BERSENGGAMA
August 6, 2007 by trimudilah
Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah,
dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:
“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak
maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan
do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan
kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan
kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari
ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in).
1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku
mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud,
Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat,
Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah
(Abu
‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku
masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti
datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah
kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya
dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua…!’”[2]
Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu
‘anha, ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau supaya
menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di
samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau sodorkan
kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan malu-malu.” ‘Asma
binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Ambillah
gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya
‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya sedikit.” [4]
“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan
jauhkanlah syaitan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”
Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang
disukainya asalkan pada kemaluannya.
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin
al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, celaka saya.’ Beliau
bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya membalikkan
pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau:
“Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi
hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang
haidh”. [7]
• Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini
berdasarkan hadits dari Abu Rafi’ radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu
malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi’ berkata,
“Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?” Beliau
menjawab.
Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah [15]
isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat
dan mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]
• Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh,
ia boleh bercumbu dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’
“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu’
seperti wudhu’ untuk shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum
dalam keadaan junub, maka beliau mencuci kedua tangannya kemudian beliau
makan dan minum.” [20]
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,
• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan
sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan.
• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri
dibolehkan saling melihat aurat masing-masing.
Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah
melihat aurat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang
bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta. [22]
Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan
rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia hubungan suami
isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah.
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no.
30230 dan ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf
fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat
Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus Salam, th.
1423 H.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283,
5165), Muslim (no. 1434), Abu Dawud (no. 2161), at-Tirmidzi (no. 1092), ad-
Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’
(no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan lainnya, dari
‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[6]. Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin al-
Khaththab adalah menyetubuhi isteri pada kemaluannya tetapi dari arah
belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan, suami yang menyetubuhi
isterinya berada di atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan.
Jadi, karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang, maka dia
menggunakan kiasan “membalik pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil
Hadiits (II/209)) [7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-
Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 91) dan dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256,
no. 60), at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid) dan (no.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28),
dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.
[10]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam
Isyratun Nisaa’ (no. 149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud
(no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108).
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no.
1158), Adu Dawud (no. 2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348,
395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah
radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471).
[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178).
[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud
(no. 2149).
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi
(no. 135), Ibnu Majah (no. 639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408, 476),
al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 130, 131), dari
Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan
dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no.
2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-
Muthahharah (hal. 105).
[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i
(I/153), at-Tirmidzi (no. 136), Ibnu Majah (no. 640), Ahmad (I/172),
dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi.
Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122) [19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim
(no. 302), Abu Dawud (no.
257), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz Zifaf
(hal. 123).
[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu
Majah (no. 584, 593) dan Ahmad (VI/102-103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu
‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan Shahiihul Jaami’ (no.
4659).
[21]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no.
306 (25)), Abu Dawud (no. 221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul Jaami’
(no. 4660).
[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437),
Abu Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadits ini ada
kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah bernama
‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan an-
Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-haditsnya munkar.” Lihat
kitab Mizanul I’tidal (III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142). Makna hadits
ini semakna dengan hadits-hadits lain yang shahih yang melarang
menceritakan rahasia hubungan suami isteri.
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan
beberapa hal, sebagai berikut:
Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya
mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: yang artinya : “Apabila salah
seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya
lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku
memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya
dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat
dan Tabi’in).
1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa
orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu
‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka
berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’
‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang
budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian
berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah
perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua…!’”[2]
“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku.
Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran
aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami
(berdua) dalam kebaikan.” [3]
Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya
segelas air minum atau yang lainnya.
Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya
merias ‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya
panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di
samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam disodori segelas susu. Setelah
beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan
malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Ambillah
gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu
dan meminum isinya sedikit.” [4]
Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli
isterinya, hendaklah ia membaca do’a:
“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari
anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya
seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya
selama-lamanya.” [5]
Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada
kemaluannya.
“Artinya : Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan
cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang
yang beriman.” [Al-Baqarah : 223]
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab
radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai
Rasulullah, celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya
membalikkan pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau:
“Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang
kamu sukai…” [Al-Baqarah : 223]
“Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau
menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh”. [7]
“Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya”.[8]
“Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka
hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.” [9]
• Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi’
radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya
dalam satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi’ berkata, “Wahai
Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?” Beliau menjawab.
• Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi,
siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang mengagumkannya,
hendaknya ia mendatangi isterinya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau. Kemudian beliau mendatangi isterinya
-yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha- yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau melakukan
hajatnya (berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda,
“Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan.
[11] Maka, apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia
mendatangi isterinya. Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” [12]
Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga
syahwatnya tergerak agar segera mendatangi isterinya - atau budak perempuan yang dimilikinya
-kemudian menggaulinya untuk meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.” [13]
Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib
hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.
““Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]
Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam ber-sabda kepada ‘Ali.
“Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama
untukmu dan yang kedua bukan untukmu”. [14]
• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/
nifas.
“Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu adalah
sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah [15] isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat dan mensucikan
diri.” [Al-Baqarah : 222]
“Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau
mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” [16]
• Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu
dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.
• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’ (bercampur), hendaklah ia mencuci
kemaluannya dan berwudhu’ terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan
hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu’ seperti wudhu’ untuk
shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci
kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum.” [20]
“Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci
kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu’) untuk shalat.” [21]
• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang,
karena dapat membahayakan kesehatan.
• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling
melihat aurat masing-masing.
Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang
pendusta. [22]
• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.
Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang
mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang
menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi
Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang
bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia
menyebarkan rahasia isterinya.” [23]
Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jangan kalian lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-
laki yang berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan)
dilihat oleh orang banyak…” [24]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang dilakukan sebagian
wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib
kerabat atau kawan adalah perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan
rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang.
Allah Ta’ala berfirman:
“Artinya : “Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan
menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa’ : 34]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di
sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang
bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya”. [25]
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no. 1918), al-Hakim
(II/185) dan ia menshahihkannya, juga al-Baihaqi (VII/148), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu
‘anhuma. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 92-93)
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no. 30230 dan ‘Abdurrazzaq
dalam al-Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet.
Darus Salam, th. 1423 H.
[3]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-
Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283, 5165), Muslim (no. 1434), Abu
Dawud (no. 2161), at-Tirmidzi (no. 1092), ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam
‘Isyratun Nisaa’ (no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan lainnya, dari ‘Abdullah
bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[6]. Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin al-Khaththab adalah
menyetubuhi isteri pada kemaluannya tetapi dari arah belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan,
suami yang menyetubuhi isterinya berada di atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan. Jadi,
karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang, maka dia menggunakan kiasan “membalik
pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil Hadiits (II/209))
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 91) dan
dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256, no. 60), at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid)
dan (no. 4190-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no.
12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh
al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/41) dan al-
Baihaqi (VII/195). Asalnya hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435)
dan lainnya, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat al-Insyirah fii Adabin Nikah (hal. 4
8) oleh Abu Ishaq al-Huwaini.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28), dari Shahabat Abu Sa’id
al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.
[10]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa’ (no.
149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108).
[11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no. 1158), Adu Dawud (no.
2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir
bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471).
[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178).
[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149).
[15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh.
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi (no. 135), Ibnu Majah (no.
639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408, 476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa’
(no. 130, 131), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan dikuatkan dengan hadits
Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat
Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 105).
[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i (I/153), at-Tirmidzi (no. 136),
Ibnu Majah (no. 640), Ahmad (I/172), dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam
adz-Dzahabi. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122)
[19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no. 257), dari Shahabat Anas
bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 123).
[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu Majah (no. 584, 593) dan
Ahmad (VI/102-103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan
Shahiihul Jaami’ (no. 4659).
[21]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no. 306 (25)), Abu Dawud (no.
221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 4660).
[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109.
[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu Dawud (no. 4870),
Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadits ini ada kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi
yang lemah bernama ‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan an-
Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-haditsnya munkar.” Lihat kitab Mizanul I’tidal
(III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142). Makna hadits ini semakna dengan hadits-hadits lain yang
shahih yang melarang menceritakan rahasia hubungan suami isteri.
TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : MALAM PERTAMA DAN ADAB BERSENGGAMA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya
mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah
ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan:
‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari
kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat
dan Tabi’in).
1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa
orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu
‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka
berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’
‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang
budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian
berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah
perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua...!’”[2]
Çóááøóåõãøó ÈóÇÑößú áöí Ýöí Ãóåúáöíú¡ æóÈóÇÑößú áóåõãú Ýöíøó¡ Çóááøóåõãøó ÇÑúÒõÞúäöí
ãöäúåõãú¡ æóÇÑúÒõÞúåõãú ãöäöøí¡ Çóááøóåõãøó ÇÌúãóÚú ÈóíúäóäóÇ ãóÇ ÌóãóÚúÊó Åöáóì ÎóíúÑò¡
æóÝóÑöøÞú ÈóíúäóäóÇ ÅöÐóÇ ÝóÑøóÞúÊó Åöáóì ÎóíúÑò.
“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku.
Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran
aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami
(berdua) dalam kebaikan.” [3]
Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya
segelas air minum atau yang lainnya.
Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya
merias ‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya
panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di
samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam disodori segelas susu. Setelah
beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan
malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Ambillah
gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu
dan meminum isinya sedikit.” [4]
Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli
isterinya, hendaklah ia membaca do’a:
“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari
anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya
seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya
selama-lamanya.” [5]
Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada
kemaluannya.
"Artinya : Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan
cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang
yang beriman.” [Al-Baqarah : 223]
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab
radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai
Rasulullah, celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya
membalikkan pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau:
"Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang
kamu sukai...” [Al-Baqarah : 223]
"Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau
menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh". [7]
"Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya".[8]
"Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka
hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.” [9]
• Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi'
radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya
dalam satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi' berkata, “Wahai
Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?” Beliau menjawab.
"Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan.
[11] Maka, apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia
mendatangi isterinya. Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” [12]
Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga
syahwatnya tergerak agar segera mendatangi isterinya - atau budak perempuan yang dimilikinya
-kemudian menggaulinya untuk meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.” [13]
Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib
hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.
"“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]
Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam ber-sabda kepada ‘Ali.
íóÇ Úóáöíøõ¡ áÇó ÊõÊúÈöÚö ÇáäøóÙúÑóÉó ÇáäøóÙúÑóÉó ÝóÅöäøó áóßó ÇúáÃõæúáóì æóáóíúÓóÊú
áóßó ÇúáÂÎöÑóÉõ.
"Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama
untukmu dan yang kedua bukan untukmu”. [14]
• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/
nifas.
"Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu adalah
sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah [15] isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat dan mensucikan
diri.” [Al-Baqarah : 222]
ãóäú ÃóÊóì ÍóÇÆöÖðÇ Ãóæö ÇãúÑóÃóÉð Ýöí ÏõÈõÑöåóÇ Ãóæú ßóÇåöäðÇ: ÝóÞóÏú ßóÝóÑó ÈöãóÇ
ÃõäúÒöáó Úóáóì ãõÍóãøóÏò.
"Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau
mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” [16]
• Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu
dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.
• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’ (bercampur), hendaklah ia mencuci
kemaluannya dan berwudhu' terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan
hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ßóÇäó ÅöÐóÇ ÃóÑóÇÏó Ãóäú íóäóÇãó æóåõæó ÌõäõÈñ ÊóæóÖøóÃó æõÖõæúÁóåõ áöáÕøóáÇóÉö
æóÅöÐóÇ ÃóÑóÇÏó Ãóäú íóÃúßõáó Ãóæú íóÔúÑóÈó æóåõæó ÌõäõÈñ ÛóÓóáó íóÏóíúåö Ëõãøó
íóÃúßõáõ æóíóÔúÑóÈõ.
“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu' seperti wudhu' untuk
shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci
kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum.” [20]
ßóÇäó ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÅöÐóÇ ÃóÑóÇÏó Ãóäú íóäóÇãó æóåõæó
ÌõäõÈñ ÛóÓóáó ÝóÑúÌóåõ æóÊóæóÖøóÃó áöáÕøóáÇóÉö.
"Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci
kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu') untuk shalat.” [21]
• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang,
karena dapat membahayakan kesehatan.
• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling
melihat aurat masing-masing.
Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang
pendusta. [22]
• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.
Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang
mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang
menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi
Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Åöäøó ãöäú ÃóÔóÑöø ÇáäøóÇÓö ÚöäúÏó Çááåö ãóäúÒöáóÉð íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö ÇáÑøóÌõáõ
íõÝúÖöì Åöáóì ÇãúÑóÃóÊöåö æóÊõÝúÖöì Åöáóíúåö Ëõãøó íóäúÔõÑõ ÓöÑøóåóÇ.
"Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang
bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia
menyebarkan rahasia isterinya.” [23]
Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jangan kalian lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-
laki yang berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan)
dilihat oleh orang banyak…” [24]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang dilakukan sebagian
wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib
kerabat atau kawan adalah perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan
rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang.
Allah Ta’ala berfirman:
"Artinya : “Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan
menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa' : 34]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di
sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang
bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya". [25]
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no. 1918), al-Hakim
(II/185) dan ia menshahihkannya, juga al-Baihaqi (VII/148), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu
‘anhuma. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 92-93)
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no. 30230 dan ‘Abdurrazzaq
dalam al-Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet.
Darus Salam, th. 1423 H.
[3]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-
Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283, 5165), Muslim (no. 1434), Abu
Dawud (no. 2161), at-Tirmidzi (no. 1092), ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam
‘Isyratun Nisaa' (no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan lainnya, dari ‘Abdullah bin
‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[6]. Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin al-Khaththab adalah
menyetubuhi isteri pada kemaluannya tetapi dari arah belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan,
suami yang menyetubuhi isterinya berada di atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan. Jadi,
karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang, maka dia menggunakan kiasan “membalik
pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil Hadiits (II/209))
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 91) dan
dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256, no. 60), at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid)
dan (no. 4190-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no.
12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh
al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/41) dan al-
Baihaqi (VII/195). Asalnya hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435)
dan lainnya, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat al-Insyirah fii Adabin Nikah (hal. 48)
oleh Abu Ishaq al-Huwaini.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28), dari Shahabat Abu Sa’id
al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.
[10]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa' (no.
149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108).
[11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no. 1158), Adu Dawud (no.
2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir
bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471).
[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178).
[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149).
[15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh.
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi (no. 135), Ibnu Majah (no.
639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408, 476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa'
(no. 130, 131), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan dikuatkan dengan hadits
Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat
Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 105).
[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i (I/153), at-Tirmidzi (no. 136),
Ibnu Majah (no. 640), Ahmad (I/172), dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam
adz-Dzahabi. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122)
[19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no. 257), dari Shahabat Anas
bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 123).
[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu Majah (no. 584, 593) dan
Ahmad (VI/102-103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan
Shahiihul Jaami’ (no. 4659).
[21]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no. 306 (25)), Abu Dawud (no.
221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 4660).
[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109.
[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu Dawud (no. 4870),
Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadits ini ada kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi
yang lemah bernama ‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan an-
Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-haditsnya munkar.” Lihat kitab Mizanul I’tidal
(III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142). Makna hadits ini semakna dengan hadits-hadits lain yang
shahih yang melarang menceritakan rahasia hubungan suami isteri.