Anda di halaman 1dari 6

Limfadenopati adalah pembesaran kelenjar getah bening sebagai respons terhadap

proliferasi limfosit T atau limfosit B. Limfadenopati biasanya terjadi setelah infeksi suatu
mikroorganisme (Corwin, 2009). Beberapa penyebab limfadenopati adalah CMV
(Cytomegalovirus), HIV (Human Immunodeficiency Virus), tuberkulosis, filariasis, dan lain-lain
Limfadenopati termasuk salah satu gejala umum infeksi primer HIV (Spiritia, 2011).
Berdasarkan luas limfadenopati:
Generalisata: limfadenopati pada 2 atau lebih regio anatomi yang berbeda
Lokalisata : limfadenopati pada 1 regio.
Secara histopatologi gambaran limfadenopati yang berhubungan dengan HIV/AIDS
berbeda-beda dan dapat menunjukkan kelainan yang mirip dengan berbagai lesi kelenjar getah
bening lainnya.Ada tiga pola histologi limfadenitis HIV yaitu pola A, B dan C yang umumnya
berhubungan dengan stadium klinis akut, kronik dan burn out: (Mac Adam & Sharpe, 2005;
Ioachim & Mederios,2008 ; Alo et al, 2005)
Pola A:
Folikel limfoid membesar, kadang-kadang memberikan gambaran serpiginosa atau
hourglass. Folikel limfoid ini terdiri atas sentrum germinativum dengan apoptosis luas,
fagositosis debris inti (nuclear debris) oleh tingible body histiocytes, regenerasi seluler dengan
sentroblas yang bermitosis. Sentrum germinativum yang reaktif yang ditandai dengan adanya
apoptosis luas, fagositosis debris inti dantingible body macrophages dapat merupakan akibat dari
efek direct killing sel oleh virus yang dapat terjadi karena kolonisasi HIV pada kelenjar getah
bening yang menyebabakan kerusakan arsitektur kelenjar getah bening yang progresif dan
perubahan komposisi seluler kelenjar getah bening (Mac Adam &Sharpe, 2005).Efek sitopatik
langsung dari virus yang bereplikasi menyebabkan kematian sel yang terinfeksi (Kuster et
al,2000)
Pola B :
Merupakan transisi dari pola A ke pola C. Terdiri atas hilangnya folikel, kerusakan
jejaring sel dendritik, dan keterlibatan sentrum germinativum.(Ioachim & Mederios, 2008)
Pola C:
Kelenjar getah bening atrofi, disertai proliferasi pembuluh darah difus dan fibrosis.
Folikel mengecil dan terjadi deplesi limfosit, arteriol tanpa kolagen dan dengan PAS terlihat
positif (folikel lollipop). Pada stadium akhir terjadi kerusakan folikel dan hialinisasi fokal atau
difus. Pada korteks antar folikel, limfosit menghilang dan terjadi vaskularisasi luas. Pada pola ini
dapat juga terjadi fibrosis difus dan sebukan sel plasma. (Ioachim & Mederios, 2008; Alo et al,
2005 & Yvonne et al, 2010). Perubahan yang paling mencolok yang dapat ditemukan pada
kelenjar getah bening yang terinfeksi HIV adalah adanya kerusakan progresif germinal center

yang berkembang menjadi follicular depletion. (Paiva et al, 1996; Ioachim & Mederios, 2008;
Alo et al, 2005, Yvonne et al, 2010)
YvonneJ,Rosenberg,LewisMG,VilboisMHK.1998.Enhancedfollicular
dendriticceliBcellinteractioninHIVandSIVinfectionsanditspotential
roleinpolyclonalBcellactivation.DevelopImmunol.6:6170
Mac Adam AJ and Sharpe AH. 2005. Infectious disease. In: Kumar V, Abbas AK,Fausto
N. Pathology basis of disease. 7th. Pennsylvania: Saunders Elsevier. p.386-7.
Paiva DD, JC Morais JC, Pilotto J, Veloso V, Duarte F, Lenzi HL. 2006. Spectrum of
morphologic changes of lymph nodes in HIV. Mem Inst Oswaldo Cruz.91: 371-9
Ioachim HL and Mederios LJ. 2008.Immunodeficiency virus lymphadenitis. In :
Ioachims lymphnode pathology. 4ed. Philadelphia: Lippincot William Wilkins. p. 99-101

B. Pneumonitis Interstitial Limfoid (LIP)


Pneumonitis Interstitial Limfoid (LIP) merupakan infiltrasi paru interstial yang kronik
(Rudolph et al., 2006) yang terdiri dari limfosit dan sel plasma. Hal ini mungkin asimtomatik
atau berhubungan dengan batuk kering, hipoksemia, dispnea atau mengi saat aktivitas, dan
clubbing digit. Anak-anak sering mengalami pembesaran kelenjar parotis dan limfadenopati
generalisata (Hay et al., 2003). Sebagian besar anak yang terinfeksi HIV mengalami sekurangkurangnya satu episode pneumonia selama penyakit dan sering dihubungkan dengan kegagalan
pernafasan akut dan kematian. Bronkiektasis yang jarang terjadi, dapat menyebabkan infeksi
sekunder berulang (Kliegman et al., 2007).
C. Otitis Media Akut
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tandatanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi
secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta
otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga
dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi
telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang
terhad pada membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore
(Kerschner, 2007). Page 1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dan Klasifikasi
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan
tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik
dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual,
muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada
pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya
efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada
membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran timpani, terdapat
cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner, 2007).
Otitis media berdasarkan gejalanya
dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing
memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik,
seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis
media adhesiva (Djaafar, 2007).
Gambar 2.1. Skema Pembagian Otitis Media
Universitas Sumatera Utara
Page 2
Gambar 2.2. Skema Pembagian Otitis Media Berdasarkan Gejala
2.2. Etiologi
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian,
65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri

terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai nonpatogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri
penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh
Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5%
kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A betahemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus
dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani
rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita.
Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang
dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Page 3
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau
bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada
anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus
(sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau
enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius,
menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat
antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007).
Dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan virus specific
enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan
telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).
Menurut Bluestone (2001) dalam Klein (2009), distribusi mikroorganisme yang
diisolasi dari cairan telinga tengah, dari 2807 orang pasien OMA di Pittsburgh Otitis

Media Research Center, pada tahun 1980 sampai dengan 1989 adalah seperti berikut:
Gambar 2.3. Distribusi mikroorganisme yang diisolasi dari cairan telinga tengah pasien
OMA.
Universitas Sumatera Utara
Page 4
2.3. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik,
status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula,
lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital,
status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba
Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007).
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA
pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang
atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi
anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi
dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan
Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras
lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti
kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah,
dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anakanak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang
kurangnya asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan
anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain.
Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat
penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas

kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut
terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan
komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus
(Kerschner, 2007).
2.4. Gejala Klinis
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anakn
yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu
tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih
besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa
penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah
suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur,
tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang
telinga yang sakit. Bila terjadi rupture membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga,
suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar, 2007)

Anda mungkin juga menyukai