Anda di halaman 1dari 24

clinical science season

KEGAWATDARURATAN LUKA GIGITAN HEWAN

Oleh: M. Adithya Prawiranata (0618011029)

Preceptor: dr. Yuzar Harun, Sp.B, FINACS

SMF BEDAH Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek November 2011

1. GIGITAN ULAR

I. Pendahuluan

I.1

Latar Belakang

Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. Mengingat masih sering terjadi keracunan akibat gigitan ular maka untuk dapat menambah pengetahuan masyarakat kami menyampaikan informasi mengenai bahaya dan pertolongan terhadap gigitan ular berbisa. Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular. Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.

II.
II.1

Tinjauan Pustaka

Komposisi, Sifat dan Mekanisme Kerja Bisa ular

Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik. Berbagai logam

seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu enzim prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat dalam bentuk glikoprotein seperti serine protease ancord merupakan prokoagulan dari C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum jelas. (Sudoyo, 2006). Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun. (de Jong, 1998). Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin, antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu ular juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat (Sudoyo, 2006). II.2 Jenis jenis ular berbisa

Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari kira -kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. (de Jong, 1998) Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu: 1. Famili Elapidae misalnya ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai

2. Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau, dan ular bandotan puspo

3. Familli Hydrophidae, misalnya ular laut

4. Familli Colubridae, misalnya ular pohon Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai rambu rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut: Ciri ciri ular tidak berbisa: y Bentuk kepala segi panjang y Gigi taring kecil y Bekas gigitan, luka berbentuk lengkung Ciri ciri ular berbisa: y Kepala segi tiga y Dua gigi taring besar di rahang atas y Dua luka gigitan utama akibat gigi taring

empat

halus

Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di Indonesia adalah jenis ular : y Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan) y Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular kobra, ular laut. Neurotoksin pascasinaps seperti -bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti -bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction. Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.

II.3

Patofisiologi

Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang dikeluarkan.

Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah : (1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan dengan menghancurkan mukopolisakarida. (2) fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot. (3) enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan konsekuensi hemoragik. (Warrell, 2005) II.4 Gejala klinis

Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998) Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987) : y Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit 24 jam) y Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur y Gejala khusus gigitan ular berbisa : o Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID)

o Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma o Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma o Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda tanda 5P (pain, pallor, paresthesia, paralysis pulselesness). (Sudoyo, 2006) Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut: Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :  Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular, riwayat penyakit sebelumnya.  Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam. Menurut WHO (Warrell, 2005) gejala local dan tanda pada tempat gigitan : y Bekas taring/gigitan y Nyeri dan pendarahan lokal y memar y lymphangitis y pembesaran lymphonodi y inflamasi (bengkak, kemerahan, panas) y melepuh y infeksi lokal, formasi abses y nekrosis Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular : Gigitan Elapidae  Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar.  Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.  Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam bentuk paralisis dari urat urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot

pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam dapat timbul gejala gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam. Gigitan Viperidae:  Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan  Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan luka yang dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat. Gigitan Hidropiidae:  Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah  Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung. Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:  Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal yang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli valen crotalidae antivenin.  Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting. Gigitan Coral Snake: Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus fulvius antivenin) (Sudoyo, 2006) Tanda dan gejala lokal : 3. Pendarahan lokal 1. Tanda gigi taring 4. Bruising 2. Nyeri lokal

5. lymphangitis 6. Bengkak, merah, panas

7. Melepuh 8. Necrosis

Gejala dan tanda sistemik umum : Umum Mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness, prostration. Kardiovascular (Viperidae) : Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension, arrhythmia cardiac, oedema pulmo, oedema conjungtiva. Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae) : b Perdarahan dari luka gigitan b Perdarahan sitemik spontan dri gusi, epistaksis, hemopteu, hematemesis, melena, hematuri, perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti petechiae, purpura, Ecchymoses dan pada mukosa seperti pada konjungtiva, perdarahan intrakranial Neurologik (Elapidae, Russells viper) : Drowsiness, paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, heavy eyelids, ptosis, ophthalmoplegia external, paralysis dari otot wajah dan otot lai yang di inervasi oleh nervus kranialis, aphonia, difficulty in swallowing secretions, respiratory and generalised flaccid paralysis Otot rangka (sea snakes, Russells viper) : Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus, myoglobinuria, hyperkalaemia, cardiac arrest, gagal ginjal akut Ginjal (Viperidae, sea snakes) : LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria, oliguria/anuria, tanda dan gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea, pleuritic chest pain) Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russells viper) : y Fase akut: syok, hypoglycaemia y Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of secondary sexual hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism. (Warrell, 1999).

II.5

Pemeriksaan

Pemeriksaan penunjang  Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, Ddimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang.  Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)  EKG  Foto dada II.6 Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk snakebite antara lain : Anafilasis Trombosis vena bagian dalam Trauma vaskular ekstrimitas Scorpion Sting Syok septik Luka infeksi Penatalaksanaan

      II.7

Berikut adalah langkah-langkah yang biasanya dilakukan dalam menangani gigitan ular (Warrell, 2005) : y Pertolongan pertama y Segera kirim ke RS y Resusitasi dan penanganan klinis segera y Penanganan klinis yang lebih mendalam dan diagnosis species ular y Periksa lab y Pemberian SABU y Observasi respon SABU: untuk memutuskan peningkatan dosisnya y Pemberian terapi suportif y Penanganan bekas gigitan y Rehabilitasi y Penanganan komplikasi kronis
Tujuan pertolongan pertama

y y

mencoba memperlambat absorpsi sistemik racun mempertahankan nyawa dan mencegah komplikasi sebelum pasien dibawa ke RS

y y y

mengawasi gejala keracunan awal yang berbahaya mengatur transportasi pasien agar segera mendapat pertolongan medis Above all, do no harm!

Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Cara tradisional pada penanganan gigitan ular seperti metode penggunaan torniket (cara ini sangat menyakitkan dan berbahaya apabila torniket dipasang terlalu lama karena dapat menyebabkan iskemia dan akhirnya banyak yang menjadi gangren), insisi tempat gigitan, pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit, pemberian antihistamin dan kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti manfaatnya dan bahkan membahayakan. (WHO, 2005) Recommended first aid methods y Menenangkan korban yang mungkin sangat gelisah/ketakutan y Immobilisasi ekstremitas yang tergigit dengan balutan atau bidai (karena setiap gerakan atau kontraksi otot meningkatkan absorpsi racun ke pembuluh darah atau limfe) y Pertimbangkan pressure-immobilisation untuk beberapa jenis ular Elapidae y Hindari intervensi apapun pada bekas gigitan karena dapat membuat infeksi, meningkatkan absorpsi racun, dan meningkatkan pendarahan.

Tindakan Pelaksanaan A. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah y Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan y Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol y Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.

10

Petunjuk awal bahwa pasien mengalami gejala keracunan berat :

y y y y

y y

Ular teridentifikasi sebagai jenis yang berbahaya Pembesaran bengkak yang cepat pada tempat gigitan Cepat terjadi Pembesaran dari lokal lymphonodi, menunjukan bahwa racun telah menyebar pada saluran limfe. Cepat terjadi gejala sistemik: kolaps (hypotension, shock), nausea, muntah, diare, nyeri kepala hebat, berat pada kelopak mata, mudah mengantuk atau ptosis yang aal/opthalmoplegia Cepat terjadi perdarahan sistenik spontan Urin berwarna coklat gelap

B. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut: y Penatalaksanaan jalan napas y Penatalaksanaan fungsi pernapasan y Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid y Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka, imobilisasi (dengan bidai) y Periksa lab, Ambil 5 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati. y Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection y Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1 ml berisi: b 10-50 LD50 bisa Ankystrodon b 25-50 LD50 bisa Bungarus b 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix b Fenol 0.25% v/v Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan. Dosis SABU pada anak dan dewasa sama, karena ular menginjeksikan jumlah/dosis racun yang sama pula saat dia menggigit dewasa ataupun anak-anak. Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):

11

Pedoman terapi SABU menurut Luck : b Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit b Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst. Gangguan koagulopati berat berikan antivenin spesifik, plasma fresh-frozen, cryoprecipitate (fibrinogen, factor VIII), fresh whole blood or platelet concentrates. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan. b Terapi suportif lainnya pada keadaan : Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit Hipotensi: beri infus cairan kristaloid Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat obatan narkotik depresan

b Terapi profilaksis Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis Beri toksoid tetanus Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi (Sudoyo, 2006)

Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular : b Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai kaki

12

b Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular b Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak semak b Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti b Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat kejadian semacam itu. (Sudoyo, 2006)

13

2. RABIES I. PENDAHULUAN
Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies, dan ditularkan melalui gigitan hewan menular rabies terutama anjing, kucing dan kera. Sampai kini hanya 5 Propinsi di Indonesia bebas historis rabies, yaitu Kalimantan Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Maluku dan Irian Jaya. Sejak tahun 1994 propinsi yang tadinya endemis rabies, telah dibebaskan dari rabies pada manusia pada hewan yaitu di Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta sampai saat ini ada 18 propinsi yang belum bebas kasus rabies. Pada tahun 1998 terjadi outbreak di Kab. Flores Timur, Prop. NTT. Jumlah rata-rata pertahun kasus gigitan pada manusia oleh hewan penular rabies tiga tahun terakhir (1995-1997) 15.000 kasus, diantaranya 8.550 (57 %) divaksinasi anti rabies (VAR) dan 662 (1,5%) diberikan kombinasi VAR dan SAR (serum anti rabies). Selama tiga tahun ( 1995- 1997). Ditemukan rata-rata pertahun 59 kasus rabies pada manusia, seangkan 22,44 spesimen dari hewan yang diperiksa, 1327 (59%) menunjukkan positif rabies. Mengingat akan adanya bahaya rabies terhadap kesehatan dan ketentraman masyarakat karena dampak buruknya yang selalu diakhiri dengan kematian, maka usaha pengendalian penyakit berupa pencegahan dan pemberantasan perlu dilaksanakan seintensif mungkin, bahkan menujupada program pembebasan. Program pembebasan rabies merupakan kesepakatan Nasional dan merupakan kerjasama kegiatan 3 (tiga) Departemen, yaitu Departemen Pertanian (Ditjen Peternakan), Departemen Dalam Negeri (Ditjen PUOD) dan Departemen Kesehatan (Ditjen PPM & PLP), sejak awal Pelita

II.

TINJAUAN PUSTAKA

II.1

Definisi

Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik, yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Virus rabies ditularkan ke manusia melalu gigitan hewan

14

misalnya oleh anjing, kucing, kera, rakun, dan kelelawar. Rabies disebut juga penyakit anjing gila. Rabies disebabkan oleh virus rabies yang masuk ke keluarga Rhabdoviridae dan genus Lysavirus. Karakteristik utama virus keluarga Rhabdoviridae adalah hanya memiliki satu utas negatif RNA yang tidak bersegmen. Virus ini hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan sebagai perantara penularan. II.2 Patogenesis

Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahanperubahan fungsinya. Masa inkubasi bervariasi yaitu berkisar antara 2 minggu sampai 2 tahun, tetapi pada umumnya 3-8 minggu, berhubungan dengan jarak yang harus ditempuh oleh virus sebelum mencapai otak. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian kearah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringanjaringannya, seperti kelenjar ludah, ginjal, dan sebagainya. II.3 1. Manifestasi Klinis

Stadium Prodromal Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri ditenggorokan selama beberapa hari. 2. Stadium Sensoris Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka. Kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensorik. 3. Stadium Eksitasi Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil dilatasi. Bersamaan dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada stadium ini ialah adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah hidrofobi. Kontraksi otot-otot Faring dan otot-otot pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsang sensorik seperti meniupkan

15

4.

udara kemuka penderita atau dengan menjatuhkan sinar kemata atau dengan menepuk tangan didekat telinga penderita. Pada stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsa da tahikardi. Tindaktanduk penderita tidak rasional kadang-kadang maniakal disertai dengan saatsaat responsif. Gejala-gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal, tetapi pada saat dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemah, hingga terjadi paresis flaksid otot-otot. Stadium Paralis Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi Kadangkadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang, yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan. Pemeriksaan laboratorium

II.4

Penyakit ini sering berjalan dengan cepat dan dalam 10 hari dapat menyebabkan kematian sejak timbulnya gejala, sehingga pemeriksaan serologis kadang-kadang belum sempat dilakukan, walaupun secara klinis cukup jelas. Pada kasus dengan perjalanan yang agak lama , misalnya gejala paralis yang dominan dan mengaburkan diagnosis maka pemeriksaan laboratorium sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Virus rabies dapat diisolasi dari air liur, cairan serebrospinal dan urin penderita. Walaupun begitu, isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil didapatkan dari jaringan otak dan bahan tersebut setelah 1 4 hari sakit. Hal ini berhubungan dengan adanya neutralizing antibodies. Pemeriksaan Flourescent Antibodies Test (FAT) dapat menunjukkan antigen virus di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinal, urin, kulit dan hapusan kornea, bahkan setelah teknik isolasi tidak berhasil. FAT ini juga bisa negatif, bila antibodi telah terbentuk. Serum neutralizing antibody pada kasus yang tidak divaksinasi tidak akan terbentuk sampai hari ke 10 pengobatan, tetapi setelah itu titer akan meningkat dengan cepat. Peningkatan titer yang cepat juga nampak pada hari ke 6 10 setelah onset klinis pada penderita yang diobati dengan anti rabies. Karakteristik responimun ini, pada kasus yang divaksinasi dapat membantu diagnosis. Walaupun secara klinis gejalanya patognomonik namun Negri bodies dengan pemeriksaan mikroskopis (Seller) dapat negatif pada 10 % - 20 % kasus, terutama pada kasus- kasus yang sempat divaksinasi dan penderita yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu.

16

II.5

Penanganan Luka Gigitan Hewan Menular Rabies

Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air mengalir) dan sabun atau diteregent selama 10-15 menit, kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain-lain). Meskipun pencucian luka menurut keterangan penderita sudah dilakukan namun di Puskesmas Pembantu/Puskesmas/Rumah Sakit harus dilakukan kembali seperti di atas. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila memang perlu sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskuler. Disamping itu harus dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/ vaksin anti tetanus, anti biotik untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik. II.6 Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies

Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) atau disertai Serum Anti Rabies (SAR) harus didasarkan atas tindakan tajam dengan mempertimbangkan hasilhasil penemuan dibawah ini. 1. Anamnesis : y Kontak / jilatan / gigitan y Kejadian didaerah tertular / terancam / bebas y Didahului tindakan provokatif / tidak y Hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies y Hewan yang menggigit hilang, lari dan tidak dapat di tangkap atau dibunuh dan dibuat. y Hewan yang menggigit mati, tapi masih diragukan menderita rabies y Penderita luka gigitan pernah di VAR dan kapan? y Hewan yang menggigit pernah di VAR dan kapan? 2. Pemeriksaan Fisik -Identifikasi luka gigitan (status lokalis). 3. Lain lain y Temuan pada waktu observasi hewan y Hasil pemeriksaan spesimen dari hewan y Petunjuk WHO

17

Bila ada indikasi pengobatan Pasteur, maka terhadap luka resiko rendah diberi VAR saja. Yang termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan dan kaki. Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang termasuk luka berbahaya adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka, kepala, leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam dan luka yang banyak (multipel). Untuk kontak (dengan air liur atau saliva hewan tersangka/hewan rabies atau penderita rabies), tetapi tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak ada kontak, maka tidak PERLU diberikan pengobatan VAR maupun SAR. Sedangkan apabila kontak dengan air luir pada kulit luka yang tidak berbahaya, maka diberikan VAR atau diberikan kombinasi VAR dan SAR apabila kontak dengan air liur pada luka berbahaya. Dosis dengan cara pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies adalah sebagai berikut : I. Dosisi dan Cara Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) 1. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV) Kemasan : Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam syringe. a. Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure Treatment) - Cara pemberian : disuntikkan secara intra muskuler (im) di daerah deltoideus (anakanak di daerah paha). - Dosis

b. Dosis dan cara pemberian VAR bersamaan dengan SAR sesudah digigit (Post Exposure Treatment)

18

- Cara pemberian : sama seperti pada butir 1.a. - Dosis

2. Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV) Kemasan : - Dos berisi 7 vial @ 1 dosis dan 7 ampul pelarut @ 2 ml. - Dos berisi 5 ampul @ 1 dosis intra cutan dan 5 ampul pelarut @ 0,4 ml. a. Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure Treatment) - Cara pemberian : Untuk vaksinasi dasar disuntikkan secara sub cutan (sc) di sekitar daerah pusar. Sedangkan untuk vaksinasi ulang disuntikkan secara intra cutan (ic) di bagaian fleksor lengan bawah . -Dosis:

b. Dosis dan cara pemberian bersamaan dengan SAR sesudah digigit (Post ExposureTreatment) - Cara pemberian : sama seperti pada butir 2.a. - Dosis

19

II.

Dosis dan Cara Pemberian Serum Anti Rabies (SAR)

1. Serum hetorolog (Kuda) - Kemasasn : vial 20 ml (1 ml = 100 IU) - Cara pemberian :Disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan intra maskuler. - Dosis :

2. Serum Momolog Kemasan : vial 2 ml ( 1 ml = 150 IU ) - Cara pemberian : Disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan intra muskuler. - Dosis :

20

III.

Dosis dan Cara Pemberian VAR Untuk pengebalan Sebelum Digigit (Pre Exposure Immunization)

1. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV) Kemasan : Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam syringe. - Cara pemberian (cara I) :Disuntikkan secara intra muskuler (im) di daerah deltoideus. - Dosis :

- Cara pemberian (cara II) :Disuntikkan secara intra cutan ( dibagian fleksor lengan bawah ). - Dosis :

21

2. Suncling Mice Brain Vaccine (SMBV) Kemasan : Dus berisi 7 vial @ 1 dosis dan 7 ampul pelarut @ 2 ml Dus berisi 5 ampul @ 1 dosis intra cutan dan 5 ampul pelarut @ 0,4 ml. - Cara pemberian : Disuntikkan secara intra cutan (ic) di bagian flektor lengan bawah. - Dosis :

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical Care, University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com. 2. De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta 3. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM 4. Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit. 5. Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 6. Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand. 7. Warrell, D.A., 2005. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Office for South-East Asia. World Health House. Indraprastha Estate. New Delhi 110002. India. 8. Warrell, D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes. BMJ 2005; 331:1244-1247 (26 November), doi: 10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com. 9. Departeman Kesehatan Direktorat Jenderal PPM & PL. 2000. Petunjuk perencanaan dan penatalaksanaan kasus gigitan hewan tersangka/rabies di Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan 10. Ditjen Peternakan, Ditjen PPM & PLP, Ditjen PUOD. 1993. Paket Program Pemberantasan Rabies Terpadu se Pulau Jawa dan Kalimantan. 11. Ditjen Peternakan, Ditjen PPM & PLP, Ditjen PUOD. 1993. Paket Program Pemberantasan Rabies Terpadu se Pulau Sumatera dan Sulawesi. 12. Gindo Simanjuntak, Winarno, Cecilia, Timoria, Sitti Ganefa, Toni Wandra, Misriyah, Endang, Bahang and Thomas Ruosos. 1996 . preventiod and Control of Zoonotic New Emerging and Remerging Diseases in Indonesia Symposium on Prevention and Control of Selected Communicable Diseases With Epedemic Potential, SEARO, New Delhi, 3 7 Juni 1996.

23

Anda mungkin juga menyukai