Anda di halaman 1dari 11

Sajian Utama

SWA 20/XIX/ 2 - 15 OKTOBER 2003

Potret Gaji 2003

Survei Hay Management memaparkan wajah gaji di sejumlah


industri domestik. Di manakah
posisi Anda?
Teguh S. Pambudi

Hingga kini, mundurnya Richard Grasso sebagai Chairman


merangkap CEO New York Stock
Exchange pada 17 September lalu masih diiringi gerundelan
banyak orang di Amerika
Serikat dan kalangan bisnis dunia. Penyebabnya tak lain,
kompensasi US$ 140 juta yang
mengiringi cabutnya pria berkepala plontos ini. Jumlah sebesar
itu, di mata para
pengkritik dipandang terlalu besar.

Publik yang mual dengan aneka skandal di Wall Stret, makin


marah ketika mengetahui
gaji Grasso per tahun mencapai US$ 30,5 juta. Sangat tingi
dibanding \"dewa keuangan\"
yang juga Gubernur Bank Sentral AS, Alan Greenspan. Asal tahu
saja, Alan yang sangat
disanjung sebagai sang penyelamat perekonomian AS selama tiga
dekade, cuma dibayar US$
171.900/tahun. Artinya, kakek berkacamata itu hanya menarik
1/777 dari yang dikantongi
Grasso. "Unbelievable," kata mereka. Sebagian lagi, "It's
unfair! Apa dasarnya?"

Tak banyak yang membela Grasso. Salah satunya, John Mariotti,


Presiden sekaligus
pendiri The Enterprise Group. Ia menulis "How Much is Too
Much?" Menurutnya, seiring
bisnis yang kian kompleks, tuntutan eksekutif pun kian tinggi
sehingga tak heranlah,
bayarannya pun kian melambung. Itulah dasarnya. Lagi pula,
lanjut dia, gaji besar
kecil pengaruhnya bagi orang-orang cemerlang. "Mereka lebih
termotivasi oleh
tantangan," tulisnya dengan enteng. Dengan kata lain, jangan
hanya lihat gaji,
tapi lihat juga tugas-tugasnya.

Di belahan bumi mana pun, persoalan gaji memang sensitif


dibicarakan. Seperti percikan
api, salah meletik, bisa \"terbakar\" seisi perusahaan.
Apalagi, menyangkut level board yang besarnya ditengarai
sering "naudzubillah". Karena
itulah, prinsip good corporate governance menekankan
pentingnya kehadiran komite
remunerasi untuk menakar hal yang satu itu: "How much is too
much?" Namun, mari
lupakan sejenak Grasso dan para CEO lainnya. Sementara waktu,
sebaiknya kita bertanya
pada diri sendiri: bagaimana gaji kita?

Setelah tahun lalu istirahat, SWA kini kembali memaparkan


potret gaji. Setelah
beberapa kali digelar Watson Wyatt, kali ini penyelenggaranya
Hay Management,
konsultan yang juga menekuni urusan SDM, gaji dan benefit.

Bertajuk Compensation & Benefit Survey 2003, survei yang


berakhir per 31 Mei 2003 ini
diikuti 110 partisipan. Komposisinya: sektor keuangan/bank
(24%), manufaktur (18%),
minyak & gas (14%), kimia (13%), consumer product (11%),
transportasi (4%), sisanya
lain-lain. Adapun yang dianalisis sebanyak 31.859 job.
Hasilnya?

Secara umum, papar Sylvano Damanik, Direktur Hay Group Asia,


salary movement Indonesia
tahun 2003 (Mei 2002-Mei 2003) bergerak di posisi 16,5%, naik
1,2% poin dibanding
tahun lalu (15,3%). Lumayan. Apalagi dibanding beberapa negara
Asia, persentase
kenaikan di Tanah Air terbilang tertinggi, sekalipun secara
akumulatif masih memble
karena besarnya inflasi.

Hal yang sama (persentase tertinggi) juga akan terjadi di


tahun mendatang. Memang, di
tahun 2004, partisipan survei memperkirakan hanya mengerakkan
salary di kisaran 15,4%
seiring situasi sosial politik yang tidak jelas (bom, Pemilu,
dan lain-lain). Artinya,
turun 1,1% poin. Toh persentase kenaikan itu tetap
Yang terbesar kendati inflasi juga diperkirakan masih paling
gede (7%) -- lihat Tabel
1 dan 2 (Gambaran Ekonomi Negara-negara Asia, dan Kenaikan
Rata-rata Base Salary).

Dalam pergerakan tersebut, secara umum persentase peningkatan


base salary di sektor
consumer product periode Juni 2002-Mei 2003 merupakan yang
tertinggi (18,9%),
sementara manufaktur yang terendah
(15,8%).

Seperti tertera di Tabel 3 (Kenaikan Rata-rata Base Salary


Berdasarkan Sektor 2003),
sektor produk konsumsi juga yang tertinggi menaikkan base
salary di tahun depan
(18,%). \"Peningkatan ini karena performa atau profitabilitas
yang diberikan
perusahaan consumer goods lebih bagus ketimbang industri
lain,\" papar Sylvano tentang
dinamika produk konsumsi.

\"Sekarang, industri fast moving consumer goods memang yang


paling pesat
pertumbuhannya, sehingga memberi peluang paling besar, baik
kepada perusahaan maupun
karyawannya. Lagi pula, risikonya tidak sebesar industri
lain,\" ujar Pri Notowidigdo,
Mitra Senior The Amrop Hever Group, yang banyak melakukan
rekrutmen SDM, khususnya di
level eksekutif atas.

Masih bicara base salary, dari survei juga terungkap, di luar


kelompok eksekutif
(manajemen yunior-menengah-senior), karyawan kerah biru (blue
collar) mendapat
kenaikan tertinggi (17,7%) seperti
tertera di Tabel 4 (Kenaikan Rata-rata Base Salary pada
Tingkatan Manajemen). Namun,
menurut Sylvano, hal itu tidaklah istimewa. Sebab, kendati
persentase kenaikannya
tertinggi, base salary-nya terendah. Juga, tak mendapat
tunjangan atau fasilitas lain.
Cuma, ini tetap pertanda baik: kaum kerah biru masih cukup
diperhatikan partisipan.

Menariknya, bila kenaikan base salary ini diproyeksi ke tahun


depan, blue collar tidak
lagi yang tertinggi. Terutama di sektor produk konsumsi.
Seperti tercantum di Tabel 5
(Perkiraan Kenaikan Base Salary Berdasarkan Sektor), di sektor
ini, kelompok
eksekutiflah (manajemen yunior dan menengah) yang akan
menerima peningkatan base
salary tertinggi. Dinamika ini tak terlepas dari persaingan
yang kian ketat.
Perusahaan consumer goods akan makin menuntut kinerja prima
para eksekutifnya.
Anda mungkin bertanya, siapa sebenarnya yang dimaksud
manajemen yunior dan menengah
dalam survei ini? Sebelum sampai ke sana, simaklah dulu nasib
para fresh graduate,
yang barangkali berguna sebagai referensi untuk menggaji
mereka. Seperti tergambar
pada Tabel 6 (Gaji Rata-rata Entry Level/S-1), secara rata-
rata, gaji orang-orang
teknik berada diposisi tertinggi dibanding disiplin lain.
Begitu masuk, mereka
mendapat Rp 2.575.000/bulan. Adapun untuk pemegang diploma,
orang yang ditempatkan di
produksi dan operasional yang tertinggi (Rp 1.979.000/bulan).

Untuk mendapatkan data-data di atas, Hay -- yang telah


mengelar riset sejenis di
lingkup worldwide sejak 1989 -- menurut Glen T. Mambo, Manajer
Country Layanan
Informasi Hay Group, menerapkan metode
Hay Job Evaluation (HJE).

Sederhananya, HJE adalah metode pengevaluasian satu pekerjaan


dibanding pekerjaan lain
dengan memberi bobot tertentu pada satu job, yang disebut
sistem poin. Untuk sampai
pada pembobotan, ada
tiga faktor dalam diri karyawan yang dinilai: (1) Knowhow,
menyangkut pendidikan dan
wawasan manajerial; (2) Problem solving, berkaitan dengan
kontribusi dalam pemberian
informasi dan pengambilan
putusan; (3) Akuntabilitas, berurusan dengan kemampuan
seseorang terhadap pengelolaan
aset perusahaan.

Ketiga faktor tersebut, kemudian dinilai dengan poin tertentu


dalam metode Hay Chart
Profile. Hasilnya kelak, disebut Hay Point atau Hay Job Units
(lebih lengkap lihat
boks: Memahami Hay Job Evaluation).
Untuk lebih jelas, pada Tabel 8 tentang Representative Job
Titles, bisa terlihat
representasi titel pekerjaan seseorang terkait dengan Hay
Point-nya. Contoh, titel
yang masuk Hay Point 100 adalah mereka yang bekerja sebagai
klerek atau operator.
Lalu, yang masuk Hay Point 500 adalah enjinir senior dan
manajer merek/produk.
Demikian seterusnya.
Dengan menggunakan sistem poin pula, maka jawaban siapa yang
masuk manajemen yunior
adalah yang berada di kisaran Hay Point 192-370; manajer
menengah di kisaran Hay Point
371-613, sementara
manajemen senior di Hay Point 614 ke atas. Lantas, apa
kelebihan metode ini sebagai
perangkat survei?

Menurut Glen, metode ini menekankan pada pengevaluasian


pekerjaan, bukan orang ataupun
titel. Pendek kata, dengan melihat tiga faktor (knowhow,
problem solving dan
akuntabilitas) metode ini menitik beratkan
pada kompetensi, kapabilitas, serta tanggung jawab seseorang.
Tiga hal yang memang
makin penting di tengah ketatnya kompetisi bisnis. Sementara
kelemahannya, timpal
Sylvano, lantaran banyak variabel maka banyak adjustment yang
mesti dibuat sehingga
survei pun selalu membutuhkan waktu cukup lama (lebih dari 3
bulan).

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, survei


mengungkapkan fakta: dalam hal
annual base salary terlihat bahwa hampir di semua Hay Point,
sektor minyak & gas
menempati posisi selalu lebih tinggi di atas pasar secara umum
(dihitung dari total
partisipan). Di Hay Point 200, misalnya, annual base salary
orang minyak & gas
mencapai Rp 64,5 juta/tahun sementara general market di Rp
43,7 juta/tahun. Adapun Hay
Point 300 di posisi Rp 82,6 juta/tahun atau Rp 6,8 juta/bulan,
sedangkan pasar di
angka Rp 56,6 juta/tahun.

Sebaliknya dengan orang-orang di sektor keuangan, bank, dan


asuransi. Di Hay Point
300, umpamanya, gaji basic tahunannya sebesar Rp 38,8 juta
atau Rp 3,2 juta/bulan.
Kecuali Hay Point 400 (Rp 64,4 juta/tahun) yang masih di atas
orang transportasi, di
posisi lain, orang-orang sektor yang \"mengurusi uang\" ini
justru terbilang berada di
kursi belakang: mereka selalu di bawah general market.

Menurut Sylvano, alasan sektor migas berani membayar paling


tinggi dibanding sektor
lain, karena di samping size business, aspek skill dibidang
ini pun terhitung tinggi
dan tak mudah. \"Karena nature bisnis
ini, besarnya investasi asing, volume bisnis, plus return on
investment yang bagus,\"
timpal Pri Notowidigdo.

Sementara itu rendahnya remunerasi di sektor keuangan,


dikarenakan secara sektoral
kondisinya memang sedang kurang mendukung. Saat Pakto 1988,
demand di bidang ini
sangat tinggi, yang siap dipasok
sekolah-sekolah perbankan yang menjamur. Namun, selepas krisis
moneter dan ambruknya
perbankan, giliran turnover tinggi yang ambil bagian.

Padahal, supply sudah telanjur banyak. Ujung-ujungnya


persaingan ketat, dan gaji pun
tak cepat meningkat.

Linus, sebut saja begitu, seorang manajer di VICO Indonesia


membenarkan data yang
dibeberkan Hay. Dengan rata-rata kenaikan gaji pokok 10%-15%,
ia yang berada di posisi
Hay Point 700-800 mendapat base salary Rp 30 juta/bulan. Hal
yang sama juga berlaku
bagi Marat (bukan nama sebenarnya), yang berkecimpung di
sektor keuangan. Pemegang Hay
Point 1000-1200 ini mengklaim, gaji pokoknya per bulan di PT
Sun Life Financial
Indonesia di kisaran Rp 20 juta. Perusahaannya sendiri, tahun
lalu
Menaikkan base salary di kisaran 10%-15%.

Linus di Hay Point 700-800 mendapat Rp 30 juta. Marat, dengan


Hay Point 1000-1200,
cuma Rp 20 juta. Bagaimana cara membaca ini semua, baik
karyawan maupun perusahaan
yang tidak menerapkan Hay Point? Apakah Marat underpaid?
Bagaimana Anda sendiri?

Sebelum menjawab, mari perhatikan Tabel 9 (Annual Base Salary


Berdasarkan Sektor). Di
sektor keuangan, bank dan asuransi, misalnya. Anda yang ber-
Hay Point 600 (seperti
analis keuangan senior), bila gaji pokok per tahun yang
dikantongi mencapai kisaran Rp
188,7 juta atau di P90 (baca: pi ninety), berarti termasuk 10%
orang yang bergaji
tinggi diantara sesama pemegang Hay Point ini. Bila yang masuk
dompet sekitar Rp137,3
juta, berada di Q3 (baca: qiu three). Artinya, tergolong 25%
tertinggi.
Anda senang?

Boleh jadi. Namun, cek lagi slip gaji sebelum telanjur kumal
atau basah di mesin cuci
karena lupa mengambil dari saku celana. Posisi bisa dikatakan
underpaid jika gaji
pokok cuma Rp 48,2 juta. Artinya, Anda diposisi Q1 yang
bermakna 25% terendah dari
total responden yang diobservasi di sektor ini. Cepat ambil
sapu tangan kalau hanya
mengantongi kisaran Rp 34,9 juta/tahun. Itu posisi Pi Ten
(P10). Maksudnya, 10 persen
paling rendah! (tentang P90, dan seterusnya bisa dilihat di
Tabel 10).

Dari partisipan yang terlibat survei, boleh dibilang hanya


sektor pertambangan dan
transportasi yang bermain di batas market average. Sebaliknya,
di dua sektor lain
(keuangan dan minyak), tampak banyak
yang berani membayar lebih tinggi di atas pasar di sektornya
masing-masing. Ini
terlihat dari besarnya selisih antara gaji pokok di P90 dan Q3
dengan posisi P10. Di
Hay Point 400 sektor keuangan, umpamanya. P90-nya mencapai Rp
154,6 juta, sedangkan
P10-nya cuma Rp 28,2 juta.

Kalau perbedaan antara Linus dan Marat untuk sementara bisa


dimaklumi sebagai
konsekuensi perbedaan size industri, mengapa di sektor
industri yang sama dan di Hay
Point yang sama terjadi perbedaan?

Yang merasa underpaid, jangan keburu sewot. Menurut Sylvano –


yang tak setuju istilah
underpaid/overpaid tapi menyukai sebutan \"lebih rendah/tinggi
dari average atau
median\" -- tren yang makin menguat adalah dari waktu ke
waktu, perusahaan membayar
karyawan berdasarkan kapasitas personal. Artinya, kembali lagi
pada kompetensi berikut
kinerja yang bersangkutan alias reward by performance. Bayaran
akan semakin tinggi
bila tuntutan memenangkan persaingan juga meningkat.

Mirip yang dicetuskan John Mariotti: kompleksitas berikut


tuntutan menentukan seberapa
banyak uang dikeruk (sekalipun dalam kasus Gross, tampaknya
sudah kelewat batas).
Irvandi Ferizal, Direktur Country SDM TNT Indonesia, mengakui
jika penentuan besaran
gaji terkait dengan kinerja. Di lingkungan TNT, yang dalam
survei Hay termasuk sektor
transportasi, dianut prinsip 3P. Yang pertama, position,
menyangkut tanggung jawab,
tugas, berikut dimensi pekerjaannya. Kedua, performance.
Karyawan dengan posisi yang
sama, tetapi performanya berbeda, tentu gajinya pun sedikit
berbeda, walau dalam
kisaran Hay Point yang sama. Ketiga, person. \"Setelah dilihat
tanggung jawab
Dan kinerjanya, kita dapat memberikan sedikit perbedaan jika
yang bersangkutan adalah
talented person yang dapat menjadi kader di masa mendatang,
atau memiliki skill yang
sangat khusus dan cukup langka,\" Irvandi menuturkan.

Sekarang, kembali ke Linus dan Marat. Menurut Linus,


sebenarnya, gaji pokoknya bisa
naik 20% menilik tanggung jawab berikut beban yang diembannya
sebagai manajer. \"Jika
ditanya cukup atau puas, sangat
relatif sifatnya! Tetapi, saya pribadi merasa cukup dan
bersyukur,\" katanya.

Linus menyebutkan, ia tak hendak membandingkan dirinya dengan


seseorang yang levelnya
sama di industri yang sama pula. \"Saya di sini sebagai
manajer. Tetapi, bisa saja,
apa yang menjadi pekerjaan saya saat ini adalah tanggung jawab
direktur di perusahaan
lain dalam industri yang sama, " ia menguraikan. \"Bisa juga
terjadi, gaji orang tadi
lebih tinggi hanya karena ia sebagai direktur,\" lanjut pria
yang bila dikaji lebih
dalam, gaji pokoknya hanya sedikit di atas median, belum masuk
Q3, apalagi P10.

Marat senapas dengan Linus. Ia mengaku sepenuhnya sadar bahwa


gaji pokoknya masih
underpaid dan bisa ditingkatkan lebih tinggi, setidaknya 30%-
40% dari nilai gaji
pokoknya sekarang. Toh, ini pun bukan
persoalan.

\"Apalagi, jika beda-beda tipis dari nilai pasar,\" katanya.


Untuk posisinya, gaji
pokoknya memang sedikit di atas average yang sebesar Rp 232,7
juta. Di sektor
keuangan, seperti terlihat di Tabel 9, untuk Hay Point 1000 ke
atas, tak ada yang
membayar lebih tinggi dari pasar, apalagi di posisi P90.

Bagi Marat, ada dua hal yang ia lihat ketika memilih


perusahaan. Pertama, prospek ke
depan perusahaan itu yang diistilahkannya soft dollar, yang di
sini dimaknai: akankah
dirinya memperoleh penambahan dan perkembangan knowldege,
sehingga dapat menciptakan
success story bagi track record pekerjaannya. Kedua, ia
melihat hard dollar, yang
berarti nilai gajinya. Baginya, yang dia peroleh sudah
memadai. Kalau pun memutuskan
pindah, ia akan ke tempat lain. \"Pantang bagi saya pindah ke
perusahaan kompetitor.
Tidak etis,\" ia berujar.

Perihal cukup atau tak cukup, ujar F. M. Siddharta, Direktur


Komersial Sara Lee
Indonesia, memang sangat relatif. Termasuk, ukuran underpaid
di kelasnya. \"Itu
bagaimana cara pandang dan cara kita mengelola
keuangan,\" katanya. Gaji pokok Rp 30 juta/bulan, dinilainya
sepadan dengan tugasnya.
\"Untuk besaran gaji pokok, saya pikir sudah cukup > fair,"
lanjutnya. Apalagi, ia
masih mengantongi fasilitas lain, termasuk stock option.

Menyikapi persoalan di level perorangan memang tak akan pernah


sama. Namun, untuk
level perusahaan, dalam cara memanfaatkan survei, Sylvano
menerangkan bahwa survei ini
hanyalah input atau menambah wawasan. Tujuan utama riset ini
memudahkan partisipan dan
perusahaan umumnya dalam hal memahami posisi masing-masing di
pasar berkaitan dengan
pola dan praktik remunerasi. \"Kami ingin memberi informasi
yang berguna danmembantu
membuat kebijakan remunerasi di tengah kondisi yang makin
kompetitif,\" lelaki yang khusus datang dari Singapura untuk
membincangkan hasil
survei ini menegaskan.

Sylvano juga menambahkan beberapa hal sebagai tren remunerasi.


Di antaranya, annual
base salary masih berkontribusi besar terhadap total
remunerasi yang diterima karyawan
(hingga 63%). Kemudian, tren yang lain, di samping competency
base dan pay per
performance (berdasarkan kinerja), penerapan clean wages makin
digandrungi. Clean
wages adalah pemberian salary dan tunjangan dalam satu paket,
yang penggunaannya
diserahkan pada yang bersangkutan.

Linus membenarkan tren ini karena selama dua tahun terakhir,


VICO telah menerapkannya.
Arti konsep ini, dijelaskan Linus, pihak manajemen
menyederhanakan jenis-jenis
allowance yang diberikan kepada karyawan.

\"Dahulu, sebelum dua tahun terakhir ini, beragam tunjangan


kami terima di luar gaji
pokok. Namun, selama dua tahun terakhir, macam-macam tunjangan
tadi lebih
disederhanakan dan digabungkan ke gaji pokok yang kami terima.
Dampaknya, terjadi
kenaikan nominal gaji pokok,\" paparnya. Contohnya Linus.
Sebagai manajer, katakanlah
ia mendapat gaji pokok sekitar Rp X/bulan. Lalu, ia
mendapatkan 10 macam tunjangan,
yang 6 di antaranya tunjangan yang mengikuti aturan pemerintah
dan industri migas.

Melalui konsep clean wages, beberapa tunjangan yang biasa ia


peroleh bisa dihapuskan,
tetapi total nilai tunjangan tadi (misalnya: Rp Y) ditambahkan
ke nilai gaji pokoknya.
Jadi, kalau diilustrasikan: Rp X
+ Rp Y = Rp Z. Itulah clean wages. Masih menurut Linus, maksud
program ini mendidik
kedewasaan karyawan dalam mengatur pendapatan sekaligus
keuangan masing-masing.

Akankah clean wages menjadi pilihan, tentu dikembalikan pada


perusahaan masing-masing.
Kembali pada hasil survei, hal terpenting dari perusahaan
adalah bagaimana ia terus
memantau perkembangan gaji
karyawannya.

Maklum, selain kebutuhan mendasar, gaji juga merupakan


apresiasi terhadap SDM. Harus
segerakah yang di bawah average di-adjust perusahaan?

Untuk meng-adjust tentu dipersilakan terlebih bila itu terjadi


pada orang-orang kunci
yang posisinya hanya sedikit di atas average. Bila perusahaan
mampu dan yang
bersangkutan berkontribusi besar, tentu tak ada salahnya
menaikkannya ke Q3 atau
bahkan P90. Namun, bagi Sylvano, hal mendasar yang sebaiknya
selalu diperhatikan
adalah perusahaan jangan pernah terlena dengan histori.

Artinya, jika tahun 2003 gaji naik 10%-15%, tahun depan


dituntut menaikkan gaji di
atas 10%-15% atau paling tidak sama. Pasalnya, kinerja
perusahaan tahun berikutnya
belum tentu sehebat tahun sebelumnya.
\"Jika gaji naik dibarengi kemampuan dan profit perusahaan sih
tidak masalah, "
katanya. Di luar hal itu, menilik ketatnya kompetisi, maka
pertimbangan kompetensi dan
kontribusi karyawan harus dikedepankan. Kalau dasar ini bisa
terlihat dengan telanjang
(kompetensi dan kontribusi), pertanyaan how much is too much
bukan lagi isu yang
ditakuti. Pertanyaan seperti itu muncul bila semua dasarnya
tidak jelas, apalagi
didasari suka dan tak suka.

Gaji memang hal yang sensitif. Namun, kalau ingin mengupasnya


lebih dalam, lebih baik
membincangkannya dengan kepala dingin, termasuk saat menelisik
tabel-tabel di halaman
ini.

Reportase: Eva M. Rahayu, Taufik Hidayat, Tutut Handayani.


Riset:
Siti Sumariyati, Tantri Ryanthi

Anda mungkin juga menyukai