Anda di halaman 1dari 5

Cari 3 kasus dari brand yang sedang mengalami krisis kepercayaan, sertakan berita dari

media massa terkait kasus tersebut.

1. Kasus Shoppe
Dunia maya diramaikan dengan kasus kurir Shopee yang mogok karena tarif upah per
pengiriman turun dari Rp 2.000 menjadi Rp 1.500. Dalam tangkapan layar
percakapan yang beredar, disebut penurunan bukan pertama kali terjadi. Walau telah
ditegaskan oleh Executive Director Shopee Indonesia bahwa tidak ada aksi
demonstrasi dan skema insentif telah mengikuti tarif yang berlaku di pasar, tagar
"ShopeeTindasKurir" makin jadi di Twitter.

Sebenarnya, kisruh serupa bukan hal baru di dunia e-commerce. Sebelum Shopee, ada
Amazon. Cerita e-commerce dan marketplace terbesar di dunia itu sempat diulas oleh
David W Hill (2020) dalam tulisannya yang berjudul The Injuries of Platform
Logistic. David secara luas menyinggung perkara human cost, sebuah kerusakan atau
kerugian yang ditimbulkan pada orang atau masyarakat. Termasuk di dalamnya
kerugian materi, biaya sosial, kerusakan psikologis dan lainnya.

Efisiensi operasional merupakan resolusi yang diidam-idamkan seluruh pelaku bisnis


dalam menjalankan usaha. Tidak terkecuali oleh e-commerce dan marketplace secara
khusus, dan start-up secara umum. Hal ini juga yang Shopee coba lakukan dan
sebagian perusahaan start-up besar yang Anda kenal di Indonesia. Dengan
memangkas supply chain atau rantai nilai dari proses distribusi, mereka ingin
memastikan bahwa tidak ada lagi rantai distribusi yang terlalu panjang dan tidak
memberi nilai tambah (value added activity). Harapannya, jarak antara produsen dan
konsumen makin pendek.

Apa konsekuensinya? Peningkatan permintaan eceran yang berasal dari kita, sebagai
konsumen akhir, dan e-commerce/marketplace mulai merambah ke industri logistik.
Mereka berusaha merampingkan perusahaan, meluaskan bidang bisnis, dan tentunya
menekan biaya operasional, serta meningkatkan pendapatan perusahaan. Cara ini
secara langsung memangkas proses distribusi, dan secara tidak langsung
menyebabkan penyusutan karyawan.

Jurang Mitra

Penyusutan karyawan itu pun disiasati dengan pola rekrutmen baru, dari karyawan
menjadi mitra --skema yang belakangan merebak di dunia start-up. Permainan diksi
yang mengaburkan kewajiban perusahaan. Kehadiran mitra dirasa menjadi solusi bagi
perusahaan rintisan. Mereka membutuhkan tenaga kerja untuk mendukung inovasi.
Dalam kasus Shopee, mereka butuh kurir untuk perambahan industri logistik lewat
Shopee Express.

Mitra dipandang jadi jawaban karena tidak mengikat dengan beban biaya per
pekerjaan. Berbeda dengan sistem karyawan yang memunculkan biaya tenaga kerja
tetap dan mengikat. Kemitraan menjadi solusi karena mengubah biaya tetap menjadi
biaya variabel yang bersifat fleksibel. Artinya, perusahaan dengan mudah memangkas
jika merasa beban yang dikeluarkan melebihi yang dianggarkan. Seperti yang Anda
baca pada paragraf awal tulisan ini.

Pilihan Konsumen

Sebagaimana teori pasar, pada akhirnya konsumen menjadi sangat pemilih dan serba
menuntut. Kebanyakan dari kita akan mulai protes ketika barang yang dipesan di e-
commerce atau marketplace terlambat datang (terlebih jika barang tidak sesuai
dengan gambar). Kekuasaan ini menjadi tuntutan berat bagi pelaku bisnis. Terdapat
tekanan untuk bisa memenuhi indikator kinerja tersebut.

Mendapat ulasan maksimal yang ditandai dengan lima bintang adalah keharusan demi
kepercayaan calon pelanggan. Sehingga kontrol ini memaksa diri dan menyebabkan
mereka, para pekerja jalur distribusi, merasakan akibatnya: upah rendah, deskilling,
intensifikasi pekerjaan yang monoton, dan semakin banyak beban pekerja lepas. Apa
pun yang dapat menghambat proses bisnis harus mampu untuk diselesaikan, atau jika
memungkinkan dihilangkan.

Masalah klasik lain yang menuntut perusahaan rintisan melakukan efisiensi


operasional adalah membakar uang demi mengakuisisi pengguna baru dan
mempertahankan pengguna lama. Dulu, promo gila-gilaan oleh e-
commerce dan marketplace hanya ada pada tanggal 12 bulan 12. Namun, sekarang
Shopee terus berpromosi hampir pada setiap tanggal cantik yang muncul setiap bulan.
Mereka pun menggandeng artis K-Pop sebagai brand ambassador.

Upaya semacam itu dapat dikatakan berhasil, karena mendongkrak ketenaran Shopee.
Dari urutan ketiga di Q4 - 2018, melesat ke posisi puncak pada Q4 - 2020. Shopee
jadi e-commerce dengan pengunjung bulanan paling banyak, menyalip Tokopedia dan
Bukalapak. Konsepnya sederhana: tak kenal maka tak sayang.

Sayangnya, pencapaian tersebut mengaburkan sejumlah hal, hingga muncul tagar


"ShopeeTindasKurir". Kita terbiasa dengan masifnya iklan yang berjejalan di televisi
hingga media sosial. Promo gratis ongkir, cash back, flash sale membuat bisnis
ekonomi digital terlihat sangat berkilau. Sebagai konsumen, kita senang mendapatkan
barang yang diinginkan dengan harga semurah mungkin. Namun hal ini mengaburkan
bentuk "eksploitasi" terhadap orang-orang yang terlibat dalam rantai distribusi.

Dengan kata lain, ada yang tertindas dari paket yang sampai di depan pintu rumah
kita. Di sisi lain, ada perusahaan yang berusaha mempertahankan bisnisnya pada
masa persaingan yang tidak sehat. Sebagai konsumen, siapkah kita ikut mengupah
kurir-kurir tersebut dengan layak?

Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-5539182/kasus-shopee-dan-masalah-usang-
efisiensi
2. PT BLUE BIRD TBK
PT BLUE BIRD merupakan sarana transportasi yang sangat terkenal dan disukai oleh
para costumer, setidaknya sebelum GRAB serta GOJEK muncul, sekarang PT Blue
Bird mengalami penurunan pendapatan dikarenakan banyaknya penumpang yang
lebih memilih jasa Grab maupun Gojek, apalagi sekarang dimasa pandemic Covid 19
Blue Bird menambah laggi kerugian.

Kinerja emiten transportasi PT Blue Bird Tbk (BIRD) tertekan dampak pandemi
Covid-19. Sepanjang 2020, pendapatan perusahaan anjlok hingga 49,38%. Hal ini
membuat capaian laba bersih yang didapat pada 2019, berbalik menjadi rugi pada
tahun lalu. Berdasarkan laporan keuangan, Blue Bird hanya mampu mengumpulkan
pendapatan Rp 2,05 triliun sepanjang tahun lalu. Capaian ini hanya setengah dari
pendapatan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 4,05 triliun.

Manajeman Blue Bird mengatakan wabah Covid-19 telah menyebabkan terjadinya


perlambatan ekonomi global dan domestik. Kondisi ini mempengaruhi operasi Grup
serta pelanggan dan pemasok Grup. Blue Bird menilai dampak pandemi ini tidak
akan permanen terjadi, dan kondisi perusahaan akan bisa kembali normal.

Menurut Blue Bird dampak pandemi bergantung pada beberapa perkembangan


tertentu di masa depan yang tidak dapat diprediksi pada saat ini. Perkembangan ini
termasuk durasi penyebaran wabah, kebijakan ekonomi dan kebijakan lainnya yang
diterapkan pemerintah untuk menangani ancaman Covid-19. Sejumlah faktor-faktor
tersebut akan berdampak pada pegawai, pelanggan dan pemasok Grup Blue Bird.
Saat ini dampak dari pandemi Covid-19 belum secara signifikan menggangu
keberlanjutan usaha serta tidak mengakibatkan peningkatan signifikan resiko kredit.
Grup masih melayani pelanggan secara normal," kata Manajemen Blue Bird, seperti
dikutip dalam laporan keuangan yang diterbitkan pada Selasa (30/3).

Kinerja Blue Bird Sepanjang 2020 Bisnis taksi masih menjadi penyumbang total
pendapatan Blue Bird, porsinya mencapai 75% dengan nilai Rp 1,54 triliun. Sisanya
dari bisnis sewa kendaraan Rp 520,94 miliar, pendapatan dari sewa gedung Rp 4,47
miliar dan komisi lelang menyumbang Rp 14,82 miliar. Penurunan pendapatan yang
sangat besar tidak diimbangi dengan penurunan biaya yang dikeluarkan. Total beban
langsung dan beban usaha perseroan pada tahun lalu hanya turun 38% menjadi Rp
2,27 triliun. Makanya laba usaha yang pada tahun sebelumnya mencapai Rp 371,95
miliar, berubah menjadi rugi hingga Rp 227,04 pada tahun lalu.

Selain itu, beban bunga Blue Bird tahun lalu juga meningkat 29,43% dari 80,86 miliar
menjadi Rp 104,66 miliar. Emiten ini pun harus menanggung kerugian dari pelepasan
asetnya hingga Rp 34,83 miliar serta beban lain-lain senilai Rp 53,51 miliar. Alhasil
Blue Bird harus menanggung rugi bersih pada tahun lalu sebesar Rp 163,18 miliar.
Padahal, tahun sebelumnya emiten taksi berlogo burung biru ini masih mencatatkan
laba bersih hingga Rp 315,62 miliar.

Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul "Pendapatan Anjlok 49%


Akibat Pandemi, Blue Bird Merugi pada
2020" , https://katadata.co.id/safrezifitra/finansial/606401bd55061/pendapatan-
anjlok-49-akibat-pandemi-blue-bird-merugi-pada-2020
Penulis: Safrezi Fitra
Editor: Safrezi Fitra

3. HANDPHONE SAMSUNG
Insiden meledaknya Galaxy Note 7 pada Agustus 2016 tidak hanya mengakibatkan
kerugian material kepada Samsung. Mereka juga kehilangan kepercayaan dari banyak
pelanggan yang harus menukarkan ponsel dua kali hingga akhirnya Note 7 ditarik
dari peredaran sepenuhnya.
Samsung tentu ingin mengembalikan kepercayaan pelanggan mereka. Menurut
laporan Reuters, Senin (6/3/2017), Samsung telah mendirikan kantor baru untuk
menangani soal peningkatan kualitas. Mereka berniat memperketat pengawasan pada
kualitas produk.
Kim Jong-ho, Presiden dari Samsung Electronics, akan menjadi kepala tim di kantor
baru tersebut untuk meningkatkan kualitas dan proses perakitan.
Hal itu dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan konsumen yang telah mulai
meragukan kualitas Samsung sejak musibah meledaknya Galaxy Note 7. Selain itu,
perusahaan ini pun telah memiliki komitmen dalam peningkatan keamanan baterai.

Sumber:https://techno.okezone.com/read/2017/03/06/207/1635692/usai-ledakan-ini-
cara-samsung-kembalikan-citra-perusahaan-di-mata-pelanggan
Sampai sekarang Samsung masih berusaha untuk mengejar pesaingnya Apple
dalam penjualan Hp namun berdasarkan riset baru-baru ini Perjuangan abadi
antara Android e iOS, jadi kami bisa menyebutnya. Sekali lagi pengguna Apple,
ternyata dari sebuah analisis SellCell, mereka lebih suka memilih perangkat apel lagi.
Perusahaan analis menganalisis loyalitas pengguna smartphone. Ternyata, sebagian
besar pemilik iPhone tidak siap untuk meninggalkan teknologi Apple, sedangkan
perangkat Android menimbulkan perasaan campur aduk bagi banyak orang.

Apakah Anda lebih suka tetap menggunakan Android atau beralih ke iOS? Dan
jika Anda adalah pengguna Apple, apa pilihan Anda?

 kesetiaan pelanggan kebiasaan dianggap sebagai salah satu karakteristik utama


yang menjadi fokus perusahaan produsen dan analitik. Menurut penelitian terbaru
oleh SellCell, sistem operasi Android memiliki sejumlah masalah yang membuat
pengguna ingin beralih ke platform pesaing. Tetapi 91,9% dari pemilik iPhone yang
disurvei berniat untuk membeli smartphone Apple lagi.
iklan
Di antara responden, hanya 21% yang mengatakan mereka termasuk dalam
ekosistem Apple, 45% hanya menyukai iPhone dan tidak ingin mengubah apa
pun, 16% dia tidak pernah punya masalah dengan smartphone Apple, 10% cukup
mempertimbangkan untuk beralih ke OS lain, dan 8% tidak siap untuk sesuatu yang baru.

Di antara pemilik iPhone yang masih mempertimbangkan untuk beralih ke


smartphone dari merek lain, Samsung (46%) dan Google (35%) memiliki prioritas. 6,1%
pengguna siap melihat ke arah LG dan 3,7% siap untuk melihat ke perangkat Motorola.
Seperti merek lain, Samsung masih menjadi yang terdepan di antara smartphone Android
dalam hal ketepatan: 85,7% pada 2019 dan 74% pada 2020. Situasi dengan pembeli
Google Pixel jauh lebih buruk pada 65,2% dan buruk untuk LG dengan 37,4% dan
Motorola dengan 29%.
Menurut para ahli, situasi seperti itu bisa terkait Masalah privasi Android, sementara
manajemen Apple mengklaim tidak berkolaborasi dengan layanan intelijen dan tidak
mentransfer data pribadi pengguna kepada mereka. Karena itu, 52,9% pengguna yang
berniat meninggalkan Samsung ingin beralih ke iPhone dan untuk hampir
sepertiganya, melindungi privasi mereka adalah yang terpenting.
Sumber: https://id.ttoday.it/percaya-smartphone-apple-android.html

Anda mungkin juga menyukai