Direfleksi Guru
Indonesia
Ngomong-ngomong soal hari pendidikan, biasanya peringatan hari pendidikan itu
jadi moment untuk memberikan dukungan kepada profesi guru sekaligus sebagai bentuk
apresiasi terhadap peran dan kontribusi guru dalam mendidik dan membangun generasi
yang lebih baik. Memang nggak bisa dimungkiri, peran guru sangatlah besar dalam
kehidupan sosial bermasyarakat, terutama untuk membangun peradaban dan generasi
masa mendatang yang lebih baik. Nah, justru karena peran besarnya itulah... pada
peringatan hari pendidikan nasional ini, saya ingin mencoba mengajak kita semua
(khususnya para guru) untuk merefleksi bersama, terutama tentang sejauh mana peran
seorang guru dalam membangun semangat belajar kepada para muridnya.
Mungkin sudah bukan hal baru lagi kalo saya mengatakan bahwa profesi guru masih
dipandang sebelah mata di Indonesia. Sedikit-banyak mungkin karena masyarakat
Indonesia umumnya beranggapan bahwa tugas seorang guru hanya sekadar mengajar di
depan kelas dan memberi tugas kepada murid. Tapi menurut saya pribadi, tugas utama
seorang guru bukan hanya mengajar, tapi juga memberi contoh, inspirasi, dan yang paling
penting adalah membuat murid senang belajar serta menikmati proses belajar itu
sendiri.
Dalam perspektif ini, saya berpendapat bahwa tolak ukur keberhasilan seorang guru itu
bukan ditentukan oleh kepala sekolah maupun orangtua, tapi justru oleh murid-muridnya.
Keberhasilan guru utamanya tercermin pada perubahan positif yang dialami oleh muridmuridnya. Perubahan positif itu bisa jadi macam-macam indikatornya, dari mulai
pemahaman murid akan materi pelajaran, rasa antusias murid dalam mengikuti proses
pembelajaran, dan yang paling penting adalah sejauh mana murid menikmati proses
belajar yang dijalaninya tersebut.
Sayangnya, dari pengalaman saya berkecimpung di dunia pendidikan (baik sebagai siswi,
mahasiswi, maupun guru), tidak semua guru sepakat dengan pandangan saya di atas.
Maksudnya, masih banyak guru yang tidak menjadikan "antusiasme murid dalam belajar"
sebagai tolak ukur utama dalam proses mengajar ; tapi justru menciptakan semacam sistem
yang membuat murid-murid belajar dengan penuh keterpaksaan, seperti pemberian tugas
dengan porsi yang tidak wajar, memberi sanksi dan hukuman dengan cara yang kurang
tepat sasaran, dsb.
Dalam prakteknya, saya yakin setiap guru memiliki niat dan tujuan yang baik dalam
mendidik murid, saya juga mengerti bahwa setiap guru memiliki style dan caranya masingmasing dalam menjalankan perannya sebagai pendidik. Saya sungguh sangat memahami
itu karena biar bagaimanapun saya sendiri pernah menjadi seorang guru dan juga wali
kelas. Namun terlepas dari itu, menurut saya ada beberapa 'style' cara mengajar yang saya
kira perlu kita evaluasi lagi bersama. Karena saya khawatir, banyak guru yang mungkin tidak
menyadari bahwa cara mengajar yang selama ini mereka terapkan itu kurang tepat dan
bahkan berdampak negatif bagi para murid.
Okay, terlepas dari apakah pandangan saya ini tepat atau tidak, pada kesempatan kali ini
saya hanya ingin berbagi pendapat dan pandangan saya lebih jauh tentang beberapa
pendekatan guru dalam mengajar yang saya anggap keliru dan malah memberikan efek
negatif terhadap murid-muridnya. Perlu saya tekankan bahwa mungkin
beberapa point dalam artikel ini adalah pendapat pribadi saya dan tidak mewakili sudut
pandang Zenius secara umum. Semoga apa yang saya sampaikan dalam kesempatan ini,
bisa menjadi refleksi kita bersama di hari guru nasional ini. Berikut adalah beberapa gaya
pengajaran guru yang menurut saya keliru dan perlu kita refleksi ulang bersama:
dengan harapan membantu para siswa memahami materi di luar jam kelas. Secara umum,
tujuan guru memberikan PR/tugas kurang-lebih seperti ini:
1. Mengevaluasi materi yang sudah dipelajari di kelas.
2. Mendorong murid untuk berlatih mengerjakan soal.
3. Mendorong murid untuk mendalami pemahamannya untuk topik tertentu.
Di satu sisi, saya juga mengerti maksud dan tujuan guru itu baik dalam memberikan PR atau
tugas, tapi saya kira ada saatnya PR/tugas yang diberikan tidak memberi dampak positif
bagi para siswa. Wah, memangnya ada ya kasus dimana tugas/PR yang tidak memberi
dampak positif, contohnya seperti apa? Sebagaimana yang telah saya sampaikan
sebelumnya, yang paling berhak mengevaluasi guru adalah murid-muridnya, jadi
coba yuk kita lihat beberapa curhatan murid zenius di bawah ini:
Dari beberapa potongan curhatan murid zenius ini, ada beberapa hal yang menurut saya
agak ironis. Kenapa ironis? Karena tidak sedikit siswa yang justru menganggap bahwa tugas
dan PR itu adalah beban yang menghalangi mereka untuk BELAJAR. Nah loh, padahal
kan justru niat guru awalnya memberikan tugas itu supaya muridnya belajar, tapi dalam
beberapa kasus malah menjadi halangan mereka untuk belajar.
Hal menarik berikutnya yang saya lihat adalah hasil survei zenius yang dilakukan pada 22
September 2014 hingga 15 Desember 2014 terkait persepsi siswa mengenai tugas yang
diberikan guru mereka. Berikut adalah hasil 1340 responden pelajar dari berbagai pelosok
Indonesia :
Survei zenius Sept - Okt 2014 terhadap 1340 responden siswa seluruh Indonesia terkait
pemberian tugas oleh Guru.
Berdasarkan data di atas, kita bisa melihat bahwa sebetulnya sebagian besar siswa
beranggapan bahwa tugas yang diberikan guru itu penting, tapi lucunya sebagian besar dari
responden (dengan persentase yang sama yaitu 48%) juga berpendapat bahwa tugas dari
guru itu membebankan. Dari sini, secara sederhana saya bisa mengambil kesimpulan
bahwa sebetulnya sebagian besar siswa itu tidak bermasalah dengan adanya tugas
dari guru, akan tetapi bentuk tugas/ jumlah / frekuensinya itulah yang menjadi
masalah dan membebani siswa.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Oviedo Spanyol, tugas dan PR akan
memberikan dampak positif yang signifikan bagi pemahaman siswa jika tugas dan PR
tersebut dirancang agar siswa hanya membutuhkan waktu sekitar 60 menit dalam proses
penyelesaiannya. Menurut penelitian tersebut juga, efektivitas tugas dan PR ini akan terus
berkurang jika waktu penyelesaiannya lebih dari 90 menit. Penelitian lain yang dilakukan
oleh Stanford Graduate School of Education juga menemukan bahwa mengerjakan PR dan
tugas selama lebih dari tiga jam setiap harinya akan memberikan efek negatif baik secara
mental maupun fisik.
Menyingkapi hal ini, saya pribadi berpendapat bahwa PR dan tugas itu bisa jadi hal
yang positif, dengan catatan porsinya wajar. Jika ingin memberikan tugas dan PR yang
cukup banyak, sebaiknya guru memperpanjang tenggat waktu penyelesaian tugas dan PR
tersebut mengingat kemungkinan siswa mendapat tugas dan PR dari guru mata pelajaran
lain. Akan jauh lebih baik lagi, jika guru bisa memberikan tugas yang justru bisa menjadi
pemicu siswa untuk menikmati proses belajar itu sendiri, memberi tantangan yang menarik
bagi siswa untuk mencari tau lebih jauh materi yang mereka pelajari, bukan justru menekan
siswa untuk harus belajar.
Di sisi lain, saya juga tau bahwa tugas seorang pelajar ya memang belajar. Tapi perlu kita
sadari juga, bahwa definisi "belajar" bagi anak-remaja tidak hanya sebatas pada dinding
ruang kelas, PR, atau tugas dari sekolah saja. Saya percaya, ada banyak hal di luar sana yang
bisa menjadi bahan pembelajaran bagi siswa, di luar konteks akademis, seperti
bersosialisasi, membaca, menonton film yang bermanfaat, berinteraksi lingkungan sosial,
dsb. Intinya, jangan sampai jumlah/frekuensi tugas yang diberikan oleh guru bukan
memberikan dampak positif, tapi membuat siswa merasa jenuh, tertekan, dan malah tidak
menikmati proses belajar itu sendiri.
siswa. Karena sedikit banyak, hal itu justru akan menambah parah polarisasi cara pandang
siswa terhadap guru-gurunya. Udah gurunya membosankan, galak lagi. Lengkaplah sudah.
Saya rasa, ada banyak cara yang bisa digunakan oleh guru untuk bisa "menguasai kelas",
membawa suasana belajar yang menarik, seru, dan menciptakan atmosfir belajar yang
sehat bagi para siswa. Cara untuk menguasai audience memang tidak mudah. Terus terang,
sampai saat ini pun saya masih perlu banyak belajar untuk bisa membuat nuansa belajar
yang positif di kelas. Tapi, sedikit-banyak saya hanya ingin berbagi beberapa tips yang
mungkin bisa jadi masukan bagi guru-guru lain. Moga-moga tips yang saya bagikan ini bisa
berguna bagi rekan-rekan guru yang lain.
A. Bangun interaksi dan hubungan emosional dengan para murid di luar kelas
Saat menjadi seorang guru, saya selalu berusaha untuk tidak membatasi interaksi saya
kepada murid dalam lingkup akademis saja; tetapi saya mencoba memasuki kehidupan
mereka. Dari hanya sekadar mendengarkan keluhan dan curhatan mereka, makan
bersama, atau bahkan menyempatkan diri bergaul dengan mereka di waktu luang... semua
itu saya rasa sangat membantu saya untuk membangun nuansa belajar yang positif di
kelas.
Dengan membangun hubungan emosional dengan para murid, saya jadi jauh lebih mudah
untuk menguasai kelas, berinteraksi langsung dengan murid yang saya anggap belum
paham, membaca keinginan mereka, memahami cara mengajar seperti apa yang
diharapkan oleh mereka, dsb. Sebaliknya, mereka pun jadi jauh lebih menghargai saya
ketika mengajar, mereka jadi merasa enggan untuk main hape, asik ngobrol sendiri, atau
melakukan tindakan apapun yang menunjukan sikap tidak menghargai usaha saya di
kelas. Saya percaya, di sekolah seorang murid memang perlu memahami pelajaran,
sementara seorang guru perlu memahami murid-murid mereka.
Dari pengalaman saya menjadi murid, seorang guru yang berfokus hanya pada konteks
"mengajar", mentrasfer ilmu pada murid-muridnya, membawa misi agar murid-muridnya
mampu mengerjakan soal... seringkali justru kurang berhasil membawa suasana kelas yang
positif dan bersemangat untuk belajar. Di sisi lain, seorang guru yang fokus untuk
membangun nuansa belajar yang positif dulu di awal, bercerita dulu tentang berbagai
contoh nyata yang menggambarkan kenapa materi tersebut penting untuk dikuasai, kenapa
materi itu menarik dan seru untuk dibahas... guru semacam ini lebih bisa membangun
nuansa kelas yang siap menerima pengajaran, sehingga proses belajar-mengajar jadi lebih
menyenangkan, seru, menarik, tidak membosankan, dan para siswa jadi lebih termotivasi
belajar.
yang tidak tepat sasaran bisa berpotensi membuat siswa untuk bersikap antipati
terhadap guru, bahkan membenci mata pelajaran yang diajarkan.
Dalam konteks ini, saya pribadi berpendapat bahwa sebagai guru, kita perlu mengevaluasi
penerapan "hukuman" sebagai alat kontrol di dalam kelas. Terutama pada siswa yang
sedang dalam umur-umur krusial untuk menumbuhkan rasa kecintaan mereka terhadap
sebuah ilmu. Saya pribadi sebetulnya kurang sepakat dalam bentuk hukuman yang kurang
relevan pada penyelesaian masalah. Seperti contohnya : berdiri di depan kelas dengan satu
kaki, lari keliling lapangan 10 keliling, mencabuti rumput, hormat di depan tiang bendera
selama berjam-jam, menulis berulang kalimat"aku tidak akan terlambat" sebanyak 100x, dan
bentuk hukuman sejenisnya yang tidak berfokus pada penyelesaian masalah.
Dalam hal ini, bukan berarti saya berpendapat bahwa tindakan menghukum itu sama sekali
tidak perlu. Memberi hukuman bisa jadi tepat jika proses itu memberikan pengertian bagi
siswa bahwa tindakan dia itu keliru. Berilah hukuman jika itu membuat siswa memahami
konsekuensi dan risiko yang relevan dari tindakannya. Akan jauh lebih baik lagi, jika bentuk
hukuman, teguran, sanksi, atau perintah dari guru tersebut berorientasi pada penyelesaian
akar masalah yang sesungguhnya, bukan sekadar menjadi bentuk cara untuk mengontrol,
memberi efek jera, memberi contoh pada siswa lain, apalagi hanya untuk sekadar
melampiaskan emosi dan kejengkelan terhadap murid tersebut.
Saya pribadi dalam prakteknya lebih menyukai pendekatan personal bagi setiap siswa yang
bermasalah. Jika saya menemukan ada murid yang (katakanlah misalnya) sering terlambat,
biasanya saya panggil untuk mengetahui akar permasalahannya. Jika ternyata akar
masalahnya itu karena siswa tersebut memiliki kesulitan mengatur pola tidur, maka saya
akan mencoba untuk membantu memberikan arahan, saran, atau mungkin perintah yang
intinya berfokus untuk memberikan solusi terhadap siswa tersebut. Karena saya kira,
memberi hukuman hormat tiang bendera selama berjam-jam tidak akan membantu
memberi solusi dan menyelesaikan masalah seorang anak yang punya kesulitan mengatur
pola tidur.
Karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa, tidak semua style mengajar guru itu sukses
dalam membuat murid paham dan menikmati proses belajar. Sayangnya, beberapa kasus
yang saya perhatikan, ada saja oknum guru yang memiliki sikap antikritik, terutama jika
mereka merasa sudah memiliki pengalaman mengajar yang jauh lebih lama daripada rekanrekan guru yang lain.
Menurut pendapat saya, sikap seperti inilah justru yang bisa menjadi masalah yang fatal
dalam dunia pendidikan kita. Karena bagi seseorang tertutup pada evaluasi, boleh jadi
mereka memiliki pengalaman mengajar yang lama, tetapi sebetulnya, mereka hanyalah
mengulang pola mengajar yang keliru dan itu terus berulang selama bertahun-tahun
lamanya.
Untuk melahirkan generasi penerus yang lebih baik, saya kira para tenaga pendidik
perlu memiliki sikap terbuka pada kritik dan evaluasi. Apakah cara mengajar kita selama ini
sudah tepat? Apakah cara kita mengajar mampu membuat siswa paham dengan materi
yang dipelajari dan menikmati proses belajar?
Untuk membantu proses evaluasi diri guru, para siswa juga diharapkan berperan di
dalamnya. Tolak ukur keberhasilan guru dalam mengajar adalah siswa. Jadi kalau kita ingin
mengetahui sudah sejauh mana keberhasilan kita dalam mengajar, tanya pendapat muridmurid kita ; bukan pendapat kepala sekolah, bukan pendapat orangtua, bukan siapa-siapa
melainkan murid kita sendiri. Bagikan angket anonim yang berisi pertanyaan tentang
kesan/cara mengajar kita selama ini. Saya percaya jika setiap pendidik memiliki keterbukaan
pada kritik dan saran, maka kualitas guru di Indonesia akan semakin baik.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------Itulah kurang lebih, beberapa pendapat dan pandangan saya tentang permasalahan dan
tantangan yang kita hadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya peran guru
dalam mengajar di sekolah. Dalam hal ini, saya pribadi tentu masih jauh dari sempurna.
Masih ada banyak hal yang perlu saya evaluasi dan tingkatkan terkait kompetensi saya
dalam mengajar. Tapi melalui artikel ini, saya harap bisa mendapatkan kesempatan untuk
sekadar berbagi pendapat dan pandangan dalam dunia mengajar bersama rekan-rekan
guru, maupun para siswa di seluruh Indonesia.
Tentu apa yang saya bagikan melalui artikel ini, tidak terlepas dari pandangan subjektif saya
yang masih sangat mungkin bisa keliru. Oleh karena itu, saya berharap akan adanya diskusi
yang sehat, masukan, pendapat atau gagasan lain, dan evaluasi dari pembaca sekalian.
Terlepas dari itu, semoga apa yang saya sampai di sini dapat menjadi masukan dan manfaat
bagi dunia pendidikan, khususnya para rekan-rekan guru dari seluruh Indonesia.
Akhir kata, di hari pendidikan nasional ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada
seluruh pendidik di mana pun kalian berada. Tetaplah berkarya dan berjuang demi
kemajuan ilmu pengetahuan, bangsa, dan negara. Selamat Hari Pendidikan Nasional !