Anda di halaman 1dari 2

TRUTH or DARE

Hari itu seharusnya ada dua sesi perkuliahan, mulai jam 9, tapi dosen-dosen ada acara,
rapat, sepertinya. Masalahnya, tidak ada pemberitahuan untuk para mahasiswa tentang itu,
jadilah hampir semua mahasiswa kecele, udah sampai kampus tapi kuliahnya libur… Mau
pulang males, karena ndak ada kerjaan di kos-kosan, kuliah juga pada kosong, maka seperti
biasa, duduk-duduklah kami di tempat biasa, bawah tangga. Sebenarnya tempat favorit kami itu
tidak tepat di bawah tangga, tapi di samping tangga, dan entah kenapa dan sejak kapan kami
menyebutnya bawah tangga.
Ngobrol ngalor-ngidul ndak jelas, udad-udud, klepas-klepus, tiba-tiba saja ada ide sebuah
permainan. Truth n Dare. Sebenarnya, permainan ini adalah permainan anak-anak kecil di
Amerika sana, tapi ya, daripada ndak ada kerjaan… kami lalu pindah ke tengah-tengah tangga,
antara lantai satu dan lantai dua kampus, dan kami duduk melingkar. Sebuah bungkus rokok
yang sudah kosong diletakkan di tengah. Bungkus rokok itu kemudian akan diputar dan bagian
tutup dari kotak rokok itu digunakan sebagai penentu, siapa yang sial dan terpilih untuk
ditantang atau diinterogasi… sebenarnya bungkus rokok itu ndak terlalu bisa diputar, tapi kan
yang penting hasilnya…
Sesi I. Hampir semua dari kami terkena truth, di mana semua hal terungkap. Mulai dari
jumlah pacar, berapa kali mbokep dalam sehari, udah pernah kawin apa belum, dan lain-lain. Tau
sendiri, semua pertanyaan, jawaban maupun pernyataan ndak jauh-jauh seputar cinta, wanita,
dan seks. Tapi, lama-lama, truth terus bosen juga. Kayaknya kalau mulai memainkan dare seru
juga. Sesi I selesai, sesi II mulai. Nama permainan juga udah diganti jadi dare n dare.
Tiba-tiba sudut mataku menangkap sesuatu, dia datang dan duduk di dekat situ, agak jauh
sih sebenarnya, tapi radar khususku untuk dia terlalu kuat. Sial, ternyata radarku terdeteksi
radarnya teman-teman. Sial, semoga aku ndak dapat giliran sampai dia pergi. Diputarlah
bungkus rokok itu dan permainan dimulai. Yoga kena…”Modhar kowe…!!” teriak teman-teman
lain. “dare’e opo ya?...” tanya Pak Tua. “Nyium Bendhol wae…” usul Becak. Dan semua
langsung setuju… jadilah, Yoga harus mencium Bendhol, yang notabene adalah seorang laki-
laki juga, kayaknya…
Pas, memang Bendhol lagi berkeliaran di sekitar situ, Cuma ndak ikut main. Yoga lalu
memanggil Bendhol…”Ndol, ndene tak kandhani…penting…,” kata Yoga. Bendhol langsung
datang menghampiri, dan Yoga dengan pura-pura ingin berbisik mendekati Bendhol dan cup…
diciumnyalah si Bendhol. Dan suara ketawa terdengar sampai radius 100 meter, campur dengan
segala macam umpatan dan pisuhan dunia akhirat tanpa henti selama lebih dari 10 menit.
Dan nasib mulai memilih. Tutup bungkus rokok itu akhirnya berhenti tepat menunjuk ke
arahku. Semoga teman-teman ndak melihat si dia yang lagi duduk di sana, di depan taman. Tapi
apa mau dikata, radar teman-teman tercipta untuk menangkap radarku untuk si dia. Begitu
radarku nyanthol, radar teman-teman juga seketika nangkap. Dan, aku dipaksa untuk memilih
dare, padahal aku milih truth, tapi jadinya dare juga. Dan darenya adalah untuk ngomong si dia
dalam waktu tepat dua menit.
Keringat mulai diproduksi lebih cepat oleh semua kelenjar kulit. Jantung mulai
memompa darah lebih cepat. Ndak bisa, ndak bisa sekarang…terlalu…terlalu ramai. “Dia lagi
ngomong sama temennya tu…” kataku. “Alesan… yo wes, kalau gitu dilewatkan aja, anggap
utang!” dan mereka bermain lagi. Satu permainan, masih lolos, tapi dia masih saja duduk di sana.
Duh, cepat pergi nduk… dua permainan, tiga permainan, alasan demi alasan kulempar ke sana
kemari supaya aku ndak usah ngobrol sama dia. Dua menit! Itu seperti seumur hidup kalau
ngobrol sama dia!
Ungkapan-ungkapan jujur berlalu, tantangan-tantangan lewat. Ada yang disuruh kenalan
sama adik kelas, ada yang disuruh minta berkat sama suster, trus ada lagi aku lali… Koq ya dia
masih saja duduk di sana, ntah ngapain, utak-utik hp, mbok cepet pulang…cepet pulang. Tak
bohongi saja bocah bocah iki, pikirku. Lalu aku pura-pura jalan ke arah dia, tapi sebenarnya
bablas langsung ke toilet. Tentu saja, ketahuan sama bocah-bocah, lha begitu aku turun aja udah
tiga mata-mata membuntutiku, dua lagi memperhatikan dari ujung koridor, dan dua lagi
mengawasi gerak-gerikku dari lantai dua. Walah-walah…
Akhirnya teman-teman bosan juga. Bukan dengan permainannya, tapi dengan alasan-
alasanku supaya ndak jadi melaksanakan tantangan yang mereka berikan. “Tenan, aku lebih
milih lompat dari lantai dua sekarang juga daripada ngobrol sama dia…” kataku dengan mulut
bodohku ini. Dan kata-kataku itu jadi bahan tertawaan mereka, tertawa kasihan, sampai
sekarang, hampir dua tahun dari permainan itu. Juga, jadi semacam sumpah. Sampai sekarang,
susahnya minta ampun untuk bisa ngobrol sama dia.

Anda mungkin juga menyukai