Anda di halaman 1dari 5

Kedudukan Laki-laki dan Perempuan Dalam Islam

‫َمْن َعِم َل َص اًحِلا ِم ْن َذَك ٍر َأْو ُأْنَثٰى َو ُه َو ُمْؤ ِم ٌن َفَلُنْح ِيَيَّنُه َحَياًة َطِّيَبًة‬
"Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." (QS an-Nahl [16]: 97).

Agama Islam diturunkan oleh Allah SWT melalui Nabi-Nya untuk membimbing umat menuju keselamatan dunia
dan akhirat. Namun, Islam tidak hanya menekankan pada aspek ibadah semata, tetapi merangkum seluruh
aspek kehidupan termasuk politik, sosial, kebudayaan, dan lain-lain.

Dalam hal ini, perhatian utama ajaran Islam adalah konsep keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan terutama
bagi terjaminnya keamanan dan keharmonisan hubungan antarmanusia, selain pula guna mencegah timbulnya
kezaliman dan penindasan yang membawa kehancuran dan kerusakan.

ۚ ‫ال ِّر َج ا ُل َقَّو ا ُم و َن َع َلى الِّن َس ا ِء ِبَم ا َفَّض َل ال َّل ُه َبْع َض ُه ْم َع َلٰى َبْع ٍض َو ِبَم ا َأْنَفُق وا ِم ْن َأْم َو ا ِلِه ْم‬
‫َفال َّص ا ِلَح ا ُت َقا ِنَت ا ٌت َح ا ِفَظ ا ٌت ِلْل َغْي ِب ِبَم ا َح ِف َظ ال َّل ُهۚ َو ال اَّل ِتي َتَخ ا ُفو َن ُنُش و َز ُه َّن َفِع ُظ و ُه َّن‬
‫َو ا ْه ُج ُر و ُه َّن ِفي ا ْل َم َض ا ِج ِع َو ا ْض ِر ُبو ُه َّن ۖ َف ِإ ْن َأَطْع َنُك ْم َفاَل َتْبُغ وا َع َلْي ِه َّن َس ِبي اًل ۗ ِإَّن ال َّل َه َك ا َن‬
‫َع ِلًّيا َك ِبي ًر ا‬
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.(Qs Anisa 34)

Allah berfirman: ar riajaalu qawwaamuuna ‘alan nisaa-i (“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita.”) Yaitu laki-laki adalah pemimpin kaum wanita dalam arti pemimpin, kepala, hakim dan pendidik wanita,
jika ia menyimpang; bimaa fadl-dlalallaaHu ba’dlaHum ‘alaa ba’dlin (“Oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka [laki-laki] atas sebahagian yang lain [wanita].”)

Yaitu karena laki-laki lebih utama dari wanita dan laki-laki lebih baik daripada wanita. Karena itu, kenabian
dikhususkan untuk laki-laki. Begitu pula raja (Presiden), berdasarkan sabda Rasulullah: “Tidak akan pernah
beruntung suatu kaum yang mengangkat wanita (sebagai pemimpin) dalam urusan mereka.” (HR. Al-Bukhari).
Begitu pula dengan jabatan kehakiman dan lain-lain.

Wa bimaa anfaquu min amwaaliHim (“Dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka.”) Yang
berupa mahar, nafkah dan berbagai tanggung jawab yang diwajibkan Allah kepada mereka dalam al-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Maka, laki-laki lebih utama dari wanita dalam hal jiwanya dan laki-laki memiliki keutamaan dan
kelebihan sehingga cocok menjadi penanggung jawab atas wanita, sebagaimana firman Allah: “Akan tetapi para
suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.”(QS. Al-Baqarah: 228)

`Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu `Abbas tentang: ar riajaalu qawwaamuuna ‘alan nisaa-i (“Kaum laki-
laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.”) Yaitu, pemimpin-pemimpin atas wanita yang harus ditaati sesuai
perintah Allah untuk mentaatinya. Dan ketaatan padanya adalah berbuat baik terhadap keluarganya dan
memelihara hartanya. Demikian pendapat Muqatil, as-Suddi dan adh-Dhahhak.

Asy-Sya’bi berkata tentan ayat ini: ar riajaalu qawwaamuuna ‘alan nisaa-i bimaa fadl-dlalallaaHu ba’dlaHum ‘alaa
ba’dliw Wa bimaa anfaquu min amwaaliHim (“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka [laki-laki] atas sebahagian yang lain [wanita], dan karena mereka
[laki-laki] telah menafkahkan sebahagian harta mereka.”) Yaitu, berupa mahar suami kepada isterinya. Apakah

1
tidak engkau lihat seandainya suami menuduh isterinya berzina, maka terjadilah li’an. Dan jika si isteri yang
menuduhnya, maka dikenakan hukum jild (cambuk).”

(Li’an menurut bahasa, kutuk-mengutuk. Menurut syara’: menuduh isteri berzina. Lihat surat an-Nuur, ayat 6-
10)

Firman Allah: fash shaalihaatu (“Maka orang-orang shalih,”) maksudnya, dari kaum wanita. Qaanitaatun (“Yang
taat.”) Ibnu `Abbas dan banyak ulama berkata, artinya wanita-wanita yang taat pada suaminya. Haafidhaatul
lilghaibi (“Lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.”) As-Suddi dan ulama yang lain berkata: “Yaitu wanita
yang menjaga suaminya di waktu tidak ada (di samping-nya) dengan menjaga dirinya sendiri dan harta
suaminya.”

Firman Allah: bimaa hafidhallaaHu (“Oleh karena Allah telah memelihara mereka.”) Yaitu, orang yang terpelihara
adalah orang yang dijaga oleh Allah.

Imam Ahmad meriwayatkan, dari `Abdullah bin Abu Ja’far, Ibnu Qaridz mengabarkan kepadanya bahwa
`Abdurrahman bin `Auf berkata, Rasulullah saw. bersabda: “

“Apabila seorang wanita menjaga shalat yang lima waktu, puasa Ramadhannya, menjaga farjinya (kemaluannya)
dan mentaati suaminya, niscaya akan dikatakan kepadanya; ‘Masuklah ke dal am jannah (Surga) dari pintu mana
saja yang kamu kehendaki.’”

Hanya Ahmad yang meriwayatkan dari jalan`Abdullah bin Qaridzdari `Abdurrahman bin `Auf.

Firman Allah: wal laatii takhaafuuna nusyuuzaHunna (“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya.”)
Yaitu, wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya kepada suami mereka. An-Nusyuz adalah merasa lebih
tinggi. Berarti wanita yang nusyuz adalah wanita yang merasa tinggi di atas suami-nya dengan meninggalkan
perintahnya, berpaling dan membencinya. Kapansaja tanda-tanda nusyuz itu timbul, maka nasehatilah dia dan
takut-takutilah dengan siksa Allah, jika maksiat kepada suaminya. Karena Allah telah mewajibkan hak suami atas
isteri, dengan ketaatan isteri kepada suami, serta mengharamkan maksiat kepadanya, karena keutamaan dan
kelebihan yang dimiliki suami atas isteri.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Apabila seorang suami
mengajak isterinya ke pembaringan, lalu ia tidak mau, maka para Malaikat akan melaknatnya sampai pagi.” (HR.
Muslim).

Karena itu Allah berfirman: wal laatii takhaafuuna nusyuuzaHunna fa-‘idhuHunna (“Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka.”)

Sedangkan firman Allah: waHjuruuHunna fil madlaaji’i (“Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka”) `Ali
bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu`Abbas: “Al-hajru yaitu tidak menjima’ (menyetubuhi) dan tidak tidur
dengan dia di atas pembaringannya, serta berupaya membelakanginya.”

Demikianlah yang dikatakan banyak ulama, sedangkan ulama lain seperti as-Suddi, adh-Dhahhak, `Ikrimah dan
Ibnu `Abbas dalam satu riwayatnya menambahkan: “Tidak berbicara dan tidak bercengkrama.” `Ali bin Abi
Thalhah pun menceritakan dari Ibnu `Abbas: “Yaitu, hendaklah ia nasehati, jika ia terima. Jika tidak, hendaklah ia
pisahkan tempat tidurnya dan tidak berbicara dengannya tanpa terjadi perceraian. Dan hal tersebut sudah pasti
memberatkannya.”

Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Murrah ar-Raqqasyi dari paman-nya, bahwa Nabi saw. bersabda: “Jika kalian
khawatir nusyuznya mereka para isteri, maka berpisahlah dari tempat tidurnya.” Hammad berkata: “Yaitu,
(tidak) menggaulinya (menyetubuhinya).”

Di dalam Sunan dan Musnad, dari Mu’awiyah bin Haidah al-Qusyairi bahwa ia berkata: “Ya Rasulullah, Apakah
hak isteri atas suaminya?” Beliau menjawab: “Hendaklah engkau memberinya makan jika engkau makan,
memberinya pakaian jika engkau berpakaian, jangan memukul wajah, jangan mencelanya dan jangan pisah
ranjang kecuali di dalam rumah.”

Firman-Nya: wadl-ribuuHunna (“pukullah mereka”) yaitu jika nasehat dan pemisahan tempat tidur tidak
menggentarkannya, maka kalian boleh memukulnya dengan tidak melukai. Sebagaimana hadits dalam Shahih

2
Muslim dari Jabir, bahwa Nabi dalam Haji Wada’ bersabda: “Bertakwalah kepada Allah tentang wanita,
sesungguhnya mereka adalah pendamping kalian, kalian mempunyai hak terhadap mereka. Yaitu, mereka tidak
boleh membiarkan seorangpun yang kalian benci menginjak hamparan kalian (masuk ke rumah kalian). Jika
mereka melakukannya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai dan mereka memiliki hak untuk
mendapatkan rizki dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.”

Ibnu `Abbas dan ulama-ulama lain berkata: “Yaitu pukulan yang tidak melukai.” Al-Hasan al-Bashri berkata:
“Yaitu, (pukulan yang) tidak meninggalkan bekas.” Para fuqaha berkata: “Yaitu tidak melukai anggota badan dan
tidak meninggalkan bekas sedikitpun.” `Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu`Abbas: “Yaitu, memisahkannya
dari tempat tidur, jika ia terima. Jika tidak, Allah mengizinkanmu untuk memukulnya, dengan pukulan yang tidak
mencederai dan tidak melukai tulang, jika ia terima. Dan jika tidak juga, maka Allah menghalalkanmu untuk
mendapatkan tebusan darinya.”

Sufyan bin `Uyainah mengatakan dari Iyas bin `Abdullah bin Abu Dzu-ab, ia berkata, Nabi bersabda: “Janganlah
kalian memukul isteri-isteri kalian.” Lalu datanglah `Umar ra. kepada Rasulullah dan berkata: “Para wanita mulai
membangkang kepada suami-suaminya. Maka Rasulullah memberikan rukhshah (keringanan hukum) untuk
memukul mereka.

Lalu datanglah banyak wanita kepada isteri-isteri Rasulullah saw, mengadukan tentang pemukulan suami
mereka. Maka bersabdalah Rasulullah saw: “Sungguh banyak wanita yang berdatangan kepada isteri-isteri
Muhammad, mengadukan tentang pemukulan suami mereka. Mereka itu bukanlah yang terbaik di antara
kalian”. Hadits ini riwayat Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah.

Firman Allah: fa in atha’nakum falaa tabghuu ‘alaiHinna sabiilan (“Jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”) Yaitu jika isteri mentaati suaminya dalam semua kehendak
yang dibolehkan oleh Allah, maka tidak boleh mencari-cari jalan lain setelah itu, serta tidak boleh memukul dan
menjauhi tempat tidurnya.”

Firman-Nya: innallaaHa kaana ‘aliyyan kabiiran (“Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.”) (Hal ini)
adalah ancaman untuk laki-laki, jika mereka berbuat zhalim kepada para isteri tanpa sebab, maka Allah
Mahatinggi lagi Mahabesar. Allah yang akan menjaga mereka dan Allah akan menghukum orang yang berbuat
zhalim kepada mereka.

Tentang Saksi Dalam Berzina (Surat An-Nisa)

‫ٍت ِب ِه ِإ ِم‬ ‫ِدِه‬ ‫ِإ‬ ‫َّل ِذ‬


‫{َو ا يَن َيْر ُم وَن َأْز َو اَجُه ْم َو ْمَل َيُك ْن ُهَلْم ُش َه َد اُء ال َأْنُف ُس ُه ْم َفَش َه اَدُة َأَح ْم َأْر َب ُع َش َه اَدا الَّل َّن ُه َل َن‬
‫ِذِب‬ ‫ِم‬ ‫ِه ِه ِإ‬ ‫ِم‬ ‫ِدِق‬
‫) َو َي ْد َر ُأ َعْنَه ا اْلَع َذ اَب َأْن َتْش َه َد َأْر َبَع‬7( ‫) َو اَخْلا َس ُة َأَّن َلْع َن َة الَّل َعَلْي ْن َك اَن َن اْلَك ا َني‬6( ‫الَّص ا َني‬
‫ِدِق‬ ‫ِم‬ ‫ِإ‬ ‫َّل ِه‬ ‫ِم‬ ‫ِذِب‬ ‫ٍت ِب َّل ِه ِإ ِم‬
‫) َو َل ْو ال َفْض ُل‬9( ‫) َو اَخْلا َس َة َأَّن َغَض َب ال َعَلْيَه ا ْن َك اَن َن الَّص ا َني‬8( ‫َش َه اَدا ال َّنُه َل َن اْلَك ا َني‬
} )10( ‫الَّلِه َعَلْيُك ْم َو َر َمْحُتُه َو َأَّن الَّلَه َتَّو اٌب َح ِكيٌم‬
Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri
mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia
adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya, jika dia
termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas
nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang
kelimd; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. Dan andaikata tidak ada
karunia Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian dan (andaikata) Allah tidak Penerima Tobat lagi Mahabijaksana,
(niscaya kalian akan mengalami kesulitan).

Di dalam ayat-ayat ini terkandung jalan keluar bagi para suami dan hukum yang mempermudah pemecahan
masalah bila seseorang dari mereka menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan ia sulit menegakkan pem-
buktiannya, yaitu hendaknya dia melakukan li’an terhadap istrinya, seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Yaitu dengan menghadapkan istrinya kepada hakim, lalu ia melancarkan tuduhannya terhadap istrinya di
hadapan hakim. Maka imam akan menyumpahnya sebanyak empat kali dengan nama Allah, sebagai ganti dari

3
empat orang saksi yang diperlukannya, bahwa sesungguhnya dia benar dalam tuduhan yang dilancarkannya
terhadap istrinya.

} ‫{َو اَخْلاِم َس ُة َأَّن َلْع َنَت الَّلِه َعَلْيِه ِإْن َك اَن ِم َن اْلَك اِذِبَني‬
Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. (An-Nur: 7)

Jika si suami telah menyatakan sumpah li'an-nya itu, maka istri yang dituduhnya berbuat zina itu secara otomatis
terceraikan darinya secara ba'in, menurut pendapat Imam Syafii dan sejumlah banyak orang dari kalangan
ulama. Kemudian bekas istrinya itu haram baginya untuk selama-lamanya, dan si suami melunasi mahar istrinya,
sedangkan bekas istrinya itu dikenai hukuman zina. Tiada jalan bagi si istri untuk menghindarkan hukuman yang
akan menimpa dirinya kecuali bila ia mau mengucapkan sumpah Li’an lagi. Maka ia harus mengucapkan sumpah
sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya suaminya itu termasuk orang-orang yang dusta
dalam tuduhan yang dia lancarkan terhadap dirinya.

} ‫{َو اَخْلاِم َس َة َأَّن َغَض َب الَّلِه َعَلْيَه ا ِإْن َك اَن ِم َن الَّصاِدِقَني‬


dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar. (An-
Nur: 9)

Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

} ‫{َو َيْد َر ُأ َعْنَه ا اْلَعَذ اَب‬


Istrinya itu dihindarkan dari hukuman. (An-Nur: 8).

Yakni hukuman had.

} ‫{َأْن َتْش َه َد َأْر َبَع َش َه اَداٍت ِبالَّلِه ِإَّنُه َلِم َن اْلَك اِذِبَني َو اَخْلاِم َس َة َأَّن َغَض َب الَّلِه َعَلْيها ِإْن َك اَن ِم َن الَّصاِدِقَني‬
oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang
yang dusta, dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang
benar. (An-Nur: 8-9)

Dalam teks sumpah disebutkan secara khusus dengan istilah gadab yang artinya murka, mengingat kebanyakan
seorang suami itu tidak akan mau membuka aib keluarganya dan menuduh istrinya berbuat zina kecuali bila dia
benar dalam tuduhannya dan menyaksikan apa adanya. Sebaliknya pihak si istri pun mengetahui kebenaran dari
apa yang dituduhkan oleh dia (suaminya) terhadap dirinya. Karena itulah dalam sumpah yang kelima harus
disebutkan sehubungan dengan hak dirinya, bahwa murka Allah akan menimpa dirinya (jika suaminya benar).
Orang yang dimurkai oleh Allah ialah seseorang yang mengetahui kebenaran, kemudian berpaling darinya.

Lalu Allah menyebutkan belas kasihan-Nya terhadap makhluk-Nya dalam menetapkan hukum syariat bagi
mereka, yaitu memberikan jalan keluar dan pemecahan dari kesempitan yang mengimpit diri mereka. Untuk itu
Allah Swt. berfirman:

}‫{َو َلْو ال َفْض ُل الَّلِه َعَلْيُك ْم َو َر َمْحُتُه‬


Dan andaikata tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian. (An-Nur: 10)tentulah kalian berdosa dan
tentulah kalian akan mengalami banyak kesulitan dalam urusan-urusan kalian.

‫ِك‬
‫َو َأَّن الَّلَه َتَّو اٌب َح يٌم‬

4
dan (andaikata) Allah tidak Penerima Tobat (kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun hal itu sesudah sumpah yang
berat) lagi Mahabijaksana (dalam menetapkan syariat-Nya dan dalam menetapkan apa yang diperintahkan dan
apa yang dilarang-Nya. Banyak hadis yang menyebutkan anjuran mengamalkan ayat ini, kisah latar belakang
penurunannya, dan berkenaan dengan siapa saja ayat ini diturunkan dari kalangan para sahabat )(An-Nur: 10)

Anda mungkin juga menyukai