Anda di halaman 1dari 27

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi
Terjadinya peningkatan infeksi HIV telah menimbulkan perubahan dalam
epidemiologi tuberkulosis. HIV telah merubah penyakit tuberkulosis dari suatu
penyakit yang endemis menjadi suatu penyakit yang epidemis di seluruh dunia.
Saat ini HIV diyakini menjadi salah satu faktor resiko yang paling penting untuk
terjadimya seseorang yang terinfeksi kuman M. Tuberculosis menjadi seorang
penderita tuberkulosis yang aktif. Sekitar 5-10% penderita TB laten sepanjang
hidupnya akan berlanjut dan berkembang menjadi tuberkulosis yang aktif,
sementara pada individu yang mengalami gabungan infeksi dengan HIV, sekitar 515% akan berlanjut menjadi tuberkulosis yang aktif dalam satu tahun. 18,19
World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar sepertiga
sampai setengah dari individu yang terinfeksi virus HIV akan menderita
tuberkuosis yang aktif. Pada tahun 2002 saja, lebih dari 630.000 kasus baru TB
dengan HIV dilaporkan di seluruh dunia dan sekitar 450.000 kematian dinyatakan
infeksi TB/HIV sebagai penyebabnya. 20
Di India, menurut data WHO, pada penghujung tahun 2007 disebutkan
bahwa penduduk yang hidup dengan HIV/AIDS sekitar 2,5 juta jiwa dengan
insidensi tuberkulosis sekitar 1,8 juta pertahun. 19,21

Universitas Sumatera Utara

Di Afrika, sebelumnya HIV/AIDS merupakan masalah epidemi dengan


koinsiden TB dikawasan Sub Sahara dengan proporsi 200/100.000 penduduk
pertahun. Namun pada tahun 2002, angka tersebut mengalami peningkatan
menjadi 259 per 100.000 penduduk pertahun. Berdasarkan satu laporan yang
dikeluarkan oleh WHO, Afrika merupakan kawasan yang memiliki angka
gabungan infeksi TB/HIV paling tinggi. Pada tahun 1999 WHO memperkirakan
penduduk dunia yang hidup dengan TB/HIV sekitar 11,8 juta dan kebanyakan
berada dikawasan Afrika. 19,20
Pada tahun 2000, prevalensi TB/HIV terus meningkat di seluruh dunia.
Saat itu WHO memperkirakan prevalensi infeksi HIV pada orang dewasa dan
anak-anak sekitar 36,1 juta. Pada saat yang sama sekitar 2 miliar orang mengalami
infeksi laten oleh kuman TB dan sekitar 11,8 juta orang mengalami infeksi
gabungan. 19,20

2.2. Etiologi
Limfadenitis TB disebabkan oleh Micobacterium tuberculosis yang
merupakan basil tahan asam dan dapat dilihat dengan pewarnaan Ziehl - Neelsen
(karbol fuksin). Basil M. Tuberculosis ditemukan pertama kali oleh Robert Koch
pada tahun 1882. 21-23
Kuman Mycobacterium ini berbentuk batang dan berukuran panjang antara
2-4 mikron dan lebar antara 0,2-0,5. Kuman M. Tuberculosis tumbuh dengan
energi yang diperoleh dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana. CO 2 dapat

Universitas Sumatera Utara

merangsang pertumbuhan. Pertumbuhan terjadi dengan suhu 30o - 40o C dan suhu
optimum 37o - 38o C. 21-23
Kuman akan mati pada suhu 60o C selama 15-20 menit. Pada suhu 30o C
atau 40o - 45o C sukar tumbuh atau bahkan tidak dapat tumbuh. Pengurangan
oksigen akan menurunkan metabolisme kuman. 22

Daya tahan kuman M. Tuberculosis lebih besar dibandingkan dengan

kuman lainnya karena sifat hidrofobik pada permukaan selnya. Kuman ini tahan
terhadap asam, alkali dan zat warna malakit. Pada sputum kering yang melekat
pada debu dapat tahan hidup selama 8-10 hari. Proses pasteurisasi dan penggunaan
fenol 5% selama 24 jam dapat membunuh kuman M. Tuberculosis. Penggunaan
eter dapat menyebabkan sifat tahan asam kuman ini hilang. 22
M. Tuberculosis hominis merupakan penyebab terbesar kasus TB dengan
resevoir infeksi biasanya ditemukan pada manusia dengan penyakit paru aktif.
Penularan biasanya secara langsung, melalui inhalasi organisme di udara atau
melalui sekret penderita. Basil ini pertumbuhannya terhambat oleh pH<6,5 dan
asam lemak rantai panjang. Oleh karena itu basil ini ditemukan pada bagian tengah
nekrosis perkijuan karena terdapat anaerobiosis, pH rendah dan kadar asam yang
meningkat. Mycobacterium lain, terutama M. Avium-intracellulare, jauh kurang
virulen dibandingkan dengan M. Tuberculosis serta jarang menyebabkan penyakit
pada individu yang mengalami immunosupresi. Namun pada penderita HIV/AIDS,
strain ini sering ditemukan dan dapat mengenai 10% hingga 30% penderita. 22-25
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV) suatu retrovirus pada manusia yang termasuk ke

Universitas Sumatera Utara

dalam keluarga lentivirus. Sejak dikemukakan pertama kali pada tahun 1980 telah
dapat diisolasi 2 tipe HIV dari penderita AIDS, yaitu

HIV-1 yang terdapat di

seluruh dunia sedangkan HIV-2 ditemukan terutama di Afrika Barat. Dua tipe HIV
ini berbeda secara genetik, tetapi berhubungan secara antigen. 26-31
Seperti sebagian besar retrovirus, virion HIV-1 berbentuk sferis dan
mengandung inti berbentuk kerucut yang padat elektron dan dikelilingi oleh
selubung lipid yang berasal dari membran sel pejamu. Inti virus tersebut
mengandung:
1. Kapsid utama protein p24
2. Nukleokapsid protein p7/p9
3. Dua salinan RNA genom, dan
4. Ketiga enzim virus (protease, reverse transcriptase dan integrase).
p24 adalah antigen virus yang paling mudah dideteksi sehingga menjadi sasaran
antibodi yang digunakan untuk mendiagnosa infeksi HIV. 27,30
Inti virus dikelilingi oleh matriks protein yang disebut dengan p17, yang
terletak di bawah selubung virion. Selubung virus itu sendiri tersusun atas dua
glikoprotein virus (gp120 dan gp41) yang sangat penting untuk infeksi HIV pada
sel. Genom provirus HIV-1 mengandung gen gag, pol dan env, yang mengkode
berbagai protein virus. Produk gen gag dan pol mula-mula ditranslasikan menjadi
protein prekursor besar yang harus dipecah oleh protease virus untuk
menghasilkan protein matur. Oleh karena itu, obat penghambat protease anti HIV1 yang sangat efektif akan mencegah perakitan virus dengan menghambat
pembentukan protein virus yang matur. 27,30

Universitas Sumatera Utara

2.3. Patogenesa
Penularan TB terjadi karena menghirup udara dengan partikel-partikel
yang mengandung M. Tuberculosis dan mencapai alveolus. M. Tuberculosis
akan difagositosis oleh makrofag alveolus dan dibunuh. Tetapi kalau M.
Tuberculosis yang dihirup

virulen dan makrofag alveoli lemah, maka M.

Tuberculosis akan berkembang biak dan menghancurkan makrofag. Monosit dan


makrofag dari darah akan ditarik secara kamostaksis ke arah M. Tuberculosis
berada, kemudian memfagositosis basil TB tetapi tidak membunuhnya. Makrofag
dan basil TB membentuk tuberkel yang juga mengandung selsel epiteloid,
makrofag yang menyatu (sel datia Langhans) dan limfosit T. 1,2,4,5
Tuberkel akan menjadi tuberkuloma dengan nekrosis dan fibrosis di
dalamnya dan mungkin juga terjadi kalsifikasi. M. Tuberculosis atau basil TB
menyebar ke kelenjar limfe hilus. Lesi pertama di alveolus , infeksi kelenjar limfe
dan limfadenitis yang bersangkutan

membentuk kompleks primer. Basil TB

setelah dari limfe dapat menyebar melalui saluran limfe dan saluran darah ke
organ-organ lain seperti hepar, lien, ginjal, tulang, otak dan lain-lainya. 1,2,4
Basil TB dapat langsung menyebabkan penyakit di organ-organ atau hidup
dorman di dalam makrofag jaringan dan dapat menyebabkan TB aktif bertahuntahun kemudian. Tuberkel
membentuk

juga dapat hilang dengan resolusi, berkalsifikasi

kompleks Ghon, atau terjadi nekrosis dengan material kiju yang

dibentuk dari makrofag. Kalau masa kiju mencair maka basil dapat berkembang
biak ekstraseluler sehingga dapat meluas di jaringan paru dan dapat menyebar

Universitas Sumatera Utara

secara bertahap menyebabkan lesi di organ-organ lainnya atau disebut sebagai TB


milier. 1,2,4

Inhalasi basil

Alveolus

Basil TB berkembang biak

Fagositosis oleh
makrofag

Destruksi basil

Destruksi makrofag

Resolusi

Kalsifikasi

Kompleks
Ghon

Pembentukan tuberkel

Kelenjar Limfe

Perkijuan

Penyebaran

Pecah
Lesi di hepar, lien,
ginjal, tulang dan otak
Lesi sekunder paru

Gambar.1. Patogenesis Tuberkulosis. 7

Respon imun terdiri dari delayed type hypersensitivity (DTH) dan cellmediated immunity (CMI) yang akan terjadi dalam 4 sampai 6 minggu setelah
infeksi primer. Antigen memproses antigen presenting cell (APC) untuk
memproduksi major histocompability complex (MHC). Terdapat 2 kelas MHC

Universitas Sumatera Utara

yaitu sel T yang membantu fungsi imun/T-helper yang dikenal sebagai CD4
masuk ke dalam MHC kelas II dan sel T yang berfungsi sebagai supressor atau
sitotoksik dikenal sebagai CD8 berhubungan dengan MHC kelas I. Daya tahan
tubuh terhadap TB tergantung fungsi CD4, dimana bila terjadi defisiensi CD4
maka individu tersebut akan rentan terhadap infeksi TB. 27,30,33
Limfadenitis biasanya merupakan komplikasi awal TB primer, umumnya
terjadi pada 6 bulan pertama setelah infeksi. Penyebaran infeksi pada kelenjar
superfisial tersering adalah melaui pembuluh limfe dan pembuluh darah.
Masuknya basil TB ke dalam aliran limfe selama fase awal TB primer paru dapat
tertahan pada satu atau lebih kelenjar superfisial. Dalam beberapa bulan,
penyebaran secara hematogen dapat diketahui jika ditemukan pembesaran seluruh
kelenjar limfe yang bersifat sementara. 1,2,4
Pada sebagian besar kasus, infeksi pada kelenjar limfe ini regresi dan
sembuh sempurna, sedangkan pada sebagian kecil basil berkembang biak dalam
kelenjar limfe atau membentuk fokus TB yang tidak aktif, tetapi basil tetap hidup
di dalamnya. Fokus laten ini akan menjadi aktif beberapa bulan atau tahun
kemudian tergantung dari basil yang masuk, faktor imunitas bawaan maupun
didapat, faktor hipersensitivitas dan suseptibilitas kelenjar limfe yang terkena. 1,2,4
Limfadenitis TB juga bisa disebabkan oleh penyebaran limfatik langsung
dari fokus primer TB di luar paru. Bila kelenjar limfe merupakan bagian dari
kompleks primer, pembesaran akan timbul pertama kali di dekat tempat masuk
basil TB. Limfadenitis TB inguinal atau femoral yang unilateral merupakan
penyebaran dari fokus primer di kulit atau subkutan paha. Limfadenitis TB di

Universitas Sumatera Utara

leher pada beberapa kasus dapat disebabkan oleh infeksi primer di tonsil, akan
tetapi kasus ini jarang terjadi kecuali di beberapa negara yang mempunyai
prevalensi TB oleh M.bovine yang tinggi. 1,2,4
Masalah utama pada penderita HIV/AIDS adalah infeksi oportunistik yang
terjadi karena penurunan yang progresif fungsi imun. Infeksi oportunistik yang
lebih spesifik terjadi pada penderita HIV/AIDS dapat dilihat pada gambar berikut:
33

Kondisi yang berhubungan dengan infeksi HIV


STADIUM:

Efek Langsung
HIV

CD4 sel/mm3

AWAL
Asimtomatik
Limfadenopati
Neuropati
Penyakit kulit
Meningitis aseptik
>400

Waktu (tahun) 0
0-7
Post infeksi
Mucocutaneus
Kandida & HSV
Infeksi
VZV (deartomal)

Infeksi HIV

LANJUT
Asimtomatik
Asimtomatik
Demensia awal
Leukoplakia
ITP, demam
200 400
1-9
CMV, EBV
Clamidia
T. pallidum
Isospora
Mikrosporadia
Criptosporadi

AKHIR
Kaposi Sarkoma
Limfoma
Demensia
Myelopati
Dispnea
<200

<50

2 - <8
T. Gondii
P.carinii
Histoplasma
M. ac
Tuberculosis
PML
Salmonela
Leishmania
T. Gondii

Gambar. 2. Skema kondisi yang berhubungan dengan infeksi HIV. 29

Infeksi awal HIV dimulai setelah transfer cairan tubuh dari orang yang
terinfeksi kepada orang yang tidak terinfeksi. Stadium awal disebut juga stadium
akut atau primer, adalah periode dari replikasi virus secara cepat yang diikuti
dengan meningkatnya virus pada darah perifer dengan jumlah hingga jutaan virus
per milimeternya. Respon ini berhubungan dengan turunnya jumlah CD4. 29,32,33

Universitas Sumatera Utara

Pada fase akut (sekitar 2 sampai 4 minggu setelah terpapar) sebagian besar
penderita akan mengalami influensa atau mononucleus-like illness yang
merupakan manifestasi dari infeksi HIV akut, dengan gejala terdiri dari demam,
limfadenopati, faringitis, rash, mialgia, malaise, nyeri kepala, mual dan muntah,
pembesaran hepar/lien, penurunan berat badan, dan kelainan neurologis. 29,32,33
Durasi gejala bervariasi, rata-rata 28 hari. Pertahanan tubuh yang kuat akan
mengurangi jumlah virus dalam aliran darah, dan dimulainya fase klinis laten yang
terjadi bervariasi antara 2 minggu hingga 20 tahun. Selama fase ini virus aktif di
dalam organ limfoid, sementara sejumlah virus terperangkap di dalam jaringan sel
folikular dendritik. Ketika jumlah CD4 menurun di bawah 200 sel/mm3, respon
CMI menghilang, dan infeksi oportunistik dengan berbagai mikroba segera terjadi.
Secara umum infeksi oportunistik dikontrol oleh CD4. Infeksi oportunistik paling
sering diderita penderita HIV/AIDS adalah infeksi TB dan candida. 29,31,32
Waktu rata-rata paparan viral akut dengan terjadinya respon imun
diperkirakan sekitar 2 bulan. Resiko progresif hingga terjadinya AIDS
digambarkan dengan menurunnya jumlah CD4. Lebih dari 50% pada penderita
HIV/AIDS dengan jumlah CD4 di bawah 150 sel/mm3 akan berkembang menjadi
AIDS dalam waktu 18 bulan. 29,32,33
Pada penderita HIV/AIDS terjadi gangguan pada sel T yang akan
mempengaruhi produksi limfokin dan merusak fungsi makrofag. Kerusakan
makrofag akan mempengaruhi molekul antigen CD4 pada permukaannya. Sel ini

Universitas Sumatera Utara

adalah bagian dari sel T yang memegang peranan penting terhadap respon imun.
29,32,33

Kerusakan makrofag akan berpengaruh pada pertahanan tubuh terhadap


TB. HIV menginfeksi sel yang memiliki molekul antigen CD4 pada
permukaannya. Sel ini adalah bagian dari sel limfosit T yang memegang peranan
penting terhadap respon CMI. Pada HIV yang lanjut, CD4 akan berkurang dalam
jumlah dan fungsinya. Kerusakan sistem imun pada penderita HIV/AIDS akan
menyebabkan tidak aktifnya imunitas seluler yang ditandai dengan tes Mantoux
yang negatif, tidak terbentuknya granulomatosa, adanya nekrosis kaseosa dan
kavitas, tetapi jarang ditemukan BTA pada dahak. 3,4,24,30
Molekul CD4 merupakan suatu reseptor untuk HIV yang berafinitas tinggi.
Hal ini menjelaskan mengenai kecendrungan selektif virus terhadap sel T CD4 dan
kemampuannya menginfeksi CD4 lain terutama makrofag dan sel dendrit. Namun,
dengan berikatan pada CD4 tidak cukup untuk menimbulkan infeksi; selubung
gp120 HIV juga harus berikatan pada molekul permukaan sel lainnya (coreceptor) untuk memudahkan masuknya sel. Peranan ini dimainkan oleh dua
molekul reseptor kemokin permukaan sel, yaitu CCR5 dan CXCR4. 27,30,34,35

Universitas Sumatera Utara

Gambar. 3. Patogenesis Infeksi HIV-1. 30

M. Tuberculosis dan HIV-1 merupakan dua patogen intraseluler yang


berinteraksi baik pada tingkat populasi, klinik dan seluler. HIV meningkatkan
kemudahan seseorang terkena infeksi M. Tuberculosis. Pada seseorang yang
terinfeksi M. Tuberculosis, HIV merupakan penyebab kuat infeksi TB menjadi
penyakit. Dibandingkan dengan seseorang yang tidak terinfeksi HIV, seseorang
yang terinfeksi HIV mempunyai resiko 10 kali menderita TB. Menurut GArdic
bahkan dapat 30 kali. 27,30,34,35

Universitas Sumatera Utara

Pada seseorang yang terinfeksi HIV, terjadi penurunan CD4 dalam jumlah
dan fungsi. Kemampuan sistem imun untuk mencegah pertumbuhan dan
penyebaran M. Tuberculosis berkurang. TB paru terkadang merupakan tanda
pertama infeksi HIV. Bila TB mengenai penderita yang terinfeksi HIV, prognosis
umumnya buruk walaupun itu tergantung kepada derajat imunosupresi dan respon
terhadap terapi anti-TB. 27,30,34,35
Infeksi HIV dapat mengubah epidemiologi TB melalui 3 cara:
1. Reaktifasi endogen M. Tuberculosis pada seorang yang kemudian terinfeksi
HIV.
2. Berlanjutnya infeksi M. Tuberculosis menjadi TB pada seseorang yang
sebelumnya terinfeksi HIV.
3. Penyebaran

kuman

TB

pada

populasi umum dari penderita TB yang

menderita TB akibat infeksi HIV. 27,30,34,35


Respon

imun pejamu terhadap infeksi TB adalah aktivasi makrofag,

imunitas seluler dan pembentukan granuloma. Akibat hubungan virulensi kuman,


hipersensivitas individu dan imunitas terhadap infeksi, maka akan menyebabkan
perbedaan lesi. Awal pembesaran kelenjar terutama disebabkan oleh hiperplasia
limfosit dan pembentukan tuberkel, selanjutnya terjadi lesi granuloma dan
seringkali diikuti nekrosis dan perkijuan. Granuloma TB ditunjukan dengan daerah
konsentrik yang terdiri dari sel datia Langhans, sel epiteloid dan limfosit, yang
ditengahnya terdapat daerah nekrosis. Nekrosis perkijuan ciri khas pada TB adalah
koagulatif, nekrosis total tanpa meninggalkan sisa sel atau debris. 27,30,34,35

Universitas Sumatera Utara

Kelenjar limfe bisa menjadi berlekatan satu sama lain dan menembus kulit
akibat reaksi inflamasi. Bila patogenesis TB penyebab pembesaran kelenjar tidak
diketahui dan tidak diobati, maka daerah yang terlibat bisa berpindah ke dalam
masa perkijuan yang berdekatan, akhirnya terbentuk abses yang menembus kulit
dan membentuk sinus. Setelah perkijuan keluar dan kelenjar menyembuh, akan
terjadi fibrosis, hialinisasi dan kalsifikasi, baik total maupun parsial, meskipun
basil laten dapat bertahan untuk beberapa tahun dalam lesi ini. 27,30,34,35

2.4. Diagnosa
Diagnosa pasti limfadenitis TB ditentukan melalui biopsi kelenjar atau
aspirasi dengan pemeriksaan histopatologi, serta dilakukan pewarnaan basil tahan
asam (BTA) langsung dan dibiakkan. Pemeriksaan langsung BTA ditemukan
pada 25% sampai 50% dari spesimen biopsi, dan M. Tuberculosis berhasil
diisolasi sekitar 70% dari yang dibiakkan. Uji tuberkulin yang dilakukan pada
penderita TB paru mungkin terjadi negatif palsu pada lebih dari 20-25% kasus.
Kemungkinan negatif pada penderita limfadenitis TB kurang dari 10%, sehingga
hasil uji kulit yang positif akan mendukung diagnosa dan hasil negatif tidak secara
substansial menyingkirkan kemungkinan TB. 1,2
Untuk menyingkirkan penyakit intratoraks lain dan mendukung diagnosa
TB, foto toraks perlu dilakukan pada semua yang terbukti dan dicurigai menderita
limfadenitis TB. Pada kasus-kasus yang masih meragukan (biopsi sesuai tapi
biakan negatif) gambaran foto toraks yang menunjukan TB aktif atau bekas TB
akan mendukung bukti etiologi TB. Teknik khusus dengan Polymerase Chain

Universitas Sumatera Utara

Reaction (PCR) terhadap jaringan limfe untuk mengidentifikasi basil TB bisa


dilakukan untuk memperkuat diagnosa. 1,2
Dalam mengevaluasi perkembangan infeksi HIV, perlu dilakukan
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan darah. Kadar normal CD4 dalam darah adalah
700-1.300 sel/mm3. Pada individu yang terinfeksi virus HIV akan terjadi
penurunan kadar CD4 sekitar 40-80 sel/mm3 dalam satu tahun. Kebanyakan
individu tidak menunjukkan gejala sampai kadar CD4 di bawah 500 sel/mm3,
diagnosa AIDS ditegakkan bila kadar CD4 penderita <200 sel/mm3. Disamping itu
perlu dilakukan pemeriksaan darah karena pada umumnya akan terjadi penurunan
yang cukup besar komponen darah lainnya sebelum gejala HIV/AIDS muncul,
dimana akan dapat ditemui leukopenia, trombositopenia dan perubahan kadar
serum transaminase dan polyclonal activation dari sel-sel imun. 36
Dalam menegakkan diagnosa HIV, dilakukan beberapa pemeriksaan antara
lain:
a. Antibodi anti-HIV
Pada pemeriksaan ini metode yang dilakukan adalah EnzymeLinked
Immunosorbent Assay (ELISA), yang akan mengukur antibodi terhadap virus
HIV (anti-HIV). Hal ini memerlukan waktu sekitar 2-3 bulan untuk dapat
mendeteksi serum dalam darah. Pemeriksaan serologi saat ini dapat dilakukan
untuk mendeteksi virus HIV-1 dan HIV-2 dan sekarang pemeriksaan ini
memiliki nilai sensitivitas dan spesivitas yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara

b. Status imunologi
Pada pemeriksaan status imunologi ini yang dilakukan adalah menghitung
kadar CD4 dalam darah. Penilaian kadar CD4 ini sangat penting untuk menilai
derajat beratnya infeksi HIV dan untuk memprediksi onset terjadinya infeksi
oportunistik. Pemeriksaan kadar CD4 ini harus diulang setiap 3 bulan untuk
menilai perkembangan penyakit dan dasar pertimbangan untuk tindakan
profilaksis dan pengobatan. Berikut ini adalah tabel hubungan antara jumlah
limfosit T, kadar CD4 dan tingkat gejala klinis penyakit.

Tabel 1. Hubungan Kondisi Klinis, Jumlah Limfosit T dan CD4. 38

KONDISI KLINIS

JUMLAH
3
LIMFOSIT T (/mm )

JUMLAH CD4
3
(/mm )

Tanpa gejala

> 2500

501 - 600

Gejala minor

1001 - 2500

351 - 500

Gejala mayor dan infeksi oportunistik

501 - 1000

200 - 350

AIDS

< 500

< 200

c. Deteksi virus
Pemeriksaan viral load (VL) memberikan gambaran yang lebih akurat dalam
hal fluktuasi jumlah virus dalam hal respon penderita HIV/AIDS terhadap
pengobatan anti retroviral (ARV). Kadar viremia dalam plasma diukur dengan
mendeteksi RNA HIV dengan teknik PCR dan hal ini menggambarkan aktvitas
replikasi virus. 31,36,37,38

Universitas Sumatera Utara

2.4.1. Gambaran Klinis


Limfadenitis TB superfisial paling sering ditemukan di daerah servikal
(91,5%), sedangkan di daerah aksila 12,7% di daerah inguinal 7,0% dan di daerah
siku 1,4%. Berdasarkan lokasinya Yew dan Lee di Taiwan menganalisis 111
penderita limfadenitis TB servikal didapatkan 45% berada di sebelah kanan, 28%
di sebelah kiri dan 27% bilateral, sedangkan 78% multiple dan 20% soliter.
Frekuensi limfadenitis TB bersamaan dengan TB paru bervariasi antara 5% sampai
70%. 1,2
Timbulnya limfadenitis TB sering kali tidak disadari sampai penderita atau
orang tua penderita mengeluh ada benjolan. Keluhan umum jarang ditemui kecuali
terdapat penyakit TB di tempat lain. Limfadenitis TB biasanya tampak berupa
benjolan yang tidak nyeri pada satu atau beberapa kelenjar. Pada awalnya kelenjar
berbatas tegas, tidak melekat pada kulit. Selanjutnya sesuai perjalanan penyakit,
kelenjar menjadi satu atau melekat dengan kulit kemudian melunak dan menjadi
abses yang selanjutnya akan pecah menembus kulit. Pecahnya kelenjar akan
membentuk sinus yang akan memperlambat penyembuhan. 23,26,30,31
Perjalanan alamiah infeksi HIV adalah sebagai berikut:
a. Infeksi akut HIV
Antibodi

terhadap antigen HIV timbul umumnya 6 minggu tetapi bisa

sampai 3 bulan setelah infeksi. Pada saat ini terjadi uji HIV (seropositif)
untuk pertama kali sejak

infeksi. Penderita

menderita demam bercak

kemerahan, antralgia dan limfadenopati. 7


b. Infeksi HIV asimptomatik

Universitas Sumatera Utara

Pada orang dewasa terdapat periode laten yang lama sejak infeksi HIV
hingga timbulnya

HIV-related disease

dan AIDS.

Masa ini

dapat

berlangsung hingga 10 tahun atau lebih. 7


c. HIV-related disease dan AIDS
Untuk keperluan surveilans epidemiologi seorang dewasa (>12 tahun)
dianggap menderita AIDS apabila menunjukan uji HIV positif dengan strategi
pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala-gejala ini
dan bukan disebabkan kadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi
HIV:
Gejala mayor

Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan

Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1bulan

Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan

Penurunan kesadaran dan gangguan neorologik

Dementia/HIV ensefalopati 7

Gejala minor

Bentuk menetap lebih dari 1 bulan

Dermatitis generalisata yang gatal

Ada herpes zoster multisegmental dan atau berulang

Kandidiasis orofaringeal

Herpes simpleks kronik progresif

Limfadenopati generalisata

Infeksi jamur berulang pada alat kelamin perempuan 7

Universitas Sumatera Utara

Ditemukannya sarkoma kaposi atau pneumonia yang mengancam jiwa dan


rekuren (pneumonia pnemocystis carinii) sudah cukup untuk menegakkan
diagnosa AIDS untuk keperluan surveilans. 1,2

2.4.2. Gambaran Sitopatologi


Diagnostik limfadenitis TB dapat ditegakkan apabila memenuhi kreteria
yaitu adanya histiosit dari tipe epiteloid yang membentuk kelompokan yang
kohesif dan juga ditemukannya multinucleated giant cell tipe foreign body atau
tipe Langhans. 10,11
Sel-sel epiteloid merupakan tanda yang khas dari sediaan biopsi aspirasi.
Sel epiteloid dengan inti berbentuk elongated, yang dideskripsikan sebagai bentuk
seperti tapak sepatu. Kromatin inti bergranul halus dan sitoplasma pucat dengan
pinggir sel yang tidak jelas. 10,11
Sel-sel epiteloid

pada limfadenitis TB membentuk gumpalan kohesif,

berukuran kecil maupun berukuran besar yang dapat mirip granuloma yang
terdapat pada sediaan histopatologi. Dijumpai nekrosis sentral pada kelompokan
yang berukuran besar, adanya fibrinoid atau kaseosa. Materi keseosa bergranul dan
eosinofilik dapat dijumpai pada sediaan aspirat. 10,11
Limfadenitis TB secara sitologi tidak sulit didiagnosa bila aspirat
menunjukkan sel-sel epiteloid dan multinucleated giant cell tipe Langhans. Tetapi
jika kedua jenis sel ini tidak tampak pada aspirat, maka akan sulit mendiagnosa
apakah ini merupakan limfadenitis akut supuratif atau limfadenitis TB supuratif. 12

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4. Granuloma-loose aggregates


dari histiosit epiteloid. 10

Lubis et al, pada studi diagnostik menemukan adanya gambaran lain dari
aspirat limfadenopati dan non limfoid (servikal, axillary, inguinal, breast, skin/soft
tisssue, intraabdominal dan testis) yaitu berupa bercak-bercak gelap (dark specks)
pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik. 12

Gambar 5. Perbandingan tampilan dark specks (tanda panah) pada


limfadenitis supuratif TB (A) dengan limfadenitis akut supuratif( B). 12

Iyengar dan Basu melaporkan adanya 5 kasus limfadenitis TB pada


penderita AIDS dimana dengan pewarnaan rutin May Grunwald Giemsa (MGG)
dapat melihat mycobacterium berupa struktur berbentuk batang yang tidak
terwarnai dengan latar belakang histiosit. Dan ini dapat dikonfirmasi dengan
pewarnaan Ziehl-Neelsen. 39

Universitas Sumatera Utara

2.4.3. Imunositokimia
Gambaran klinis dan histologi terkadang dapat memberikan gambaran
yang

kurang

spesifik.

Saat

ini

dengan

pemeriksaan

imunohistokimia

mikobakterial antigen MPT64 dapat mendeteksi keberadaan M. Tuberculosis


dengan pasti dalam waktu yang lebih singkat. Selain itu karena spesivitas dan
sensitivitas yang tinggi dapat menyingkirkan dugaan apabila ada keraguan dan
kecurigaan disertai dengan adanya infeksi M. bovis. M. africanum atau M. microti,
atau bakteri lain yang memberikan gambaran menyerupai TB, terutama pada
kasus TB ekstra pulmoner atau penderita disertai dengan HIV positif. 14
Penelitian yang dilakukan oleh Purohit et al, yang bertujuan untuk melihat
potensiasi diagnostik dengan pewarnaan imunohistokimia untuk mendeteksi
MPT64 dengan sampel yang besar dari populasi yang berbeda dari berbagai
tempat. Sediaan difiksasi dengan menggunakan formalin dan dan dilakukan blok
parafin dari hasil biopsi TB abdomen dan limfadenitis TB servikalis. Kemudian
dilakukan pemeriksaan

dengan melihat tampilan antibodi MPT64 yang

dibandingkan dengan antibodi BCG. 13


Purohit et al, menyimpulkan bahwa teknik ini memiliki spesivitas dan
sensitivitas yang tinggi untuk mendiagnosa TB ekstra pulmoner dengan hasil
sensitivitas 92%, spesivitas 97% dan positive dan negative predictive values 98%
dan 85%. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan menggunakan antibodi BCG
yaitu sentivitas 88%, spesivitas 85% dan positive dan negative predictive values
92% dan 78%. 13

Universitas Sumatera Utara

Goel dan Budhwar

melakukan penelitian dengan menggunakan

imunositokimia MTSS (Mycobacterium Tuberculosis Species-Specific) sebagai


diagnostik tambahan dibandingkan dengan pewarnaan konvensional Ziehl-Neelsen
(ZN) pada sediaan Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) dari penderita
limfadenitis tuberkulosis. Goel menyimpulkan bahwa MTSS dapat digunakan
sebagai diagnostik tambahan yang spesifik untuk mendeteksi limfadenitis
tuberkulosis dengan hasil negatif palsu hingga 0%. 40

2.4.3.1. Mycobacterium Tuberculosis Antibody (ab905)


Infeksi primer M. Tuberculosis dimulai dengan inhalasi 1 sampai 10 basil
aerosol.

Patogenisitas

organisme

ditentukan

oleh

kemampuannya

untuk

menghindari respon imun host serta menimbulkan delayed hypersensitivity.


Makrofag alveolar menelan sel penyerang namun tidak mampu untuk membangun
pertahanan yang efektif. Beberapa faktor virulensi bertanggung jawab atas
kegagalan ini, terutama pada dinding sel mycobakterium seperti cord factor,
lipoarabinomannan, dan 65 kD heat shock protein (HSP65). 17
Heat-shock protein (HSP) merupakan

sekelompok protein dimana

ekspresinya meningkat bila sel-sel terpapar dengan temperatur tinggi. Berbagai


keluarga HSPs seperti HSP90, HSP70, HSP65 dan HSP10 diketahui telah
membangkitkan respon imun yang kuat tanggapan pada host selama infeksi TB.
Diantara HSP ini, satu antigen tertentu yakni HSP 65Kd (Rv0440) ditemukan
dalam berbagai spesies M. Tuberculosis dan immunodominant yang memunculkan
respon imun selular dan humoral. Protein dihasilkan sebagai respon terhadap

Universitas Sumatera Utara

reaksi host selama infeksi, istilah yang lebih umum adalah stres protein, telah
diaplikasikan untuk kelas protein ini. HSP 65 kD memainkan peran ganda dalam
sel, terutama sebagai molecular chaperones dan juga sebagai antigen
immunodominant pada infeksi host. 17
Satu penelitian menunjukkan bahwa kadar protein M. Tuberculosis ini
meningkat hingga 1%-10% di bawah kondisi stres yang kemungkinan akan terjadi
selama infeksi TB. Penelitian lain yang dilakukan oleh Dan McWilliam et al,
menyimpulkan bahwa ab905 muncul untuk mengikat antigen manusia pada
sinovium yang meradang, dengan hipotesisnya bahwa ab905 merupakan heatshock protein. 17

2.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan limfadenitis TB, prinsip dan regimen obatnya sama
dengan tuberkulosis paru. Kemoterapi adalah dasar penatalaksanaan. Pada kasuskasus yang terbukti atau sangat condong sutu limfadenitis TB, pengobatan harus
tepat dan sedini mungkin. Perlu diperhatikan bahwa kita tidak benar-benar tahu
apa yang akan terjadi pada kelenjar limfe ketika kita mengobatinya. 1
Sekitar 25% penderita kelenjarnya makin membesar selama pengobatan,
bahkan bisa timbul kelenjar baru dan sekitar 20% timbul abses dan kadang-kadang
membentuk sinus. Bila ini terjadi, janganlah mengubah pengobatan, karena
kelenjar akan mengecil jika pengobatan masih kita lanjutkan. Sekitar 5-10%
penderita masih akan teraba kelenjarnya pada akhir pengobatan, tetapi biasanya
tidak membuat masalah lebih lanjut. Tidak perlu pemberian kortikosteroid, tetapi

Universitas Sumatera Utara

bila terjadi fluktuasi abses yang luas, kortikosteroid dapat mencegah timbulnya
sinus dan membantu memperkecil abses tanpa memerlukan tindakan bedah.

Berdasarkan beberapa pedoman pengobatan TB, terdapat perbedaan


pemberian regimen. Pedoman internasional dan nasional menurut WHO
memasukan limfadenitis TB dalam kategori III dan merekomendasikan
pengobatan selama 6 bulan dengan regimen 2HRZ/4RH atau 2HRZ/4H3R3 atau
2HRZ/6HE. American Thoracic society (ATS) merekomendasikan pengobatan
selama 6 bulan sampai 9 bulan sedangkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(PDPI) mengklasifikasikan limfadenitis TB ke dalam TB diluar paru dengan
paduan obat 2RHZE/10RH. British Thoracic Society Research Committee and
Compbell (BTSRCC) merekomendasikan pengobatan selama 9 bulan dalam
regimen 2RHE/7RH. 1,5,31,41
Menurut WHO pengobatan TB dengan HIV positif sama saja dengan
pengobatan TB pada umumnya, penderita dengan HIV positif kecuali tidak boleh
diberikan thiacetazon pada penderita TB dengan HIV positif. Sejumlah peneliti
menganjurkan terapi yang lebih lama, yaitu 9 bulan, pada penderita dengan HIV
walaupun respon pengobatan awal baik. Communicable Disease Control (CDC)
dan ATS menganjurkan pengobatan 6 bulan untuk TB dengan HIV, namun
pengobatan lebih lama pada penderita dengan respon klinik dan bakteriologik yang
lambat. Untuk pengobatan diluar paru selama 12 bulan. Bila pirazinamid tidak
dapat diberikan, maka terapi dengan INH, Rifampisin, Ethambutol

diberikan

selama 9 bulan. Resistensi terhadap OAT merupakan hal yang perlu


dipertimbangkan pada penderita TB dengan HIV. Resiko resistensi OAT lebih

Universitas Sumatera Utara

tinggi pada penderita dengan HIV baik tunggal maupun ganda (Multidrug
Resistance=MDR). 1,2,5,31,41
Penelitian di Zaire menunjukkan angka relaps pada penderita TB dengan
infeksi HIV dua kali lebih banyak dibandingkan penderita TB tanpa HIV. Perriens
et al, menganjurkan perpanjangan terapi dari 6 bulan menjadi 12 bulan karena
dapat mengurangi angka kekambuhan walau tak memperbaiki lamanya ketahanan
hidup penderita. Namun penelitian Sterling et al, menunjukan tak ada perbedaan
yang bermakna antara relaps pada penderita TB dengan HIV seropositif dan HIV
seronegatif oleh karena itu Sterling menganjurkan bahwa terapi pada penderita TB
dengan HIV positif sama dengan HIV negatif dalam menyelesaikan pengobatan.
Bila infeksi TB timbul kembali maka ada 2 kemungkinan yaitu kambuh atau
infeksi baru. 1
Van Loenhout-Rooyackers et al,

membandingkan beberapa penelitian

yang menggunakan paduan obat yang berbeda, yang diambil dari database
Medline sejak tahun 1978-1997 dan mendapatkan bukti bahwa

tidak ada

perbedaan yang bermakna diantara beberapa paduan obat tersebut. 1


Hal yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa kesembuhan penderita
dipengaruhi oleh kepatuhan, dana, edukasi dan kesabaran dalam mengkonsumsi
obat, serta dengan pengobatan yang efektifpun respon penyakit ini lebih lambat
daripada TB paru. 1
Obat anti retroviral yang banyak dipakai sampai saat ini ialah protease
inhibitors seperti saquinavir, indiavir, ritonavir dan nelfinafir dan dari jenis nonnucleoside reverse transcriptase inhibuitors (NNRTIs) seperti neviravine,

Universitas Sumatera Utara

delavirdine dan efavirenz.

Telah diketahui protease inhibitors dan NNRTIs

berinteraksi dengan rifamycin seperti rifampin, rifabutin dan rifapentine yang


biasanya dipakai sebagai tuberkulostatika. 2
Interaksi ini disebabkan oleh karena terjadi perubahan metabolisme dari
anti retroviral dan rifamycin karena yang dikenal sebagai CYP450. Rifamycin
akan meningatkan CYP450 sehingga obat-obatan yang metabolismenya dilakukan
oleh CYP450 akan menurun kadarnya dalam plasma darah. Dan anti retroviral
golongan protease inhibitor termasuk yang dimetabolisme oleh CYP450,
akibatnya kadar anti retroviral ini akan menurun dalam plasma, sehingga
aktivitasnya sebagai anti retroviral akan berkurang. 2
Sebaliknya bila ritonavir yang merupakan inhibitor kuat CYP450 diberikan
bersamaan dengan rifabutin, maka kadar rifabutin dalam darah akan meningkat
tinggi, akibatnya kemungkinan akan terjadinya keracunan terhadap rifabutin akan
meningkat pula. Diantara golongan rifamycin, rifampin adalah perangsang yang
paling kuat dari CYP450, sedangkan rifabutin yang paling lemah dan rifapentine
berada diantaranya. 2
Protease inhibitor merupakan penghambat CYP450, dimana ritonavir yang
paling kuat dan saquinavir yang paling lemah, yang lain berada diantaranya. 2
Dari tiga obat golongan NNRTIs yang sudah disetujui mempunyai efek
yang berbeda-beda terhadap CYP450, dimana nevirapine adalah perangsang
CYP450, delavirdine merupakan penghambat dan efavirenz merupakan gabungan
sebagai penghambat dan perangsang CYP450. 2

Universitas Sumatera Utara

Golongan anti retroviral lainnya yang disebut nucleoside reverse


transcriptase inhibitors (NRTIs) seperti zidovudine, didanosine, zalcitabine,
stavudine dan lamivudine dimetabolisme tidak melalui sistem CYP450, karena itu
golongan NRTIs ini dapat diberikan bersama dengan rifamycin.2
Tuberkulostatika

lainnya

seperti

INH,

pyrazinamide,

ethambutol,

streptomycin dimetabolisme juga tidak melalui sistem CYP450, karena itu dapat
diberikan bersamaan dengan obat anti retoviral. 2
Penggunaan rifampin untuk pengobatan standard TB tidak dianjurkan pada
penderita yang terinfeksi HIV dan sedang dalam pengobatan dengan anti retroviral
golongan protease inhibitors dan atau NNRTIs. Sebagai gantinya untuk penderita
tersebut dapat dipakai ributin atau tuberkulostatika yang tanpa rifamycin.
Rifampin dapat digunakan pada penderita menggunakan anti retroviral yang tidak
memakai golongan protease inhibitors maupun NNRTIs, yaitu memakai NRTIs
saja. 2
Pembedahan pada limfadenitis TB saat ini tidak perlu lagi, karena dengan
kemoterapi bisa mengobati penyakit ini. Satu-satunya alasan untuk melakukan
pembedahan adalah bila diagnosanya sangat meragukan. Untuk alasan kosmetik,
pembedahan bisa dipertimbangkan, tetapi dilakukan minimal setelah 1 atau 2
minggu dimulainya pengobatan. 2
Walaupun pengobatan penderita TB aktif merupakan prioritas utama dalam
pemberantasan penyait TB, pencegahan TB pada penderita HIV juga perlu
dilakukan, terutama penderita HIV yang juga mengidap infeksi laten dengan

Universitas Sumatera Utara

kuman TB. Untuk itu biasanya digunakan INH setiap hari selama 9-12 bulan
dengan dosis minimal 270 dosis. 2

2.6. Kerangka Konsepsional

HIV/AIDS

Penurunan Kadar CD4:


Kadar CD4 < 200
Kadar CD4 201-350
Kadar CD4 351-500

Infeksi Oportunistik

Limfadenitis Tuberkulosis
dengan HIV/AIDS

Sitologi:
- Sel epiteloid
- Giant Cell
- Material Nekrotik
- Limfosit

Bercak-bercak gelap (dark


specks) pada latar belakang
material nekrotik granular
eosinofilik

Gambar. 6. Skema Kerangka Konsepsional

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai