Anda di halaman 1dari 9

Mata Kuliah : Asuhan Keperawatan Anestesi Kasus Umum

“PENATALAKSANAAN NYERI”
Oleh : Niken Anggraini Sri Saputri

PENDAHULUAN
Operasi merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya nyeri. Dalam sebuah studi
yang dilakukan pada 5130 pasien pasca operasi dan trauma, sebanyak 22,5% pasien
mengalami nyeri operasi. Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun ada 230 juta
operasi utama dilakukan di seluruh dunia, satu untuk setiap 25 orang hidup. Penelitian di 56
negara dari 192 negara diperkirakan ada 234,2 juta prosedur pembedahan dilakukan setiap
tahun dan berpotensi menimbulkan komplikasi dan kematian. Sedangkan di Indonesia terjadi
peningkatan pembedahan setiap tahunnya dimana pada tahun 2009 terdapat 46,87% kasus
pembedahan, tahun 2010 sebesar 53,22%, tahun 2011 sebesar 51,59%, dan tahun 2012
sebesar 53,68% (Potter & Perry, 2010). Masalah yang timbul setelah post operasi adalah
nyeri. Nyeri pasca bedah mungkin sekali disebabkan oleh luka operasi, tetapi ada pula
kemungkinan penyebab lain yang harus dipertimbangkan. Sebaiknya pencegahan nyeri
direncanakan sebelum operasi agar penderita tidak terganggu pasca bedah (Sjamsuhidajat,
2013).
Akibat penatalaksanaan yang kurang baik pada keluhan rasa nyeri yang dialami seseorang
akan berdampak pada status kesehatan dan kualitas hidup. Penatalaksanaan yang tidak
adekuat dapat berhubungan dengan rasa depresi, isolasi hubungan sosial, ketidakmampuan
dan dapat pula menyebabkan gangguan tidur. Nyeri terutama ditangani melalui penggunaan
obat-obatan, namun beberapa teknik non-farmakologik dapat membantu mengendalikan nyeri
(Aisyah, 2017). Jika nyeri tidak dikendalikan, hal tersebut memperpanjang proses
penyembuhan dengan menyebabkan komplikasi pernapasan, ekskresi, peredaran darah, dan
sistemik lainnya. Sebagai akibatnya, beberapa pasien meninggal, kualitas hidup
dan pasien kepuasan menurun, lamanya tinggal di rumah sakit meningkat, dan biaya
perawatan meningkat (Aslan, 2010).

PENGERTIAN NYERI
Nyeri adalah gejala subjektif hanya pasien yang dapat mendeskripsikannya. “Nyeri
adalah apa pun yang dikatakan oleh individu yang mengalaminya sebagai nyeri, ada kapan
pun individu tersebut mengatakan “ada”. Tujuan nyeri terutama adalah untuk perlindungan;
nyeri bertindak sebagai suatu peringatan bahwa jaringan sedang mengalami kerusakan dan

©Prodi KAN UNISA Yogyakarta 2021


meminta penderita untuk menghilangkan atau menarik diri dari sumber (Miller-Keane &
O’Toole, 2003 dalam Rosdahl & Kowalski 2012). Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan:
durasi (akut atau kronis), tipe (nosiseptif, inflamasi dan neuropatik), dan tingkat keparahan
(ringan, sedang, berat) (Smith dan Muralidharan, 2014). Menurut The International
Association for the Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau
potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut
(Mangku, 2002).
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang disebabkan
oleh stimulus tertentu Intensitas bervariasi mulai dari nyeri ringan sampai nyeri berat namun
menurun sejalan dengan proses penyembuhan (Astuti, 2016). Nyeri sebagai salah satu respon
yang muncul pada pasien post operasi dapat menimbulkan stres, sehingga sistem
kardiovaskular merespon nyeri dengan mengaktifkan sistem saraf simpatik, sehingga
menghasilkan peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan kebutuhan oksigen. Nyeri post
operasi dapat menimbulkan dampak yang tidak adekuat seperti masalah istirahat dan tidur,
penyembuhan luka yang lama, ketidakpuasan pasien, rawat inap yang lebih lama, dan
meningkatnya biaya perawatan (Swieboda, 2013).

PENATALAKSANAAN
Manajemen nyeri adalah salah satu bagian dari disiplin ilmu medis yang berkaitan
dengan upaya-upaya menghilangkan nyeri atau pain relief (Pratintya, Harmilah & Subroto,
2014). Manajemen nyeri yang tepat haruslah mencakup penanganan secara keseluruhan, tidak
hanya terbatas pada pendekatan farmakologi saja, karena nyeri juga dipengaruhi oleh emosi
dan tanggapan individu terhadap dirinya. Secara garis besar ada dua manajemen untuk
mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologi dan manajemen non farmakologi (Pinandita,
2012). Manajemen nyeri non farmakologi perlu dilakukan oleh perawat di ruang bedah
ataupun di ruangan perawatan bedah meskipun sering ditemui kendala beban kerja yang
tinggi. Intervensi manajemen nyeri nonfarmakologi hasil dari beberapa banyak sekali yang
bisa dilakukan terutama keluarga seperti dengan memberikan pelukan, dukungan, distraksi
dan lain-lain (Ilmiasih, 2013). Penatalaksanaan nyeri yang bisa dilakukan pasien sendiri akan
meringankan beban kerja pertugas yang bisa dilakukan pasien secara mandiri (Ulwiya, 2014).
Penatalaksanaan nyeri dapat dilaksanakan secara :

©Prodi KAN UNISA Yogyakarta 2021


A. Farmakologi
Intervensi farmakologis dan non farmakologis pasien dengan pasca operasi
diharapkan dapat menghilangkan nyeri secara efektif sesuai dengan yang diharapkan
karena nyeri pasca operasi merupakan nyeri akut dan apabila tidak di tangani secara
serius dapat berlanjut ke nyeri kronik. Perawatan pasca operasi yang tidak memadai rasa
sakit terus terjadi, meskipun ada kemajuan dalam teknik analgesik, menempatkan pasien
yang berisiko untuk Chronic postsurgical pain (CPSP) dan kecacatan yang signifikan.
Nyeri yang optimal dihasilkan dari manajemen yang tepat dalam periode pra operasi,
intraoperatif, dan pasca operasi dan membutuhkan pendidikan yang tepat bagi dokter,
perawat, penyedia layanan kesehatan lainnya, dan pasien. Pemahaman tentang
patofisiologi nyeri pasca operasi dan berbagai pilihan yang tersedia untuk analgesia
seringkali menghasilkan prosedur khusus, multimodal pendekatan, mengoptimalkan
penghilang rasa sakit, mengurangi efek samping, dan menciptakan pengalaman pasien
yang lebih baik (Lovich-Sapola, Smith, & Brandt, 2015).
Semua obat yang mempunyai efek analgetika biasanya efektif untuk mengatasi nyeri
akut. Hal ini dimungkinkan karena nyeri akut akan mereda atau hilang sejalan dengan
laju proses penyembuhan jaringan yang sakit. Dalam melaksanakan farmakoterapi
terdapat beberapa prinsip umum dalam pengobatan nyeri (Wardani, 2014). Perlu
diketahui sejumlah terbatas obat dan pertimbangkan berikut:
1. Bisakan pasien minum analgesik oral?
2. Apakah pasien perlu pemberian iv untuk mendapat efek analgesik cepat?
3. Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan dalam kombinasi
dengan analgesik sistemik?
4. Bisakan digunakan metode lain untuk membantu meredakan nyeri, misal
pemasangan bidai untuk fraktur, pembalut luka bakar.

Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi mengikuti
”WHO Three Step Analgesic Ladder” yaitu :
1. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti NSAID atau
COX2 spesific inhibitors.
2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-
obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.
3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih kuat.

©Prodi KAN UNISA Yogyakarta 2021


Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri pada proses transduksi dapat
diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid, pada transmisi inpuls
saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses modulasi diberikan
kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan pada persepsi diberikan
anestetik umum, narkotik, atau parasetamol (Wardani, 2014).

Daftar Indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri bedasarkan derajat nyeri

©Prodi KAN UNISA Yogyakarta 2021


B. Non Farmakologi
1. Self healing
Self healing adalah metode penyembuhan penyakit bukan dengan obat,
melainkan dengan menyembuhkan dan mengeluarkan perasaan dan emosi yang
terpendam di dalam tubuh. Selain itu, self healing juga dapat dilakukan dengan
hipnosis, terapi qolbu, atau menenangkan pikiran. Self healing dilakukan oleh si
penderita penyakit, dan dibantu oleh terapi (Ulwiya, 2014). Self healing dengan
sentuhan pada diri sendiri. Self healing adalah rangkaian latihan praktis yang
dikerjakan secara mandiri sekitar 15-20 menit, dan sebaiknya dilakukan 2 kali dalam
sehari. Filosofinya bertumpu pada manusia sebagai unit yang lengkap antara badan,
batin, dan kemampuan individualnya (Gunawan, 2015). Penelitian Mumpuni (2014)
tentang Therapeutic touch and postoperative pain, Penanganan nyeri pada pasien
yang dilakukan oleh profesi perawat lebih banyak mengacu pada pendekatan terapi
medis dan farmakologis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
therapeutic touch terhadap nyeri pasien pasca operasi.
2. Teknik relaksasi dan distraksi
Relaksasi merupakan perasaan bebas secara mental dan fisik dari ketegangan
atau stres yang membuat individu mempunyai rasa kontrol terhadap dirinya.
Perubahan fisiologis dan perilaku berhubungan dengan relaksasi yang mencakup :
menurunnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecepatan pernafasan,
meningkatnya kesadaran secara global, menurunnya kebutuhan oksigen, perasaan

©Prodi KAN UNISA Yogyakarta 2021


damai, serta menurunnya ketegagan otot dan kecepatan metabolisme. Untuk lebih
efektif, ajar tehnik ini ketika pasien tidak terdistraksi oleh kenyamanan/ nyeri akut
(Potter & Perry, 2010).
3. Guided Imagery
Guided imagery merupakan teknik yang menggunakan imajinasi seseorang
untuk mencapai efek positif tertentu. Teknik ini dimulai dengan proses relaksasi
pada umumnya yaitu meminta kepada pasien perlahan-lahan menutup matanya dan
fokus pada nafas mereka, pasien didorong untuk relaksasi mengosongkan pikiran
dan memenuhi pikiran dengan bayangan untuk membuat damai dan tenang
(Rahmayati, 2010 dalam Patasik, 2013).
4. Pijatan
Secara naluri, manusia merespon sakit dan nyeri dengan menggosok-gosok area
tersebut. Terapi pijat mengembangkan reaksi ini menjadi cara untuk menghilangkan
rasa sakit dan ketegangan. Pijat dapat dilakukan secara sistematis dengan tekhnik
manipulasi manual, seperti menggosok, meremas, atau memutar jaringan lunak
(misalnya, otot, ligamen tendon, dan fascia). Pijat meningkatkan jangkauan gerak
pasien, mengurangi ambang nyeri, melemaskan otot-otot, dan meningkatkan
sirkulasi dan drainase limfatik. Pijat juga memiliki efek biokimia, yaitu
meningkatkan kadar dopamin dan limfosit serta memproduksi sel pembunuh secara
alami (Corbin, 2005; Calenda, 2006 dalam Gatlin & Schulmeister, 2007).
Pijat adalah tindakan kenyamanan yang dapat membantu relaksasi, menurunkan
ketegangan otot dan dapat meringankan ansietas karena kontak kontak fisik yang
menyampaikan perhatian. Pijat juga dapat menurunkan intensitas nyeri dengan
meningkatkan sirkulasi superfisial ke area nyeri (Kozier, et.al., 2010), serta
menghilangkan stress (Pustaka Kesehatan Populer, 2009).
5. Kompres dingin
Kompres dingin merupakan salah satu tindakan keperawatan dan banyak
digunakan untuk menurunkan nyeri. Sensasi dingin yang dirasakan memberikan efek
fisiologis yang dapat menurunkan respon inflamasi, menurunkan alirah darah,
mampu menurunkan edema serta mengurangi rasa nyeri local. Secara fisiologis, 10-
15 menit setelah diberikan kompres dingin terjadi proses vasokonstriksi dari efek
releks otot polos yang dapat timbul akibat stimulasi system saraf otonom serta
mampu menstimulasi pengeluaran hormone endorphine. (Novita, 2010). Bleakley et
al (2007), me;lakukan penelitian terkait penangan cedera dengan menggunakan es,

©Prodi KAN UNISA Yogyakarta 2021


hasil yang didapatkan yaitu jaringan lunak yang cedera dapat menurunkan nyeri
serta menghilangkan pembengkakan. Terapi es ini dianjurkan 1-3 hari setelah cedera
atau pada saat fase cedera akut. Selama itu, pembuluh darah disekitar jaringan yang
terluka membuka nutrisi dan cairan masuk ke dalam darah untuk membantu
penyembuhan jaringan.
6. TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation)
TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation) adalah sebuah metode
pemberian stimulasi elektrik bervoltase rendah secara langsung ke area nyeri yang
telah teridentifikasi, ke titik akupresur, di sepanjang kolumna spinalis. Stimulasi
kutaneus dari unit TENS diperkirakan mengkativasi serabut saraf berdiameter besar
yang mengatur impuls nosiseptif di sistem saraf tepi dan sistem saraf pusat sehingga
menghasilkan penurunan nyeri (Kozier, et al., 2010).
Menurut Queensland Spinal Cord Injuries Service atau QSCIS (2013), TENS
(Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation) tidak mengobati penyebab rasa sakit
tetapi bekerja pada persepsi atau sensasi rasa sakit. TENS bekerja melalui dua cara
yaitu memblokir sinyal nyeri impuls listrik sebelum mereka melakukan perjalanan
ke otak dan memicu pelepasan penghilang rasa sakit dari dalam tubuh sendiri yaitu
zat kimia yang disebut endorfin.
7. Akupuntur dan akupresur
Akupresur adalah tekhnik penyembuhan bangsa Cina kuno yang didasarkan
pada prinsip pengobatan tradisonal Asia. Cara kerjanya mirip akupunktur dan sering
disebut akupunktur tanpa jarum (Pustaka Kesehatan Populer, 2009). Terapis
menekankan jari pada titik-titik yang berhubungan dengan banyak titik yang
digunakan dalam akupunktur (Kozier, et al., 2010). Rangsangan pada titik akupoin
dipercaya akan membuka sumbatan di meridian dan memperbaiki aliran energi,
menghilangkan nyeri, dan penyakit (Pustaka Kesehatan Populer, 2009).
Sementara itu, Akupunktur adalah suatu tindakan penusukan jarum-jarum kecil
ke titik akupoin (Pustaka Kesehatan Populer, 2009). Akupunktur merupakan
intervensi kompleks yang mungkin berbeda untuk tiap-tiap pasien yang berbeda
dengan keluhan utama yang sama, lama perawatan dan titik-titik akupunktur yang
digunakan dapat bervariasi antara individu-individu selama pengobatan.
8. Biofeedback
Biofeedback adalah suatu proses dimana individu belajar untuk memahami serta
memberi pengaruh respon fisiologis atas diri mereka terhadap nyeri (DeLaune &

©Prodi KAN UNISA Yogyakarta 2021


Ladner, 2011). Biofeedback adalah penatalaksanaan yang memberikan informasi
tentang bagaimana proses fisiologis dalam tubuh dapat terpengaruh secara negatif
oleh rasa sakit kronis. Biofeedback kemudian membantu pasien dalam belajar
bagaimana meningkatkan kontrol atas proses ini dan memperkuat kemampuan untuk
mempertahankan kontrol ketika terlibat dalam kegiatan sehari-hari. Ini hanya satu
alat untuk meningkatkan kontrol atas kehidupan dan nyeri (Mayo Clinic, 2006).

©Prodi KAN UNISA Yogyakarta 2021


REFERENSI
Aisyah. (2017). Manajemen Nyeri pada Lansia dengan Pendekatan Non Farmakologi. Jurnal
Keperawatan Muhammadiyah. Vol. 2; No. 1.
Aslan, F.E. (2010). Pain. In: Care in the medical and surgical diseases. Ed: Karadakovan A
& Aslan FE. Adana: Nobel Medical Bookstores.
Astuti. (2016). Pengaruh Music Klasik terhadap Penurunan Tingkat Skala Nyeri Pasien Post
Operasi. Jurnal Ipteks Terapan.
Bleakley, Sean o'connor, Mark A Tully, Laurence G Rocke, Domnhall C MacAuley and
Suzanne M McDonough. (2007). Study protocol: The PRICE study (Protection Rest Ice
Compression Elevation): design of a randomised controlled trial comparing standard
versus cryokinetic ice applications in the management of acute ankle sprain. BMC
Musculoskeletal Disorders.
Gunawan. (2015). Sehat dengan Self Healing, Karena Tiap Orang adalah Penyembuh Terbaik
bagi Diri Sendiri.
Ilmiasih, Reni. (2013). Promosi Manajemen Nyeri Nonfarmakologi oleh Keluarga pada
Pasien Post Op di Ruangan BCH RSUPN DR.CiptoMangun Kusumo Jakarta. Jurnal
Keperawatan, ISSN 2 08 6 -3 07.
Mangku, G. (2002). Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Mumpuni. (2014). Therapeutic Touch and Post-Operative Pain. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional.
Novita Intan. (2010). Dasar-Dasar Fisioterapi pada Cedera Olahraga. Yogyakarta
Patasik, Chandra Kristianto, Jon Tangka & Julia Rottie. (2013). Efektivitas Tehnik Relaksasi
Nafas Dalam & Guided Imagery Terhadap Penurunan Nyeri Pada Pasien Post Operasi
Sectio Caesarea Di Irina D Blu RSUP Prof.DR.R.Kandou Manado. Ejurnal
Keperawatan Vol. 1, No. 1.
Pinandita (2012). Pengaruh Teknik Relaksasi Genggam Jari terhadap Penururnan Intensitas
Nyeri pada Pasien Post Operasi Laparatomi.
Potter & Perry. (2010). Fundamental of Nursing Buku 3 Edisi 7. Elseiver: Salemba Medika.
Pratintya, Dwi Ani., Harmilah., Subroto. (2014). Kompres Hangat Menurunkan Nyeri
Persendian Osteoartritis pada Lanjut Usia. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol.
10, No. 1.
Rosdahl, C. B., & Kowalski, M. T. (2012). Buku Ajar Keperawatan Dasar. Edisi 10. Volume
3. Jakarta: EGC
Sjamsuhidajat. (2013). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. EGC : Jakarta.
Smith, M.T., and Muralidharan, A. (2014). Pain Pharmacology and Pharmacological
Management of Pain.
Swieboda, P., Filip, R., Prystupa, A., et al. (2013). Assessment of pain: types, mechanism and
treatment. Ann Agric Environ Med.
Ulwiya. (2014). Mengapa Self Healing.
Wardani. (2014). Manajemen Nyeri Akut. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.

©Prodi KAN UNISA Yogyakarta 2021

Anda mungkin juga menyukai