Anda di halaman 1dari 23

MALAM PERTAMA DAN ADAB 

BERSENGGAMA
August 6, 2007 by trimudilah

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM :

Malam Pertama Dan Adab Bersenggama

Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah,
dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:

Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun


isterinya seraya mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak
maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan
do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan
kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan
kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]

Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama


isterinya.

Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari
ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in).

1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.

Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku
mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud,
Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat,
Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah
(Abu

Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’

‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku
masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti
datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah
kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya
dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua…!’”[2]

2. Hadits dari Abu Waail.

Ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu


‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia
membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta berasal dari
Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci apa-apa
yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah
untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu ucapkanlah
(berdo’alah):

“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah


mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran
mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah,
satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami

(berdua) dalam kebaikan.” [3]

Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya


dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya.

Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu
‘anha, ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau supaya
menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di
samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau sodorkan
kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan malu-malu.” ‘Asma
binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Ambillah
gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya
‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya sedikit.” [4]

Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami


hendak menggauli isterinya, hendaklah ia membaca do’a:

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan
jauhkanlah syaitan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah


menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya
syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.” [5]

Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang
disukainya asalkan pada kemaluannya.

Allah Ta’ala berfirman:

“Artinya : Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu


itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik)
untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak)
akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang
beriman.” [Al-Baqarah : 223]

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin
al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, celaka saya.’ Beliau
bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya membalikkan
pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau:

“Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan


saja dengan cara yang kamu sukai…” [Al-Baqarah : 223]

Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi
hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang
haidh”. [7]

Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:


“Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada
kemaluannya”.[8]

Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja • Apabila


suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit
hingga isterinya melepaskan hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu
terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan kasih sayang antara keduanya.
Apabila suami mampu dan ingin mengulangi jima’ sekali lagi, maka hendaknya
ia berwudhu’ terlebih dahulu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin


mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.” [9]

• Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini
berdasarkan hadits dari Abu Rafi’ radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu
malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi’ berkata,
“Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?” Beliau
menjawab.

“Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.” [10]

• Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu saja


yang ia kehendaki; pagi, siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang suami
melihat wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi isterinya. Hal
ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau. Kemudian beliau mendatangi
isterinya -yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha- yang sedang membuat adonan
roti. Lalu beliau melakukan hajatnya (berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian
beliau bersabda,

“Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi


dalam rupa syaitan. [11] Maka, apabila seseorang dari kalian melihat
seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia mendatangi isterinya.
Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” [12]

Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat


wanita hingga syahwatnya tergerak agar segera mendatangi isterinya - atau
budak perempuan yang dimilikinya -kemudian menggaulinya untuk meredakan
syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.” [13]

Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan


itu wajib hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk
pandangan secara tiba-tiba.

Allah Ta’ala berfirman:

““Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga


pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi
mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” .[An-Nuur :
30]

Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,


“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda kepada ‘Ali.
“Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya
karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu”. [14]

• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri


ketika ia sedang haidh/ nifas.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh.

Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah [15]
isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat
dan mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]

Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya


pada duburnya, atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran
yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” [16]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.” [17]

• Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.

Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh


hawa nafsunya lalu menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum suci
dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas
Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tentang orang yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”[18]

• Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh,
ia boleh bercumbu dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

“Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima’/ bersetubuh).” [19]

• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’

(bercampur), hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu’ terlebih


dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan hadits dari
‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu’

seperti wudhu’ untuk shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum
dalam keadaan junub, maka beliau mencuci kedua tangannya kemudian beliau
makan dan minum.” [20]
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,

“Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan


junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu’) untuk
shalat.” [21]

• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan
sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan.

• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri
dibolehkan saling melihat aurat masing-masing.

Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah
melihat aurat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang
bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta. [22]

• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami


isteri.

Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan
rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia hubungan suami
isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat


adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang
bersenggama dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya.”
[23]

Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu


‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian lakukan (menceritakan hubungan
suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-laki yang berjumpa
dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan)
dilihat oleh orang banyak…” [24]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang


dilakukan sebagian wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga dan
kehidupan suami isteri kepada karib kerabat atau kawan adalah perkara yang
diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan rahasia rumah tangga
atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang.

Allah Ta’ala berfirman:

“Artinya : “Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat


(kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah
telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa' : 34]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling


buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang
bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya,
kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya”. [25]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis


Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat,
Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006] __________ Foote Note [1].
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no.
1918), al-Hakim (II/185) dan ia menshahihkannya, juga al-Baihaqi (VII/148),
dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 92-
93)

[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no.
30230 dan ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf
fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet. Darus Salam, th. 1423 H.

[3]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460,


10461).

[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat
Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus Salam, th.
1423 H.

[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283,
5165), Muslim (no. 1434), Abu Dawud (no. 2161), at-Tirmidzi (no. 1092), ad-
Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’
(no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan lainnya, dari
‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.

[6]. Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin al-
Khaththab adalah menyetubuhi isteri pada kemaluannya tetapi dari arah
belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan, suami yang menyetubuhi
isterinya berada di atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan.
Jadi, karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang, maka dia
menggunakan kiasan “membalik pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil
Hadiits (II/209)) [7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-
Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 91) dan dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256,
no. 60), at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid) dan (no.

4190-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam


Mu’jamul Kabir (no. 12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi berkata,
“Hadits ini hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Fat-hul Baari (VIII/291).

[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil


Aatsaar (III/41) dan al-Baihaqi (VII/195). Asalnya hadits ini diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435) dan lainnya, dari Jabir
bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat al-Insyirah fii Adabin Nikah
(hal. 48) oleh Abu Ishaq al-Huwaini.

[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28),
dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.

[10]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam
Isyratun Nisaa’ (no. 149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud
(no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108).

[11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu.

[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no.

1158), Adu Dawud (no. 2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348,

395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah
radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471).
[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178).

[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud
(no. 2149).

[15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh.

[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi
(no. 135), Ibnu Majah (no. 639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408, 476),
al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 130, 131), dari
Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.

[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan
dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no.

2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-
Muthahharah (hal. 105).

[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i
(I/153), at-Tirmidzi (no. 136), Ibnu Majah (no. 640), Ahmad (I/172),
dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi.
Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122) [19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim
(no. 302), Abu Dawud (no.

257), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz Zifaf
(hal. 123).

[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu
Majah (no. 584, 593) dan Ahmad (VI/102-103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu
‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan Shahiihul Jaami’ (no.
4659).

[21]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no.
306 (25)), Abu Dawud (no. 221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul Jaami’
(no. 4660).

[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109.

[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437),
Abu Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadits ini ada
kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah bernama
‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan an-
Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-haditsnya munkar.” Lihat
kitab Mizanul I’tidal (III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142). Makna hadits
ini semakna dengan hadits-hadits lain yang shahih yang melarang
menceritakan rahasia hubungan suami isteri.
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan
beberapa hal, sebagai berikut:

Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya
mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: yang artinya : “Apabila salah
seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya
lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku
memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya
dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]

Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.

Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat
dan Tabi’in).

1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa
orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu
‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka
berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’
‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang
budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian
berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah
perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua…!’”[2]

2. Hadits dari Abu Waail.


Ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku
menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata,
‘Sesungguhnya cinta berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci
apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk
melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu ucapkanlah (berdo’alah):

“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku.
Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran
aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami
(berdua) dalam kebaikan.” [3]

Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya
segelas air minum atau yang lainnya.

Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya
merias ‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya
panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di
samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam disodori segelas susu. Setelah
beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan
malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Ambillah
gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu
dan meminum isinya sedikit.” [4]

Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli
isterinya, hendaklah ia membaca do’a:

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari
anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya
seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya
selama-lamanya.” [5]

Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada
kemaluannya.

Allah Ta’ala berfirman:

“Artinya : Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan
cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang
yang beriman.” [Al-Baqarah : 223]

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab
radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai
Rasulullah, celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya
membalikkan pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau:

“Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang
kamu sukai…” [Al-Baqarah : 223]

Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau
menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh”. [7]

Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya”.[8]

Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja


• Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit hingga
isterinya melepaskan hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan
keharmonisan dan kasih sayang antara keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi jima’
sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka
hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.” [9]

• Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi’
radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya
dalam satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi’ berkata, “Wahai
Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?” Beliau menjawab.

“Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.” [10]

• Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi,
siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang mengagumkannya,
hendaknya ia mendatangi isterinya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau. Kemudian beliau mendatangi isterinya
-yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha- yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau melakukan
hajatnya (berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda,

“Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan.
[11] Maka, apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia
mendatangi isterinya. Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” [12]

Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga
syahwatnya tergerak agar segera mendatangi isterinya - atau budak perempuan yang dimilikinya
-kemudian menggaulinya untuk meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.” [13]

Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib
hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.

Allah Ta’ala berfirman:

““Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]

Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam ber-sabda kepada ‘Ali.

“Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama
untukmu dan yang kedua bukan untukmu”. [14]

• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/
nifas.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu adalah
sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah [15] isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat dan mensucikan
diri.” [Al-Baqarah : 222]

Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau
mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” [16]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.” [17]

• Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.


Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu
menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah
dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan
hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang
menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”[18]

• Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu
dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.

“Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima’/ bersetubuh).” [19]

• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’ (bercampur), hendaklah ia mencuci
kemaluannya dan berwudhu’ terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan
hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu’ seperti wudhu’ untuk
shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci
kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum.” [20]

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,

“Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci
kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu’) untuk shalat.” [21]

• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang,
karena dapat membahayakan kesehatan.

• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling
melihat aurat masing-masing.

Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang
pendusta. [22]

• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.

Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang
mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang
menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi
Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang
bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia
menyebarkan rahasia isterinya.” [23]

Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jangan kalian lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-
laki yang berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan)
dilihat oleh orang banyak…” [24]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang dilakukan sebagian
wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib
kerabat atau kawan adalah perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan
rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang.
Allah Ta’ala berfirman:

“Artinya : “Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan
menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa’ : 34]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di
sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang
bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya”. [25]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no. 1918), al-Hakim
(II/185) dan ia menshahihkannya, juga al-Baihaqi (VII/148), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu
‘anhuma. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 92-93)
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no. 30230 dan ‘Abdurrazzaq
dalam al-Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet.
Darus Salam, th. 1423 H.
[3]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-
Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283, 5165), Muslim (no. 1434), Abu
Dawud (no. 2161), at-Tirmidzi (no. 1092), ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam
‘Isyratun Nisaa’ (no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan lainnya, dari ‘Abdullah
bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[6]. Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin al-Khaththab adalah
menyetubuhi isteri pada kemaluannya tetapi dari arah belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan,
suami yang menyetubuhi isterinya berada di atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan. Jadi,
karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang, maka dia menggunakan kiasan “membalik
pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil Hadiits (II/209))
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 91) dan
dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256, no. 60), at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid)
dan (no. 4190-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no.
12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh
al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/41) dan al-
Baihaqi (VII/195). Asalnya hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435)
dan lainnya, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat al-Insyirah fii Adabin Nikah (hal. 4
8) oleh Abu Ishaq al-Huwaini.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28), dari Shahabat Abu Sa’id
al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.
[10]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa’ (no.
149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108).
[11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no. 1158), Adu Dawud (no.
2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir
bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471).
[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178).
[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149).
[15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh.
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi (no. 135), Ibnu Majah (no.
639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408, 476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’
(no. 130, 131), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan dikuatkan dengan hadits
Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat
Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 105).
[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i (I/153), at-Tirmidzi (no. 136),
Ibnu Majah (no. 640), Ahmad (I/172), dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam
adz-Dzahabi. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122)
[19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no. 257), dari Shahabat Anas
bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 123).
[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu Majah (no. 584, 593) dan
Ahmad (VI/102-103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan
Shahiihul Jaami’ (no. 4659).
[21]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no. 306 (25)), Abu Dawud (no.
221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 4660).
[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109.
[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu Dawud (no. 4870),
Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadits ini ada kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi
yang lemah bernama ‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan an-
Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-haditsnya munkar.” Lihat kitab Mizanul I’tidal
(III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142). Makna hadits ini semakna dengan hadits-hadits lain yang
shahih yang melarang menceritakan rahasia hubungan suami isteri.
TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : MALAM PERTAMA DAN ADAB BERSENGGAMA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

4. Malam Pertama Dan Adab Bersenggama


Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan
beberapa hal, sebagai berikut:

Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya
mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÅöÐóÇ ÊóÒóæøóÌó ÃóÍóÏõßõãú ÇãúÑóÃóÉð Ãóæö ÇÔúÊóÑóì ÎóÇÏöãðÇ ÝóáúíóÃúÎõÐú


ÈöäóÇÕöíóÊöåóÇ (æóáúíõÓóãöø Çááåó ÚóÒøó æóÌóáøó) æóáúíóÏúÚõ áóåõ
ÈöÇáúÈóÑóßóÉö¡ æóáúíóÞõáú: Çóááøóåõãøó Åöäöøí ÃóÓúÃóáõßó ãöäú ÎóíúÑöåóÇ æóÎóíúÑö ãóÇ
ÌóÈóáúÊóåóÇ Úóáóíúåö¡ æóÃóÚõæúÐõ Èößó ãöäú ÔóÑöøåóÇ æóÔóÑöø ãóÇ ÌóÈóáúÊóåóÇ
Úóáóíúåö.

“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah
ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan:
‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari
kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]

Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.

Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat
dan Tabi’in).

1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa
orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu
‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka
berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’
‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang
budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian
berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah
perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua...!’”[2]

2. Hadits dari Abu Waail.


Ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku
menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata,
‘Sesungguhnya cinta berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci
apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk
melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu ucapkanlah (berdo’alah):

Çóááøóåõãøó ÈóÇÑößú áöí Ýöí Ãóåúáöíú¡ æóÈóÇÑößú áóåõãú Ýöíøó¡ Çóááøóåõãøó ÇÑúÒõÞúäöí
ãöäúåõãú¡ æóÇÑúÒõÞúåõãú ãöäöøí¡ Çóááøóåõãøó ÇÌúãóÚú ÈóíúäóäóÇ ãóÇ ÌóãóÚúÊó Åöáóì ÎóíúÑò¡
æóÝóÑöøÞú ÈóíúäóäóÇ ÅöÐóÇ ÝóÑøóÞúÊó Åöáóì ÎóíúÑò.

“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku.
Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran
aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami
(berdua) dalam kebaikan.” [3]

Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya
segelas air minum atau yang lainnya.

Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya
merias ‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya
panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di
samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam disodori segelas susu. Setelah
beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan
malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Ambillah
gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu
dan meminum isinya sedikit.” [4]

Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli
isterinya, hendaklah ia membaca do’a:

ÈöÓúãö Çááåö¡ Çóááøóåõãøó ÌóäöøÈúäóÇ ÇáÔøóíúØóÇäó æóÌóäöøÈö ÇáÔøóíúØóÇäó


ãóÇ ÑóÒóÞúÊóäóÇ.

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari
anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya
seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya
selama-lamanya.” [5]

Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada
kemaluannya.

Allah Ta’ala berfirman:

"Artinya : Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan
cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang
yang beriman.” [Al-Baqarah : 223]

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab
radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai
Rasulullah, celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya
membalikkan pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau:

"Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang
kamu sukai...” [Al-Baqarah : 223]

Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÃóÞúÈöáú æóÃóÏúÈöÑú¡ æóÇÊøóÞö ÇáÏøõÈõÑó æóÇáúÍóíúÖóÉó.

"Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau
menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh". [7]

Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

... ãõÞúÈöáóÉñ ãõÏúÈöÑóÉñ ÅöÐóÇ ßóÇäóÊú Ýöí ÇáúÝóÑúÌö.

"Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya".[8]

Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja


• Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit hingga
isterinya melepaskan hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan
keharmonisan dan kasih sayang antara keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi jima’
sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÅöÐóÇ ÃóÊóì ÃóÍóÏõßõãú Ãóåúáóåõ Ëõãøó ÃóÑóÇÏó Ãóäú íóÚõæúÏó ÝóáúíóÊóæóÖøóÃú.

"Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka
hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.” [9]

• Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi'
radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya
dalam satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi' berkata, “Wahai
Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?” Beliau menjawab.

åóÐóÇ ÃóÒúßóì æóÃóØúíóÈõ æóÃóØúåóÑõ.

"Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.” [10]


• Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi,
siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang mengagumkannya,
hendaknya ia mendatangi isterinya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau. Kemudian beliau mendatangi isterinya
-yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha- yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau melakukan
hajatnya (berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda,

Åöäøó ÇáúãóÑúÃóÉó ÊõÞúÈöáõ Ýöíú ÕõæúÑóÉö ÔóíúØóÇäò æóÊõÏúÈöÑõ Ýöíú ÕõæúÑóÉö


ÔóíúØóÇäò ÝóÅöÐóÇ ÃóÈúÕóÑó ÃóÍóÏõßõãõ ÇãúÑóÃóÉð ÝóáúíóÃúÊö Ãóåúáóåõ¡ ÝóÅöäøó Ðóáößó
íóÑõÏøõ ãóÇ Ýöíú äóÝúÓöåö.

"Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan.
[11] Maka, apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia
mendatangi isterinya. Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” [12]

Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga
syahwatnya tergerak agar segera mendatangi isterinya - atau budak perempuan yang dimilikinya
-kemudian menggaulinya untuk meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.” [13]

Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib
hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.

Allah Ta’ala berfirman:

"“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]

Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam ber-sabda kepada ‘Ali.

íóÇ Úóáöíøõ¡ áÇó ÊõÊúÈöÚö ÇáäøóÙúÑóÉó ÇáäøóÙúÑóÉó ÝóÅöäøó áóßó ÇúáÃõæúáóì æóáóíúÓóÊú
áóßó ÇúáÂÎöÑóÉõ.

"Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama
untukmu dan yang kedua bukan untukmu”. [14]

• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/
nifas.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

"Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu adalah
sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah [15] isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat dan mensucikan
diri.” [Al-Baqarah : 222]

Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

ãóäú ÃóÊóì ÍóÇÆöÖðÇ Ãóæö ÇãúÑóÃóÉð Ýöí ÏõÈõÑöåóÇ Ãóæú ßóÇåöäðÇ: ÝóÞóÏú ßóÝóÑó ÈöãóÇ
ÃõäúÒöáó Úóáóì ãõÍóãøóÏò.

"Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau
mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” [16]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

ãóáúÚõæúäñ ãóäú ÃóÊóì ÇãúÑóÃóÊóåõ Ýöí ÏõÈõÑöåóÇ.

"Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.” [17]

• Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.


Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu
menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah
dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan
hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang
menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

íóÊóÕóÏøóÞó ÈöÏöíúäóÇÑò Ãóæú äöÕúÝö ÏöíúäóÇÑò.

"Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”[18]

• Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu
dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.

ÇöÕúäóÚõæúÇ ßõáøó ÔóíúÁò ÅöáÇøó ÇáäöøßóÇÍ.

"Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima'/ bersetubuh).” [19]

• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’ (bercampur), hendaklah ia mencuci
kemaluannya dan berwudhu' terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan
hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

ßóÇäó ÅöÐóÇ ÃóÑóÇÏó Ãóäú íóäóÇãó æóåõæó ÌõäõÈñ ÊóæóÖøóÃó æõÖõæúÁóåõ áöáÕøóáÇóÉö
æóÅöÐóÇ ÃóÑóÇÏó Ãóäú íóÃúßõáó Ãóæú íóÔúÑóÈó æóåõæó ÌõäõÈñ ÛóÓóáó íóÏóíúåö Ëõãøó
íóÃúßõáõ æóíóÔúÑóÈõ.

“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu' seperti wudhu' untuk
shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci
kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum.” [20]

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,

ßóÇäó ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÅöÐóÇ ÃóÑóÇÏó Ãóäú íóäóÇãó æóåõæó
ÌõäõÈñ ÛóÓóáó ÝóÑúÌóåõ æóÊóæóÖøóÃó áöáÕøóáÇóÉö.

"Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci
kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu') untuk shalat.” [21]

• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang,
karena dapat membahayakan kesehatan.

• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling
melihat aurat masing-masing.

Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang
pendusta. [22]

• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.

Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang
mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang
menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi
Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Åöäøó ãöäú ÃóÔóÑöø ÇáäøóÇÓö ÚöäúÏó Çááåö ãóäúÒöáóÉð íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö ÇáÑøóÌõáõ
íõÝúÖöì Åöáóì ÇãúÑóÃóÊöåö æóÊõÝúÖöì Åöáóíúåö Ëõãøó íóäúÔõÑõ ÓöÑøóåóÇ.

"Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang
bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia
menyebarkan rahasia isterinya.” [23]

Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jangan kalian lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-
laki yang berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan)
dilihat oleh orang banyak…” [24]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang dilakukan sebagian
wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib
kerabat atau kawan adalah perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan
rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang.
Allah Ta’ala berfirman:

"Artinya : “Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan
menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa' : 34]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di
sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang
bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya". [25]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no. 1918), al-Hakim
(II/185) dan ia menshahihkannya, juga al-Baihaqi (VII/148), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu
‘anhuma. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 92-93)
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no. 30230 dan ‘Abdurrazzaq
dalam al-Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet.
Darus Salam, th. 1423 H.
[3]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-
Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283, 5165), Muslim (no. 1434), Abu
Dawud (no. 2161), at-Tirmidzi (no. 1092), ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam
‘Isyratun Nisaa' (no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan lainnya, dari ‘Abdullah bin
‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[6]. Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin al-Khaththab adalah
menyetubuhi isteri pada kemaluannya tetapi dari arah belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan,
suami yang menyetubuhi isterinya berada di atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan. Jadi,
karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang, maka dia menggunakan kiasan “membalik
pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil Hadiits (II/209))
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 91) dan
dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256, no. 60), at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid)
dan (no. 4190-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no.
12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh
al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/41) dan al-
Baihaqi (VII/195). Asalnya hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435)
dan lainnya, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat al-Insyirah fii Adabin Nikah (hal. 48)
oleh Abu Ishaq al-Huwaini.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28), dari Shahabat Abu Sa’id
al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.
[10]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa' (no.
149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108).
[11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no. 1158), Adu Dawud (no.
2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir
bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471).
[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178).
[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149).
[15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh.
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi (no. 135), Ibnu Majah (no.
639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408, 476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa'
(no. 130, 131), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan dikuatkan dengan hadits
Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat
Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 105).
[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i (I/153), at-Tirmidzi (no. 136),
Ibnu Majah (no. 640), Ahmad (I/172), dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam
adz-Dzahabi. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122)
[19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no. 257), dari Shahabat Anas
bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 123).
[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu Majah (no. 584, 593) dan
Ahmad (VI/102-103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan
Shahiihul Jaami’ (no. 4659).
[21]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no. 306 (25)), Abu Dawud (no.
221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 4660).
[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109.
[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu Dawud (no. 4870),
Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadits ini ada kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi
yang lemah bernama ‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan an-
Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-haditsnya munkar.” Lihat kitab Mizanul I’tidal
(III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142). Makna hadits ini semakna dengan hadits-hadits lain yang
shahih yang melarang menceritakan rahasia hubungan suami isteri.

Anda mungkin juga menyukai