Anda di halaman 1dari 26

Laporan Praktikum Hari/Tanggal : Senin/ 22 November 2010

Minyak, Lemak dan Oleokimia Asisten : 1. Pangeran Alex Sebastian


2. Rizka Ardhiyana
3. Sandra Setyawati

STABILITAS MINYAK

Oleh:

Nova Apriyanti ( F34070011 )

Armi Yuspita Karo Karo ( F34070013 )

Nunung Nuriyah ( F34070014 )

Risa Asriyani ( F34070019 )

Eko Nopianto. S ( F34070102 )

2010

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia minyak goreng umumnya berasal dari minyak kelapa/minyak


sawit, permintaan minyak goreng terutama berasal adalah konsumsi rumah tangga
dan sisanya keperluan industri, termasuk diantaranya industri perhotelan dan
restoran. Pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan industri perhotelan,
restoran dan usaha makanan cepat saji yang pesat menyebabkan permintaan akan
minyak goreng semakin meningkat pula, dan tentunya minyak goreng yang
dibutuhkan adalah minyak goreng dengan kualitas baik.

Minyak goreng yang baik mempunyai sifat tahan panas, stabil pada cahaya
matahari, tidak merusak rasa hasil penggorengan, menghasilkan produk dan rasa
yang bagus, asapnya sedikit setelah digunakan berulang-ulang, serta
menghasilkan warna keemasan pada produk. Namun kerap kali minyak goreng
akan cepat sekali rusak karena bahan yang digoreng memiliki kandungan air yang
tinggi dan digunakan berulang-ulang. Lemak jenuh pada minyak kelapa/kelapa
sawit adalah yang terbaik untuk memasak, keduanya mengandung banyak lemak
jenuh alami yang tidak mudah teroksidasi oleh panas dan jarang menimbulkan
reaksi inflamasi pada tubuh.

Dalam praktikum, dilakukan analisa terhadap ketahanan/kestabilan minyak


terhadap perlakuan penggorangan berulang terhadap bahan kering dan bahan
basah dengan mengukur bilangan iod dan FFA sebelum dan sesudah minyak
digunakan untuk menggoreng untuk mengetahui tingkat kestabilan minyak yang
di uji.

B. Tujuan Praktikum

Menguji kestabilan berbagai minyak goreng nabati dengan perlakuan


penggorengan menggunakan bahan kering dan basah.
II. METODOLOGI

A. Penggorengan

Minyak yang akan digunakan untuk menggoreng dituangkan kedalam


wajan, kemudian minyak dipanaskan. Setelah mencapai suhu yang cukup untuk
menggoreng, bahan yang akan digoreng dimasukkan ke dalam wajan (tahu dan
kerupuk). Setelah bahan yang digoreng matang, bahan diangkat kemudian minyak
setelah dingin diuji kadar FFA dan Bilangan Iodnya.

B. Bilangan FFA

5 gr sampel minyak
dalam erlenmeyer 100 ml

Ditambah 50 ml alkohol

Ditutup dengan
aluminium foil

Dipanaskan selama
kurang lebih 10 menit

Didinginkan

Ditambah 1-2 tetes


indikator PP

Dititrasi dengan KOH 0,1


N

Diperoleh warna pink


(sanagat muda)
C. Bilangan Iod

Minyak dalam erlenmeyer 250


ml

Ditambah 10 ml chloroform

Ditambah 25 ml pereaksi hanus,


ditutup dengan aluminium foil

Dibiarkan ditempat gelap


selama 30 menit

Ditambah 10 ml KI 15 %

Ditambah 100 ml aquades

Dititrasi dengan tio 0,1 N


sampai warna kuning

Ditambah amilum 1% kira-kira


1 ml

Dilanjutkan titrasi dengan tio


0,1 N

Diperoleh titik akhir,yaitu


hilangnya warna cokelat
III. HASIL PRAKTIKUM DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Praktikum
Uji FFA dan Bilangan Iod

Jenis Bahan yang FFA Bilangan iod


minyak digoreng Sebelum Sesudah Sebelum sesudah
Jagung kerupuk 0.168 0.3909 137.112 125.1975
kelapa kerupuk 0.16 0.24 12.71 26.924
kelapa tahu 0.16 2.003 27.92 19.7
sawit kerupuk 0.1578 0.3682 72.136 66.04
sawit tahu 0.1578 0.2104 72.136 54.356

B. Pembahasan
1. Penggorengan menggunakan Minyak Jagung (Kerupuk)

Minyak jagung memiliki nilai gizi yang sangat tinggi yaitu sektar 250
kilo/ons. Selain itu juga minyak jagung lebih disenangi konsumen karena selain
harganya yang murah juga mengandung sitisterol sehingga para konsumen dapat
terhindar dari gejala atherosclerosis (endapan pada pembuluh darah). Minyak
jagung merupakan triglserida yang disusun oleh gliserol dan asam - asam lemak.
Presentase trigliserida sekitar 98,6%, sedangkan sisanya merupakan bahan non
minyak, seperti abu, zat warna atau lilin. Asam lemak yang menyusun minyak
jagung terdiri dar asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak
jenuh yang ada di minyak jagung sebesar 13 % (asam palmitat dan asam stearat).
Sedangkan untuk asam lemak tidak jenuh sekitar 86% (asam oleat dan asam
linoleat). Dapat disimpulkan bahwa asam lemak dominan penyusun minyak
jagung adalah asam linoleat (Ketaren, 1996).
Gambar 1. Minyak Jagung

Minyak jagung yang digunakan untuk menggoreng kerupuk berwarna


kuning bening. Memiliki kadar FFA sebesar 0,1680 dan bilangan iod sebesar 137,
1120. Menurut Ketaren (1996), minyak jagung memiliki bilangan asam atau kadar
FFA sebesar 0,04-0,10 sedangkan bilangan iod sebesar 125-128. Dapat dilihat
bahwa minyak sebelum digunakan untuk menggoreng memilki perbedaan
karakteristik dengan literatur yang ada. Bilangan asam minyak yang digunakan
untuk menggoreng lebih tinggi jika dibandingkan dengan literature hal ini dapat
disebabkan oleh kerusakan minyak yang terjadi saat penyimpanan minyak.
Bilangan asam meningkat menandakan komposisi asam lemak yang menyusun
minyak mengalami peningkatan. Begitu pula dengan bilangan iod, bilangan iod
yang dimilik minyak yang diuji lebh tinggi dibandingkan dengan literatur.
Kerusakan minyak mungkin terjadi pada saat penyimpanan.

Setelah minyak digunakan untuk menggoreng, minyak diukur bilangan


asam dan bilangan iod nya. Bilangan asam minyak setelah digunakan untuk
menggoreng sebesar 0,3909 dan bilangan iodnya sebesar 125,1975. Dapat dilihat
bahwa bilangan asam minyak menurun setelah digunakan untuk menggoreng. Hal
ini merupakan penyimpangan atau tidak sesuai dengan kondsi yang seharusnya.
Minyak yang telah digunakan untuk menggoreng memiliki bilangan asam atau
kadar FFA yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum digunakan untuk
menggoreng. Hal ini disebabkan karena pada saat penggorengan minyak
mengalami kerusakan, baik polimerisasi ataupun oksdasi. Karena proses
kerusakan ini terjadi perubahan susunan asam lemak yang ada pada minyak,
sehingga bilangan asamnya lebih tinggi. Bilangan iod setelah minyak digunakan
untuk menggoreng mengalami penurunan. Bilangan iod yang semakin tinggi
menandakan bahwa mutu minyak semakin jelek. Hal ini dkarenakan dengan
tinggnya bilangan iod berarti minyak semakin tidak jenuh. Pada penggorengan
kerupuk dengan minyak jagung kecil sekali kemungkinan untuk terjadi kerusakan
minyak jenis hidrosis karena bahan yang digoreng tidak menggandung kadar air
yang tinggi.

Minyak kelapa berdasarkan kandungan asam lemak digolongkan ke dalam


minyak asam laurat, karena kandungan asam lauratnya palng besar jika
dibandingkan dengan asam lemak lainnya. Menurut Ketaren (1996), minyak
kelapa mempunyai bilangan iod berkisar antara 7,5-10,5, hal ini menyebabkan
minyak kelapa dapat digolongkan sebagai non-drying oil.

Gambar 2. Minyak Kelapa


Pada praktikum kali ini minyak kelapa digunakan untuk menggoreng dua
jenis bahan, yaitu tahu dan kerupuk. Bilangan asam minyak kelapa sebelum
digunakan untuk menggoreng kerupuk dan tahu sebesar o,16. Sedangkan setelah
digunakan untuk menggoreng tahu bilangan asam minyak menjadi 2,003 dan
setelah digunakan untuk menggureng kerupuk menjadi sebesar 0,24. Minyak
kelapa setelah digunakan untuk menggoreng bahan (kerupuk dan tahu) mengalami
peningkatan bilangan asam. Hal ini disebabkan karena terjadinya kerusakan
minyak pada saat menggoreng. Peningkatan bilangan asam dari minyak kelapa
berbeda antara minyak yang digunakan untuk menggoreng tahu dengan minyak
yang digunakan untuk menggoreng kerupuk. Peningkatan bilangan asam lebih
tinggi terjadi pada minyak yang digunakan untuk menggoreng tahu dibandingkan
dengan minyak yang digunakan untuk menggoreng kerupuk. Hal ini dikarenakan
kerusakan minyak yang dialami minyak yang digunakan untuk menggoreng tahu
lebih kompleks. Selain mengalami proses polimerisasi dan oksidasi, minyak yang
digunakan untuk menggoreng tahu juga mengalami hidrolisis karena bahan yang
digoreng (tahu) mengandung kadar air yang cukup tinggi. Sedangkan pada proses
penggorengan kerupuk, tidak terjadi proses hidrolisis.

Bilangan iod minyak kelapa sebelum digunakan untuk menggoreng tahu


sebesar 27,92 dan bilangan iod minyak kelapa sebelum digunakan untuk
menggoreng kerupuk sebesar 12,71. Bilangan iod minyak kelapa setelah
digunakan untuk menggoreng tahu mengalami penurunan yaitu menjadi 19,7.
Sedangkan bilangan iod setelah digunakan untuk menggoreng kerupuk mengalami
peningkatan menjadi 26,92. Dapat dlihat bahwa terjadi penyimpangan terhadap
minyak yang digunakan untuk menggoreng tahu. Bilangan iod setelah digunakan
untuk menggoreng akan meningkat bukan menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh
kesalahan dalam perhitungan atau analisis bilangan iod yang dilakukan kelompok
bersangkutan. Dapat dikatakan bahwa dilihat dari bilangan asam dan bilangan iod
yang ada pada minyak kelapa, minyak kelapa sebelum digunakan untuk
menggoreng mutunya lebih baik dibandingkan minyak kelapa setelah digunakan
untuk menggorang. Minyak kelapa setelah digunakan untuk menggoreng tahu
mutunya lebih jelek dibandingkan minyak kelapa yang digunakan untuk
menggoreng kerupuk.

Gambar 3. Minyak kelapa Sawit


Minyak sawit adalah minyak utama yang digunakan sebagai minyak
goreng. Minyak sawit terbuat dari kelapa sawit. Minyak ini mengandung
komponen asam lemak utama berupa asam palmitat. Dalam praktikum ini minyak
sawit akan diuji untuk menggoreng tahu dan menggoreng kerupuk. Bilangan asam
minyak sawit sebelum digunakan untuk menggoreng kerupuk dan tahu sebesar
0,1578. Sedangkan bilangan asam minyak sawit setelah digunakan untuk
menggoreng kerupuk menjadi 0,3682 dan setelah digunakan untuk menggoreng
tahu menjadi 0,2104. Minyak sawit mengalam peningkatan bilangan asam setelah
digunakan untuk menggoreng bahan. Peningkatan bilangan asam mnyak sawit
yang digunakan untuk menggoreng kerupuk lebih tinggi dibandingkan minyak
sawit yang digunakan untuk menggoreng tahu. Hal ini menandakan bahwa
kerusakan minyak yang terjad pada minyak sawit yang digunakan untuk
menggoreng kerupuk lebih tinggi dibandingkan dengan minyak sawit yang
digunakan untuk menggoreng tahu.

Bilangan iod minyak sawit menurut Ketaren (1996) adalah sebesar 48-56.
Bilangan iod minyak sawit yang akan digunakan untuk menggoreng bahan
sebesar 72,136. Dapat dilihat bahwa minyak sawit yang akan digunakan untuk
menggoreng bahan memiliki bilangan iod yang lebih tinggi dibandingkan dengan
literature yang ada. Setelah digunakan untuk menggoreng bahan, bilangan iod
mengalam penurunan. bilangan iod minyak sawit yang digunakan untuk
menggoreng kerupuk menurun menjadi 66,04 sedangkan minyak sawit yang
digunakan untuk menggoreng tahu bilangan iodnya menjadi 54,356. Penurunan
bilangan iod minyak sawit yang digunakan untuk menggoreng tahu lebih besar
dibandingkan dengan penurunan bilangan iod yang digunakan untuk menggoreng
kerupuk. Dapat disimpulkan bahwa minyak sawit yang digunakan untuk
menggoreng tahu mutunya lebih baik dibandingkan dengan minyak sawit yang
digunakan untuk menggoreng kerupuk.

2. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Selama Proses Penggorengan untuk


Menjaga Mutu Minyak

Sebelum Menggoreng
1. Kondisi Penyimpanan Minyak Goreng
Penjagaan kualitas minyak goreng dapat dilakukan mulai dari persiapan
penggorengan sampai proses penggorengan selesai. Pada persiapan sebelum
proses penggorengan, penjagaan kualitas minyak dapat dilakukan dengan
memperhatikan kondisi penyimpanan minyak seperti menyimpan minyak pada
tempat tertutup dan tidak terkena cahaya matahari langsung. Hal ini dilakukan
untuk mengurangi intensitas kontak minyak goreng dengan cahaya serta oksigen
yang akan mempercepat proses kerusakan minyak goreng.
2. Kadar Air Bahan
Peningkatan kadar asam lemak bebas dan bilangan peroksida dipengaruhi
juga oleh kadar air dalam minyak. Peningkatan kedua bilangan tersebut
menunjukkan penurunan kualitas minyak atau telah terjadinya kerusakan minyak
tersebut. Kadar air yang tinggi dalam bahan yang digoreng akan mempercepat
proses hidrolisis yang akan meningkatkan kedua bilangan tersebut. Oleh karena
itu untuk meminimalisasi kerusakan akibat hidrolisis, bahan yang akan digoreng
sebisa mungkin dikurangi kadar airnya, tidak langsung memasukkan bahan yang
masih mengandung banyak air ke dalam penggorengan.
3. Desain Penggorengan dan Pengaruhnya terhadap Oksidasi Minyak
Ketika minyak sudah mulai dibuka dari kemasannya dan dituang pada
penggoreng maka terjadilah kontak dengan oksigen di udara. Pada lapisan
permukaan minyak yang terpapar langsung oleh oksigen merupakan wilayah yang
paling intensif mengalami reaksi oksidasi, sedangkan minyak pada lapisan
dibawahnya relatif sedikit mengalami reaksi oksidasi. Hal ini antara lain
disebabkan oleh kelarutan oksigen di dalam minyak sangat kecil. Fakta ini
memberikan arahan bahwa untuk volume minyak yang sama, lebih
menguntungkan menggunakan penggoreng dengan desain luas permukaan yang
makin kecil. Selanjutnya ketika minyak mulai dipanaskan mencapai suhu
penggorengan, maka akan terjadi penghantaran panas secara konveksi di dalam
minyak yang ditandai dengan pergerakan minyak mendistribusikan panas.
Kondisi ini memberikan efek mirip seperti pengadukan pada minyak, sehingga
hampir seluruh bagian dari minyak tersebut berpeluang untuk berada di
permukaan dan terpapar oleh oksigen (Raharjo, 2008)
Saat Menggoreng
1. Suhu
Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya yaitu suhu pemanasan
minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan
rasa gatal pada tenggorokan. Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak
jenuh atau akrolein tersebut. Semakin tinggi titik asap, semakin baik minyak
goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung pada kadar gliserol bebas.
Minyak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun, karena
telah terjadi hidrolisis molekul minyak. Oleh karena itu, untuk menekan terjadinya
hidrolisis, pemanasan minyak sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu
tinggi. Suhu penggorengan menurut Winarno (2004) adalah 177-221°C.
2. Pemilihan Teknik Menggoreng
Menurut Ketaren (2008), menyebutkan bahwa sistem menggoreng bahan
pangan ada 2 macam, yaitu sistem gangsa (pan frying) dan menggoreng biasa
(deep frying).
a. Proses Gangsa (Pan Frying)
Proses gangsa (pan frying) dapat menggunakan minyak dengan titik asap yang
lebih rendah, karena suhu pemanasan umumnya lebih rendah dari suhu
pemanasan pada sistem deep frying. Ciri khas dari proses gangsa ialah, bahan
pangan yang digoreng tidak sampai terendam dalam minyak.
b. Menggoreng Biasa (Deep Frying)
Pada proses penggorengan dengan sistem deep frying, bahan pangan yang
digoreng terendam dalam minyak dan suhu minyak dapat mencapai 200-
250°C. Oleh karena itu, tingkat kerusakan minyak goreng lebih tinggi. Teknik
menggoreng dipilih berdasarkan bahan yang akan digoreng dan tujuan dari
proses menggoreng itu sendiri.
3. Setting Penggorengan
Kerusakan pada minyak goreng yang ditandai dengan terbentuknya
senyawa-senyawa yang bersifat polar lebih banyak dijumpai pada setting
penggorengan yang diskontinyu. Hal ini disebabkan pada penggorengan yang
diskontinyu sempat ada jeda penurunan suhu minyak yang menyebabkan minyak
terpapar langsung dengan oksigen yang memicu oksidasi dan menghasilkan
senyawa-senyawa bersifat polar. Dengan demikian, setting penggorengan
kontinyu lebih baik untuk menjaga kualitas minyak.
4. Lamanya Minyak Kontak dengan Panas
Berdasarkan penelitian terhadap minyak jagung, pada pemanasan 10-12
jam pertama, bilangan iod berkurang dengan kecepatan konstan, sedangkan
jumlah oksigen dalam lemak bertambah dan selanjutnya menurun setelah
pemanasan 4 jam kedua (berikutnya). Kandungan persenyawaan karbonil
bertambah dalam minyak selama proses pemanasan, kemudian berkurang sesuai
dengan berkurangnya jumlah oksigen.
5. Akselerator Oksidasi
Kecepatan aerasi juga memengang peranan penting dalam menentukan
perubahan-perubahan selama oksidasi thermal. Nilai kekentalan naik secara
proporsional dengan kecepatan aerasi, sedangkan bilangan iod semakin menurun
dengan bertambahnya kecepatan aerasi. Konsentrasi persenyawaan karbonil akan
bertambah dengan penurunan kecepatan aerasi. Senyawa karbonil dalam lemak-
lemak yang telah dipanaskan dapat berfungsi sebagai pro-oksidan atau sebagai
akselerator pada proses oksidasi.
6. Melakukan Top up terhadap Minyak Goreng
Salah satu cara untuk mempertahankan kualitas minyak adalah dengan
melakukan top up terhadap minyak goreng yang telah digunakan selama beberapa
waktu. Hal ini berkaitan dengan istilah slow oil turnover dan fast oil turnover.
Kerusakan minyak pada penggorengan fast oil turnover lebih sedikit, karena
ketika minyak atau lemak baru yang ditambahkan terus akan menyebabkan
kualitas minyak cenderung stabil. Sebaliknya pada penggorengan slow oil
turnover, kerusakan minyak akan lebih besar karena hanya sedikit minyak goreng
lama yang tergantikan dengan minyak goreng baru. Meningkatnya kandungan
asam lemak bebas digunakan sebagai indikator tingkat kerusakan minyak goreng.

Alternatif untuk Mengurangi Kerusakan


1. Penambahan Bahan Antioksidan
Salah satu fenomena yang dihadapi dalam proses penggorengan adalah
menurunnya kualitas minyak setelah digunakan untuk menggoreng secara
berulang pada suhu relatif tinggi (160-180°C). Untuk menghambat laju penurunan
kerusakan minyak akibat reaksi oksidasi pada suhu tinggi maka penggunaan
antioksidan menjadi salah satu pilihan (Raharjo, 2008). Tetapi, efektifitas
fungsinya sebagai antioksidan hanya akan terlihat jelas jika diaplikasikan pada
minyak goreng yang digunakan untuk menggoreng secara batch atau diskontinyu.
Antioksidan berperan mencegah oksidasi dengan terlebih dahulu bereaksi
dengan oksigen sehingga bahan pangan terlindungi. Antioksidan yang umum
ditambahkan adalah BHA (Butylated Hydroxyanisole), BHT (Butylated Hydroxy
Toluene), dan TBHQ (Tertiary Butyl Hydroquinone). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa TBHQ dapat melindungi minyak/lemak lebih baik bila
dibandingkan dengan BHA atau BHT pada proses penggorengan (Elizabeth,
2010).
2. Penambahan Silikon
Minyak silikon memiliki efek perlindungan terhadap minyak melalui dua
mekanisme. Pertama, molekul silikon ketika berada di dalam minyak membentuk
lapisan di permukaan minyak, terutama di wilayah yang berbatasan dengan udara.
Dengan demikian peluang terjadinya reaksi oksidasi oleh oksigen di permukaan
semakin diperkecil. Kedua, minyak silikon juga berfungsi sebagai anti-foaming
agent yang mampu menurunkan tegangan permukaan minyak sehingga gas-gas
atau uap yang terbentuk atau ada di dalam minyak selama penggorengan menjadi
lebih mudah lepas ke udara dan tidak terjadi buih. Mudah terlepasnya gas atau uap
dari minyak ke udara sekaligus membawa panas untuk dilepas, sehingga suhu di
permukaan minyak yang berbatasan dengan udara lebih rendah dibandingkan
dengan di bagian dalam.

3. Stabilitas Minyak Goreng

Stabilitas minyak goreng dapat dilihat dari parameter uji kandungan FFA
dan bilangan iod, dengan membandingkan kadar FFA dan bilangan iod tersebut
sebelum dan sesudah penggorengan. Ada dua jenis karakteristik bahan yang
digunakan dalam uji ini, yaitu tahu yang memiliki kandungan air tinggi dan
kerupuk yang kandungan airnya rendah. Perbedaan karakteristik bahan yang
digoreng dan jenis bahan minyak goreng yang berbeda, menunjukan nilai
stabilitas yang berbeda. Kecenderungan dari stabilitasnya menunjukan bahwa,
kadar FFA meningkat setelah penggorengan dan bilangan iodnya menurun.

Gambar 4. Minyak Goreng dan Jelantah

Minyak jagung mengandung 99% trigliserida dengan komposisi 59% asam


lemak tak jenuh tinggi, 24% asam lemak tak jenuh tunggal, dan 13% sam lemak
jenuh. Minyak jagung memiliki kualitas lebih baik dari minyak kelapa sawit..
Minyak jagung mempunyai asam linoleat dalam jumlah yang cukup tinggi.
Komposisi asam lemak yang terutama adalah linoleat (59 %), oleat (27 %),
palmitat (12 %), stearat ( 2 %), linoleat (0.8 %) dan arakhidonat (0.2
%).(Soerawidjaja, 2005)
Minyak kelapa seperti minyak nabati lainnya merupakan senyawa
trigliserida yang tersusun atas berbagai asam lemak dan 90% diantaranya
merupakan asam lemak jenuh. Berdasarkan kandungan asam lemaknya, minyak
kelapa digolongkan ke dalam minyak asam laurat, karena komposisi asam laurat
paling besar jika dibandingkan dengan asam lemak lainnya. Selain itu minyak
kelapa yang belum dimurnikan juga mengandung sejumlah kecil komponen bukan
lemak seperti fosfatida, gum, sterol (0,06-0,08%), tokoferol (0,003%), dan asam
lemak bebas (< 5%), sedikit protein dan karoten. Sterol berfungsi sebagai
stabilizer dalam minyak dan tokoferol sebagai antioksidan. Minyak kelapa kaya
akan asam lemak berantai sedang (C8 – C14), khususnya asam laurat dan asam
meristat. (Ketaren, 1986)
Kandungan asam lemak dalam minyak kelapa

Minyak sawit didominasi oleh asam lemak palmitat yaitu sekitar 40-46 %.
Asam lemak ini bersifat jenuh dengan jumlah C12, tetapi memiliki jiga komponen
asam lemak berikatan rangkap seperti oleat, yang memiliki C18 dengan ikatan
rangkap ada satu. Komponen minyak sawit terdiri atas:

Bilangan asam adalah ukuran dari asam lemak bebas, serta dihitung
berdasarkan berat molekul dari asam lemak atau campuran asam lemak.
Bilanngan asam dinyatakan sebagai jumlah miligram KOH 0,1 N yang digunakan
untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam 1 gram minyak atau
lemak. Sedangkan kadar asam-asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak
atau lemak, dapat dihitung menggunakan rumus :

𝑀𝑥𝐴𝑥𝑁
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑠𝑎𝑚 %𝐹𝐹𝐴 = %
10 𝑋 𝐺

Ket : M = bobot molekul asam lemak

A = jumlah ml KOH untuk titrasi

N = normalitas larutan KOH

G = bobot contoh (gram)

(Ketaren, 1986)

Adanya asam lemak bebas cenderung menunjukkan terjadinya ketengikan


hidrolik, namun masih dimungkinkan oksidasi lemak menghasilkan asam-asam
organik lainnya (Raharjo, 2004).

Angka asam besar menunjukkan asam lemak bebas yang besar yang berasal
dari hidrolisis minyak ataupun karena proses pengolahan yang kurang baik. Makin
tinggi angka asam maka makin rendah kualitasnya (Julianty, 2008).

Menurut Winarno (1996), bilangan iodine adalah gram iodine yang diserap
oleh 100 gram lemak. I2 akan mengadisi bilangan rangkap asam lemak tidak jnuh
bebas maupun yang dalam bentuk bilangan ester. Lemak yang akan diperiksa
akan dilarutkan dalam kloroform kemudian ditambahkan lautan iodine berlebihan.
Sisa iodine yang tidak bereaksi akan dititrasi dengan tiosulfat.

I2+ 2 Na2S3O3 2NaI +Na2S4O6


Pada pengujian terdapat dua cara, pertama menggunakan Hanus. Larutan
Iodin standar dibuat dengan asam asetat pekat (glacial) yang berisi bukan hanya
iodine tetapi juga Iodin bromide, adanya Iodin bromide akan mempercepat reaksi.
Cara kedua menggunakan cara Wijs. Cara Wijs menggunakan larutan iodine
dalam asam asetat pekat, tetapi, mengandung iodium klorida sebagai pemacu
reaksi. Titik akhir titrasi kelebihan iodine diukur dengan hilangnya warna biru
dari amilum-iodin.
Penentuan iodine menunjukkan ketidakjenuhan asam lemak penyusunan
lemak dan minyak. Asam lemak tidak jenuh mampu mengikat iodium dan
membentuk senyawaan yang jenuh. Banyaknya iodine yang diikat menunjukkan
banyaknya ikatan rangkap yang terdapat dalam asam lemaknya. Angka iodine
dinyatakan sebagai banyaknya iodine dalam gram yang diikat oleh 100 gram
lemak atau minyak. Tabel berikut menunjukan hasil percobaan yang telah
dilakukan oleh peneliti sebelumya.

NO Jenis Minyak Bilangan Iod Keterangan


1 Minyak Jagung 125-128 Ketaren (2008)\
2 Minyak Kelapa Komersil 48-56 Ketaren (2008)
3 Minyak Kelapa 8-10 Suhardiyono, dkk(1987)

Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang
disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh proses otooksidasi radikal
asam lemak tidak jenuh dalam minyak dan adanya air, lemak dapat terhidrolisis
menjadi gliserol dan asam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan
faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida
lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat, dan enzim-enzim lipoksidase.

Berdasarkan hasil praktikum, sesuai dengan teori, menunjukan bahwa FFA


setelah penggorengan meningkat, dan bilangan iod setelah penggorengan
menurun. Kadar FFA meningkat karena setelah penggorengan terjadi hidrolisis,
dan reaksi oksidasi. Hidrolisis terjadi karena bahan yang digoreng mengandung
air, sehingga reaksi minyak atau trigliserida dengan air menghasilkan asam
organik dan asam-asam lemak, sehingga kadar FFAnya meningkat. Adapun
bilangan iod menurun karena selama proses penggorengan terjadi polimerisasi
akibat panas dan oksidasi yang memutus ikatan rangkap pada trigliserida,
sehingga bilangan iodnya turun. Ini menunjukan bahwa ikatan rangkapnya sudah
putus, atau trigliserida sudah berubah menjadi senyawa dengan ikatan tunggal.
Kondisi awal, baik minyak kelapa, jagung maupun sawit kadar FFAnya
hampir sama yaitu 0,16 tetapi setelah penggorengan, kadarnya meningkat. Kadar
FFA minyak kelapa setelah digunakan untuk menggoreng tahu memiliki nilai
tertinggi, ini menunjukan bahwa bahan yang memiliki kadar air tinggi dapat
menyababkan reaksi hidrolisis yang dominan sehingga terbentuk senyawa asam
organik dan asam lemak yang lebih banyak, dan menyebabkan FFAnya
meningkat.

Bilangan iod sebelum penggorengan untuk masing-masing jenis minyak


berbeda, karena jumlah komponen yang memiliki ikatan rangkapnya berbeda.
Minyak jagung memiliki komponen utama asam linoleat yang mempunyai dua
ikatan rangkap, sehingga bilangan iodnya paling tinggi. Bilangan iod minyak
sawit lebih rendah daripada minyak jagung dan lebih tinggi daripada minyak
kelapa, karena komponen utamanya asam palmitat, dan memiliki asam oleat yang
mempunyai satu ikatan rangkap, sehingga bilangan iodnya lebih rendah daripada
jagung. Adapun bilangan iod minyak kelapa paling rendah, karena komponen
utamanya adalah asam laurat yang merupakan asam lemak jenuh (berikatan
tunggal). Dengan demikian, bilangan iod bergantung pada jumlah komponen
ikatan rangkap. Semakin tinggi jumlah ikatan rangkapnya, maka semakin tinggi
bilangan iodnya.

Bilangan iod, baik minyak jagung, kelapa, dan sawit menurun setelah
penggorengan karena ikatan rangkapnya putus, yang disebabkan oleh panas dan
oksidasi. Satu data menunjukan anomali, yaitu yaitu bilangan iod minyak kelapa
setelah menggoreng kerupuk meningat, ini tidak sesuai dengan teori, yang dapat
disebabkan oleh kesalahan dalam pengukuran terutama dalam titrasi.

4. Kerusakan Minyak
Menggoreng merupakan salah satu proses olahan pangan yang sangat
populer. Menggoreng dapat didefinisikan sebagai proses pemasakan dan
pengeringan produk dengan media panas berupa minyak sebagai media pindah
panas. Menggoreng dari segi ilmiah sangat sulit dilakukan karena terjadi
perpindahan panas dan massa secara simultan. Ketika bahan pangan digoreng
menggunakan minyak goreng panas maka banyak reaksi kompleks yang akan
terjadi di dalam minyak dan pada saat itu minyak akan mulai mengalami
kerusakan.
Selama menggoreng, minyak berada dalam kondisi suhu yang tinggi.
Adanya udara dan air yang dikandung oleh bahan menyebabkan minyak
mengalami kerusakan. Adanya interaksi antara produk dan minyak menyebabkan
terjadinya reaksi yang sangat kompleks membentuk senyawa volatile maupun
nonvolatile yang akan memberikan tanda bahwa minyak telah rusak.
Kombinasi lamanya pemanasan dan suhu yang tinggi mengakibatkan
terjadinya beberapa reaksi penyebab kerusakan minyak. Reaksi-reaksi yang terjadi
adalah hidrolisa, oksidasi dan polimerisasi. Minyak yang rusak akibat dari proses
hidrolisa, oksidasi dan polimerisasi akan menghasilkan bahan dengan rupa yang
kurang menarik, tengik dan merusak sebagian vitamin dan asam lemak esensial
yang terdapat dalam minyak. Ketengikan adalah proses kerusakan minyak goreng
yang menyebabkan adanya citarasa dan bau yang tidak enak pada minyak.
Minyak yang telah rusak tidak hanya mengakibatkan kerusakan nilai gizi, tetapi
juga merusak tekstur, flavor dari bahan pangan yang digoreng.

1. Hidrolisis
Hidrolisis adalah suatu proses kimia yang menggunakan air sebagai
pemecah suatu persenyawaan dimana air berperan sebagai zat pereaksi dalam
senyawa organik. Reaksi hidrolisis minyak pada umumnya berjalan lambat.
Reaksi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti waktu reaksi, perbandingan
pereaksi, suhu, katalisator, dan pencampuran.
Hasil hidrolisis minyak adalah asam karboksilat dan gliserol . Asam
karboksilat adalah asam lemak yang mempunyai rantai hidrokarbon yang panjang
dan tidak bercabang. Minyak yang digunakan untuk meggoreng bahan pangan
akan mengalami hidrolisis yang menyebabkan akumulasi asam lemak bebas.
(Varela et all, 1988). Dengan adanya katalis panas saat menggoreng, maka
gliserol yang dihasilkan dari hidrolisa minyak akan berubah menjadi akrolin.
Akrolin merupakan produk dekomposisi yang sifatnya volatile dan menimbulkan
gatal pada tenggorokan. Timbulnya akrolin ditandai dengan timbulnya asap dari
minyak yang dipanaskan. (Winarno, 1996)
Dalam reaksi hidrolisis, air yang terkandung dalam bahan pangan berperan
dalam menguraikan trigliserida menjadi asam lemak bebas, monogliserida,
digliserida dan gliserin. Asam lemak yang berlebih menyebabkan bau tidak enak
pada minyak. Jika reaksi hidrolisis dalam minyak terus berlanjut, maka kadar
asam lemak bebas dalam minyak juga akan meningkat. Angka asam lemak bebas
dinyatakan sebagai jumlah milligram basa kuat yang dibutuhkan untuk
menetralkan asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak. Peningkatan
reaksi hirolisis dalam minyak akan meningkatkan kerusakan minyak dan
meningkatkan bahaya kasehatan bagi penggunanya.
Berdasarkan percobaan yang dilakukan, kadar FFA minyak setelah
menggoreng lebih besar dibandingkan kadar FFA minyak sebelum proses
menggoreng. Hasil ini sudah sesuai dengan literatur, karena bahan yang digoreng
adalah tahu, yang merupakan bahan yang mengandung air. Sehingga saat
menggoreng terjadi kerusakan minyak akibat reaksi hidrolisis yang menyebabkan
kadar FFA semakin meningkat.

2. Oksidasi
Reaksi oksidasi merupakan reaksi yang terjadi jika ada kontak antara
oksigen dengan minyak. Reaksi ini mengakibatkan minyak rusak yang ditandai
dengan bau tengik. Dalam Ketaren, 2008, reaksi oksidasi merupakan salah satu
penyebab ketengikan minyak ( Oxidative Rancidity ). Proses oksidasi dapat terjadi
pada suhu kamar dan selama proses pengolahan menggunakan suhu tinggi,
misalnya dalam proses penggorengan.
Hasil oksidasi lemak dalam bahan pangan tidak hanya mengakibatkan rasa
dan bau tidak enak, tetapi juga dapat menurunkan nilai gizi, karena kerusakan
vitamin (karoten dan tokoferol) dan asam lemak esensial dalam lemak.
Ketengikan terjadi bila komponen cita rasa dan bau yang mudah manguap
terbentuk sebagai akibat dari kerusakan oksidatif dari lemak atau minyak tak
jenuh.
Minyak goreng yang digunakan untuk menggoreng pada suhu tinggi atau
dipakai secara berulang-ulang akan menjadi hitam karena proses oksidasi telah
menumpuk. Perubahan warna pada minyak menunjukkan kestabilan minyak telah
menurun. Warna gelap pada minyak disebabkan oleh proses oksidasi terhadap
tokoferol (vitamin E). Penyebab utama warna minyak menjadi gelap adalah suhu
pemanasan yang terlalu tinggi dan waktu pemanasan yang terlalu lama, sehingga
sebagian minyak teroksidasi. Timbulnya busa pada saat penggorengan juga
merupakan petunjuk terjadinya reaksi oksidasi dalam minyak.
Reaksi oksidasi oleh oksigen terhadap asam lemak tidak jenuh akan
menyebabkan terbentuknya peroksida, aldehid, keton serta asam-asam lemak
berantai pendek yang dapat menimbulkan perubahan organoleptik yang tidak
disukai seperti perubahan bau dan flavour (ketengikan). Oksidasi disebabkan oleh
udara yang ada disekitar saat penggorengan. Umumnya proses ini berjalan lambat.
Derajat oksidasi ditandai dengan penyerapan oksigen, semakin lama dan tinggi
suhu pemanasan, proses oksidasi berjalan cepat. Oksidasi terjadi pada ikatan tidak
jenuh dalam asam lemak. Oksidasi dimulai dengan pembentukan peroksida dan
hidroperoksida dengan pengikatan oksigen pada ikatan rangkap pada asam lemak
tidak jenuh.
Minyak mengalami oksidasi menjadi senyawa antara peroksida yang tidak
stabil ketika dipanaskan. Pemanasan minyak lebih lanjut akan merubah sebagian
peroksida volatile decomposition products (VDP) dan non volatile decomposition
products (NVDP) yang membuat minyak menjadi polar dibandingkan minyak
yang belum dipanaskan.
Reaksi oksidasi yang terjadi dalam minyak dapat diketahui dengan
mengukur bilangan peroksida minyak tersebut. Bilangan peroksida adalah nilai
terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak. Asam lemak tidak
jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk
senyawa peroksida (Ketaren, 1986). Bilangan peroksida ini digunakan untuk
menentukan daya simpan suatu minyak. Jika bilangan peroksida minyak semakin
tinggi, maka minyak akan semakin mudah rusak dan daya simpan minyak akan
semakin berkurang.
Pada praktikum ini, untuk menentukan reaksi oksidasi yang terjadi pada
minyak dilakukan dengan mengukur bilangan iod. Besarnya jumlah iod yang
diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak jenuh dalam
minyak. Jika bilangan iod suatu minyak semakin rendah, maka bilangan peroksida
minyak tersebut akan semakin tinggi. Artinya minyak semakin rusak. Hal ini
terjadi karena peroksida yang terbentuk dalam minyak, berasal dari ikatan
rangkap.
Berdasarkan percobaan yang dilakukan, diperoleh data bahwa bilangan iod
minyak sebelum menggoreng lebih rendah daripada bilangan iod minyak setelah
menggoreng. Hasil ini telah sesuai dengan literatur, dimana semakin kecil
bilangan iod, maka minyak akan semakin rusak.

3. Polimerisasi
Polimerisasi merupakan suatu jenis reaksi kimia dimana monomer-
monomer bereaksi untuk membentuk rantai yang besar. Kedua reaksi
polimerisasi, baik polimerisasi oksidasi maupun polimerisasi termal akan
membentuk produk dekomposisi yang volatile dan nonvolatile. Produk
dekomposisi volatile meliputi peroksida, monogliserida, digliserida, aldehid,
keton dan asam karboksilat. Produk dekomposisi nonvolatile adalah komponen
polar, monomer, dimer, trimer dan komponen dengan bobot molekul tinggi.
(Ketaren, 1986)
Degradasi minyak lebih lanjut akan menghasilkan polimer. Reaksi polimer
dalam proses penggorengan menghasilkan gum dan busa. Pembentukan gum
dapat dilihat di sisi alat penggorengan, yaitu pada wadah penggorengan yang
mengalami kontak dengan oksigen dan udara yang ditandai dengan adanya bercak
hitam di dinding penggorengan. Peningkatan jumlah polimer menyebabkan
adanya asam lemak pada minyak dengan panjang rantai yang berbeda yang
menyebabkan minyak menjadi berbusa.
Pada praktikum ini, pengujian terhadap reaksi polimerisasi yang terjadi
pada minyak goring tidak dilakukan. Hal ini terjadi karena proses pengujian ini
berlangsung lama dan karena fasilitas yang ada di laboratorium kurang mencukupi
untuk melakukan pengujian.
IV. KESIMPULAN

Penggorengan merupakan salah satu proses olahan pangan yang sangat


populer. Penggorengan dapat didefinisikan sebagai proses pemasakan dan
pengeringan produk dengan media panas berupa minyak sebagai media pindah
panas. Penggorengan dari segi ilmiah sangat sulit karena terjadi perpindahan
panas dan massa secara simultan. Ketika bahan pangan digoreng menggunakan
minyak goreng panas, banyak reaksi komplek terjadi di dalam minyak dan pada
saat itu minyak akan mulai mengalami kerusakan. Selama penggorengan minyak
dalam kondisi suhu tinggi, adanya udara dan air yang dikandung oleh bahan
menyebabkan minyak mengalami kerusakan. Adanya interaksi antara produk dan
minyak menyebabkan terjadinya reaksi yang sangat komplek, akan terbentuk
senyawa volatile maupun nonvolatile yang akan memberikan tanda bahwa
minyak telah rusak.

Kriteria minyak goreng yang baik dapat diketahui dengan membandingkan


beberapa sifat fisika-kimianya seperti, bilangan iod, bilangan peroksida, dan asam
lemak bebas. Asam lemak bebas terbentuk karena terjadinya hidrolisa minyak
menjadi asam-asamnya. Asam lemak bebas merupakan indikator kesegaran suatu
minyak goreng, meskipun bukan menjadi satu-satunya indikator kerusakan. Air
dapat menghidrolisa minyak menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Proses ini
dibantu oleh adanya asam, alkali, uap air, temperatur tinggi dan enzim.
Kandungan asam lemak bebas minyak meningkat selama pemanasan, disebabkan
peristiwa oksidasi dan hidrolisis. Pada proses ini terjadi pemutusan rantai
triglesirida menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol.

Kerusakan minyak dapat ditandai dengan adanya perubahan sifat fisik


minyak seperti adanya perubahan warna, bau, citarasa, dan viskositas. Kerusakan
pada minyak biasanya disebabkan oleh reaksi hidrolisis, oksidasi dan polimerisasi
yang terjadi saat menggoreng. Hal ini terjadi karena saat menggoreng digunakan
suhu yang tinggi dan karena bahan yang digoreng mengandung air. Berdasarkan
percobaan yang dilakukan, hasil yang diperoleh sudah cukup baik dimana reaksi
hirolisis dalam minyak ditandai dengan menghitung kadar ALB dan reaksi
oksidasi pada minyak ditandai dengan menghitung bilangan iod minyak.
Kombinasi lamanya pemanasan dan suhu yang tinggi mengakibatkan
terjadinya beberapa reaksi penyebab kerusakan minyak. Reaksi-reaksi yang terjadi
adalah hidrolisa, oksidasi dan polimerisasi. Minyak yang rusak akibat dari proses
hidrolisa, oksidasi dan polimerisasi akan menghasilkan bahan dengan rupa yang
kurang menarik dan cita rasa yang tidak enak, serta kerusakan sebagian vitamin
dan asam lemak esensial yang terdapat dalam minyak. Minyak yang telah rusak
tidak hanya mengakibatkan kerusakan nilai gizi, tetapi juga merusak tekstur,
flavor dari bahan pangan yang digoreng.

Reaksi oksidasi oleh oksigen terhadap asam lemak tidak jenuh akan
menyebabkan terbentuknya peroksida, aldehid, keton serta asam-asam lemak
berantai pendek yang dapat menimbulkan perubahan organoleptik yang tidak
disukai seperti perubahan bau dan flavour (ketengikan). Oksidasi disebabkan oleh
udara yang ada disekitar saat pemanasan atau penggorengan, umumnya proses ini
berjalan lambat. Derajat oksidasi ditandai dengan penyerapan oksigen, semakin
lama dan tinggi suhu pemanasan, proses oksidasi berjalan cepat. Oksidasi terjadi
pada ikatan tidak jenuh dalam asam lemak. Oksidasi dimulai dengan pembentukan
peroksida dan hidroperoksida dengan pengikatan oksigen pada ikatan rangkap
pada asam lemak tidak jenuh.
DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth, J. 2010. Frying Fat pada Aplikasi Deep-fat Frying. R&D Dept. on
Oil and Fat, Wilmar Group-Indonesia
Julianty, R. 2008. Analisis Kadar Lemak. Pengendalian Mutu Agroindustri. D$
Vedca. http://www.scribd.com/doc/20217766/Analisis-Kadar-Lemak-
Metode-Weibull-Penentuan-Asam-Lemak-Bebas-Angka-an
Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UI-
Press.
Ketaren S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UI-
Press.
Raharjo, S. 2004. Kerusakan Oksidatif pada Makanan. Pusat Studi Pangan dan
Gizi UGM. Yogyakarta
Soerawidjaja, Tatang H.2005. Minyak, pati, dan produk-produk lain dari jagung.
Teknik Kimia ITB. Bandung
Winarno, F.G., Fardiaz, S. dan Fardiaz, D. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput
Laut. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Ketaren, S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press.
Jakarta.
Raharjo,S. 2008. Melindungi Kerusakan Oksidasi pada Minyak selama
Penggorengan dengan Antioksidan. http://www.foodreview.com [27
November 2010].

Anda mungkin juga menyukai