakan bahan baku eceng gondok sangat terjamin jika dilihat dari ketersediaan bahan
baku. Pertumbuhan eceng gondok sangat cepat, yaitu 0,45 - 0,3 kg/(hari . m3) (Roekmijati, 1986).
Dalam waktu 6 hari populasi eceng gondok menjadi dua kali lipat (Batcher, 2004). Jika eceng gondok
yang ada di Rawa Pening hanya dipertahankan 25% saja atau 20% permukaan perairan tertutup
eceng gondok agar populasinya tidak mengganggu ekosistem di sekitarnya, maka perhari
eceng gondok di Rawa Pening bisa diprediksikan mampu menghasilkan papan sebesar 5.750 lembar
papan berukuran 1200 x 2440 x 12 mm perhari atau setara dengan 2.181.945 m3 perhari. Jumlah ini
juga masih lebih besar jika dibandingkan dengan produksi total papan partikel Indonesia yang hanya
470.000 m3/tahun. Terlebih lagi, Indonesia masih mempunyai banyak perairan-perairan luas yang
ditumbuhi eceng gondok seperti Danau Tondano (Sulwesi Utara), Danau Tempe (Sulawesi Selatan),
Waduk Saguling (Jawa Barat), Rawa Jombor (Jawa Tengah), Danau Kerinci (Jambi), Waduk
Batutulegi (Jambi), dan lain sebagainya.

Potensi Ekonomi

Perhitungan analisis ekonomi pada Lampiran 3 dilakukan dengan menghitung rate of return
invesment (laju pengembalian modal), minimum pay out period (waktu minimal pengembalian modal),
dan break even point (BEP). Perhitungan analisis ekonomi ini menggunakan data dari pabrik papan
partikel di Padalarang, Bandung dengan kapasitas produksi 90.000 m3.

Rate of Return Invesment (laju pengembalian modal) hasil perhitungan adalah sebesar 72,65%.
Angka ini jauh lebih besar dari suku bunga deposito yang hanya 6,5% (BNI, 3 Mei 2005). Informasi ini
menunjukkan bahwa modal lebih baik diinvestasikan dari pada disimpan di bank sebab hasilnya
lebih menguntungkan.

Minimum pay out period (waktu minimal pengembalian modal) hasil perhitungan adalah sebesar 1,33
tahun. Jangka waktu ini menguntungkan karena modal sudah dapat kembali minimal 1,33
tahun. Perhitungan BEP dilakukan untuk mengevaluasi jumlah produksi. BEP hasil perhitungan
adalah sebesar 10,63%. BEP atau titik impas menunjukkan bahwa pada kondisi ini produksi tidak
mengalami kerugian dan memperoleh keuntungan. BEP diperoleh dengan mengalikan asumsi
produksi awal (90.000 m3 pertahun) dengan BEP hasil perhitungan. Sehingga produksi papan
partikel minimal harus diprodukasi sebanyak 9.576 m3/tahun.

Dari perhitungan secara ekonomis, pembuatan papan partikel dari eceng gondok masih
menguntungkan. Apalagi bila diproduksi dalam jumlah besar, mengingat permintaan dunia akan
produk papan partikel mengalami kenaikan tiap tahun. Hal ini karena papan partikel banyak
digunakan untuk keperluan industri mebel, ubin lantai, pegangan tangga, pengemasan barang, dan
kayu struktural.

Dengan adanya produksi papan partikel eceng gondok akan mempunyai keuntungan, yaitu
menambah pendapatan daerah, menambah lapangan pekerjaan, dan menaikkan nilai ekonomi eceng
gondok. Pemanfaatan eceng gondok secara besar-besaran dan kontinu dapat mengendalikan
perkembangan

eceng

gondok. Eceng

gondok

harus

dimanfaatkan

secara

kontinu

agar

pengendaliannya bisa dilakukan secara kontinu pula. Oleh karena itu, selain memikirkan
cara pemberantasan eceng gondok, juga diperlukan penjajakan kemungkinan memanfaatkan eceng
gondok untuk keperluan industri secara luas sebagai komoditas yang bernilai ekonomis, misalnya
dengan memanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan papan partikel.

Pemanfaatan selulosa cross and bevan tangkai eceng gondok sebagai bahan baku papan partikel
sangat potensial untuk diteliti lebih lanjut. Untuk penelitian lebih lanjut, penulis menyarankan proses
pencampuran partikel eceng gondok dan resin perlu dilakukan dengan menggunakan mesin
pencampur untuk mendapatkan campuran yang homogen. Pengempaan proses pembuatan
papan partikel sebaiknya dilakukan dengan menggunakan pengempaan panas.

Anda mungkin juga menyukai