Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi yang semakin pesat membawa dampak yang
besar dalam kehidupan manusia. Salah satunya dalam hal perkembangan
transportasi

baik

transportasi

pribadi

maupun

transportasi

masal

yang

memungkinkan setiap orang dapat berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya
dengan cepat dan mudah. Mobilitas yang tinggi dan faktor kelalaian manusia
menjadi salah satu penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu
lintas menempati urutan ketiga penyebab kematian diseluruh dunia setelah
HIV/AIDS dan TBC (WHO, 2011). Tingginya angka kecelakaan menyebabkan
angka kejadian fraktur (patah tulang) semakin tinggi.
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012 terdapat
5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur akibat
kecelakaan lalu lintas. Di Indonesia menurut data Depkes RI (2011) kejadian
fraktur sebanyak 1,3 juta insiden setiap tahun dari jumlah penduduk 238 juta,
sekaligus merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Dari angka tersebut
sebanyak 25% penderita fraktur mengalami kematian, 45% mengalami cacat fisik,
15% mengalami stress psikologis dan bahkan depresi, serta 10% mengalami
kesembuhan dengan baik. Menurut data Rikesda (2007), sebagian besar kasus
fraktur yang terjadi disebabkan oleh cedera. Cedera tersebut berdasarkan berbagai
hal yaitu karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma tajam/ tumpul. Pada
45.987 peristiwa terjatuh, terjadi fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8%), dari 20.829

kasus kecelakaan lalu lintas, terjadi fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5%).
Sedangkan pada 14.127 kasus trauma benda tajam / tumpul, yang mengalami
fraktur sebanyak 236 orang (1,7%). Sementara di Provinsi Bali, fraktur masih
menjadi masalah kesehatan yang banyak terdapat di instansi kesehatan. Data
registrasi Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinisi Bali (2011), didapatkan data fraktur
sebanyak 3065 kasus (8,9%) dari seluruh penyakit yang dirawat di Rumah Sakit
di Bali. Di RSK Bedah BIMC Kuta tahun 2013 terdapat kasus fraktur sebanyak
189 kasus, meningkat menjadi 215 kasus pada tahun 2014, dan 245 kasus pada
tahun 2015.
Fraktur dapat ditangani dengan tindakan operasi maupun non operasi
(konservatif). Fraktur yang ditangani dengan tindakan operasi menyebabkan
terjadinya cidera baru pada jaringan tubuh. Untuk menjaga homeostasis, tubuh
melakukan mekanisme untuk segera melakukan pemulihan pada jaringan tubuh
yang mengalami perlukaan. Pada proses pemulihan inilah terjadi reaksi kimia
dalam tubuh sehingga nyeri dirasakan oleh pasien. Pada proses operasi
digunakan anestesi agar pasien tidak merasakan nyeri pada saat dibedah. Namun
setelah operasi selesai dan pasien mulai sadar, pasien akan merasakan nyeri pada
bagian tubuh yang mengalami pembedahan (Anggorowati dkk., 2007). Menurut
(Mulyono, 2008) pemulihan pasien post operasi membutuhkan waktu rata- rata
72,45 menit, sehingga pasien akan merasakan nyeri yang hebat rata-rata pada 2-4
jam pertama sesudah operasi karena pengaruh obat anastesi sudah hilang, dan
pasien sudah keluar dari kamar sadar. Menurut Walsh dalam (Harnawatiaj, 2008)
pada pasien post operasi seringkali mengalami nyeri hebat meskipun tersedia
obat- obat analgesik yang efektif, namun nyeri pasca bedah tidak dapat diatasi

dengan baik, sekitar 50% pasien tetap mengalami nyeri sehingga dapat
mengganggu kenyamanan pasien.
Nyeri adalah keadaan subyektif dimana seseorang memperlihatkan
ketidaknyamanan secara verbal maupun non verbal. Respon seseorang terhadap
nyeri dipengaruhi oleh emosi, tingkat kesadaran, latar belakang budaya,
pengalaman masa lalu tentang nyeri dan pengertian nyeri. Nyeri mengganggu
kemampuan seseorang untuk beristirahat, konsentrasi, dan kegiatan yang biasa
dilakukan. Pengelolaan nyeri fraktur bukan saja merupakan upaya mengurangi
penderitaan pasien, tetapi juga meningkatkan kualitas hidupnya. Secara garis
besar ada dua manajemen untuk mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologi
dan manajemen non farmakologi. Pengendalian nyeri secara farmakologi efektif
untuk nyeri sedang dan berat. Namun demikian pemberian farmakologi tidak
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan klien sendiri untuk mengontrol
nyerinya (Anggorowati dkk., 2007). Oleh karena itu dibutuhkan kombinasi non
farmakologi untuk mengontrol nyeri agar sensasi nyeri dapat berkurang serta
masa pemulihan tidak memanjang (Bobak, 2004).
Peran seorang perawat dalam mengatasi kecemasan dan nyeri menjadi
sangat berarti. Kebanyakan perawat melaksanakan program terapi hasil dari
kolaborasi dengan dokter untuk mengilangkan atau meringankan nyeri pada
pasien. Diantaranya adalah pemberian analgesik yang memang mudah dan cepat
dalam pelaksanaanya dibandingkan dengan penggunaan intervensi manejemen
nyeri non farmakologi. Jika dengan manejemen nyeri non farmakologi belum juga
berkurang atau hilang maka barulah diberikan analgesik. Pemberian analgesik
juga harus sesuai dengan yang diresepkan dokter, karena pemberian analgesik

dalam jangka panjang dapat menyebabkan pasien mengalami ketergantungan


(Sodikin, 2001). Kombinasi antara non farmakologi dan farmakologi adalah cara
yang efektif untuk menghilangkan nyeri terutama nyeri yang sangat hebat yang
berlangsung selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari (Smatzler dan Bare,
2002). Penanganan nyeri dengan tehnik non farmakologi merupakan modal utama
menuju kenyamanan (Catur, 2005). Dipandang dari segi biaya dan manfaat,
penggunaan manajemen non farmakologi lebih ekonomis dan tidak ada efek
sampingnya jika dibandingkan dengan penggunaan manajemen farmakologi.
Selain juga mengurangi ketergantungan pasien terhadap obat-obatan (Burroughs,
2001).
Peran perawat merupakan manejemen non farmakologi salah satunya
menggunakan teknik relaksasi nafas dalam. Metode non farmakologi tersebut
bukan merupakan pengganti untuk obat-obatan, tindakan tersebut diperlukan
untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa detik atau
menit. Menurut hasil penelitian tentang teknik relaksasi nafas dalam terhadap
penurunan tingkat nyeri pada pasien pasca operasi fraktur femur di Rumah Sakit
Karima Utama Surakarta tahun 2009 oleh Ayudianningsih menyebutkan bahwa
ada pengaruh yang signifikan teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan
nyeri pada pasien pasca operasi fraktur femur antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol di Rumah Sakit Karima Utama Surakarta. Adapun menurut
Saekhatun (2008) menyatakan bahwa ada hubungannya sikap perawat dengan
tindakan perawat dalam manajemen nyeri dengan teknik distraksi pada pasien
post operasi.

Ketika

seseorang

melakukan

relaksasi

pernapasan

untuk

mengendalikan nyeri, di dalam tubuh tersebut meningkatkan komponen saraf

parasimpatik secara stimulan maka hormon adrenalin dan kortisol yang dapat
menyebabkan stres akan menurun sehingga meningkatkan konsentrasi serta
merasa tenang untuk mengatur napas sampai pernapasan kurang dari 60 70
x/menit. Kemudian kadar PaCO2 akan meningkat dan menurunkan pH sehingga
akan meningkatkan kadar oksigen dalam darah (Handerson, 2005). Teori relaksasi
pernapasan ini menjelaskan bahwa pada spinal cord, sel-sel reseptor yang
menerima stimulasi nyeri periferal dihambat oleh stimulasi dari serabut-serabut
saraf yang lain. Stimulasi yang menyenangkan dari luar juga dapat merangsang
sekresi endorfin, sehingga stimulasi nyeri yang dirasakan oleh klien menjadi
berkurang (Priharjo, 2003). Periode relaksasi pernapasan yang teratur dapat
membantu untuk melawan keletihan, ketegangan otot yang terjadi akibat
peningkatan sensasi nyeri (Smeltzer dan Bare, 2002).
Teknik relaksasi nafas dalam yang dikombinasikan dengan aromaterapi
lavender akan mempermudah pasien mencapai relaksasi dalam mengurangi nyeri.
Menurut Hutasoit (2002), bahwa lavender mempunyai efek menenangkan.
Lavender memberikan ketenangan, keseimbangan, rasa nyaman, rasa keterbukaan
dan keyakinan. Selain itu lavender dapat mengurangi rasa tertekan, stress, rasa
sakit, emosi yang tidak seimbang, histeria, rasa frustasi dan kepanikan. Lavender
bermanfaat mengurangi rasa nyeri, dan dapat memberikan relaksasi (Woodcock,
2008 dalam Sulistyowati, 2009). Minyak aromaterapi lavender yang dihirup akan
membuat vibrasi di hidung yang mempunyai manfaat mempengaruhi sistem
limbik, tempat pusat memori, suasana hati, dan intelektualitas berada. Menghirup
aromaterapi lavender yang mengandung linail asetat dan linaloo akan
meningkatkan gelombang-gelombang alfa di dalam otak dan gelombang inilah

yang membantu kita untuk merasa rileks. Respon non verbal menunjukan
kenyamanan dapat dilihat pada seseorang meliputi : tidak ada kerut muka, tidak
ada gerakan menjauhkan diri, tidak ada pengatupan kelopak mata, tidak ada
pemalingan wajah/seluruh badan (Sulistyowati, 2009).
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti di RSK
Bedah BIMC Kuta didapatkan data bahwa selama bulan September 2015
Januari 2016 terdapat 76 kasus fraktur. Dari hasil wawancara dengan salah satu
perawat mengatakan bahwa setiap pasien yang mengalami nyeri maka diberikan
analgesik, karena mereka menganggap bahwa penggunaan analgesik memberikan
efek kerja yang lebih cepat daripada menggunakan teknik relaksasi atau tindakan
non farmakologi yang lain, padahal dengan penggunaan analgesik akan
menimbulkan efek samping pada tubuh. Misalnya efek kecanduan bila sering
digunakan, ada juga yang berefek menurunkan tekanan darah, selain itu juga
harga analgesik juga terbilang cukup mahal. Peneliti memilih pasien dengan
fraktur pasca pembedahan karena nyeri bersifat akut, durasinya lama sampai
beberapa hari. Nyeri ini juga timbul dari proses penyembuhan tulang tersebut
(Brunner dan Suddart, 2004). Berkaitan dengan itu maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitan tentang Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Menggunakan Aromaterapi Lavender Terhadap Intensitas Nyeri Pasien Pasca
Operasi Fraktur Di RSK Bedah BIMC Kuta Tahun 2016.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka dapat dirumuskan
permasalahan

: Bagaimana

Pengaruh Teknik

Relaksasi Nafas

Dalam

Menggunakan Aromaterapi Lavender Terhadap Intensitas Nyeri Pasien Pasca


Operasi Fraktur Di RSK Bedah BIMC Kuta Tahun 2016?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Teknik
Relaksasi Nafas Dalam Menggunakan Aromaterapi Lavender Terhadap
Intensitas Nyeri Pasien Pasca Operasi Fraktur.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik pasien berdasarkan usia dan jenis kelamin
b. Mengidentifikasi intensitas nyeri pasien pasca operasi fraktur sebelum dan
setelah diberikan latihan teknik relaksasi nafas dalam menggunakan
aromaterapi lavender.
c. Menganalisis pengaruh teknik relaksasi nafas dalam menggunakan aromaterapi
lavender terhadap intensitas nyeri pasien pasca operasi fraktur

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dibidang Keperawatan khususnya Orthopaedic (bedah tulang)
dalam mengatasi nyeri pasca operasi fraktur dengan metode non farkmakologi.

2. Praktis
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman peneliti terhadap
Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Menggunakan Aromaterapi Lavender
Terhadap Intensitas Nyeri Pasien Pasca Operasi Fraktur
b. Bagi institusi pendidikan
Dapat meningkatkan dan memperkaya ilmu pendidikan dalam bidang
orthopedic (bedah tulang) khususnya penanganan nyeri pasca operasi fraktur
c. Bagi rumah sakit
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam upaya
memberikan pelayanan atau intervensi keperawatan secara optimal pada pasien
yang mengalami nyeri pasca operasi fraktur.
d. Bagi masyarakat
Dapat informasi pada masyarakat tentang cara mengurangi nyeri pada kasus
pasca operasi fraktur dengan menggunakan teknik non farmakologi sederhana

3. Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai dasar acuan dan
sebagai data pendukung dalam melaksanakan penelitian selanjutnya khsusnya
berkaitan dengan pengaruh aromaterapi lavender terhadap intensitas nyeri
pasien pasca operasi fraktur.

Anda mungkin juga menyukai