Anda di halaman 1dari 11

Sejarah Singkat HIPPI

Pada Bulan September 1984, HIPPI mengubah namanya menjadi Himpunan Pengusaha Putera Indonesia serta merubah AD/ART dengan menerima Pengusaha-pengusaha Non-Pribumi yang sejiwa dengan HIPPI yaitu berjiwa Pancasila. Pada periode 1984 1989 diwarnai oleh kekurang gairahan Anggota-anggota HIPPI, antara lain karena tidak lagi memakai istilah Pengusaha Pribumi. Pamor HIPPI diantara anggota maupun masyarakat terasa lemah sekali. Karena itu pada Munas ke III pada bulan mei tahun 1989 diputuskan untuk kembali memakai nama Pribumi. Paradigma baru HIPPI yang ditetapkan dalam Munas VI pada bulan juni 2004 yaitu :

MOTTO HIPPI PILAR UTAMA EKONOMI BANGSA ADALAH UKM, UKM ADALAH ANGGOTA HIPPI, HIPPI ADALAH KEKUATAN EKONOMI BANGSA.
Istilah Pribumi bukan berarti anti Non-Pribumi, dan HIPPI bukanlah organisasi pengusaha yang Rasialis, akan tetapi organisasi pengusaha Pribumi yang menghimpun para Pengusaha Warga Indonesia yang memiliki idealisme dan berjiwa Patriotik memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara serta rakyat.

Sasaran HIPPI

Organisasi HIPPI yang Kuat, Solid dan Professional Anggota HIPPI yang Mandiri, Tangguh, Profesional dan berdaya saing tinggi Terjalinnya kerjasama HIPPI dan anggota HIPPI dengan seluruh komponen kekuatan bangsa untuk membangun ekonomi nasional yang kuat dan berdaya saing tinggi.

Strategi HIPPI

Membangun kekuatan dalam diri HIPPI sendiri. Membangun aliansi strategi dengan kekuatan utama yang mendukung perjuangan HIPPI. Menjadi Mitra pemerintah yang utama dan disegani pada tingkat pusat dan daerah dalam pembangunan ekonomi nasional dan ekonomi daerah. Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) melantik beberapa orang dalam kepengurusan HIPPI untuk periode 2010-2015. Adapun pengurus Hippi untuk periode 20102015 di antaranya terdiri dari Sukamdani Sahid Gitosarjono sebagai Dewan Penasihat, Suryo Bambang Sulisto sebagai Dewan Pertimbangan yang digelar di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (11/1/2011). Kemudian ada Hendri Saparini sebagai Dewan Pakar, Herman Heru Suprobo sebagai Sekjen, Rita Supit sebagai Bendahara, Pramukti sebagai Ketua Bidang Keuangan, dan Ridwan Mustofa sebagai Ketua Bidang Penanaman Modal. Selain itu ada beberapa nama orang-orang lainnya yang lantik adalah seperti Probosutejo, Samsudin Said, Husein Suropranoto, Dewi Motiq Pramono, Usman, Chairul Tanjung, Samuel Purba yang berasal dari hampir seluruh pelosok Indonesia. Setelah acara pelantikan dilanjutkan dengan acara penandatangan MoU antara Hippi dengan Pertamina Retail, BNI, dan Mastercard Worldwide. Penandatangan ini mensahkan adanya kartu komersil untuk mempermudah dan mempercepat transaksi pembayaran yang khusus bagi pemilik SPBU. Selanjutnya, ada juga hubungan kerja sama yang saling menguntungkan guna mengeksplorasi perkembangan bisnis minyak dan gas nasional di masa mendatang.

Bila

melihat

Sejarah

berdirinya

Organisasi

HIPPI

Himpunan

Pengusaha

Pribumi Indonesia didirikan pada tanggal 17 Agustus 1976 oleh para pendiri : Harsono Badai Samoedra, H. Burhanuddin (Alm), H. M. Anwar (Alm), Arsyad Hamdan,Drs. Sihombing.

HIPPI memiliki tujuan Membina anggota dalam arti seluas-luasnya untuk meningkatkan usahanya agar berperan lebih besar dalam perekonomian nasional.

Kepengurusan dari berdiri sampai sekarang :

a) Periode I

1976 1980

Ketua Umum Harsono Badai Samoedra b) Periode II 1980 1984 Ketua Umum DR. Ir. Ariono Abdul Kadir c) Periode III 1984 1989 Ketua Umum DR. Ir. Ariono Abdul Kadir d) Periode IV 1989 1993 Ketua Umum Ir. H. Iman Taufik e) Periode V 1993 1998 Ketua Umum Ir. H. Iman Taufik f) Periode VI 1998 2003

Ketua Umum Suryo B. Sulisto, MBA g) Periode VII 2004 2008 Ketua Umum Suryo B. Sulisto, MBA

Perjalanan HIPPI :

Pada Bulan September 1984, HIPPI mengubah namanya menjadi Himpunan Pengusaha Pancasila. Putera Indonesia serta merubah AD/ART dengan menerima Pengusaha-pengusaha Non-Pribumi yang sejiwa dengan HIPPI yaitu berjiwa

Pada periode 1984 1989 diwarnai oleh kekurang gairahan Anggotaanggota HIPPI, antara lain karena tidak lagi memakai istilah Pengusaha Pribumi. Pamor HIPPI diantara anggota maupun masyarakat terasa lemah sekali. Karena itu pada Munas ke III pada bulan mei tahun 1989 diputuskan untuk kembali memakai nama Pribumi.

Paradigma baru HIPPI yang ditetapkan dalam Munas VI pada bulan juni 2004 yaitu : Motto HIPPI : PILAR UTAMA EKONOMI BANGSA ADALAH UKM, UKM ADALAH

ANGGOTA HIPPI, HIPPI ADALAH KEKUATAN EKONOMI BANGSA.

Sasaran HIPPI :

1. Organisasi HIPPI yang Kuat, Solid dan Professional 2. Anggota HIPPI yang Mandiri, Tangguh, Profesional dan berdaya saing tinggi 3. Terjalinnya kerjasama HIPPI dan anggota HIPPI dengan seluruh komponen kekuatan bangsa untuk membangun ekonomi nasional yang kuat dan berdaya saing tinggi.

Strategi HIPPI :

1. Membangun kekuatan dalam diri HIPPI sendiri. 2. Membangun aliansi strategi dengan kekuatan utama yang mendukung perjuangan HIPPI. 3. Menjadi Mitra pemerintah yang utama dan disegani pada tingkat pusat dan daerah dalam pembangunan ekonomi nasional dan ekonomi daerah.

Istilah Pribumi bukan berarti anti Non-Pribumi, dan HIPPI bukanlah organisasi pengusaha yang Rasialis, akan tetapi organisasi pengusaha Pribumi yang

menghimpun

para

Pengusaha

Warga

Indonesia

yang

memiliki idealisme dan berjiwa Patriotik memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara serta rakyat.

Siapapun yang terpilih sbg ketua Umum HIPPI , harus menciptakan ekonomi kreatif (ekonomi berdaya saing tinggi) atau pekerjaan yang berorientasi pada program, pengusaha daerah harus diberdayakan khususnya UKM termasuk Pedagang Kaki Lima merupakan pengusaha tangguh, tanpa mengenal krisis atau merekalah yang menjadi penopang saat Indonesia dilanda krisis. SUDAH jamak terdengar upaya pemerintah untuk meningkatkan daya saing para pengusaha pribumi yang terbelakang. Konglomerat juga mulai sedikit digelitik untuk ikut mendongkrak. Itu ditandai sejak pertemuan di Peternakan Tapos, Bogor, tempo hari, antara Presiden Soeharto dengan sejumlah konglomerat yang umumnya WNI keturunan Cina. Belakangan para konglomerat yang menguasai hampir seluruh aset perekonomian nasional mencetuskan Deklarasi Jimbaran di Bali. Intinya, sekali lagi, hendak membantu bisnis para pengusaha menengah dan kecil. Apa saja hasilnya? Mengapa muncul kesenjangan pengusaha pri-non pri yang kian tajam belakangan ini? Untuk mengetahui sejauh mana implikasi bisnis dan politis akibat kesenjangan ini, maka Suwardi dan Buni Yani dari TEMPO Interaktif mewawancarai Iman Taufik, Direktur Utama PT Guna Nusa, yang sekaligus juga Ketua Kadin dan pencetus Hippi (Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia), di kantornya, kawasan Bendungan Hilir, Jakarta, pekan lalu. Kutipannya:

Bagaimana Anda melihat kondisi perekonomian kita? Jika dilihat dari income per capita (pendapatan per kepala), sudah berhasil. Dari 200 dolar sejak awal Orde Baru, kini income per capita kita mencapai lebih dari 1000 dolar. Purchase power variety (PPV)-nya, malah lebih dari 3000 dolar. Kini kita sudah mencapai posisi yang cukup baik di antara lebih dari 200 negara di dunia. Tapi kita bisa terbentur jika tidak hati-hati. Daya saing kita sudah mentok. Dari 46 negara maju, daya saing kita nomor 41, itu menurut lembaga keuangan Swis. Kenapa? Masalahnya banyak: birokrasi yang masih bertele-tele, pungli-pungli yang masih merajalela, manajemen yang masih lamban, dan lain-lain. Istilahnya, telah terjadi distorsi ekonomi. Jadi berbahaya kalau kita tidak berhati-hati. Apa saja aset terpenting yang bisa meningkatkan daya saing kita?

Manusia menjadi aset nomor satu dan yang paling utama. Negara yang paling miskin di dunia itu kan Singapura. Maksudnya, yang paling miskin sumber daya alamnya. Tapi manusianya kan nomor satu. Makanya dia kaya betul. Nomor dua, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai manusia. Yang ketiga, infrastruktur. Aset keempat, akses terhadap uang. Kepercayaan luar negeri itu aset. Kalau tidak dipercaya, kita tidak bisa minjem duit. Kita dipercaya Bank Dunia, IDB, orang pada berebut mau naro uang di kita. Aset kelima, kekayaan yang sudah kita miliki, domestic economic spend, ya, uang. Bagaimana cara memproses kelima aset itu agar menimbulkan nilai tambah? Bisa dilakukan dengan tiga cara. Pertama, adanya pemerintah yang bersih, berwibawa, dan berkualitas [layanannya], membuat peraturan yang baik (tidak berubah-ubah), harus transparan dan adil. Kita sudah cukup bagus, tapi masih banyak kelemahankelemahan. Contohnya, birokrasi dan kolusi penjabat Kedua, adanya manajemen yang jelas. Karena manajemen menyangkut semua orang, manajemen nasional, termasuk swasta. Manajemen Jepang kan jelas, kaizen, bushido, contohnya. Cina juga begitu dengan Sun Tzu-nya. Manajemen Amerika dan Eropa jelas. Sedangkan manajemen kita ndak jelas. Manajemen gaya Yogya dan Jakarta udah lain. Orang Padang lain lagi gayanya. Karena begitu banyak suku bangsa, untuk menerapkan manajemen yang homogen juga susah. Kita masih mencari bentuk manajemen. Ketiga, peran dalam internasionalisasi. Gaya internasional kita ini, gimana? Bidang politik kita sudah bagus. Lihat, kemarin masalah Moro kan [Indonesia berperan menjadi penengah perdamaian antara pemerintah Filipina dan MNLF]? Pokoknya [bidang] politik [sudah] hebat. Politik internasional [kita] one of the best. Harus dapat hadiah Nobel, Pak Harto itu. Cuma manajemen ekonomi kita lemah. Lobi-lobi kita lemah, perusahaan dagang kita di luar negeri keinjek-injek. Pemerintah juga dananya nggak banyak, gitu. Mestinya kan alokasi lobi untuk luar negeri banyak. Kita, kecil sekali. Untuk pariwisata dibanding Malaysia, jauh. Kita menempatkan diri pada posisi yang berbahaya kalau tidak kita perbaiki.. Apa saja akibat buruk manajemen ekonomi kita itu? Akibatnya sudah terlihat: defisit transaksi berjalan membengkak terus. Pada 1983, awal Pelita IV, Bappenas memperkirakan pada 1996 defisit transaksi berjalan itu nol. Ternyata malah tambah dalem. Tahun kemarin minus 7,9 miliar, tahun ini minus kirakira sembilan miliar, tahun depan kira-kira minus 11 miliar. Jadi malah membengkak. Defisit transaksi berjalan nggak apa-apa apabila investasi masuk. Ada uang terus karena ada uang masuk. Tapi kalau investasi mengering, defisit transaksi berjalan itu bisa berbahaya, karena nggak ada yang nutupin. Jadi defisit transaksi berjalan ini menunjukkan bagaimana kita mengelola pendapatan kita.

Bukankah Bappenas pernah memperkirakan tahun ini defisit transaksi berjalan kita menjadi nol? Malah positif, kok. Saya sempat mengingatkan Pak Saleh Afif. Waktu itu ia menjadi wakil ketua Bappenas, sekarang Menko Ekuwasbang. Ia mengakui, tapi, katanya,"kan banyak uang masuk." Seandainya ada kerusuhan lebih hebat dari 27 Juli, terus modal pada keluar, gimana, coba? Tapi bukankah hampir semua negara di Asean mengalami defisit transaksi berjalan? Memang betul. Thailand itu defisitnya lebih gede dari kita. Tahun lalu Thailand minus 12 miliar dolar, kita hanya 7,9 miliar dolar. Malaysia defisit 7,2 miliar dolar. Tapi uang masuknya juga banyak, jadinggak masalah. Tapi kalau terus-menerus, jadi masalah. Masalah pertama, inflasi. Inflasi membuat kita tidak mampu bersaing. Biasanya kan lalu ada penyeimbangnya? Ya. Biasanya bisa diimbangi dengan devaluasi atau depresiasi. Bagi pegawai yang bergaji tetap, ini kan berat. Dampak sosial politiknya yang berat. Inflasi kita juga hampir dua digit, hampir 10 persen. Alhamdulillah, tahun ini agak baik. Tahun lalu kan hampir sembilan persen lebih. Bahaya itu, kan? Kalau sudah 10 persen, jadi 20 persen itu gampang. Dan rakyat yang menderita, bisa kelaparan karena tidak punya daya beli, harga-harga naik, dan lain sebagainya. Jadi inflasi, so far, well managed. Defisit transaksi berjalan ini yang belum dikelola dengan baik. Me-manage-nya antara lain dengan peraturan-peraturan, debirokratisasi dan deregulasi, dengan manajemen tiga hal itu tadi [internasionalisasi, manajemen dan pemerintahan]. Kalau dilihat secara sektoral, apa sebenarnya penyebab defisit transaksi berjalan itu? Saya sudah pelajari dan diskusi dengan ahli-ahli ekonomi seperti Dorodjatun [Koentjoro-Jakti], Anwar Nasution, Sritua Arief, ekonom topnya Indonesialah. Jadi, masalah terbesar justru di bidang yang saya lakukan, yaitu industri mesin dan logam dasar. Defisitnya di situ. Ekspornya hanya 4,2 miliar dolar, impornya 19 miliar dolar tahun lalu. Jadi di sektor barang modal itu, minusnya 15 miliar dolar. Celakanya, pemainnya nggak banyak di situ. Siapa yang bermain di bidang itu? Saudara Fadel Muhammad, IPTN... Guna Nusa sendiri apakah termasuk pemain yang besar? Guna Nusa kan kecil saja. Indonesia omsetnya 80 juta dolar (Rp200 miliar), Fadel Rp300 miliar. Kecil. Semuanya, termasuk Texmaco, saya, Bukaka Gardabrata, hanya menghasilkan ekspor atau uang masuk empat miliar dolar. Sedangkan sektor telekomunikasi kita positif: ekspornya 1,8 miliar dolar, impornya satu miliar dolar. Barang baja 2,4 miliar dolar. Ya, kira-kira [jumlah impor kita] 19 miliar dolar, sementara

ekspornya empat miliar dolar. Defisit kita di sektor ini saja 7,9 miliar dolar. Sektor jasa angkutan minus 6 miliar, jasa asuransi dan perbankan minus tujuh. Lalu surplusnya di mana? Surplus yang terbesar masih minyak dan gas bumi. Terutama gas bumi, karena minyaknya sudah merosot. Minyak tinggal 40 persen, gas sudah 60 persen. Minyak plusnya hanya 100 ribu barel dari 1,5 juta barel dan hanya cukup sampai tahun 2005. Repotnya, gas kita punya banyak saingan juga, meski positifnya 9 miliar dolar. Sektor pariwisata surplus 3,5 miliar dolar. Karena penerimaan kita besar juga, meski orang Indonesia yang jalan-jalan ke luar negeri, menghambur-hamburkan duit cuma 700 juta [500 juta untuk naik haji]. Jadi, orang kita ini termasuk ngirit. Turis asing masuk ke sini 4,5 miliar dolar. Kebutuhan kita akan barang-barang modal besar, tapi kenapa produksinya tidak ditingkatkan? Mencari orangnya yang nggak ada. Sekarang aja bingung kita nyari orang. Kemarin kami menolak kerjaan, proyek empat juta dolar saya tolak. Yang minta pabrik semen, saya bilang lagi sibuk. Saya cari kerjaan yang untungnya gede, dong. Saya bilang, kasih aja, deh, ke pengusaha menengah-kecil, kita bantu. Kasih kesempatan dong dia hidup. Tapi modal juga [jadi] masalah. You kalau dapat kerjaan[senilai] 400 juta dolar, modalnya paling nggak 80 juta dolar. Nggak main-main ini, bisnis gini ini [mesin, red.] gede. Sebiji crane harganya 6,5 juta dolar. Cash flow manajemen menjadi berat. Bisa Anda jelaskan mengenai sejarah Hippi (Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia)? Pada 1976 Hippi didirikan oleh orang-orang yang bukan pengusaha, tapi semangatnya tinggi. Mereka adalah anggota DPR dan segala macam, dan menggebu-gebu dengan semangat pribumi. Waktu itu sangat emosional. Memang bagus semangat, tapi tidak bisa kalau tidak diimbangi profesionalisme. Sehingga pada 1979 masuklah profesionalisme di dalam munas (musyawarah nasional)--kalau nggakgitu, nama pribumi jadi jelek. Di antara sesepuh-sesepuh Hippi waktu itu antara lain Pak Hasjim Ning, Soekamdani, Probosutejo, Pak Sambas [alm.]. Dan jenderal-jenderal pengusaha kan Hippi semua. Pada 1979 saya sebagai sekjen (sekretaris jenderal), Haryono [Abdul Kadir] sebagai ketua umum, Pak Probo sebagai dewan pembina, kami konsolidasi. Pada 1984 kami disuruh ganti nama menjadi Himpunan Pengusaha Putra Indonesia. Akhirnya melempem, karena kata pribumi itu bagi mereka jadi kebanggaaan. Saya pun termasuk yang mutung. Pada 1994 balik lagi menjadi sebelumnya [kata putra menjadi pribumi kembali]. Pada UUD 45, tidak ada kata pribumi, yang ada kata asli. Warganegara Indonesia adalah orang-orang asli atau keturunan yang sudah disahkan. Pribumi kan nggak disebutin. Kita susun definisi pribumi itu adalah orangorang Indonesia asli dan keturunan yang sudah disahkan menjadi warganegara

Indonesia, dan sudah membaur, dan mempunya visi yang sama dengan orang-orang pribumi. Kami milih-milih, dong. Jadi beberapa orang yang betul-betul, seperti Kwik Kian Gie, Bob Hasan, pribumi, dong. Kita milih-milihlah, yang masih dikit-dikit mau ngabur, bukan pribumi. Ada masalah dikit di sini, lari ke Singapura. Pribumi, hidup mati di sini, dong. Itu, Rudi Hartono, pribumi, termasuk pahlawan-pahlawan bulutangkis lainnya. Akhirnya, kami konsolidasi lagi sekarang, baru dua tahun kan, sejak 1994--1996? Langsung semangat sejak diterima presiden. Kami punya kekuatan massa juga. Sekarang DPD dan DPP sudah kompak. Bagaimana dampak Keppres No. 14 yang hendak mendongkrak pengusaha pribumi? Itu yang menyebabkan kami bersemangat. Isinya, antara lain, pribumi harus diistimewakan. Lalu ada tentangan yang menyebabkannya hilang. Dan kata pribumi diganti kata pengusaha lemah, kankonyol jadinya. Bagaimana Anda melihat iklim untuk pengembangan pengusaha pribumi secara keseluruhan? Sejak dua tahun lalu, saya kira sudah bagus. Karena sejak Pertemuan Tapos [antara Pak Harto dengan para konglomerat] itu, kelihatan sekali bahwa yang kuat itu keturunan [Cina]. Pak Harto menyadari, dan memang tidak bisa mendadak, apalagi Pak Harto kan ahli strategi. Waktu dulu juga kalau dikasih, kita ndak siap, sekarang siap kita. Sekarang pengusaha Cina pun mau bantu. Yang pengalaman dagang 350 tahun siapa sih? Ya, Pak Harto sebagai presiden mau gimana? Memang yang paling pas waktu itu, ya, orang-orang Cina, yang sudah pengalaman, dong. Pribumi yang pengalaman boleh aja kalau siap. Soekamdani siap, Bakrie siap, kan dibantu juga. Tapi ndak banyak kan? Kemudahan yang diberikan apakah termasuk pemberian kredit? Ya, segala macam. Semuanya sudah mulai kelihatan. Cuma memang di lapangan masih ada ganjalan. Political will-nya sudah kuat. Sejak ada UU pengusaha kecil, arahnya sudah jelas. Memang tidak jelas-jelas disebutkan pribumi, cuma disebutkan pengusaha menengah dan kecil. Dan umumnya pengusaha menengah dan kecil itu kan pribumi. Kembali ke Keppres No. 14 tadi, lalu, hasilnya bagaimana? Ada hasilnya, tapi nggak banyak. Sayalah hasilnya, lalu Fadel, Ical, Medco, Basuki, Latief juga. Kira-kira 20 orang hasilnya. Dulu Program Benteng zaman Bung Karno hasilnya Hasjim Ning, Suditama, dllnya. Sudah banyak mati itu. Nah, Keppres No. 14 itu memunculkan beberapa pengusaha. Yang paling menonjol, Bakrie.

Apa saja bentuk bantuan sebagai implementasi Keppres No. 14? Kami di mana-mana dibantu. Dirut BBD sampai dateng ke kantor kami. [Lalu dia membaca berkala terbitan Hippi mengenai bantun BBD kepada pengusaha menengah]. Dulu nggak ada gini-gini. Bulog juga mau diarahkan ke pribumi. Dulu yang dikasih pribumi, tapi bukan pengusaha. Contohnya jenderal-jenderal. Lalu dijualnya ke [orang] Cina. Bukan salah Bulog juga kan? Salah pengusaha pribuminya juga, kan? Kenapa kita tidak menempuh cara Malaysia yang pengusaha pribuminya menguasai aset ekonomi nasional? Itulah. Empat persen dari pengusaha [keturunan] Cina menguasai 70 persen dari perusahaan-perusahaan yang go public [di sini]. Di Thailand juga begitu, hampir sama. Malah Filipina yang lebih berat, 80 persen. Tapi kita nggak sejelek itu. Secara keseluruhan, iklim untuk pengembangan usaha kecil, bagaimana? Sekarang bagus. Political will bagus, dukungan pemerintah bagus, masalahnya sekarang pengusahanya yang justru nggak ada. Saya diminta ngumpulin nama pengusaha kecil, 300 nama dari seluruh Indonesia. Kita pilih kan? Menyedihkan. Kebanyakan mereka orang yang belum berpengalaman. Mengapa itu terjadi? Karena memang selama 26 tahun Orde Baru ini, mereka belum pernah mendapat kesempatan. Masalahnya baru terasa sekarang. Kini sudah ada dukungan bagus dari pemerintah, nah, repotnya, pengusahanya yang nggak ada. Itu masalah pertama, yaitu masalah nggak ada orangnya. Kedua, masalah high cost, biaya tinggi. Ini harus dihilangkan, sebab di beberapa daerah tidak mampu bersaing.Dijagoin pun tidak mampu bersaing. Ketiga, sumber daya manusia. Apakah Hippi terlibat dalam Deklarasi Jimbaran? Nggak. Kami bantu dengan cara bekerja sama. Bentuknya lagi digarap si Sofyan [Wanandi]. Pokonya kami ndak minta, kami mau berdiri sendiri. Kalau mereka mau bantu, ya, silakan. Kami manfaatkan,dong. Siapa saja kami terima. Orang luar negeri saja kami manfaatkan, apalagi teman-teman Jimbaran. Citibank kini juga sedang punya dana untuk membantu pribumi. Anda percaya dengan strategi kemitraan antara konglomerat dan pengusaha lemah? Nggak ada itu, kebanyakan itu politis. Bohong aja, gitu. Sekarang harus natural, alami. Makanya saya tidak pernah menyatakan kemitraan. Pernah juga dengan Hero, tapi, ya, gitu-gitu aja. Ya, udahlah,natural aja. Saya malah melakukan Networking [ jaringan]. Itu kan nggak pake seremonial, upacara segala. Bali networking dengan Sumbawa,

Lombok juga, ikat-mengikat. Ya, boleh aja kemitraan, tapinggak perlu bapak angkatanak angkat. Diumumkan di koran, dia dapat nama, seolah-olah pahlawan. Tapi omong kosong, buntutnya nginjek. Karena ini masalah nasib pribumi, nasib Melayu. Mau nggak mau kita kerja sama dengan Malaysia, karena kita serumpun. Apa sih pentingnya membeda-bedakan pribumi dan non-pribumi sekarang ini? Saya itu nggak mau beda-bedain. Saya tidak pernah mempersoalkan pri dan non-pri. Organisasi ini, kita berkumpul bersama karena kita merasa ketinggalan. Itu saja masalahnya. Tapi saya nggakbedain. Dalam bisnis, contohnya, Tri Patra pemegang sahamnya ada Cina. Wadyono, pemegang saham. Saya [berbisnis] dengan Petrus, Teguh, kan Cina semua. Nggak jadi masalah. Jadi, sama sekali bukan masalah ras. Ini adalah organisasi yang punya aspirasi sama, yaitu pribumi yang ingin mengangkat pribumi, yang antara lain dengan bekerja sama dengan orang asing, Cina, dengan siapa pun. Orang Cina sendiri kumpul, contohnya seperti Prasetya Mulia. Yang kuatkuat aja kumpul, apalagi yang lemah.***

Anda mungkin juga menyukai