Anda di halaman 1dari 9

Hikayat abu nawas

Syahdan,disuatu masa hidup seorang laki2 yang punya sifat kikir (pelit).ia mempunyai sebuah
rumah yang cukup besar.didalam rumah itu dia tinggal bersama seorang istri dan 3 orang
anaknya yang masih kecil2.laki2 ini merasa rumahnya sudah sangat sempit dengan
keberadaannya dan keluarganya.namun,untuk memperluas rumahnya,sang lelaki merasa sayang
untuk mengeluarkan uang.ia putar otak bagaimana caranya agar ia bisa memperluas rumahnya
tanpa mengeluarkan banyak.akhirnya,ia mendatangi abunawas,seorang cerdik
dikampungnya.pergilah ia menuju rumah abu nawas.

si lelaki : “salam hai abunawas,semoga engkau selamat sejahtera.”

abu nawas : “salam juga untukmu hai orang asing,ada apa gerangan kamu mendatangi
kediamanku yang reot ini ?”

si lelaki lalu menceritakan masalah yang ia hadapi.abunawas mendengar dengan seksama.setelah


si lelaki selesai bercerita,abunawas tampak tepekur sesaat,tersenyum,lalu ia berkata :

“hai fulan,jika kamu menghendaki kediaman yang lebih luas,belilah sepasang ayam,jantan dan
betina,lalu buatkan kandang didalam rumahmu.3 hari lagi kau lapor padaku bagaimana keadaan
rumahmu.”

si lelaki bingung,apa hubungannya ayam dengan luas rumah,tapi ia tak membantah.sepulang dari
rumah abunawas,ia membeli sepasang ayam,lalu membuatkan kandang untuk ayamnya didalam
rumah.
3 hari kemudian,ia kembali kekediaman abunawas,dengan wajah berkerut.

abunawas : “bagaimana fulan,sudah bertambah luaskah kediamanmu?”

si lelaki : “boro boro ya abu.apa kamu yakin idemu ini tidak salah?rumahku tambah kacau
dengan adanya kedua ekor ayam itu.mereka membuat keributan dan kotorannya berbau tak
sedap.”

abu nawas : “( sambil tersenyum ) kalau begitu tambahkan sepasang bebek dan buatkan kandang
didalam rumahmu.lalu kembali 3 hari lagi.”

silelaki terperanjat.kemarin ayam sekarang bebek,memangnya rumahnya peternakan?.atau


sicerdik abunawas ini sedang kumat jahilnya?namun seperti pertama kali,ia tak berani
membantah,karena ingat reputasi abunawas yang selalu berhasil memecahkan berbagai
masalah.pergilah ia ke pasar,dibelinya sepasang bebek,lalu dibuatkannya kandang didalam
rumahnya.
setelah 3 hari ia kembali menemuai abunawas.

abu nawas : “bagaimana fulan,kediamanmu sedah mulai terasa luas atau belum ?”
si lelaki : “aduh abu,ampun,jangan kau menegerjai aku.saat ini adalah saat paling parah selama
aku tinggal dirumah itu.rumahku sekarang sangat mirip pasar unggas,sempit,padat,dan baunya
bukan main.”

abunawas : “waah,bagus kalau begitu.tambahkan seekor kambing lagi.buatkan ia kandang


didalam rumahmu juga.lalu kembali kesini 3 hari lagi.”

si lelaki : “apa kau sudah gila abu ?kemarin ayam,bebek dan sekarang kambing.apa tidak ada
cara lain yang lebih normal?”

abunawas : “lakukan saja,jangan membantah.”

lelaki itu tertunduk lesu,bagaimanapun juga yang memberi ide adalah abunawas,sicerdik pandai
yang tersohor.maka dengan pasrah pergilah ia ke pasar dan membeli seekor kambing,lalu ia
membuatkan kandang didalam rumahnya.

3 hari kemudian dia kembali menemui abunawas

abunawas : “bagaimana fulan ? sudah membesarkah kediamanmu ?”

si lelaki : “rumahku sekarang benar2 sudah jadi neraka.istriku mengomel sepanjang hari,anak2
menangis, semua hewan2 berkotek dan mengembik,bau,panas,sumpek,betul2 parah ya
abu.tolong aku abu,jangan suruh aku beli sapi dan mengandangkannya dirumahku,aku tak
sanggup ya abu.”

abu nawas : “baiklah,kalau begitu,pulanglah kamu,lalu juallah kambingmu kepasar,besok kau


kembali untuk menceritakan keadaan rumahmu.”

si lelaki pulang sambil bertanya2 dalam hatinya,kemarin disuruh beli,sekarang disuruh jual,apa
maunya si abunawas.namun,ia tetap menjual kambingnya kepasar.keesokan harinya ia kembali
kerumah abunawas.

abu nawas : “bagaimana kondisi rumahmu hari ini ?”

si lelaki :”yah,lumayan lah abu,paling tidak bau dari kambing dan suara embikannya yang
berisik sudah tak kudengar lagi.”
abu nawas : “kalau begitu juallah bebek2mu hari ini,besok kau kembali kemari”

si lelaki pulang kerumahnya dan menjual bebek2nya kepasar.esok harinya ia kembali kerumah
abunawas

abunawas : “jadi,bagaimana kondisi rumahmu hari ini?”

si lelaki : “syukurlah abu,dengan perginya bebek2 itu,rumahku jadi jauh lebih tenang dan tidak
terlalu sumpek dan bau lagi.anak2ku juga sudah mulai berhenti menangis.”
abunawas.bagus.”kini juallah ayam2mu kepasar dan kembali besok ”

si lelaki pulang dan menjual ayam2nya kepasar.keesokan harinya ia kembali dengan wajah yang
berseri2 kerumah abunawas

abunawas : “kulihat wajahmu cerah hai fulan,bagaimana kondisi rumahmu saat ini?”

si lelaki :”alhamdulillah ya abu,sekarang rasanya rumahku sangat lega karena ayam dan
kandangnya sudah tidak ada.kini istriku sudah tidak marah2 lagi,anak2ku juga sudah tidak
rewel.”

abunawas : “(sambil tersenyum) nah nah,kau lihat kan,sekarang rumahmu sudah menjadi luas
padahal kau tidak menambah bangunan apapun atau memperluas tanah
banguanmu.sesungguhnya rumahmu itu cukup luas,hanya hatimu sempit sehingga kau tak
melihat betapa luasnya rumahmu.mulai sekarang kau harus lebih banyak bersyukur karena masih
banyak orang yang rumahnya lebih sempit darimu.sekarang pulanglah kamu,dan atur rumah
tanggamu,dan banyak2lah bersyukur atas apa yang dirizkikan tuhan padamu,dan jangan banyak
mengeluh.”

silelaki pun termenung sadar atas segala kekeliruannya,ia terpana akan kecendikiaan sang tokoh
dan mengucap terima kasih pada abunawas…
Hikayat Hang Tuah -Ksatria Melayu

Pada masa lalu, dikenal seorang ksatria bernama Hang Tuah. Ketika masih kecil, ia beserta
kedua orangtuanya, Hang Mahmud dan Dang Merdu, menetap di Pulau Bintan. Pulau ini berada
di perairan Riau. Rajanya adalah Sang Maniaka, putra Sang Sapurba raja besar bermahligai di
Bukit Siguntang.

Hang Mahmud berfirasat bahwa anaknya akan menjadi tokoh yang terkemuka. Saat berumur
sepuluh tahun, Hang Tuah pergi berlayar ke Laut Cina Selatan disertai empat sahabatnya, yaitu
Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Han Lekiu. Dalam perjalanan, mereka berkali-kali
diganggu oleh gerombolan lanun. Dengan segala keberaniannya, Hang Tuah bersama keempat
sahabatnya mampu mengalahkan gerombolan itu. Kabar tersebut terdengar sampai ke telinga
Bendahara Paduka Raja Bintan, yang sangat kagum terhadap keberanian mereka.

Suatu ketika, Hang Tuah dan keempat sahabatnya berhasil mengalahkan empat pengamuk yang
menyerang Tuan Bendahara. Tuan Bendahara kemudian mengangkat mereka sebagai anak
angkatnya. Tuan Bendahara kemudian melaporkan tentang kehebatan mereka kepada Baginda
Raja Syah Alam. Baginda Raja pun ikut merasa kagum dan juga mengangkat mereka sebagai
anak angkatnya.

Beberapa tahun kemudian, Baginda Raja berencana mencari tempat baru sebagai pusat kerajaan.
Ia beserta punggawa kerajaan, termasuk Hang Tuah dan para sahabatnya, melancong ke sekitar
Selat Melaka dan Selat Singapura. Rombongan akhirnya singgah di Pulau Ledang. Di sana
rombongan melihat seekor pelanduk (kancil) putih yang ternyata sulit untuk ditangkap.

Menurut petuah orang-orang tua, jika menemui pelanduk putih di hutan, maka tempat itu bagus
dibuat negeri. Akhirnya di sana dibangun sebuah negeri dan dinamakan Melaka, sesuai nama
pohon Melaka yang ditemukan di tempat itu.

Setelah beberapa lama memerintah, Baginda Raja berniat meminang seorang putri cantik
bernama Tun Teja, putri tunggal Bendahara Seri Benua di Kerajaan Indrapura. Namun,
sayangnya putri itu menolak pinangan Baginda Raja. Akhirnya Baginda Raja meminang Raden
Galuh Mas Ayu, putri tunggal Seri Betara Majapahit, raja besar di tanah Jawa.

Sehari menjelang pernikahan, di istana Majapahit terjadi sebuah kegaduhan. Taming Sari,
prajurit Majapahit yang sudah tua tapi amat tangguh, tiba-tiba mengamuk. Mengetahui keadaan
itu, Hang Tuah kemudian menghadang Taming Sari. Hang Tuah mempunyai siasat cerdik
dengan cara menukarkan kerisnya dengan keris Taming Sari. Setelah keris bertukar, Hang Tuah
kemudian berkali-kali menyerang Taming Sari. Taming Sari baru kalah setelah keris sakti yang
dipegang Hang Tuah tertikam ke tubuhnya. Hang Tuah kemudian diberi gelar Laksamana dan
dihadiahi keris Taming Sari.

Baginda Raja bersama istri dan rombongannya kemudian kembali ke Malaka. Selama bertahun-
tahun negeri ini aman dan tenteram. Hang Tuah menjadi laksamana yang amat setia kepada raja
Malaka dan amat disayang serta dipercayai raja. Hal itu menimbulkan rasa iri dan dengki prajurit
dan pegawai istana. Suatu ketika tersebar fitnah yang menyebutkan bahwa Hang Tuah telah
berbuat tidak sopan dengan seorang dayang istana. Penyebar fitnah itu adalah Patih Kerma
Wijaya yang merasa iri terhadap Hang Tuah. Baginda Raja marah mendengar kabar itu. Ia
memerintahkan Bendahara Paduka Raja agar mengusir Hang Tuah. Tuan bendahara sebenarnya
enggan melaksanakan perintah Baginda Raja karena ia mengetahui Hang Tuah tidak bersalah.
Tuan Bendahara menyaranlkan agar Hang Tuah cepat-cepat meninggalkan Malaka dan pergi ke
Indrapura.

Di Indrapura, Hang Tuah mengenal seorang perempuan tua bernama Dang Ratna, inang Tun
Teja. Dang Ratna kemudian jadi ibu angkatnya. Hang Tuah meminta Dang Ratna untuk
menyampaikan pesan kepada Tun Teja agar mau menyayingi dunia. Berkat upaya Dang Ratna,
Tun Teja mau menyayingi Hang Tuah. Hubungan keduanya menjadi sangat akrab.

Suatu waktu, Indrapura kedatangan perahu Melaka yang dipimpin oleh Tun Diraja dan Tun Biji
Sura. Mereka meminta Hang Tuah agar mau kembali ke Melaka. Tun Teja dan Dang Ratna juga
ikut bersama rombongan.

Sesampainya di Melaka, Hang Tuah kemudian bertemu dengan Baginda Raja. Hang Tuah
berkata, “Mohon maaf, Tuanku, selama ini hamba tinggal di Indrapura. Hamba kembali untuk
tetap mengabdi setia kepada Baginda.” Tun Ratna Diraja melaporkan kepada Baginda Raja
bahwa Hang Tuah datang bersama Tun Teja, putri yang dulu diidam-idamkan Baginda Raja.
Singkat cerita, Tun Teja akhirnya bersedia menjadi istri kedua Baginda Raja meskipun
sebenarnya ia menyayangi Hang Tuah. Hang Tuah kemudian menjabat lagi sebagai Laksamana
Melaka, yang sangat setia dan disayang raja.

Hang Tuah kembali kena fitnah setelah bertahun-tahun menetap di Melaka. Mendengar fitnah
itu, kali ini Baginda Raja sangat marah dan memerintahkan Tuan Bendahara untuk membunuh
Hang Tuah. Tuan Bendahara tidak tega membunuh Hang Tuah dan memintanya agar mengungsi
ke Hulu Melaka. Hang Tuah menitipkan keris Taming Sari ke Tuan Bendahara agar diserahkan
pada Baginda Raja. Hang Jebat kemudian menggantikan Hang Tuah sebagai Laksamana Melaka.
Oleh Baginda Raja keris Taming Sari diserahkan kepada Hang Jebat.

Sepeninggal Hang Tuah, Hang Jebat lupa diri dan menjadi mabuk kekuasaan. Ia bertindak
sewenang-wenang. Hang Jebat juga sering bertindak tidak sopan terhadap para pembesar
kerajaan dan dayang-dayang. Banyak orang telah menasehatinya, namun Hang Jebat tetap keras
kepala dan tidak mau berubah. Baginda Raja menjadi gusar melihat kelakuan Hang Jebat. Tak
seorangpun prajurit mampu mengalahkan Hang Jebat. Baginda lalu teringat kepada Hang Tuah.
Tuan Bendahara akhirnya memberitahu kepada Baginda Raja, “Maaf Baginda, sebenarnya Hang
Tuah masih hidup. Ia mengungsi ke Hulu Melaka.” Atas perintah Baginda Raja, Hang Tuah
bersedia ke Melaka.

Hang Tuah menghadap Baginda Raja dan menyatakan kesiapannya melawan Hang Jebat. Hang
Tuah kemudian diberi keris Purung Sari. Terjadi pertempuran yang sangat hebat antara dua
sahabat yang sangat setia dan yang mendurhaka. Suatu ketika Hang Tuah berhasil merebut keris
Taming Sari dan dengan keris itu, Hang Tuah dapat mengalahkan Hang Jebat. Hang Jebat mati
di pangkuan Hang Tuah. Hang Tuah kembali diangkat seganai Laksamana Melaka. Setelah itu,
Melaka kembali tentram seperti sedia kala.

Laksamana Hang Tuah sering melawat ke luar negeri hingga ke negeri Judah dan Rum untuk
memperluas pengaruh kerajaan Melaka di seluruh dunia.

Suati saat Baginda Raja mengirim utusan dagang ke Kerajaan Bijaya Nagaram di India, yang
dipimpin oleh Hang Tuah. Setelah sampai di India, rombongan melanjutkan pelayaran ke negeri
Cina. Di pelabuhan Cina, rombongan Hang Tuah berselisih dengan orang-orang Portugis.
Mereka sangat sombong, tidak menerima Hang Tuah melabuhkan kapalnya di samping kapal
mereka. Setelah menghadap Raja Cina, rombongan Hang Tuah kemudian melanjutkan
perjalanannya kembali ke Melaka. Di tengah perjalanan, mereka diserang oleh perahu-perahu
Portugis. Hang Tuah mampu mengatasi serangan mereka. Kapten dan seorang perwira Portugis
melarikan diri ke Manila, Filiphina. Rombongan Hang Tuah akhirnya tiba di Melaka dengan
selamat.

~~~

Sementara itu, ubernur Portugis di Manila sangat marah mendengar laporan kekalahan dari
perwiranya yang berhasil melarikan diri. Setelah beberapa bulan melakukan persiapan, angkatan
perang Portugis berangkat menuju Selat Melaka. Di tempat ini, mereka memulai serangan
terhadap Melaka yang menyebabkan banyak prajurit Melaka kewalahan. Pada saat itu, Hang
Tuah sedang sakit keras.

Baginda Raja memerintahkan Tuan Bendahara untuk meminta bantuan Hang Tuah. Meski sakit,
Hang Tuah tetap bersedia ikut memimpin pasukan melawan Portugis. Kata Hang Tuah kepada
Baginda Raja, “Apa yang kita tunggu? Kita secepatnya harus mengusir mereka dari sini.”

Dengan keteguhannya, Hang Tuah masih mampu menyerang musuh, baik dengan pedang
maupun meriam. Namun, sebuah peluru mesiu Portugis berhasil menghantam Hang Tuah. Ia
terlempar sejauh 7 meter dan terjatuh ke laut. Hang Tuah berhasil diselamatkam dan kemudia
dibawa dengan perahu Mendam Birahi kembali ke Melaka. Seluruh perahu petinggi dan pasukan
Melaka juga kembali ke kerajaan. Demikian pula halnya pasukan Portugis kembali ke Manila
karena banyak pemimpinnya yang terluka. Peperangan berakhir tanpa ada yang menang dan
kalah.

Setelah sembuh, Hang Tuah tidak lagi menjabat sebagai Laksamana Melaka karena sudah
semakin tua. Ia menjalani hidupnya dengan menyepi di puncak bukit Jugara di Melaka. Baginda
Raja juga sudah tidak lagi memimpin, ia digantikan oleh anaknya, Putri Gunung Ledang.
PERKARA SI BUNGKUK DAN SI PANJANG

Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit sebagai
ternyata dari contoh yang di bawah ini:

Hatta maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-
tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri
berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai. Maka dicaharinya perahu hendak
menyeberang, tiada dapat perahu itu. Maka ditantinya 1) kalau-kalau ada orang lalu
berperahu. Itu pun tiada juga ada lalu perahu orang. Maka ia pun berhentilah di tebing
sungai itu dengan istrinya. Sebermula adapun istri orang itu terlalu baik parasnya. Syahdan
maka akan suami perempuan itu sudah tua, lagi bungkuk belakangnya. Maka pada sangka
orang tua itu, air sungai itu dalam juga. Katanya, "Apa upayaku hendak menyeberang
sungai ini?"

Maka ada pula seorang Bedawi duduk di seberang sana sungai itu. Maka kata orang itu,
"Hai tuan hamba, seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba tiada dapat
berenang; sungai ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya." Setelah didengar oleh Bedawi
kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu baik rupanya, maka orang
Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya, "Untunglah sekali ini!"

Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga
lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua
itu, "Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata Bedawi itu,
"Sebagaimana 3) hamba hendak bawa tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang juga
dahulu maka boleh, karena air ini dalam."

Maka kata orang tua itu kepada istrinya, "Pergilah diri dahulu." Setelah itu maka turunlah
perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata Bedawi itu,
"Berilah barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu, hamba seberangkan." Maka diberi
oleh perempuan itu segala bekal-bekal itu. Setelah sudah maka dibawanyalah perempuan
itu diseberangkan oleh Bedawi itu. Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air itu, supaya
dikata 4) oleh si Bungkuk air itu dalam. Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu,
maka kata Bedawi itu kepada perempuan itu, "Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan
mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan
hamba buangkan orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan
istri hamba." Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan itu.

Maka kata perempuan itu kepadanya, "Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu."

Maka apabila sampailah ia ke seberang sungai itu, maka keduanya pun mandilah, setelah
sudah maka makanlah ia keduanya segala perbekalan itu. Maka segala kelakuan itu
semuanya dilihat oleh orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan Bedawi
itu.

Kalakian maka heranlah orang tua itu. Setelah sudah ia makan, maka ia pun berjalanlah
keduanya. Setelah dilihat oleh orang tua itu akan Bedawi dengan istrinya berjalan, maka ia
pun berkata-kata dalam hatinya, "Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah
aku mati."

Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu. Maka heranlah ia, karena dilihatnya
sungai itu aimya tiada dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya Bedawi itu.
Dengan hal yang demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat Masyhudulhakk itu.

Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka
disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan
perempuan itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Istri siapa perempuan ini?"

Maka kata Bedawi itu, "Istri hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba pinangkan;
sudah besar dinikahkan dengan hamba."

Maka kata orang tua itu, "Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba."

Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka
orang pun berhimpun, datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah
Masyhudulhakk kepada perempuan itu, "Berkata benarlah engkau, siapa suamimu antara
dua orang laki-laki ini?"

Maka kata perempuan celaka itu, "Si Panjang inilah suami hamba."

Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk, "Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya


berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.

Maka diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh
Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, "Si Panjang itulah suami hamba."

Maka kata Masyhudulhakk, "Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan siapa
mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?"

Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk
perjauhkan. Setelah itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk,
"Berkata benarlah engkau ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?"

Maka kata Bedawi itu, "Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula
perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya."

Syahdan maka Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu
perempuan ini, siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di mana
kampung tempat ia duduk?"

Maka tiadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan laki-
laki Bedawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata
Masyhudulhakk, "Hai orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benamya?"

Maka kata orang tua itu, "Daripada mula awalnya." Kemudian maka dikatakannya, siapa
mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya

Maka Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu
dan kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan Bedawi
itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu
didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus
kali. Kemudian maka disuruhnya tobat Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan
demikian itu.

Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.

Catatan:
Asal hikayat ini cerita dalam bahasa Sangsekerta, yang bernama Mahaummagajataka. Cerita itu disalin
misalnya ke bahasa Singgala (Sailan) dan Tibet. Dalam bahasa Aceh terkenal dengan nama Medehaka.

Nama Mahasyodhak Masyhudhak atau Masyhudu'lhakk asalnya kata India Mahosyadha, yaitu maha dan
usyadha (obat besar).

Kutipan ini dari salah satu naskah lama (Collectie v.d. Wall) dengan diubah di sana-sini setelah
dibandingkan dengan buku yang diterbitkan oleh A.F. v.d. Wall (menurut naskah yang lain dalam
kumpulan yang tersebut).

Dalam Volksalmanak Melayu 1931 (Balai Pustaka) isi naskah yang dipakai v.d. Wall itu diringkaskan
dan sambungannya dimuat pula, dengan alamat "Masyudhak".
1. Dinantinya.
2. Atau: apalah kiranya.
3. Biasanya: bagaimana.
4. Lebih baik: dikatakan.
5. Maka pikir Masyhudu'lhakk atau maka berpikirlah Masyhudu'lhakk.

Anda mungkin juga menyukai