Anda di halaman 1dari 69

blogosphere.dagdigdug.

comTM

blogosphere.dagdigdug.comTM

blogosphere.dagdigdug.comTM

GAYA KOGNITIF_________________________
Kalau dunia sekolah dasar rendah mutunya, maka segala- galanya yang nanti akan dibangun di atasnya, di perguruan menengah maupun tinggi, akan serba goyah dan hancur berpuing- puing.( Yohanes Bilyarta Mangunwijaya)

pa hubungannya Butterfly Effect, Kurva Lorentz,

memetika, dengan budaya komunal sebuah masyarakat ? Dan bagaimana pola budaya komunal, mampu mempengaruhi pola pikir individu yang terlibat di dalamnya, termasuk ke standar sukses/ kurang suksesnya individu tersebut, ketika bersaing di tingkat global ? Bagaimana pula budaya komunal ternyata sangat mempengaruhi tingkat produk domestik bruto, daya beli, hingga indeks daya saing sebuah negara, terhadap negara lain ? Bagaimana pula bisa diketahui, hubungan kesuksesan institusi sekolah mendidik orang, dengan solidaritas kolektif warga negara, dan dengan kemandirian ekonomi sebuah bangsa ? Mungkin, pertanyaan di atas terlihat sok intelek, namun, sesungguhnya, pertanyaan di atas berkaitan dengan pola pendidikan di sekolah dasar, bagian mananya ? Jika dulu ada yang sering mengeluhkan beban berat kurikulum yang harus ditanggung oleh anak usia SD- SMP ( pendidikan dasar), kebijakan pendidikan yang sering berubah setiap kali berganti rezim, atau bentuk penyeragaman kelas, yang nampak membunuh kreativitas, maka efek sampingnya akan terlihat, manakala ada tuntutan untuk menerapkan pengetahuan yang didapat, secara praktis dalam kehidupan seharihari. Investasi mendidik manusia, adalah bentuk investasi jangka panjang, yang baru akan ketahuan bentuk jadinya, setelah satu dekade lebih, yaitu ketika manusia hasil didikan itu, mulai menemukan masalah, berusaha mencari solusi, dan lalu membuat karya- karya kreatif untuk membangun hidupnya. Buat para anak muda penggemar metode revolusi, dalam artian perubahan cepat, dengan satuan harian- bulanan, maka langkah untuk membangun lewat pendidikan, adalah metode yang menjemukan, kurang bersemangat pemuda, dan tidak konkret, karena bentuk jadi dari hasil perubahan, baru bisa dipetik dalam jangka waktu lama ( tahunan). Namun, seperti halnya perbedaan berburu meramu dengan bercocok tanam, maka pendidikan adalah upaya untuk memperadabkan manusia, memanusiakan manusia, dan prosesnya pun, mengikuti pola natural manusia untuk belajar. Apa pentingnya penguasaan dasar logika matematika, dan bahasa di pendidikan dasar ? Tanpa berusaha menghakimi tingkat kepintaran anak satu dibandingkan dengan anak lain, maka keduanya adalah alat bantu untuk menunjang hidupnya di masa yang akan datang. Logika skolastik, yang menjadi dasar berpikir matematis, sangat membantu untuk memetakan masalah, memodelkan solusi, dan lalu melakukan kalkulasi dalam proses transaksi, atau membuat kreasi- kreasi baru. Logika linguistik, sangat membantu untuk mendefinisikan masalah, memahami budaya, dan lalu mempelajari pengetahuan yang berbasis bahasa dipelajari. Jikalaupun Anda sekarang mahir menghitung, berdebat

blogosphere.dagdigdug.comTM
sambil tetap waspada dengan kesalahan berlogika, membuat pemodelan, berbahasa lebih dari satu jenis, maka kemampuan- kemampuan itu, basisnya dimulai semenjak pendidikan dasar, SD- SMP. Yang menjadi bahan kekhawatiran adalah, manakala anak didik, bahkan sudah setingkat mahasiswa, lebih takut tidak lulus ujian, daripada takut tidak paham dengan sebuah formula, karena kemungkinan tidak akan bisa digunakan dalam kehidupannya. Karena bagaimanapun, belajar matematika, bahasa, sains, ilmu sosial, itu adalah untuk memudahkan hidupnya ke depan, dan bukan karena takut tidak lulus ujian guru atau dosen. Jikalaulah ingin melihat sejarah, maka Geertz pernah bilang, bahwa salah satu kerugian besar Indonesia pernah dijajah Belanda, adalah pada persoalan bahasa. Lho kenapa ? Karena berarti bahasa induk, yang digunakan saat Hindia Belanda masih ada, adalah Bahasa Belanda, sedangkan kita ketahui, bahwa arus kecepatan pengembangan pengetahuan dasar ke teknik, teknik ke ekonomi, di Belanda sendiri, tidaklah secepat Inggris dan Jerman, saat itu. Bahasa memungkinkan kita untuk bisa mengakses ke pengetahuan dan pemikiran, yang menjadi manifestasi dari bahasa tersebut. Bahasa Inggris digunakan sebagai pengantar untuk banyak sekali buku teks, dari Eropa Barat, dan Amerika Utara, yang ini berarti, kemampuan dasar bahasa, adalah metode untuk mengakses pengetahuan dari budaya yang menggunakan bahasa tersebut. Kemampuan untuk menggunakan sebuah bahasa baru, seringkali karena kebiasaan, bukan hanya kebisaan, belajar bahasa itu bisa karena biasa. Pendidikan dasar, juga mengakomodasi untuk gaya kognitif ( metode berpikir) yang divergen. Apa itu divergen ? Divergen: berpengetahuan luas, sedangkan Konvergen kalau diistilahkan bahasa kita : berpengetahuan dalam. Orang divergen tahu sedikit dalam satu bidang tapi banyak tahu di berbagai bidang. Orang konvergen tahu banyak tentang satu bidang tapi sedikit tahu di bidang lainnya. Masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Untuk pertanyaan yang sangat spesifik, seperti: apa rumus untuk menghitung jumlah bubuk kopi berdasarkan sifat termodinamika dan hidrodinamika dalam kopi susu dengan proporsi sekian-sekian (fisika). Maka orang konvergen akan langsung dengan cepat menikmati penghitungan, sedangkan orang divergen bengong.Sebaliknya, ketika pertanyaannya multi disiplin, misalnya : bagaimana perilaku simpanse yang tinggal di Pulau Bulu Naga bila berada dalam cuaca panas dimana kadar oksigen sesuai dengan kondisi bumi rata-rata (biologi + geografi + fisika + kimia). Orang divergen mungkin langsung mendemonstrasikannya, orang konvergen basah kuyup, kebingungan. Nah, dari tulisan di atas pun terlihat, sekarang banyak yang mengeluhkan tema tayangan sinetron, yang seolah meremehkan kecerdasan penonton, atau sinema layar lebar, cenderung memicu prostat*, namun anehnya, produsen tetap memproduksi, artinya, ada permintaan kan ? Dan kalau dikeluhkan bahwa presiden kita sekarang, suka dengan pencitraan, maka, pernyataan itu kembali ke kita secara kolektif, bahwa warga negara secara dominan memang menyukai tampilan subjek yang nampak sempurna, ganteng, kharismatis, tanpa melihat ke karya, atau objek yang pernah dilakukan oleh objek tersebut. Sekali lagi, sedikit banyak, itu berhubungan dengan hasil dari pendidikan dasar. Sekarang, gaung tentang wirausaha digiatkan di media, oleh beberapa pakar. Mereka bilang, golongan menengah di Indonesia, akan menjadi salah satu yang terbesar di dunia, dan mereka harus diarahkan untuk wirausaha, katanya. Namun, membangun mental wirausaha tidaklah bisa instant, hasilnya pun tidak akan paripurna. Kenapa ? Karena kemampuan itu dibentuk awal mulanya dari pola pikir kemandirian, dan menghargai proses, belum lagi kemampuan membangun tim kerja yang solid ( jika terjun ke sektor riil), dan itu butuh waktu lama, namun kalau dimulainya dari pendidikan dasar, maka peluangnya akan semakin besar, bagi siswa untuk menerapkan pengetahuan, sambil bisa memperdagangkan hasil karya dari pengetahuannya. Yah, itu saja sih, sekedar mengingatkan, dimana pentingnya membangun pendidikan, yang terasa menjemukan itu. hidupnya.
Written by Maximillian Posted in rational

blogosphere.dagdigdug.comTM

Apocalypto________________________________
What information consumes is rather obvious: it consumes the attention of its recipients. Hence a wealth of information creates a poverty of attention, and a need to allocate that attention efficiently among the overabundance of information sources that might consume it. (Herbert Simon, Computers, Communications and the Public Interest, pages 40-41)

oal distribusi ekonomi, itu tugas pemerintah

pastinya, karena perut kosong dan otak tumpul, memicu sikap beringas memang. Pertahanan keamanan sebuah peradaban atau negara, batas awal dan akhirnya, adalah di benak masing- masing pemerintah dan warga negaranya. Lebih mudah meruntuhkan moral warga, daripada mengirim serdadu untuk membunuhi satu demi satu, belum lagi menghadapi perlawanan dari warga, yang pasti tidak akan semudah itu menyerahkan nyawa. Meruntuhkan atau membangun moral, butuh media untuk distribusi informasi. Karena informasi melakukan konstruksi sekaligus pengacakan konsentrasi fokus. Media sangat efektif untuk membangun data smog, semacam tumpukan data yang kelihatan informatif, namun justru mengurangi jam produktivitas penerima, berikut tidak menambah kualita hidup, malah menambah depresi, karena membingungkan. Ben Anderson pernah bilang, para orang tua ( muslim) di Indonesia kebingungan untuk mewariskan pemahaman tentang tata nilai agama, ke generasi yang di bawahnya, anak- anaknya. Tata nilai yang lemah ini rawan untuk diserang oleh informasi dari luar, yang melemahkan identitas diri, dan ujungnya adalah melenyapkan daya seleksi individu, untuk memilih mana yang benar dan mana yang salah. Dalam sisi pandang ekonomi, pemikiran yang lemah tata nilai ini, adalah sasaran empuk untuk dijadikan konsumen yang loyal, kenapa ? Karena mereka butuh identitas, lokus psikologis eksternal, dimana identitas diri dibentukkan lewat komoditas yang dimiliki dan afeksi/ apresiasi orang lain. Perbanyak iklan dan informasi yang menjual impian, sambil menawarkan barang- barang konsumtif, yang seolah menjadi identitas diri dan pengalaman hidup. Tanpa sadar, bahwa barang tersebut sama sekali tidak menambah daya produktivitas si pemakainya. Dalam sisi pandang politik, pemikiran yang lemah identitas tata nilai ini, adalah sasaran empuk menjadi basis pemicu konflik. Karena pemahaman yang dibangun sekedar simbolik emosional, atas dasar rasa beriman, dan persaudaraan sesama penganut agama. Bentuk pemahaman model begini, sangatlah rapuh untuk diserang, dan cenderung gampang tersinggung. Berikut suka mencari pembenaran untuk menyeragamkan simbol, yang sebenarnya itu jauh sekali dari substansi iman. Toleransi dalam sebuah komunitas, yang komponennya terdiri dari variasi ragam kelas sosial, dengan tata nilai yang berpotensi konflik, antar masing- masing kelas sosial, harus dibangun atas dasar kepahaman, bukan pemaksaan bahwa kita semua sama. Toleransi yang dibangun atas ketidakpahaman, seperti api dalam sekam, tinggal menunggu konflik dimunculkan oleh pihak yang ingin konflik ada, apapun motifnya. Proses saling mempelajari ini

blogosphere.dagdigdug.comTM
berarti membuka informasi, di dalamnya akan terjadi konflik- konflik kecil, yang bisa meragukan keyakinan atas iman yang sudah dibentuk sebelumnya. Tetapi seberapa kuat iman, harus diuji bukan ? Imunitas yang dibentuk lewat ketahanan atas konflik, jauh lebih bermakna dibanding sterilisitas, yang kelihatan kuat di luar, tapi rapuh di dalamnya. Yah, tulisan ini hanya sekedar mengingatkan, untuk tetap melindungi diri sendiri, keluarga inti, saudara dekat, tetangga, dan lingkungan kita, dari pihak yang kita tidak tahu apa kepentingannya, sampai menimbulkan konflik di masyarakat kita. Komitmen bermasyarakat jelas butuh yang namanya rasa percaya, dan rasa percaya adalah modal sosial yang harus dipupuk antar generasi, lintas kelas sosial. Sambil memupuk rasa percaya, yang namanya rasa waspada juga tidak boleh dihilangkan, bagaimanapun juga. Dengan berjibunnya informasi seperti sekarang, maka pertahanan diri itu ada di pikiran kita masing- masing, camkan itu baik- baik.
Written by Maximillian Posted in rational

ROMANSA KOPI__________________________
Coffee should be black as hell, strong as death, and sweet as love. ( Peribahasa Turki) Apakah Paduka mengenali aroma rokok ini? Paduka, aroma inilah yang menyebabkan bangsa paduka mengarungi lautan 400 tahun yang lalu dan menjajah tanah kami ( Haji Agus Salim, menteri luar negeri RI, mencairkan kebekuan sikap Pangeran Philip, Duke of Edinburg, suami Ratu Elizabeth 2,pada sebuah jamuan kenegaraan)

ecangkir kopi dan selinting sigaret, kombinasi

kompak kawan meronda, berpikir tengah malam, atau diskusi bersama sobat, apapun topiknya.Lebih nikmat lagi, manakala sambil menyesap, kita mencoba menelaah sejarah biji legam penuh kenikmatan itu, bagaimana bisa tumbuh di tanah kepulauan Indonesia, sampai kita teguk di hadapan kita, sekarang. Asal tahu saja, tidak banyak anak muda yang sadar, bahwa jalan raya pantura ( Pantai Utara Jawa), tulang punggung transportasi darat Pulau Jawa itu, menyimpan sejarah penuh darah dan air mata kakek- kakek kita, yang dipaksa bekerja, membangun jalur sepanjang lebih dari 1000 km, dari Anyer hingga Panarukan, dibawah instruksi Herman Willem Daendels. Pram menyebutnya genosida, setidaknya 12,000 kakek- kakek kita tewas binasa, untuk membangun Jalan Pos, yang sekarang masih kita nikmati sebagai jalan utama.Menyelami sejarah, membuat kita akan menghargai kehidupan manusia, sambil membangun masa depan tanpa kehilangan identitas.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Kembali ke kopi, biji legam ini bukanlah tanaman asli Indonesia, masih ingat VOC ? Perusahaan multinasional( MNC)pertama di dunia itulah ( 1602 M), yang menggagas penanaman kopi di kepulauan nusantara. Tahun 1699 adalah pengiriman kedua bibit kopi ke Pulau Jawa,pertama ditanam di Sukabumi dan Bogor.1711, VOC mulai pertama kalinya mengekspor kopi ke Eropa daratan, 1 dasawarsa kuantitasnya di angka 60 ton/ tahun. Nusantara, adalah tempat pertama di dunia, di luar Arabia dan Ethiopia, biji kopi ditumbuhkembangkan, bangga bukan ? VOC ini memonopoli perdagangan global kopi dari kepulauan nusantara, dari 1725- 1780. Pada awalnya, valuasi biji kopi ini, bernilai 3 gulden/ kg di Amsterdam. Pendapatan perkapita di Belanda waktu itu, sekitar 200- 400 gulden, atau ekuivalen dengan beberapa ratus dolar AS/ kg kopi, hari ini. Harga biji kopi turun hingga 0,6 gulden/ kg di awal abad 18, konsumsinya pun meluas ke kalangan umum. Biji legam nikmat ini, menyumbang pendapatan terbesar ke VOC, selain komoditas lain. Ekspansi pertanian kopi pun dilanjutkan ke Sulawesi (1750), dataran tinggi Sumatera, dekat Danau Toba (1888), Gayo ( 1924). Bahkan setelah VOC bangkrut di 1799, dan liberalisasi perdagangan dibuka oleh Kerajaan Belanda, perdagangan kopi terus berlanjut, terus semakin membesar valuasinya. Pada satu masa, pernah kontribusi dari perdagangan komoditas kopi dari wilayah Hindia Belanda, menyumbang sampai 30% dari GDP Kerajaan Belanda.Dan, sobat, jangan bertanya kondisi kakek- kakek kita waktu itu, buat para petani kopinya, harga beli kopi yang ditetapkan sangat rendah, bayangkanlah saja di benak Anda. 1860, Douwes Dekker menuliskannya di buku Max Havelaar and The Coffee Auctions of The Dutch Trading Company, yang dengan buku itu, membelalakkan publik di Kerajaan Belanda, betapa tragis nasib yang dihadapi penduduk pribumi nusantara, dan betapa biadab kebijakan kolonial Kerajaan Belanda di Hindia Belanda, sungguh bertolak belakang dengan budaya masyarakat Belanda, yang cenderung egaliter dan terbuka, sekaligus permisif, relatif jika dibandingkan dengan budaya masyarakat Britania, Jerman, dan Perancis, kala itu. 1876, terjadi epidemi yang merusak pertanian kopi di Pulau Jawa, menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda mengganti varietas Arabika, dengan Robusta, untuk kawasan rendah, pada 1900 di area perkebunan kopi Jawa Timur. Indonesia sekarang, tanah yang kita injak ini, adalah penghasil biji kopi terbesar keempat di Planet Bumi. Setelah Brazil ( 2,249,010 ton/ tahun), Vietnam ( 961,200 ton/ tahun), dan Kolombia ( 697,377 ton/ tahun). Saya tidak ingin membahas lebih dalam lagi, siapa saja pemain utama kopi di Indonesia, kemana pendapatan perdagangan kopi itu mengalir, dan berapa yang dikantongi oleh rakyat Indonesia, mungkin lain kesempatan. Hanya, ingin kembali meresapi kopi, sambil mengingat- ingat romantika heroik, seringkali tragis dan penuh darah, tentang jatuh bangunnya negara bernama Indonesia, dengan sejarah kopi ikut terlibat di dalamnya. Atau justru karena biji hitam legam inilah, manusia- manusia Belanda, mengakrabi dan berkenalan dengan manusia- manusia di Kepulauan Nusantara, untuk lalu terlibat terlalu dalam, dan mungkin, kalau mereka tidak datang ke sini, kita masih berbentuk kerajaan kecil yang perang satu sama lain. Kopi di Indonesia banyak jenisnya, ada Kopi Mandheling ( Mandailing), Kopi Gayo, Kopi Jawa, Kopi Lampung, Kopi Bali, Kopi Toraja, lalu yang paling unik dari tahi Luwak, Kopi Luwak. Begitu juga lingkaran sosial etnisitas dan suku di masing- masing pulau di Indonesia, lingkaran sosial ini masing- masing punya budaya khas, adat, dan tata aturan, sama seperti kekhasan rasa kopinya Dulu, prioritas Rezim Orde Baru adalah stabilitas, yang terkadang dipaksakan, sehingga kita membangun toleransi atas ketidakpahaman. Sekarang, semua sudah terbuka, dan kita terbelalak, betapa sungguh beragamnya kita. Yah, proses adaptasi dengan konflik berkelahi sesekali mungkin wajar, tapi kalau kelamaan nggak asyik juga, bikin capek hati.
Written by Maximillian Posted in soul Tagged with ekonomi mikro, komoditas, kopi, makroekonomi, politik kopi, voc

blogosphere.dagdigdug.comTM

MANGUN KARSO_________________________
Ing Ngarso Sung Tuladha; Ing Madya Mangun Karso; Tut Wuri Handayani / Di depan menjadi teladan; ditengah membangun kemauan; di belakang memberi dorongan ( Ki Hadjar DewantoroSoewardi Soeryaningrat-, Pendiri Taman Siswa, Menteri Pendidikan 1 RI)

ada mulanya manusia menemukan cara menghasilkan api,

mengubur mayat, membangun rumah, mengolah makanan,membuat roda, hingga membangun kelompok, sejarah belumlah ditulis, kenapa ? Karena dari tulisanlah sejarah manusia dibuat.Komunikasi oral sebagai alat paling purba untuk menyampaikan pesan, mulai berevolusi, seiring semakin kompleknya masyarakat manusia, ke model yang lebih maju, yaitu komunikasi literal dalam bentuk teks dan simbol, yang untuk menghasilkan model ini, dibutuhkan usaha yang lebih keras, proses berpikir canggih, berikut sarana yang harus dibangun sebelumnya ( huruf, kata, media). Literasi biasanya dipahami sebagai kemampuan membaca dan menulis. Pengertian itu berkembang menjadi konsep literasi fungsional, yaitu literasi yang terkait dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup.Konsep maupun praksis literasi fungsional baru dikembangkan pada dasawarsa 1960-an .Literasi dipahami sebagai seperangkat kemampuan mengolah informasi, jauh di atas kemampuan mengurai dan memahami bahan bacaan sekolah. Melalui pemahaman ini, literasi tidak hanya membaca dan menulis, tetapi juga mencakup bidang lain, seperti matematika, sains, sosial, lingkungan, keuangan, bahkan moral (moral literacy). Tiga penelitian terakhir dari PISA ( Programme for International Student Assessment) (2000, 2003, 2006) menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak Indonesia usia 15 tahunusia akhir wajib belajar 9 tahundalam tiga macam literasi, yaitu kemampuan membaca (reading literacy), kemampuan menerapkan matematika untuk kehidupan praktis (mathematical literacy), serta kemampuan memakai sains dalam keterampilan hidup sehari-hari (scientific literacy), berada pada level 1. Ini berarti, anak-anak itu baru mampu menangkap satu dua tema dari sebuah bacaan dan belum bisa memakai teks bacaan untuk kepentingan yang lebih dalam, mengembangkan pengetahuan atau mengasah keterampilan. Lalu, kenapa soal pola komunikasi bisa ditembak ke urusan pendidikan nasional ? Ya, karena sebenarnya, dalam tinjauan genetis, kemampuan otak warga negara Indonesia tidaklah kalah dibanding warga negara lain yang lebih maju secara pencapaian ekonomi, militer, teknologi, maupun budayanya. Sedangkan sekarang, pengetahuan sudah sebegitu kompleksnya terlembagakan dan begitu besar kendali pemerintah negara di dalamnya. Yang artinya, jajaran pengendali birokrasi pendidikan harus paham, bahwa peradaban Indonesia ini, besar kemungkinan semakin beradab atau justru biadabnya, dipengaruhi oleh pengetahuan dan model didikan di sekolah, karena angka partisipasi pendidikan dasar kita tinggi, 96.1% (7-12 tahun), 79,21% ( 13- 15 tahun), 49,76% ( 16- 18 tahun). Saat ini, saya personal masih memandang bahwa gelar akademik malah diselewengkan menjadi identitas sosial, semacam kasta jenis baru gitu, bikin gelilah pokoknya. Sebenarnya, fundamental dasar peradaban itu, ada di kualitas pendidikan dasar, bukan pendidikan tinggi. Berbicara ekstrem agar jelas, dapat dikatakan bahwa universitas boleh

blogosphere.dagdigdug.comTM
bermutu rendah atau bobrok, akan tetapi sekolah, atau lebih tepatnya pendidikan dasar jangan ! Kalau dunia sekolah dasar rendah mutunya, maka segala- galanya yang nanti akan dibangun di atasnya, di perguruan menengah maupun tinggi, akan serba goyah dan hancur berpuing- puing. Kelihatan sebenarnya bagaimana menguji hasil dari pendidikan dasar di kita, yaitu dari reaksi penilaian dan urutan berpikir logis dan bercita rasa dari kalangan terpelajar muda pun, ternyatalah betapa sulitnya para pemuda kita diajak untuk berpikir sistematis, apalagi mengungkapkannya dalam bahasa yang teratur dan komunikatif lagi bertanggung jawab. Sedari SD, siswa dibudayakan untuk naik kelas berdasar hasil ujian, bukan penampakan tampilannya, yang itu berarti siswa diajari berpikir objektif, terfokus pada objek (benda)nya, bukan ke subjek(pelaku)nya. Namun, kalau di forum publik coba lihat, kebiasaan ad hominem ( menembak langsung jati diri pelaku), menuduh kepercayaan yang diyakini pelaku ( praduga bersalah), atau aktivitas narsisisme tanpa konten yang orisinil, karena tergesa ingin dikenal atau dipuji, bertebaran di mana- mana, dari ranah nyata ke ranah maya. Lalu, kenapa petuah Ki Hadjar saya sampaikan di awal ? Karena manusia- manusia hasil pendidikan dasar inilah, yang akan membangun peradaban Indonesia sekarang dan nanti. Mereka yang akan menjadi PNS, industrialis, jenderal, birokrat, guru, presiden, bahkan sopir angkot dan tukang becak, adalah produk dari pendidikan dasar juga ! Mangun karso, artinya membangun kemauan, itulah yang salah satu yang menjadi dasar eksistensi lembaga formal bernama sekolah, beserta para pendidik yang ada di dalamnya. Kemauan untuk berprestasi, berkarya, belajar, berkomunikasi, berbagi, dan segala sesuatu yang memang beradab Adapun kemampuan literasi, saya ulang lagi, seperangkat kemampuan mengolah informasi, jauh di atas kemampuan mengurai dan memahami bahan bacaan sekolah, mencakup bidang bahasa, matematika, sains, sosial, lingkungan, keuangan, bahkan moral (moral literacy).Akan menjadi daya dukung atas kemauan atau karso yang sudah ada di benak siswa. Saya yakin setiap anak usia SD, atau SMP, punya keluguan- keluguan sederhana, dan mereka harus diberikan semangat untuk membangun kemauan tadi, sambil berusaha untuk akrab dengan mata pelajaran. Lalu, kenapa saya tidak ingin menyalahkan siapapun, bahkan termasuk birokrat pendidikan ? Karena saya kenal beberapa manusia di dalamnya juga sedang berusaha keras memperbaiki diri, di tengah ketidakpastian budaya yang menghambat kinerja. Saya hanya ingin berbagi ke sesama warga negara, bahwa akan lebih baik dan optimal hasilnya, jika kita mau membangun kemauan anak, keponakan, atau sepupu, sedari usia dini, dan jangan pernah berhenti. Sekarang pengetahuan dan informasi bertebaran dimana- mana, namun kalau manusianya tidak punya kemauan, semua hal tadi hanya akan jadi sampah, dan kita terus menerus jadi konsumen barang- barang baru yang nampak trendi dan modern tadi. Sama sekali tidak membuat manusia Indonesia menjadi lebih beradab, karena kembali ke awal lagi, manusia yang tidak punya kemauan, tidak akan pernah berusaha bergerak untuk mencapainya, bahkan akan selalu terombang- ambing gelombang kemauan- kemauan manusia lain. Mari berkarya, Sobat.
Written by Maximillian Posted in rational Tagged with indeks literasi, kemauan, ki hajar dewantara, literasi, literasi fungsional, motivasi, pendidikan

Menemukan Dewa Ruci_____________________


Ledakan ekonomi dalam suatu negara dimulai dari aktivitas ekonomi yang berbasis pada budaya masyarakatnya ( Satjipto Rahardjo, Prof )

blogosphere.dagdigdug.comTM

eknologi tidaklah pernah berdiri sendiri. Dalam

satuan teori, bisalah beberapa pihak mengklaim bahwa teknologi itu netral, namun dengan keadaan sekompleks saat ini, teknologi, dan saudaranya sains (teori maupun terapan), akan selalu bergandengan tangan dengan bisnis ( ekonomi- makroekonomi). Jika mau meneliti lebih dalam lagi, maka teknologi, sains, dan bisnis, akan terhubung dengan substrat terdalam sebuah populasi manusia, yaitu budaya khas komunitas. Sains teori dan terapan, menjadi komponen penyusun utama teknologi mutakhir, berkolaborasi dengan kapital, berbuah lembaga interdisiplin yang disebut dengan perusahaan, yang berkembang membesar menjadi industri. Industri berevolusi membesar, yang bahkan bisa mencaplok institusi bernama negara, seperti halnya VOC, perusahaan multinasional pertama di planet bumi, yang kerapkali kita sebut sebagai kompeni, pelunakan dari idiom company alias perusahaan. Kita sudah mengalami sendiri, bahwa teknologi, sains, ekonomi, adalah alat budaya, atau pendeknya : alat produksi politis. Ilmuwan, teknokrat, atau industriawan, tidaklah bisa murni bebas nilai, dan lalu lantas menutup mata, akan selalu ada konflik dalam benaknya, karena memang ketiganya adalah alat budaya massa, yang sangat efektif untuk perluasan pasar. Ahli fisika nuklir Cina, yang juga nobelis di bidang Fisika, Tsing Dao Lee, pada awal perkenalannya dengan fisika modern, ternyata harus mengalami pergulatan pemikiran yang amat hebat, untuk bisa beradaptasi dalam substruktur ala pemikiran Eropa Barat, terutama dalam sudut pandang terhadap materi, yang menjadi inti kajian utama bidangnya : fisika modern.Dalam kepercayaan transenden, dan filsafat kembangan budaya tradisi Cina, tidak pernah memandang dunia realitas fenomena sebagai objek yang berharga, semua adalah fana. Bahkan, segala hal yang empiris, adalah maya, semu, tidak sejati, tipuan, serta godaan penjerumusan kesejatian diri. Konflik yang frontal bukan ? Dengan kerangka pemikiran kesarjanaan barat, yang dibentukkan untuk berkarakter empiris, rasional ( terukur), dan simplifikatif. Kita tidak bisa, dan justru tidak boleh abai, jika memang berkeinginan untuk membentuk jati diri yang utuh. Kajian terapan teknologi, sains, bisnis, tidak bisa dipisahkan dengan urusan budaya dan politik. Mengenali dan membentuk diri, dengan tradisi lokal khas, adalah mutlak, tanpa harus menjadi xenofobia, dengan menganggap bahwa segala hal yang asing adalah musuh. Menganggap bahwa segala produk teknologi adalah bebas nilai, juga tidak tepat, karena Asia Tenggara, adalah pasar potensial, yang selalu menjadi sasaran pemasaran produk terbaru, dari produsen Asia timur jauh, Eropa barat utara, dan Amerika utara. Tak peduli dengan fungsionalitas, dengan alasan gaya hidup yang techie namun dangkal pemikiran, seringkali produk teknologi tinggi, yang seharusnya menjadi alat penunjang produktivitas, dan profitabilitas tentunya, malah oksimoron, menjadi sumber pemborosan waktu, asesoris tidak penting, serta objek pengurang produktivitas. Dalam hubungannya dengan makroekonomi, konsumtivitas yang cuma sekedar asesoris, dan tidak menunjang produktivitas, juga tidak sinergis dengan upaya untuk meningkatkan devisa negara. Saya tidak mengetahui angka pastinya, sebenarnya seberapa besar upaya untuk membangun karakter nasion Indonesia, berikut upaya lain, untuk melakukan adaptasi,pencurian metode, dan lalu kolaborasi efektif- efisien antara manusia yang berkecimpung di sains, teknologi, dan bisnis, buat mendistribusikan kesejahteraan, lalu membangun kemandirian yang lebih kokoh. Dulu, Habibie pernah bercita semacam itu, tapi entah bagaimana keadaannya sekarang, walaupun langkahnya kontroversial dan menimbulkan banyak efek kejut, yang luluh lantak setelah Orde Baru meninggal, setidaknya ada langkah jelas. Hampir satu dekade yang lalu, Deklarasi Milenium yang ditandatangani, mulai dari peningkatan bantuan bilateral dan multilateral sampai penanaman tumbuhan jenis polongpolongan yang mengikat nitrogen untuk menambah kesuburan tanah; antiretroviral untuk AIDS; dari telepon seluler untuk memperbarui informasi pasar sampai perencanaan kesehatan dan pemanfaatan air hujan. Proyek MDGs mengusulkan 449 langkah untuk mencapai 18 target dari delapan tujuan MDGs.Membantu orang miskin itu mudah, begitu diyakini para ekonom dan pemimpin. Obat untuk mengurangi separuh kematian akibat malaria hanya 12 sen

blogosphere.dagdigdug.comTM
dollar AS per orang, kelambu hanya 4 dollar AS, dan mencegah kematian anak dan anak balita selama 10 tahun hanya membutuhkan tambahan 3 dollar bagi setiap ibu yang melahirkan anak pertama. David Sogge, dari Transnational Institute menyatakan, tak ada bantuan tulus karena tak pernah ada makan siang gratis dalam fundamentalisme pasar yang terus dipromosikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF). Sejak 1990an, aliran global, setelah diperhitungkan dengan bantuan luar negeri, bantuan investasi asing langsung (FDI) dan remiten, justru mengalir dari yang miskin kepada yang kaya. Mungkin ini terdengar klise, tapi memang untuk membangun kesadaran kritis, dari urusan sudut pandang, sampai ke implementasi lapangan, hingga urusan aplikasinya ke aktivitas ekonomi, tentunya butuh waktu antar generasi dan usaha yang tidak mudah. Urusannya pun, jadi bukan hanya urusan pemerintah negara, karena fungsi pemerintah adalah semata administratur dan koordinator. Urusan semacam ini, jadi urusan kolektif warga negara, karena jadinya membangun budaya. Menjadi penting bagi pemerintah negara, untuk menegaskan kembali, fungsionalitas pendidikan dasar, untuk membangun generasi yang berbudaya, dan bisa menggunakan budayanya, untuk menyerap sains- teknologi, demi kepentingan lokal juga, bukan malahan menjadi pasar, tanpa ada usaha sama sekali untuk melakukan imbal balik berprofit.Jikalaupun sekarang, ada beberapa pihak yang berkoar ingin menanamkan jiwa kewirausahaan di pendidikan formal, maka itu dimulainya di pendidikan dasar, bukan pendidikan tinggi, karena sudah terlambat, walaupun tidak salah jika mau dimulai sekarang juga.Urusan kewirausahaan, juga bukan cuma urusan penyerapan tenaga kerja, karena urusan mengelola kapital dan memvaluasi aset, adalah urusan yang efeknya jauh lebih besar, yaitu membangun industri dari nol, dengan aset yang semula hanya berupa ide dan pengetahuan. Pendewasaan satu orang saja, prosesnya bukan main rumitnya, terkadang beberapa manusia sudah berusia tua pun, nampak tidak menunjukkan kedewasaan sama sekali. Sekarang, untuk membangun kedewasaan satu negeri, yang seluas jarak London sampai Moskwa, Stockholm sampai Roma,dengan 231 juta jiwa, yang tersebar di 17,504 pulau, wow ! Ini tantangan yang luar biasa, belum lagi ancaman disintegrasi, yang suka jadi alat politik sesaat, para elit yang kekanak-kanakan. Kalau boleh saya menilik ke kisah Bima muda, Bratasena, yang mencari makna hidup,proses untuk bertemu Dewa Ruci yang begitu beratnya, dia mengajarkan kebijakan untuk menghadapi kenyataan hidup, berikut nasehat untuk tidak lelah mencari kebenaran, dalam kendali hati yang tunduk pada Tuhan, untuk menunjukkan jalan. Ini sebagai perimbangan, dari ideologi Faust, yang menjadi sumber energi tersirat, dari upaya pencarian kebenaran tanpa henti ala budaya Eropa barat, yang bahkan sampai terkesan menantang Sang Pencipta, yang dalam semesta mereka, Tuhan terkesan menyembunyikan api pengetahuan, untuk kemudian direbut oleh para ilmuwan dan teknokrat, yang juga anak keturunan Prometheus, si pencuri api kebijakan dewa. Bratasena yang egaliter, dan tidak pernah menaruh takut, bahkan terhadap dewa sekalipun, tetap mencari kebenaran, tanpa harus menubrukkan dengan urusan keTuhanan, apalagi dengan upaya hipotesis prematur, yang mengkhianati metode pencarian kebenaran itu sendiri. Apapun itu, ini hanya upaya kecil, supaya kita paham, bahwa setiap produk, apapun muatan kompleksitas tingkat teknologi yang dimuat, selalu mengandung budaya muatan, dari produsen, untuk diterimakan kepada konsumen. Dalam tahapan yang lebih abstraknya, perluasan budaya, adalah perluasan pasar, untuk urusan ekonomi produsen. Maka, jika ingin membalas, maka produksilah sendiri makna- makna baru, dari hasil renungan kita sendiri, buatlah massal, gunakan sains dan teknologi sebagai alat, dan perluas pasar, maka budaya kita, juga akan bisa dikonsumsi oleh konsumen dari komunitas bangsa lain, kuncinya diawali dari kesadaran diri.
Written by Maximillian Posted in soul Tagged with bratasena, budaya, dewa ruci, ekonomi, pengetahuan, sains,teknologi komoditas

blogosphere.dagdigdug.comTM

Teknologi Wadehel_________________________
Kemerdekaan Bangsa Indonesia hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih luhur, yaitu kemerdekaan manusia- manusia Indonesia ( Sutan Sjahrir, Perdana Menteri I Republik Indonesia)

ika mau jujur, siapakah diantara kita ini sebetulnya

bukan Indo atau Indisch juga ? Apakah kita dapat menjamin, dan dapat membuktikan tidak tercampuri 1 cc darah Arab, misalnya, atau 10 mg darah India, Cina, Portugis, Belanda, Jepang ? Apalagi di kalangan kaum ningrat, yang istananya diperkaya selir- selir upeti atau tanda persahabatan dari Jambi, Brunei, Cina, Jawa, Batak, Belanda, Jerman ? Seperti bahasa, dengan gramatika dan idiomnya, sistem negara nasional adalah perkara yang berkembang historis, dimana nalar dan perhitungan ikut ambil bagian juga, tetapi ramuan unsur emosi, paksaan para adikuasa, kepentingan ekonomi,vested interest, agama, dan sebagainya, sangat berperan Nasionalisme memang bibit sekawitnya sebagian terbesar adalah soal emosi, setidak- tidaknya bukan sesuatu yang tumbuh karena rasionalitas melulu, apalagi ilmiah. Namun, bukan berarti tanpa logika. Kalau dipikir, apa alasan Irian ikut RI dan bukan Papua Nugini ? Lalu Swiss, yang terdiri dari tiga bangsa; Frangkofonik, Jermanik, dan Italianik ? Juga Belgia yang penduduknya terdiri dari dua nasionalisme sebetulnya, Kaum Walonia yang berafiliasi pada Budaya Perancis, dan Vlaam, yang mengacu pada tata hidup, dan Bahasa Belanda ? Namun, memandang gejala nasionalisme hanya selaku hal yang mengada- ada belaka, berarti kurang memahami proses sejarah dan evolusi. Manusia adalah makhluk yang ada plus mengadakan plus mengada-adakan. Orang eropa pun, butuh proses seribu tahun untuk memulai suatu kesadaran baru tentang kesatuan eropa. Padahal, negeri kita seluas jarak London sampai Moskwa, Stockholm sampai Roma, dan sebagian terbesar terdiri dari lautan serta selat- selat, dengan segala akibat cita rasa manusia pulau yang selalu cenderung untuk menafsirkan, Betapa pulauku selalu yang paling hebat, sedangkan pulau lain adalah musuh, paling sedikit saingan. Enam puluh tahun kita berdiskusi tentang usaha melek huruf bagi kaum terbelakang yang belum dapat membaca dan menulis dengan huruf latin, namun diam- diam, kita masuk ke dunia zaman baru, dengan orang buta huruf jenis baru, bahasa, sains, dan teknologi. Anak- anak kita diam- diam sedang diculik oleh suatu revolusi besar, masuk ke dalam era budaya pasca Indonesia. Namun, ternyata salah satu masalah sosial budaya yang sangat rawan dan rupa- rupanya menuju ke jurang ialah dunia persekolahan kita. Ini kita catat tanpa menyalahkan para guru, karena mereka hanya menjalankan politik pendidikan dan pengajaran.Khususnya di jajaran sekolah dasar, karena disinilah dasar dari segala struktur persekolahan di atasnya, maka harus dibangun secara bagus dan berkualitas tinggi. Berbicara ekstrem agar jelas, dapat dikatakan bahwa universitas boleh bermutu rendah atau bobrok, akan tetapi sekolah, atau lebih tepatnya pendidikan dasar jangan ! Kalau dunia sekolah dasar rendah mutunya, maka segala- galanya yang nanti akan dibangun di atasnya, di perguruan menengah maupun tinggi, akan serba goyah dan hancur berpuing- puing. Dari reaksi penilaian dan urutan berpikir logis dan bercita rasa dari kalangan terpelajar muda pun, ternyatalah betapa sulitnya para pemuda kita diajak untuk berpikir sistematis, apalagi mengungkapkannya dalam bahasa yang teratur

blogosphere.dagdigdug.comTM
dan komunikatif lagi bertanggung jawab. Tentu saja terkecuali the happy few yang berkesempatan memperoleh sekolah favorit bermutu atau yang sempat belajar berpikir di luar negeri. Di kalangan pembesar, dan yang tergolong eselon tinggi sekalipun, kita melihat betapa daya pikir, gaya argumentasi, serta sistematika logika mereka sulit dibanggakan bila berhadapan dengan masyarakat internasional yang setaraf dengan mereka, atau masyarakat terpelajar dari dalam negeri sekalipun Meski setiap orang punya potensi penuh menuntut sains, tetapi aktualisasinya, pengembangan cepatnya, atau mendalamnya jiwa sains sungguh sangat terkondisi oleh lingkungan budaya, serta sejarah bangsanya. Jiwa sains memerlukan suatu sikap keyakinan bahwa seluruh semesta alam, yang mikro maupun makro, ada dan bergerak dalam suatu tatanan teratur, dalam suatu kosmos, artinya semesta yang teratur, mengikuti hukum- hukum yang tidak mengizinkan sembarang berjalan serba sembarangan. Apabila sains terapan dituangkan dalam alam produksi yang sistematis menjadi barang atau sistem, makan sains mengejawantah ke dalam teknologi yang berjalan lewat industri dan bisnis. Di sini dunia ekonomi dan politik, taktik strategi, dan rekayasa, sudah masuk, juga aspek militernya. Generasi muda yang sebentar lagi akan bertugas memikul tanggung jawab yang berat terhadap sains dan teknologi semogalah selalu penuh harapan. Seriuskah kita dengan pembinaan generasi dan masyarakat baru yang berjiwa sains dan teknologi, dengan memberi mereka tanah tumbuh dan iklim yang cocok, yang bersih ? Tulisan di atas, adalah kompilasi dari koleksi pribadi, kumpulan esai Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, medio 1986- 1993 yang lampau. Beliau berpikir tentang makna nasionalisme Indonesia, terhubung dengan usaha untuk memupuknya lewat pendidikan dasar, keluaran dari sistem persekolahan, yaitu manusia, dalam upayanya untuk memahamkan esensi bahwa sains dan teknologi, punya kontribusi besar, untuk membangun kemanusiaan itu sendiri, tetap dalam kerangka memakmurkan saudara sebangsa, Indonesia. Saya keluarkan lagi, karena ternyata masih relevan dengan keadaan sekarang, terutama pasca bergantinya rezim pemerintahan, berikut lahirnya jejaring maya global, internet 1. Buat Bapak Mendiknas, Prof.M. Nuh, yah, mengendalikan institusi dengan jejaring birokrasi seperti kementerian Anda, tentunya tidak mudah, apalagi dengan tanggung jawabnya yang tidak ringan : Mencerdaskan kehidupan bangsa, yang 2010 ini manusianya sekitar 237 jiwa, wow! Namun, ada satu hal yang diingatkan oleh Romo Mangun ( alm) diatas, bahwa keluaran dari sistem persekolahan yang Bapak ( dan staf) rancang, akan sangat mempengaruhi pola pikir, terhadap sains dan teknologi. Sains dan teknologi, butuh budaya manusia yang mendukungnya, dan bisa mengendalikannya, untuk melakukan inovasi- inovasi bernilai tambah ekonomi, ke aset di dalam tanah, air, dan udara wilayah kedaulatan NKRI. Akan sangat absurd, apabila manusia- manusia Indonesia keluaran pendidikan tingginya, dimanja oleh produk teknologi, menjadi konsumen produk teknologi, tetapi tidak becus mengolah aset di otaknya ( pengetahuan), dan mengonversi bahan mentah, jadi punya nilai jual, dengan teknologi di otaknya. Jumlah SD; 144,567 , SMP ; 26,277 , dan SMU; 10,239, terbayang tuh, kebijakan Kemendiknas sangat punya nilai pengali yang luar biasa, dan tentunya tak bisa main- main menyusun kurikulum, apalagi coba- coba, karena kebijakan Bapak akan signifikan, mempengaruhi wajah Indonesia, lima generasi yang akan datang, wow ! 2. Buat Bapak Menkominfo, (Ustadz) Tifatul Sembiring yang jago pantun. Tulisan Romo Mangun ( alm), dibuat jauh hari, ketika jejaring internet belum mewabah seperti sekarang. Jumlah pulau di Negara Kesatuan Republik Indonesia itu, 17, 504 pulau, dengan luasan seperti yang telah dianalogikan Romo, seluas jarak London sampai Moskwa, Stockholm sampai Roma, dengan konsentrasi penduduk, 58% di Jawa, 21% di Sumatra, 7% di Sulawesi, 6% di Kalimantan, 6% di Bali dan Nusa Tenggara, serta 3% di Papua dan Maluku. Tantangan nasionalisme Indonesia, adalah distribusi ! Terlihat dari angka yang tercantum, walaupun harus diverifikasi lagi, mensolidkan yang namanya nasionalisme Indonesia, tidaklah mudah, karena itu akan menyangkut ke kebutuhan dasar manusia, yaitu : Perut ! Perut tidak kenal makanan berlabel nasionalisme.Kementerian Pak Tif, punya otoritas, yang setidaknya, bisa melakukan upaya menyeimbangkan distribusi tadi, yaitu : Distribusi informasi. Apapun alasannya, infrastruktur informasi di Indonesia, punya tenaga besar untuk melakukan kesetimbangan informasi, antara warga negara dengan warga negara, ataupun warga negara, dengan pemerintah negara.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Yah, kami adalah bagian dari warga negara, sedangkan Bapak berdua, adalah bagian dari pemerintah negara, yang fungsinya, menjadi administratur negara, alangkah baiknya, jika pemikiran lama Romo Mangun ( alm) itu, jadi bahan Bapak berdua buat memperbaiki lagi kondisi infrastruktur persekolahan dan informasi- komunikasi, yang sesungguhnya, punya kekuatan besar, untuk memanusiakan manusia Indonesia
Written by Maximillian Posted in rational Tagged with budaya, ekonomi, infrastruktur, IT, pendidikan dasar, teknologi

Peluang___________________________________
Bagi yang sudah melakukan literasi terhadap tiga karya matematika quasi empirik, fisika kuantum, dan sosiologi populer ini : 1. Black Swan ( Nicholas Taleb, JS. Mill, Popper ) 2. Outliers ( Malcolm Gladwell) 3. Butterfly Effect ( Edward Lorenz, Henry Poincare) Maka, ada satu kesimpulan menarik, yaitu :

Peluang akan mendatangi siapa yang paling siap untuk menerimanya

anyak, atau beberapa manusia yang

bekerja keras mencari peluang, lupa bahwa peluang yang Tuhan berikan, sangatlah berlimpah, dan mereka justru melupakan untuk melakukan persiapan diri dalam rangka mendapat peluang tadi. Mempersiapkan ide yang belum jelas nilai peluangnya, membutuhkan keyakinan diri ( faith), keuletan ( determination), dan keteguhan ( persistence). Karena, secara empirik matematis pun, dominan pasar manusia akan mengikuti yang disebut dengan tren, atau seringkali pertanyaan bodoh keluar, Kira- kira, peluang bisnis yang menjanjikan apa ya, tahun ini ?, secara empiris, semua hal punya peluang untuk memiliki nilai ekonomis, hanya saja, siapa manusia yang paling siap untuk mengubah peluang ini jadi nyata ? Tentunya yang memiliki persiapan paling tinggi, dialah ( merekalah) yang akan menjadi inspirator ( trend setter). Ini hanya renungan pendek saya, semoga bermanfaat. NB : 1. Buat yang agnostik atau (mengaku) atheis, teori ini bisalah dipakai untuk menafikan peran Tuhan. 2. Buat pemikir jabariyah, probabilitas ini untuk qadar, bukan qada. Jadi, untuk subjek eksakta di luar lingkungan horizontal manusia, maka teori yang berlaku sifatnya definit. 3. Buat pelaku qadariyah, probabilitas ini adalah cara untuk mengenal apa pola takdir ( yang ternyata penuh dengan uncredited randomness)

blogosphere.dagdigdug.comTM
4. Buat para investor dan spekulan, perhatikan baik- baik nasehat Buffet dan Soros, mereka menggunakan beberapa pemikiran Popper soal ludic fallacy, randomness, dan black swan, perhatikan baik- baik ! 5. Untuk saya, sementara ini masih memegang sumpah syahadat dan dengan bahagia menikmatinya. 6. Untuk mendapatkan kasus empiris, silakan telaah sejarah : Penisillin, Microsoft, Hitler, pengacara korporat American- Jews yang terkonsentrasi di New York, kartel Bank global, PIXAR, dan relativitas.
Written by Maximillian Posted in rational Tagged with butterfly effect, karma, ketidakpastian, lorentz, resiko, takdir,teori peluang

Anarkisme The Simpson_____________________


Im not a bad guy! I work hard, and I love my kids. So why should I spend half my Sunday hearing about how Im going to Hell? How is education supposed to make me feel smarter? Besides, every time I learn something new, it pushes some old stuff out of my brain. Remember when I took that home winemaking course, and I forgot how to drive? But Marge, what if we chose the wrong religion? Each week we just make God madder and madder. Americas health care system is second only to Japan Canada, Sweden, Great Britain well, all of Europe. But you can thank your lucky stars we dont live in Paraguay! Im normally not a praying man, but if youre up there, please save me, Superman.(Homer Simpson )

eluarga Simpson yang apa adanya mereka itu, dengan

segala problema kehidupan mereka yang komikal ( ya iyalah, memang kartun !), seringkali bisa menjadi bahan refleksi publik, yang cerdas, kritis, menggigit, serta memberikan nuansa sudut pandang baru, tentang kehidupan keluarga biasa saja, di pinggiran kota kecil, dari kalangan kelas menengah pekerja ( atau buruh ?), di kota kecil AS.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Homer Simpson,sang ayah dengan usia hampir kepala empat, botak, kelebihan berat badan, bertemperamen kasar, suka main- main, impulsif, pelupa, cuek, spontan, suka meminjam barang tetangga dan sengaja lupa mengembalikan, serta kecanduan alkohol. Dengan segala karakternya itu, Homer sangat mencintai keluarganya, walaupun seringkali timbul konflik dengan istri dan anaknya, itu membuat mereka semakin kompak dan bahagia, dengan segala permasalahan yang dihadapi. Marge Simpson, tipikal ibu yang cerdas, berkebalikan dengan suaminya. Marge ini punya kesabaran tingkat tinggi, berikut kemampuan untuk berpikir logis dan komprehensif. Marge juga, adalah satu- satunya sosok yang dihormati oleh tipikal anak lelaki pemberontak nomor wahid, Bart Simpson, si putra pertama. Bart Simpson, menjadi simbol anak lelaki hiperaktif yang cerdas, kritis, sekaligus anarkis. Menjadi anak bandel nomor satu di sekolahnya, kerapkali dihukum karena ketidakpeduliannya dengan yang namanya otoritas dan aturan institusi. Lisa Simpson, adik pertama Bart, justru mirip dengan ibunya yang pintar. Lisa sangat feminim, tipikal calon wanita karir independen, yang kritis, serta berpola pikir ala aktivis heroik. Bart yang cerdas- anarkis, dan Lisa yang pintar- taat aturan, seringkali berkelahi dengan komikal, ditambah Homer yang turun tangan, untuk menambah masalah jadi tambah runyam, dan diakhiri dengan Marge yang mendamaikan semua. Keseharian Keluarga Simpson ini, seringkali bertemakan muatan- muatan kritis yang reflektif,sekaligus menuntut kesigapan mengikuti informasi terbaru, untuk bisa ikut tertawa dengan humor- humor satiris yang dilontarkan, oleh Homer biasanya. Tentang sistem pajak, asuransi, pendidikan, upah buruh, transportasi, militer, kebodohan politisi yang narsis, dan banyak hal lain. Menarik, karena sudut pandang yang diambil adalah : Keluarga kecil. Dalam perbincangan media arus kuat, seringkali tingkah laku politisi membuat undang- undang, birokrat yang juga pemalas, pebisnis rakus bermain dengan klik politik, guru yang tidak pantas diteladani, seolah- olah tidak terhubung dengan kehidupan pribadi pembacanya. Disadari atau tidak, setiap perubahan sosial, dipicu dari sisi manapun itu, apakah di kalangan warga negara, atau pemerintahan negara, sedikit banyak, serpihan- serpihannya akan memberikan akibat pada lingkar terkecil sebuah komunitas negara : keluarga. Di sini, Indonesia, mungkin bisa disebutkan beberapa karya yang punya muatan anarkis, semisal Panji Koming, dengan tokoh Panji yang memiliki karakter lugu dan agak peragu, kekasihnya Ni Woro Ciblon yang cantik, pendiam dan sabar.Kawan setia bernama Pailul yang agak konyol namun lebih terbuka dan berani bertinda, kekasih Pailul, Ni Dyah Gembili, perempuan montok yang selalu bicara terus terang. Terkadang muncul tokoh Mbah, seorang ahli nujum yang sering ditanya mengenai masalah-masalah spiritual, serta punya penerawangan fotografis ke masa depan, serta seekor anjing buduk yang dijuluki Kirik. Atau, kalau yang sempat mengoleksi kompilasi sketsa Prof.Umar Kayam ( Alm),pasti akrab dengan tokoh Pak Ageng ( yang juga bentuk personifikasi dari Umar Kayam sendiri), Bu Ageng, serta kabinet dapurnya, Mister Rigen, Missis Nansiyem, serta stafnya Beni Prakosa. Keluarga hangat di kota pendidikan ( digambarkan Jogja), dengan segala kesehariannya yang penuh warna, serta sarat dengan muatan falsafah kejawaan. Kalau dalam bentuk sinema berseri, dulu pernah ada Keluarga Cemara yang sempat menjadi hit, walau sekejap. George Orwell pernah mengatakan bahwa bentuk novel adalah yang paling anarkis dalam kesusastraan. Orwell benar, sepanjang sifat anarkis itu diartikan penampikan novel kepada segala yang ortodoks dan mengekang. Tetapi pada sisi lain, novel-seperti yang ditulis oleh Orwell terutama novel sejarah itu-mempunyai dorongan yang dekat dengan kehendak mengetahui. Dan mengetahui bukanlah sesuatu yang bisa terjadi dengan anarki; mengetahui adalah proses yang tertib. Novel, cergam ( komik), esai, kartun, dengan media publik yang masif, menjadi alat untuk menghorizontalkan entitas abstrak bernama otoritas kekuasaan. Anarkisme, dalam perkembangannya tumbuh menjadi bentuk gerakan sosial politik dan pemikiran filsafat yang menyatakan bahwa semua bentuk negara, pemerintahan dan kekuasaan adalah buruk dan oleh karena itu harus ditolak dan dihancurkan. Bentuk sastra klasik, semacam Mahabarata, Ksatria Meja Bundar Arthur, atau Beowulf, yang istanasentris, tidak memberikan tempat ke rakyat biasa, tanpa embel- embel kedigdayaan sakti mandraguna, atau label keningratan, semacam Homer Simpson, atau Panji Koming. Tanpa berpihak ke genre manapun, namun sastra, komik, atau kartun sekalipun, sebenarnya adalah manifestasi dari wajah sosiokultural, dari masyarakat yang menjadi modelnya. Harus diakui tidak sedikit manusia di dunia justru menjadi lebih humanis karena inspirasi pemikiran kaum anarkis. Kekuasaan bukan lagi barang konkret yang sakral dan anti kritik, mitos orang kuat juga semakin sirna, berikut semakin horizontalnya jarak kekuasaan, antara pemerintah, dengan warga negaranya. Bagaimanapun, pemikiran

blogosphere.dagdigdug.comTM
semacam ini, harus diimbangi dengan sikap tanggung jawab yang mumpuni, kenapa ? Karena otoritas, yang pada awalnya untuk membangun sebuah peradaban, adalah bertujuan untuk membangun keteraturan antar hubungan manusia, yang sarat dengan benturan antara kepentingan privat ( pribadi), dan publik ( umum). Sikap anarki tanpa adanya kepentingan untuk membangun peradaban, tanpa ada tanggung jawab solidaritas sosial, justru akan menimbulkan kekacauan di sisi yang lainnya, dan itu nampaknya bukan pilihan yang bijak pula. Obrolan di warung kopi, forum maya bebas 2.0 semacam Politikana, mungkin terlihat hangat- hangat tahi ayam, yang bagi sebagian manusia bersemangat, terlihat tidak heroik, tidak konkret, tidak revolusioner, dalam artian dalam waktu pendek, secara serta merta, menimbulkan dentuman besar sosial, meruntuhkan oligarki yang dominan. Okelah, mungkin saya juga bukan termasuk manusia bersemangat semacam itu, namun dalam skala tertentu, dan dalam dimensi ruang waktu tertentu, setiap bahan obrolan, dalam bentuk lontaran serius penuh data, sarkastis yang menyebalkan ( dan terlihat seksi karena nampak cerdas), atau humor ringan yang bermuatan satir, ada serpihan ide yang tersebar, ada resonansi intelektual yang terproduksi ulang di benak manusia yang berada di dalam lingkaran itu, entah seberapa besar serpihan itu terbentuk, namun sudah terjadi reproduksi ide, itu intinya. Yah, apapun itu, dengan teknologi informasi yang ada sekarang, ada baiknya dimanfaatkan untuk berbagi pemikiran, bentuk lain dari sikap beramal, hitung- hitung saling menasehati, karena walaupun cuma lontaran lelucon ringan, bisa jadi yang cuma ringan itu, bisa memberi inspirasi manusia di sekelilingnya, untuk lebih mawas diri dan sadar kritis, pelan tapi pasti, dan menyenangkan. Ya, begitulah. Menyitir lagi pendapat dari tokoh anarkis yang mengedepankan langkah tanpa kekerasan, Mohandas Karamchand Gandhi :

If one has no affection for a person or a system, one should feel free to give the fullest expression to his disaffection so long as he does not contemplate, promote, or incite violence.
Written by Maximillian Posted in soul Tagged with anarkisme komikal, kelas menengah, Keluarga Simpson, minum kopi, sastra egaliter, strata sosial

MITOS ORANG KUAT______________


A government big enough to give you everything you want is a government big enough to take from you everything you have. ( Gerald Ford) If the government becomes a law-breaker, it breeds contempt for the law. It invites every man to become a law unto himself. It invites anarchy. ( Louis Brandeis, Hakim Agung AS) Do you know who is responsible? Why of course, its the government! Jill, the government is several million people. ( Robert A Heinlein)

blogosphere.dagdigdug.comTM

de tentang kekuasaan, dalam historiografi kerajaan-

kerajaan di kepulauan nusantara masa lalu, adalah sesuatu hal yang konkret. Istilah darah biru dan manusia kuat, adalah komoditas, yang seolah menjadi pembenaran tak tertulis, selama beberapa abad, yang digunakan oleh sebagian kecil manusia, untuk mengklaim kekuasaan, atas sebagian besar manusia lain, dalam format yang disebut dengan negara dinasti.

Tidak heran, maka para penguasa, yang bergelar raja itu, selalu berusaha mengait-ngaitkan dirinya, dengan raja- raja dari kerajaan yang sudah pernah ada sebelumnya. Selalu ada usaha- usaha pembenaran, untuk melegitimasi, bahwa kursi kekuasaan yang diduduki, merupakan hak tak terbantahkan, salah satunya adalah mengklaim, bahwa dirinya adalah keturunan penguasa. Dan, karena ide bahwa kekuasaan itu konkret, juga sudah mendarah daging dalam akal budi manusia di nusantara, maka semakin lestarilah yang disebut dengan mitos manusia kuat, pemimpin kharismatik, atau ratu adil itu. Apakah Anda berpikir bahwa manakala Republik Indonesia, dinyatakan berdiri di Kepulauan Nusantara, dengan format negara-bangsa, maka mitos manusia kuat, yang berbau negara dinasti, akan serta merta hilang ? Oh, tentu tidak. Bahkan, boleh saya bilang, bahwa semenjak Orde Lama, dilanjutkan sampai ke Orde Baru, terbentuk semacam usaha- usaha pembentukan mitologi baru, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah pelanjut dari kerajaan nasional yang sudah pernah ada sebelumnya, Majapahit dan Sriwijaya. Dan inipun, otentisitas data sejarahnya masih harus digali lagi lebih dalam. Seolah- olah, nasionalisme Indonesia berdiri karena adanya kesamaan sejarah, yang justru ini menjadi legitimasi budaya lamanya bercokol Presiden Sukarno, pada masa Orde Lama, dan Presiden Suharto, pada masa Orde Baru. Terminologi pusat kekuasaan, juga adalah frase yang sangat populer semasa pemerintahan Orde Lama, berikut Orde Baru. Dikotomi pusat dan daerah, sebenarnya adalah lazim, jika kita hidup pada masa sistem administrasi publiknya, adalah negara dinasti, dimana rentang jarak kekuatan antara penguasa dan rakyatnya, sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh letak geografisnya, dengan kediaman sang penguasa. Namun, dengan format negarabangsa, yang dibentukkan ke NKRI, seharusnya tidak semacam itu, ada terminologi pemerintah negara dan warga negara, dalam lembaga yang bernama negara. Dimana dalam negara bangsa ini, batas- batas geopolitik sebuah peradaban, ditentukan dengan tegas, berikut jarak kekuasaan dan distribusi keadilan sosial, tidak dipengaruhi oleh letak geografis antara warga negara dengan pemerintah negara. Saya tidak ingin menyalahkan pemerintahan Orde Lama, maupun Orde Baru, atas lambatnya transformasi perspektif tentang kekuasaan ini, dalam akal budi kolektif manusia Indonesia. Sekarang, dengan keadaan masih kuatnya mitos orang kuat di benak kolektif manusia Indonesia, derasnya arus informasi dari luar, distribusi keadilan sosial yang masih dalam taraf proses perbaikan pasca Orde Baru, dan serangkaian masalah dalam birokrasi pemerintah negara sendiri, maka memahamkan diri secara kolektif, tentang peran dan posisi warga negara, dalam lembaga berformat negara bangsa, semacam Indonesia ini, adalah kerja kolektif yang penting dan mendesak. Saya ingin menyoroti tentang operasional sistem administrasi publik, yang menjadi peran- posisi pemerintah negara kita, masih banyak masalah yang harus dibenahi di dalamnya. Pegawai Departemen Pendidikan Nasional (selain

blogosphere.dagdigdug.comTM
guru) jumlahnya lebih dari 200 ribu orang, Pegawai Departemen Agama jumlahnnya sekitar 180 ribu orang, apakah aset SDM bernama PNS ini efektif menjalankan fungsionalitasnya dalam sistem operasi pemerintahan negara ? Anggaran tahun 2009 untuk Depdiknas mencapai Rp 51 triliun-terbesar di antara departemen teknis lainnya. Sementara anggaran untuk Depag mencapai Rp 20 triliun-sedikit di bawah kepolisian (Rp 25 triliun), namun di atas Departemen Kesehatan (19 triliun), Departemen Perhubungan (Rp 16 triliun), dan Departemen Keuangan (Rp 15 triliun). Saat ini, Depag dan Depdiknas menduduki peringkat atas lembaga terkorup, selain Kejaksaan dan Kepolisian. Maka, salahkah kalau kita berpendapat bahwa rakyat membiayai sistem operasi penyelenggaraan negara terlalu boros? Sebagian besar PNS pendidikannya SMA (35%) , yang Sarjana hanya 28,9%. PNS bergelar S2 dan S3 hanya 2,5% dan 0,2% saja. Artinya, selain jumlahnya besar, kualitasnya pun masih perlu dipertanyakan. Terlebih lagi, ongkos yang dikeluarkan untuk menggaji mereka begitu mahal-lebih dari Rp 100 triliun per tahun. Bukan apa- apa sih, tetapi jika pemerintah negara, yang peran dan posisinya adalah pengendali sistem administrasi publik, berikut pemegang peran tunggal untuk distribusi keadilan sosial, dalam sebuah lembaga bernama negara, ternyata komponen- komponen di dalamnya tidak bisa bekerja optimal, bahkan cenderung rusak parah, lalu apa yang bisa diharapkan oleh warga negara, terhadap pemerintahnya sendiri ? Karena ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan lembaga bernama negara tersebut kedepannya, jika tidak ingin terjerumus ke negara gagal. Menantikan sosok pemimpin kharismatik, orang kuat, atau ratu adil, mungkin saya bisa kategorikan sebagai patologi sosial yang sebaiknya kita obati segera. Itu sama saja dengan berangan- angan di tengah masalah aktual yang dihadapi sekarang. Dan misalnya ya, ternyata nih, sosok manusia yang sakti mandraguna, kharismatik, dan ( mungkin) masih keturunan Gajah Mada atau tokoh digdaya lain semacam Ki Ageng Selo, yang bisa menangkap petir itu, benar- benar muncul, bisa dengan hebatnya menyelesaikan semua masalah yang kita hadapi sekarang, sekejap, sendirian saja, lalu apa reaksi kita selanjutnya ? Apakah ini tidak lain hanyalah melahirkan lagi sosok tiran baru, semacam yang sebelum- sebelumnya, dan ini berarti cari penyakit ! Kekuasaan itu legit soalnya, juga cenderung korup, dan harus kita sadari bahwa kita juga manusia biasa, bukan malaikat. Saya sendiri juga belum mendapat datanya, apakah tingkat literasi yang sudah sampai 92,5 %, di kalangan warga negara Indonesia, juga berkorelasi positif terhadap minat baca ? Yang berarti berkontribusi positif terhadap tingkat kemampuan logika dan sistem kognitifnya. Karena yang menyuburkan mitos orang kuat itu, ternyata kita- kita juga, atau setidaknya kawan, saudara, tetangga sebelah kita. Mitos orang kuat ini, yang berulang kali menjadi pembenaran, bahwa kekuasaan sebagian kecil manusia, terhadap manusia lain, adalah konkret. Ini secara kultural, bertubrukan dengan konsepsi negara bangsa, yang selama ini sudah berjalan. Yah, sebaiknya, sebagai warga negara, kita mulai sadar diri, akan peran dan posisi kita, dalam lembaga bernama negara ini. Berikut, mengingatkan pemerintah negara, tentang peran dan posisinya. Walaupun ini terlihat klise, namun percayalah, dengan keadaaan kolektif kita saat ini, kalau pekerjaan ini segera terlaksana, maka akan banyak masalah yang bisa terselesaikan.
Written by Maximillian Posted in rational Tagged with despot, kekuasaan, kepemimpinan, negara bangsa, negara dinasti, orang kuat, tiran

blogosphere.dagdigdug.comTM

TRUTH___________________________________
Truths are not relative. What are relative are opinions about truth Human kill each other to fight for our opinions of truth We will confirm our opinions by meeting the absolute truth, we dont really know when it will come to each of us Just dont kill your opponent to win your opinions Homicide and genocide are hazardous for your own health, trust me, it can erase your own life and others
Written by Maximillian Posted in soul Tagged with Absolute Truth, Judgment Day, Relativity, TRUTH

Avatar Aang dan Negara Fantasi_____________

. Finally, [the nation] is imagined as a community, because, regardless of the actual inequality and exploitation that may prevail in each, the nation is conceived as a deep, horizontal comradeship. Ultimately, it is this fraternity that makes it possible, over the past two centuries for so many millions of people, not so much to kill, as willing to die for such limited imaginings. Benedict Anderson

ernah meluangkan waktu sejenak untuk menonton

film Avatar, The Legend of Aang, bersama anak, keponakan, atau keluarga ? Mungkin banyak yang meremehkan film tersebut, yang segmentasinya untuk anak dan remaja, sehingga terkesan tidaklah terlalu kompleks, serius, dan aktual. Namun, anak- anak dan remaja tentunya belajar dari apa yang mereka bisa lihat, baca, dan diskusikan dengan lingkungan terdekat mereka, keluarga Dan slogan bahwa mereka adalah masa depan bangsa, kenapa kita tidak coba dari cara termudah, untuk mendewasakan mereka ? Baiklah, terkhusus untuk warga Politikana, mari kita amati apa yang bisa kita gunakan dari film tersebut, untuk menjadi bahan diskusi menarik, seputar konsep kenegaraan, budaya peradaban, politik internasional, dan ditarik ke keadaan aktual kita, sebagai warga negara di negara bangsa, bernama Indonesia. Michael Dante diMartino dan Bryan Konietzko, menggunakan setting dunia fantasi, yang terbagi dalam empat peradaban, yaitu Negara Api ( Fire Nation), Kerajaan Tanah ( Earth Kingdom), Suku Air ( Water Tribe), dan Pengelana Udara ( Air Nomad). Dari namanya, Anda pasti sudah bisa menebak bukan, bahwa tingkat komplektitas peradaban keempat komunitas tersebut, terutama dari administrasi publiknya, berbeda ? Baiklah, mari kita bahas satu persatu disini :

blogosphere.dagdigdug.comTM

Negara Api ( Fire Nation) Sebuah peradaban, yang manusianya memiliki kompetensi individu untuk mengendalikan api ( Firebending). Sistem administrasi publiknya, adalah yang paling kompleks diantara ketiga peradaban yang lain. Sistem pertahanan keamanan dan militernya, juga tertata dengan hirarki yang ketat dan rapi. Sistem pendidikannya, menggunakan sistem kelas, yang kurikulumnya dikendalikan oleh pemerintah. Mereka memadukan antara konsep negara dinasti dengan negara bangsa, karena penguasanya masih berdasarkan pada genetik ( keturunan), mungkin kalau di keadaan aktual, Negara Api ini mirip dengan Britania Raya. Budaya industrinya, yang paling maju diantara ketiga negara yang lain. Nampak sekali bahwa otomasi sudah berjalan dengan baik, dan tahapan industrinya sudah meliputi industri primer sampai tersier, pusat kota adalah wahana pusat bisnis servis. Perpaduan antara teknologi tinggi dan organisasi militer yang rapi, membuat kekuatan kolektif Negara Api menjadi yang paling dominan, diantara tiga peradaban yang lain. Jurus yang digunakan oleh militer Negara Api, menggunakan gerakan- gerakan dasar seni beladiri Kung Fu Shaolin Utara, yang karakternya cenderung agresif. Kerajaan Tanah ( Earth Kingdom) Sebuah peradaban, yang manusianya memiliki kompetensi individu untuk mengendalikan tanah ( Earthbending). Sistem administrasi publiknya, lebih sederhana dibandingkan Negara Api, namun lebih kompleks dibandingkan Suku Air ( Water Tribe) dan Pengelana Udara ( Air Nomad). Sistem pendidikannya masih eksklusif, anak- anak yang dilahirkan di keluarga aristokrat, bisa mendapatkan fasilitas guru privat, yang menjadikan kompetensi dan pengetahuan terbatas, hanya pada beberapa kelompok kecil elit. Di Kerajaan Tanah ini, nampaknya diperintah oleh raja yang lemah dan kekanak- kanakan, sehingga begitu mudah disusupi oleh kekuatan- kekuatan politik dari Negara Api. Budaya ekonominya juga belumlah sekompleks Negara Api, tebakan saya, mereka masih berkutat di Industri primer ( bahan baku), dan sedikit yang Industri sekunder ( pengolahan). Militer yang dimiliki oleh Kerajaan Tanah, sudah memiliki sistem administrasi yang rapi dan hirarki yang ketat, yang jelas membedakan tingkat kemajuannya dengan Negara Api adalah, penggunaan senjatanya yang jauh tertinggal dari segi teknologi. Dan kelemahan inilah yang menjadi titik lemah militer Kerajaan Tanah, ketika militer Negara Api sudah sampai di pintu gerbang ibukota mereka, Ba Sing Se. Militer Kerajaan Tanah kalah. Jurus yang digunakan oleh militer Kerajaan Tanah, menggunakan gerakan- gerakan dasar seni beladiri Kung Fu Hung Ga, yang karakternya cenderung defensif. Suku Air ( Water Tribe) Sebuah peradaban, yang manusianya memiliki kompetensi individu untuk mengendalikan air ( Waterbending). Sistem administrasi publiknya, lebih sederhana dibandingkan Negara Api dan Kerajaan Tanah, namun lebih kompleks dibandingkan Pengelana Udara. Mereka juga diperintah oleh Kepala Suku, yang secara garis besar terbagi menjadi dua, Suku Air Utara, dan Suku Air Selatan. Sistem pendidikannya, masih elitis, belum ada sistem kelas, sehingga kompetensi dan pengetahuannya tidak terdistribusi merata. Militer mereka, tidak terorganisir sebaik Kerajaan Tanah, apalagi Negara Api. Sehingga mudah untuk dikalahkan satuan marinir dari Negara Api saat diserbu. Tidak terlalu jelas, bagaimana sistem ekonominya, namun nampak bisa ditebak, bahwa budaya industrinya belum terbentuk. Jurus yang digunakan oleh militer Suku Air, menggunakan gerakan- gerakan dasar seni beladiri Tai Chi, yang karakternya halus dan mengutamakan harmoni kekuatan- kelembutan.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Pengelana Udara ( Air Nomad) Sebuah peradaban, yang manusianya memiliki kompetensi individu untuk mengendalikan udara ( Airbending). Tidak ada sistem administrasi terpusat, yang mengatur kepentingan kolektif. Keberadaan mereka juga tidak menetap, masih suka nomaden ( berpindah- pindah). Tidak memiliki sistem ekonomi terpusat, dan tidak memiliki tenaga militer khusus. Peradaban inilah yang dengan kejam dibunuh oleh militer Negara Api, karena memang paling kecil peluangnya untuk bisa melawan dengan kekuatan setara, selain itu, mereka juga cendrung pasifis. Jurus yang digunakan oleh warga Pengelana Udara, menggunakan gerakan- gerakan dasar seni beladiri Baguazhang, yang lincah dan cenderung menghindari konflik terbuka. Bahan Diskusi Bentuk transformasi komunitas manusia, semenjak Homo sapiens eksis di Planet Bumi, dimulai dari Benua Afrika, lalu keluar ke area Timur Tengah, dan menyebar ke benua lain, menarik untuk dicermati. Dari fase berburu dan meramu, hingga menetap dan bertani. Dari yang sistem administrasinya kecil, berbasis kelompok suku, hingga ke negara dinasti, dan saat ini bertransformasi lagi ke negara bangsa. Tentunya, di dalam komunitas- komunias manusia tersebut, terjadi konsensus- konsensus, yang membentuk segala kompleksitas sistem dan budayanya. DiMartino dan Konietzko, nampaknya sengaja menggabungkan bentuk sistem administrasi publik, yang dalam sejarahnya selalu bertransformasi tiap termin waktu itu, ke dalam satu momen waktu yang sama. Dari situ, kita bisa ajak diskusi anak- anak, dan remaja, untuk membuka wacana, beda antara negara dinasti dan negara bangsa, beda antara sistem kelas dengan pendidikan privat, dan lain lain. Ini menarik, karena sebenarnya, konsep negara bangsa sendiri belumlah lama dicetuskan, itu kalau kita merujuk ke Revolusi Perancis, 1799, yang berarti kalau dihitung baru sekitar 3 abad lebih sedikit. Konsep negara bangsa, yang masih baru ini, dengan segala modifikasinya, dengan konsep pemerintah negara dan warga negara, tentunya berbeda dengan negara dinasti, yang membedakan antara rakyat dengan penguasa. Saya memahami bahwa ini adalah materi yang kompleks dan rumit, namun, kalau dengan media film, bukankah akan lebih meringankan ? Mungkin, bisa dicoba ? Mari.explicit c
asually Written by Maximillian Posted in rational Tagged with administrasi negara, avatar the legend of aang, negara bangsa, negara dinasti, peradaban

Wake Up Boys !!!__________________________


Tidak selembar daunpun yang jatuh, kecuali Tuhan tahu. Bahkan, pembantaian di Baghdad, Armenia, Nanking, Auchswitch, Kamboja, Srebrenica, Jenin, kelaparan di Ethiopia, atau pengangguran di Indonesia, semua itu terjadi, Dia pasti juga tahu. Kenapa kau begitu lemah untuk mencegah sekelompok manusia membantai kelompok manusia lain, atau mengatur distribusi kesejahteraan, atau buka lapangan kerja baru ? Salahkanlah kelemahanmu itu ! Jangan merengek- rengek dan jangan salahkan Tuhan !

blogosphere.dagdigdug.comTM
Gunakan otakmu ! Pakai ototmu ! Kotori tanganmu ! Itulah iman, kataku. Inspired by : Q.S 6; 59 & 13;11

Written by Maximillian Posted in soul Tagged with boys, knighthood, scout, Tambahkan tag baru

EKONOMI PENGETAHUAN________________
Saya kira, ke depan kita tak bisa hanya hidup dari produk yang primitif dan pasar yang primitif.Untuk itu, wiraswasta harus mengadopsi teknologi dari luar untuk keperluan lokal. Sebuah proses yang disebutnya self-discovery.Inovasi membutuhkan pembiayaan.Untuk melakukan eksperimen dengan produk baru dibutuhkan insentif.( M.Chatib Basri, Ekspor yang Primitif) Sukses riset bisa diukur dari tiga hal : Sukses secara akademik karena makalah yang dihasilkan dikutip; berpotensi ekonomis atau komersial; dan memberi manfaat kepada masyarakat. ( Menteri Negara Riset dan Teknologi RI, Kusmayanto Kadiman, di depan Sidang Paripurna Dewan Riset Nasional) A university is a house of learning. It is a lighthouse and the same time functions as the conscience of the nation. It provides the stage for the young and old to be enganged in a great and exciting adventure of ideas. A university generates and produces knowledge besides educated people. A corporate produces goods or services through knowledge based activities ( M.T. Zen. Guru Besar Institut Teknologi Bandung)

blogosphere.dagdigdug.comTM

avoritisme jurusan yang dipilih oleh siswa

SMU, ketika memilih disiplin ilmu di universitas, terkena imbas kuat dari jumlah tarikan lapangan kerja dan kondisi pasar tenaga kerja. Jurusan favorit, adalah jurusan yang prospektif untuk urusan karir profesional pasca kuliah, yang dalam artian jangka panjang, adalah menjadi kendaraan untuk melakukan mobilitas vertikal, peningkatan status sosial di masyarakatnya. Pilihan manusia muda terdidik formal, untuk melakukan mobilitas vertikal, di negara Indonesia, memang tidaklah terlalu banyak, menjadi profesional di perusahaan swasta ( diusahakan yang multinasional, seperti kompeni VOC), menjadi PNS ( dan berharap bisa makan gaji buta sambil cari obyekan), masuk ke partai politik ( kalau beruntung bisa cari sabetan proyek dan tadahan korupsi lain), atau buat sedikit anak muda, bikin perusahaan sendiri, dengan konsekuensi logis, berhadapan dengan kondisi makroekonomi payah, peta kompetisi pasar yang tidak jelas, yang itu artinya, pengetahuan di PTN jelas tidak cukup untuk menghadapinya, dibutuhkan nyali lebih, kecerdasan lebih, kemampuan organisasi lebih, serta pastinya, agak sinting, untuk mengambil pilihan ini. Atau, pilihan lain lagi, lari ke luar negeri, untuk mengambil gelar master sampai doktor, lumayan bisa jalan- jalan ( pasang foto di jejaring sosial maya), kalau beruntung, bisa ikut proyek riset dosen, dan berharap nanti ditawari posisi lebih enak kalau balik lagi ke Indonesia.

Beberapa pihak mengritik lembaga pendidikan tinggi formal, yang nampaknya berubah menjadi pabrik manusia, untuk menyuplai kebutuhan tenaga kompeten, yang akan menjadi mesin produktivitas segar, dalam menunjang profitabilitas perusahaan. Beberapa pihak lagi, menggiatkan terbentuknya lembaga- lembaga yang memang sengaja mempersiapkan tenaga manusia siap pakai dan siap kerja, bagi kebutuhan sektor privat, bahkan itu yang dijadikan nilai jual lembaga pendidikan tinggi tertentu. Saya sendiri kurang tahu, apakah pihak- pihak yang gemar bertengkar, dan mengemukakan argumen canggih serta seksi di media itu, pernah duduk bersama untuk minum kopi, dan menggali cara untuk mencari solusi yang lebih aplikatif dan membumi. Pemerintah pasca reformasi 1998, yang diserahi tugas oleh rakyat, untuk menjadi administratur sebuah negara bernama Indonesia, juga masih coba- coba dengan konsep- konsep baru, yang nampak terlihat trial and error. Setiap ganti pemerintahan, ada saja yang berubah, perubahannya cukup signifikan, dan itu mahal, kalau kita lihat ongkosnya. Saya tidak ingin menjadi romantis, dengan kilas balik sistem pemerintahan Orde Baru, tapi evaluasi itu penting dan perlu.Penggunakan instrumen PELITA ( Pembangunan Lima Tahun), dan GBHN, yang secara dokumentasi bisa diukur, untuk kemudian dievaluasi dan dikembangkan lagi. Untuk ukuran sebuah negara, dengan manusia penghuninya sekitar 231 juta, dan 70%-nya adalah usia produktif ( 15- 64 tahun), mencerdaskan mereka ( kita), dan membuat potensi produktivitas tersebut berdaya guna, serta bisa meningkatkan kesejahteraan kolektif, tentunya bukan tugas yang mudah buat pemerintah, jika mereka menyadari konsekuensi posisi ini tentunya. Pendapat pendek M. Chatib Basri, MT. Zen, dan Kusmayanto Kadiman di atas, nampak jelas mengandung benang merah kuat. Namun, penyelesaian di lapangan sungguh sangat jelas ketidakjelasannya. Apa pasal ? Aktivitas ekonomi mikro ( perusahaan), yang akumulasinya akan menjadi parameter ekonomi makro, ditunjang sepenuhnya oleh budaya manusia yang menjalankan, aspek budaya adalah aspek abstrak yang signifikan. Dan Anda pasti paham, instrumen untuk membangun budaya bukan ? Ya, itulah hakekat lembaga pendidikan, untuk membangun manusia

blogosphere.dagdigdug.comTM
berbudaya. Mungkin Chatib Basri berharap bahwa, manusia Indonesia mampu mengolah bahan mentah di tanahnya, dan diekspor, sehingga bisa meningkatkan nilai ekonominya. Mungkin MT. Zen berharap bahwa, sistem organik dalam lembaga universitas, mampu menghasilkan ide- ide baru, yang salah satu efeknya adalah, menambah nilai mentah bahan baku menjadi punya nilai fungsional lebih ( dan nilai ekonomi lebih tentunya). Mungkin Kusmayanto juga berharap bahwa, manusia yang punya ide, manusia yang punya dana, manusia yang bisa berdagang, bisa bekerjasama untuk membuat ide- ide brilian tidak berakhir di perpustakaan, berdebu tanpa pernah dibaca lagi. Tapi, harapan- harapan di atas nampaknya cukup nangkring di media, menjadi komoditas romantis yang membuai mimpi, lalu hilang keesokan harinya, karena berhadapan lagi dengan masalah yang nyata di depan mata. Okelah, nampaknya, masalah tidak akan berhenti kalau kita saling menyalahkan, apalagi menyalahkan pemerintah, karena nampaknya pemerintah juga masih belum sadar, bagaimana jalan yang benar. Tentunya kurang bijak menyalahkan pihak yang sudah terbiasa menganggap yang salah itu benar, karena dianggap sudah biasa. Dekomposisi pertumbuhan ekspor dari tahun 1990 hingga 2008 menunjukkan sebagian besar peningkatan ekspor Indonesia dalam 18 tahun terakhir didorong oleh produk yang sama yang dijual ke pasar yang sama. Kalau saya boleh tambahkan, mungkin tidak terlalu berubah juga sejak perusahaan multinasional pertama di dunia, bernama VOC, mengajak berdagang beberapa kerajaan di nusantara. Tentunya VOC mengajak berdagang bukan tanpa alasan bukan ? Karena tanah di nusantara punya bahan mentah yang layak jual (dan manusianya tidak paham nilai jual bahan mentah di kebunnya sendiri). Pendeknya, karakter industri di Indonesia didominasi industri primer ( bahan mentah), dan industri sekunder ( pengolahan bahan mentah ke bahan baku). Kalau Anda bertanya, lalu kenapa kita tidak mengolahnya lagi, maka jawabannya adalah : Kalau dengan menjual bahan mentah dan bahan baku saya sudah bisa kaya, apalagi yang saya cari. Menjual bahan jadi, apalagi bermerek, membutuhkan proses bisnis kompleks, pemasaran canggih, dan pola kendali distribusi yang rumit. Nampaknya, kecukupan rasa menjadi kaya sudah menjebak beberapa pelaku usaha, tanpa berusaha untuk mengembangkan lagi. Kalaulah mau belajar dari pola proses yang dilakukan oleh masyarakat ekonomi Jerman, Jepang, atau Korea, maka membangun karakter ekonomi, seperti yang dimaksudkan oleh Chatib Basri dan Kusmayanto Kadiman di atas, membutuhkan proses transformasi sosial yang lama, dan detail tentunya. Proses itu juga sedang dijalani oleh negara ekonomi baru, Brazil, India, dan Cina. Untuk membangun industri tersier ( servis) dan industri kuartener ( informasi- pengetahuan), maka terlebih dahulu, kita harus mau bangun budaya ekonomi yang beretika, mau melakukan valuasi ekonomi atas ide di lab riset kita, mau mengendus potensi kerjasama yang kuat antar disiplin ilmu, mau bergaul dengan masyarakat global dengan meminimalkan prasangka sempit, mau terjun langsung menjadi pelaku pasar yang bisa memilih manusia berpengetahuan, mau menginvestasikan waktu dan konsentrasi untuk menciptakan produk yang lebih punya nilai profit lebih ( dan disukai konsumen), mau bekerjasama sebagai sesama warga negara.. Oh iya, ngomong- ngomong, saya gunakan idiom kita, karena saya suka nasehat dari Eyang Thomas Jefferson, bahwa sebuah semakin kecil peran pemerintah dalam urusan bernegara, maka semakin baguslah negara itu. Dalam artian, rakyatnya memang mampu untuk mengorganisir diri, tanpa terlalu banyak campur tangan pemerintah. Dan saya sih optimis, bahwa nampaknya, untuk saat ini, kita tidak bisa terlalu berharap ke pemerintah, jadi, untuk kehidupan peradaban yang lebih baik, bagaimana kalau kita jadi lebih solider ? Mau minum kopi bersama, Saudaraku ? Mari.
Written by Maximillian Posted in rational Tagged with ekonomi pengetahuan, ekonomi tersier, riset unggulan,universitas

blogosphere.dagdigdug.comTM

PEREMPUAN JAWA_______________________

andangan pihak luar tentang posisi perempuan jawa,

beberapa feminis khususnya, sejauh literatur yang pernah saya baca, cenderung peyoratif. Sebagai individu yang dibesarkan dalam budaya jawa pasaran, perspektif internal saya tentang perempuan memanglah kurang, jika dibandingkan dengan yang saya dapatkan kemudian hari di pergaulan dan buku. Masukan itu membuat saya mampu sedikit banyak mendeteksi mana budaya jawa pasaran dan ningrat, tengah dan pesisir, atau kompromis dan agresif. Untuk lebih detail lagi, saya bisa membedakan mana individu yang dibesarkan di pengaruh lingkaran dalam Jogja- Solo- Semarang, dengan area BanyumasPekalongan- Tegal- Cepu. Mulai dari aksen, kosakata, hingga cara untuk merespon ajakan berkonflik dan kemampuan mengakomodasi resiko dalam perdagangan- bisnis.*

Lelaki jawa ( Jawa Tengah dan Jawa Timur khususnya), belum bisa dikatakan lelaki sebenarnya, jika belumlah memiliki lima persyaratan yaitu : Wisma ( rumah), Kukila ( hobi khas), Curiga ( senjata/ posisi kuat), Turangga ( kendaraan pribadi), dan Garwa ( istri, aspek terakhir setelah empat sebelumnya didapatkan). Namun saya tidak hendak membahas lelakinya, melainkan perempuan jawa, itupun dalam nuansa jawa pasaran, bukan ningrat, sesuai latar belakang saya yang lahir dan dibesarkan di budaya jawa pasar. Dalam prakteknya, nasib perempuan tidak sesimplifikatif yang digambarkan oleh media arus kuat , beberapa literatur yang menggambarkan ideal perempuan khas jawa, semacam tulisan TS Raffles, di History of Java, kental dengan nuansa visual, berikut kriteria ideal tentang sosok perempuan, juga mendalam dari segi fisik, saya curiga bahwa penulisnya lelaki, yang memang cenderung maunya mereduksi sosok perempuan dari sisi fisik, selain itu nuansa yang terbangun adalah nuansa ningrat, kebangsawanan, dan budaya borjuasi.Cobalah memasuki lebih dalam kawasan pusat perdagangan- kosmopolit di lingkaran Solo, Jogja, Pekalongan, atau kawasan pertanian- hutan di Blora, Semarang, Gunungkidul ( Jogja), Cepu, kita akan melihat sosok- sosok perempuan yang kalau bisa digambarkan sebagai pemegang peranan ekonomi signifikan, loyalitas tinggi dengan suami , daya tahan penderitaan jangka panjang tinggi, emosi terkontrol, berusaha memahami (dan menjaga ) perasaan lawan bicara, mementingkan harmoni, tidak suka berkonflik, kalem ( diam) sekaligus perasa, menjaga keutuhan institusi keluarga, dan yang paling terlihat, tutur katanya halus, terutama buat yang mengerti struktur strata bahasa jawa tradisional, akan mampu menangkapnya. Itu yang sedikitnya bisa saya tangkap dari perempuan di budaya jawa pasaran. Disini, saya tidak mengambil Raden Ajeng Kartini sebagai contoh, melainkan Nyai Ontosoroh dan Siti Mariah. RA Kartini kental bernuansa ningrat, yang saya tidak menutupi, memang kuat sekali budaya patriarkinya. Perempuan hebat itu menembak sisi kritis yang menyebabkan perempuan lemah di sisi posisi publik kala itu, yaitu : Pendidikan. Sosok Nyai Ontosoroh ( Tetralogi Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer) dan Siti Mariah ( Hikayat Siti Mariah, Haji Mukti- diterbitkan berkala di harian Medan Prijaji milik Sarekat Islam oleh RM Tirto Adi Soerjo dan di terbitkan kembali dengan editor Pramoedya Ananta Toer)** lebih dekat dan punya banyak irisan kesamaan dengan perempuan jawa secara umum ( jawa pasaran) yang memposisikan diri untuk mengatur kebijakan keuangan rumah tangga, pendidikan anak, dan penengah dalam konflik internal keluarga.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Kalaupun kemudian dirasakan kurangnya porsi pengambil kebijakan yang memihak ke perempuan dalam ranah publik, maka sisi yang harus menjadi solusi adalah : Pendidikan dan Kebijakan seputar Pendidikan. Saya juga mengakui bahwa eksistensi budaya feodal- patriarkal punya artefak kuat di pulau jawa bagian selatan ke timur dan semakin kuat nuansa egalitar di area utara- barat.*** Saya pribadi memandang bahwa pengetahuan adalah kekuatan, dan adalah hak perempuan untuk mendapatkan porsi yang sama dengan lelaki. Dalam tema khusus perempuan jawa ini, dengan posisi seperti yang saya sebutkan di atas, maka harapan kemampuan perempuan jawa berpendidikan tinggi, untuk menyelaraskan kearifan nilai budaya jawab tersebut, dengan realitas dinamis zaman yang senantiasa berubah, akan mampu mendidik generasi penerus yang jauh lebih berkualitas, tentunya. Catatan tambahan : * Untuk bisa mendapatkan gambaran lebih luas dan mendalam tentang realisme sosial jawa, saya sarankan untuk mengkonsumsi karya tulisan padat bermutu yang disampaikan oleh Umar Kayam , Darmanto Jatman, dan Satjipto Rahardjo . ** Hikayat Siti Mariah ini bernuansa kemajuan industri gula di Hindia Belanda yang mendominasi pasar internasional saat itu, dan jawa adalah salah satu penghasil gula terbesar di Asia. Latar di Karesidenan Kedu dan Banyumas pada tahun 1840- 1890, saat puncak hasil penerapan Cultuurstelsel, pasca Perang Diponegoro. *** Gambaran budaya feodal dalam kultur internal universitas ini disampaikan oleh orang tua Dr. Sri Mulyani Indrawati, keduanya adalah profesor- guru besar di Universitas Negeri Semarang ( UNNES), yang menyekolahkan kesembilan putra- putrinya di universitas jawa bagian barat- utara ( UI dan ITB). Dr. Sri sendiri dalam pandangan personal saya, dibalik kecerdasannya, dia menyimpan karakter perempuan jawa yang kuat dalam kepribadiannya, terutama soal memegang rahasia internal pemerintah, dalam kasus Century dan kekerasan hatinya dalam kasus Pajak Bakrie, yang saya prediksi masih banyak confidential file tersimpan dipegangnya. Tulisan ini beririsan dengan presentasi Kavita Ramdas , di TED
Written by Maximillian Posted in rational Tagged with feminisme, kecerdasan, keluarga, kemandirian, nyai ontosoroh,perempuan jawa, siti mariah, wanita jawa

Kedigdayaan Kolektif______________
Saya katakan pertahanan terbaik ( best defense) adalah keadilan sosial ( social justice). Makin banyak orang terangkat dari kemiskinan, makin banyak orang tidak tertarik pada radikalisme, apakah sekuler apakah agama ( Juwono Sudarsono, Menteri Pertahanan RI 2004- 2009)

blogosphere.dagdigdug.comTM

engan luas wilayah geografis semacam

Indonesia, distribusi adalah permasalahan utama, maka wajar jika Juwono bilang, kalau dia dikasih keluasan mengatur anggaran, dia akan kembangkan pesawat transpor, kapal transpor, dan kendaraan tempur transpor, atau pendeknya, 70 persen masalah pertahanan, adalah soal distribusi pengiriman logistik maupun manusia. Saya tidak akan bahas soal intelijen dan militer konvensional, dengan anggaran dan instrumen, berikut bertebarannya pengguna telepon seluler dan internet, yang nampak dengan bebas menebar identitas, mengumpulkan informasi, oleh pihak luar, nampak terlalu mudah di negara ini. Persekutuan pertahanan lima negara ( Five Power Defence Arrangements /FPDA), yang melibatkan Inggris, Australia, Malaysia, Singapura, dan Selandia Baru, membuat seolah- olah kekuatan militer konvensional Indonesia dikepung dari segala penjuru. Merujuk ke pendapat Juwono, setidaknya untuk kekuatan esensial minimum, dengan wilayah kedaulatan seluas Indonesia, dan rakyatnya yang 250 juta lebih nyawa, normalnya, dibutuhkan minimal anggaran 125 triliun, dan anggaran kita saat ini di angka 42 triliun, 30% dari normal. Tidak heran jika setiap tahun, Indonesia kecolongan 196 triliun rupiah, karena pencurian ikan, penyelundupan, perompakan, dan pembalakan liar. Peluang terjadinya invasi militer memang kecil, karena toh, tanpa diserang pun, kekayaan di kepulauan dan lautan Indonesia bisa digarong, tanpa perlawanan berarti, selain itu perang konvensional juga butuh investasi besar, lihat saja sudah berapa uang dikeluarkan oleh AS di Irak dan Afghanistan, walaupun saya yakin itu pasti balik modal dan untung besar secara ekonomi buat AS. Ada baiknya kita mulai menyadari bahwa yang wajib untuk menjaga kedaulatan Republik Indonesia bukan hanya militer, tetapi juga sipil. Mungkin tidak harus ada wajib militer semacam IDF-nya Israel ( mulai 18 tahun, mereka 2 tahun ikut wajib militer), setidaknya kita mulai memahami bahwa aspek kejuangan juga dimiliki oleh masyarakat sipil. Toh, walaupun demokrasi menginginkan supremasi sipil atas militer, namun kenyataan harian membuktikan, bahwa pertahanan keamanan negara bukan masalah sepele, apalagi untuk negara dengan format geografis kepulauan semacam Indonesia, distribusi kekuatan adalah mutlak perlu. Kembali merujuk ke pendapat Juwono di atas, tentang keadilan sosial, yang berarti adalah kesamaan peluang bagi setiap penduduk Indonesia untuk berusaha, dan meraih kelayakan hidup, mungkin inilah yang menjadi tugas besar pemerintah RI. Itu berarti ke masalah efisiensi birokrasi, pemerataan infrastruktur, peluang pendidikan formal, dan pengawasan kompetisi pasar. Saya masih ingat dengan pernyataan beberapa TKI, yang nekat balik ke Malaysia lagi, walaupun disana dikejarkejar aparat. Mereka bilang, di Malaysia setidaknya ada kepastian penghasilan, walaupun kecil, tetapi mending daripada di Indonesia. Begitu juga dengan rekomendasi hasil kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, di Makasar, lima tahun lalu. Bahwa daya beli masyarakat Indonesia, secara umum, lemah, bukan hanya karena krisis moneter, ada yang lebih fundamental lagi, yaitu kurangnya lapangan pekerjaan yang memadai. Saya tidak hendak berharap juga kepada lulusan sarjana Indonesia, maupun yang pernah dikirim ke luar negeri, untuk bisa membangun perusahaan sendiri ( dan bisa setidaknya, menyerap tenaga kerja), toh sebagian besar mereka (kita) masuk pendidikan tinggi, karena memang berharap untuk menjadi instrumen mobilitas vertikal, mendapat gaji layak dari perusahaan besar yang bisa menjamin hidup mereka di kemudian hari. Dan kurikulum pendidikan tinggi memang terkena imbas tarikan pasar tenaga kerja, pendeknya, perguruan tinggi adalah penyuplai utama pasar tenaga

blogosphere.dagdigdug.comTM
kerja. Tidak bisa mengharapkan anak muda untuk mulai dari nol, itu bukan budaya manusia Indonesia, kata sejarawan Belanda, JG Ballard. Gelar akademik nampaknya sudah menjadi status sosial tersendiri di Indonesia, walaupun seringkali tidak punya karya apapun yang signifikan. Kalau saya menggunakan instrumen interaksi budaya negara dengan budaya organisasinya Geert Hofstede, mungkin dari sini kita bisa melakukan valuasi, dari mana kita sebaiknya membangun kedigdayaan bernegara secara kolektif. Dari segi jarak kekuasaan ( Power Distance), Indonesia lumayan tinggi, 78, masih lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia ( 112), yang dari sini terlihat bahwa budaya Indonesia memang masih memandang bahwa relasi kuasa itu ada, masih ada rasa feodalisme lama, berikut penghargaan terhadap hirarki kekuasaan. Untuk soal kolektivitas, budaya Indonesia di angka tengah, 46, masih dibawah AS (91), yang dari angka ini terlihat, bahwa manusia Indonesia nampak lebih suka mendefinisikan diri dalam kelompok masyarakat, komunitas agama, atau grup keprofesian tertentu, mendefinisikan diri sebagai individu berkemampuan spesial nampak belum lazim disini. Angka- angka itu organis dan temporer, artinya bisa jadi akan berubah, atau tetap seperti itu. Merujuk pada pendapatnya Satjipto Rahardjo ( alm), bahwa potensi ekonomi sebuah negara bisa meledak, manakala aktivitas ekonomi berlandaskan pada budaya setempat. Dari analisa Hofstede terlihat, bahwa secara kelompok, manusia Indonesia cenderung menghargai hirarki, cenderung kolektif, cenderung feminim ( kurang suka kompetisi), dan cenderung toleran terhadap ketidakpastian. Kalaupun ada yang memprotes, yah ini adalah instrumen untuk menentukan model, cenderung deterministis memang. Dari perayaan lahirnya Republik Indonesia yang ke- 65 kemarin itu, dari situ sebaiknya kita mulai berpikir ulang, tentang makna nasionalisme Indonesia itu sendiri. Jika lahirnya Indonesia didasarkan atas kesamaan nasib, jelas kurang tepat, karena tidak semua wilayahnya secara dejure menjadi daerah koloni Kerajaan Belanda, kalaupun iya, tidak semuanya sampai 350 tahun. Menceritakan kembali romantisisme Sriwijaya dan Majapahit, juga bagian lain absurditas imajinasi politisi, untuk melegitimasi kekuasaannya atas 250 juta lebih orang di nusantara. Saran saya adalah soal kesamaan kepentingan kita untuk bersatu dalam satuan sinergis, kehidupan mutualis, dan tidak dijajah oleh manusia dari sesama bangsa sendiri ( setelah ditinggal Belanda). Sebaiknya, pemerintah mulai sadar diri, bahwa kedigdayaan itu bukan sekedar milik pemerintah Republik Indonesia, atau milik Presiden SBY semata. Akan sangat absurd misalnya, ternyata militer Indonesia cukup punya anggaran yang setara dengan Persekutuan Pertahanan Lima Negara, tetapi masih juga mengekspor TKI ( dan mendapat kontribusi pemasukan negara) ke lima negara tadi ( kecuali Inggris), dengan kompetensi sebagai buruh dan PRT. Atau ekonomi kita lebih didominasi oleh konsumsi domestik. Peran ekspor relatif kecil karena kita tidak cukup kompetitif ( dan barang yang diekspor pun termasuk primer), sesuatu yang selama ini justru kita keluhkan. Sekali lagi, cukuplah pemerintah berperan untuk mengefisiensikan birokrasi, memeratakan infrastruktur, menjaga keseimbangan distribusi pendidikan formal, dan membuka peluang sebesar- besarnya bagi masyarakat Indonesia untuk menjadi pelaku pasar riil. Rakyat Indonesia, walaupun tidak semua, punya kemampuan untuk membangun kecerdasan kolektif, dan sekaligus kedigdayaan kolektif, dan itulah pertahanan keamanan jangka panjang untuk nasion bernama Indonesia, jika memang kita serius ingin mempertahankannya.
Written by Maximillian September 15th, 2010 at 10:12 pm Posted in rational

blogosphere.dagdigdug.comTM

PEMBURU DAN PETANI___________________

ari media, terdengar banyak pihak yang berharap

bahwa lulusan terdidik sekolah formal di Indonesia ( apalagi yang lulusan dari negara lebih maju) akan membangun institusi perusahaan, mengimplementasikan disiplin ilmunya berpadu disiplin bisnis, membuat lapangan kerja, memberi nilai tambah ekonomi untuk SDA mentah kita, dan tentunya mendinamisasikan ekonomi nasional. Bagaimanapun, saya tidak berpandangan bahwa pengusaha berpengetahuan, lebih mulia dibanding karyawan profesional, itu adalah sebuah pilihan kedewasaan, aktualisasi kapasitas personal, dan supremasi pengetahuan, dipengaruhi budaya komunitas, dan keberadaan naluri pemburu prasejarah dalam rantai DNA kita.

Pemburu Aktivitas pengusaha yang mulai dari nol, biasanya dimulai dari broker, perdagangan, dan berkembang ke distribusi, baru merambah fungsi produksi. Fungsi kognitif perdagangan menuntut pelaku untuk mengenali peluang, menghargai tinggi informasi, memahami pola pergerakan konsumen, mengendus karakter konsumen, berbagi informasi dengan rekanan, mengukur resiko pengambilan keputusan, dan membiasakan diri berkompetisi dengan pesaing.

Anda ingat fase berburu dan meramu lalu berganti ke fase bercocok tanam dalam deskripsi kehidupan prasejarah ? Bentuk aktivitas manusia, secara kognitif, sebenarnya tidaklah signifikan berubah semenjak zaman prasejarah, sampai sekarang, hanya kompleksitasnya bertambah dan berubah instrumentasi. Manusia mengalami pergeseran fase dari berburu- meramu ke bercocok tanam, gaya hidup nomaden ( berpindah-pindah) ke sedenter ( menetap). Evolusi kognitif dan sosial tidaklah merubah semua unsur, naluri pemburu itu masih ada, hanya bermodifikasi. Manusia bergerak jika tiga tombol utama kesadaran disentuh : makanan, seks, dan bahaya. Saat ini, kita fokuskan ke aspek pertama, makanan. Pada fase berburu- meramu, manusia harus bisa mengenali pola buruan, mengumpulkan informasi, belajar dari pengalaman gagal, mengenali karakter buruan, beresiko tinggi terbunuh, membagi informasi dengan kawanan, dan siaga bersaing dengan kawanan pemburu lain. Aktivitas ini menuntut keuletan, keberanian, sikap pembelajar, dan pantang menyerah, karena kalau tidak begitu, mereka tidak mendapat buruan, dan mati. Aktivitas berburu- meramu dominan pada fase masyarakat nomaden, dan pada fase masyarakat sedenter bergeser ke bercocok tanam ( pertanian) lalu peternakan. Aktivitas bercocok tanam ini, manusia punya pola tetap musim panen dan musim tanam, mengatur penggudangan, faktor keterjaminan makanan lebih tinggi, serta tidak perlu bersaing untuk mendapatkan makanan.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Tetapi, apakah naluri untuk berburu itu hilang sama sekali ? Oh, tentu saja tidak. Naluri pemburu itu masih ada dalam pusat kesadaran organisme manusia, hanya saja jumlahnya menyempit, dimiliki oleh sebagian kecil individu dari komunitas yang memang lebih memilih untuk melakukan aktivitas yang punya resiko lebih kecil, disinilah evolusi kognitif dan transformasi sosial terjadi. Dominan tombol pusat kesadaran pemburu ini lebih kepada organisme lelaki, kenapa ? Tombol pusat kesadaran lelaki cenderung ke : peluang, dominasi, dan kekuasaan. Ingat, aktivitas berburu berarti harus mampu mengkuantifikasi peluang, berhitung dengan resiko, dan cepat mengambil keputusan, bukan begitu ? Selain itu, dalam perkembangan pengusaha yang mulai dari nol, dia pasti akan berpikir untuk melakukan penguasaan pasar ( dan kalau bisa, dimonopoli), berkembang lagi mengontrol distribusi, dan yang terakhir membangun basis produksi, di tahap ini dia sudah menjadi yang berkuasa. Organisme perempuan, tombol pusat kesadaran cenderung kepada : keamanan, komitmen, dan andil. Ingat, faktor ini berhubungan dengan aktivitas bercocok tanam, yang cenderung aman, terpola, dan lebih kecil resiko dibanding berburu. Lalu, apakah kemudian berarti perempuan tidak cocok menjadi pemburu, atau pengusaha ? Tidak juga, bagaimanapun, lelaki dan perempuan tetaplah spesies yang sama, manusia. Hanya, saya tegaskan, evolusi kognitif dan transformasi sosial turut mengkonstruksi identitas pembeda antara lelaki dan perempuan, jadi ini soal perbandingan jumlah, bukan tertutupnya peluang perempuan tipe pemburu terwujud.

Kawula

Bagian ini, ontologi yang saya gunakan adalah antropologi, itu pun menyempit hanya pada Pulau Jawa, kenapa ? Karena, faktanya, pola pikir perimbangan relasi kuasa masih dominan dipengaruhi perspektif kejawaan tinggalan Orde Baru, yang wujudnya republik tapi bercita rasa kerajaan itu. Kekuasaan kerajaan di Jawa sifatnya konsentris, tidak mengizinkan kekuatan lain selain sang baginda. Sifat kekuasaan politik juga merambah ke ekonomi, sang baginda beserta perangkat institusi kerajaan juga menguasai sumber- sumber kekayaan. Cerapan ini menunjukkan bahwa budaya jawa tidak memberi peluang para kawula ( rakyat) untuk duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Budaya ini mematikan peluang golongan pedagang/ swasta untuk mengembangkan kapitalisme pasar, konsep politik tidak mentolerir orang kuat selain mereka, dan kekayaan berikut jejaring pasar adalah bentuk lain kekuatan, yaitu kekuatan ekonomi, yang bisa sangat mengancam kekuatan politik raja. Pengaruh ini masih terasa di lingkar dalam pusat budaya Jawa, Jogjakarta dan Surakarta ( Solo), berikut area di sekelilingnya. Sedangkan untuk kota- kota kosmopolitan di pesisir Pantai Utara Jawa, semacam Semarang, Surabaya, Pekalongan, atau Jakarta, bertumbuhan para pedagang yang punya peluang untuk membangun instrumen ekonomi independen, berikut kesempatan untuk menantang kekuasaan politik raja. Budaya ini turut mempengaruhi cara pandang masyarakat luas, tentang nilai status menjadi bagian dari pusat kekuasaan, dalam format birokrat ( adipati, pegawai negeri sipil), serdadu punggawa raja ( senopati, tentara), punya nilai lebih dari segi jaminan keamanan masa depan, atau dalam format ala Orde Baru, jikalaupun membangun perusahaan, maka ada tangan baginda raja yang bermain dan mendapat jatah di dalamnya

blogosphere.dagdigdug.comTM
Orang Muda Setiap pemburu pemula pasti merasakan beratnya jelajah penguasaan medan, pahitnya kegagalan meraih buruan, atau malah terluka dan merasa putus asa. Tetapi, itulah momen disonansi kognitif, momen evaluasi untuk melatih diri beradaptasi dengan keadaan yang jauh lebih berat dibanding kapasitas personalnya, berikut meningkatkan kemampuan untuk perburuan berikutnya. Setiap sarjana terdidik di perguruan tinggi, atau master, bahkan doktor, pasti memiliki kapasitas intelektual yang tinggi, tetapi tentunya motif awalan dia menempuh sekolah setinggi itu, setiap orang pasti berbeda. Apakah dia ingin menjadi bagian kerumunan petani yang suka aman, atau kawanan pemburu yang gemar bertualang , itu sangat menentukan akan dikemanakan ilmu yang telah diperolehnya selama sekolah. Sekolah formal tak bisa disalahkan jika tak mampu mendidik manusia yang bisa membangun lapangan kerja.Tentunya calon pemburu seyogyanya dilatih juga oleh pemburu , bukan petani.Harus di medan perburuan, bukan cuma teori. Itupun harus sedari dini, bukan cuma saat di usia sekolah tinggi. Mempelajari latar belakang budaya menjadi sangat penting, mengingat aktivitas ekonomi suatu kelompok bisa meledak, manakala berbasis pada budaya setempat. Dari budaya kita akan tahu, darimana kita harus berangkat. Senantiasa belajar itu harus, sekolah itu penting, dan melatih diri untuk memiliki mental pemburu itu wajib, karena setiap kawanan pemburu berpengetahuan mumpuni tentunya akan lebih efektif meraih hasil buruan. Jika memang ingin membangun Indonesia yang punya kemandirian ekonomi kuat, maka jadilah bagian kawanan pemburu, ini bukan soal bagaimana caranya menjadi kaya mendadak, tetapi tentang menikmati perburuan itu sendiri, karena berburu itu sungguh mengasyikkan, mari berburu Kawan

Terinspirasi Virus of the Mind, Richard Brodie Politik Jawa dan Presiden Perempuan, Darmanto Jatman Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang, Ong Hok Ham
Written by Maximillian Posted in rational Tagged with entrepreneusthip, filosofi, genealogi entrepreneurship,hormonal, kewirausahaan, pemburu, pemuda, testosteron

Revelation; Does God Exist ?_________________

arena terlahir sebagai muslim ( kebetulan),

terkadang sumpah, Theres no god beside God and Muhammad is a God messenger, begitu mudah diucapkan, tanpa ada rasa pertanyaan, kenapa dan bagaimana bisa sumpah sedemikian berat itu meluncur dari mulut kita ? Ikrar itu sungguh tidak mudah dimaknai, bagi seseorang yang terlahir bukan

blogosphere.dagdigdug.comTM
sebagai muslim, saya salah satunya, untuk sepenuhnya berserah diri. Kamu, pernah menanyakan hal- hal di bawah ini ? Saya harus berjuang mencari jawaban dari pertanyaan yang keluar dari diri saya sendiri, sebelum mantap berikrar dua kalimat penyerahan diri itu. Tanpa ada Ayah yang mendidik- Ayah kandung saya, bukan muslim, sudah meninggal saat saya berumur 5,5 tahun-, dan Ibu yang membimbing, berikut lingkungan sekitar yang sinkretik abis, masa- masa pencarian itu rasanya berat sekali dilupakan. 2 bulan lamanya terombang- ambing, dan rasanya tidak terlupakan juga, ketika satu persatu pertanyaan itu mulai mendapat jawaban ( sementara ini)

Mau berbagi ? Ini beberapa pertanyaan yang dulu sempat saya tanyakan. Keknya logika banget ya ? Iya nggak sih ?. Waktu peristiwa ini terjadi, saya berumur 15 tahun.

Kenapa Tuhan harus ada ? Kalau Dia mau dia ada, dia akan mengadakan, kalau Dia mau Dia tidak ada, itu juga terserah Dia, karena Dia juga punya kehendak. Tidak penting Dia ada atau tidak, yang jelas, ciptaan ada karena manusia mampu mendefinisikan. Mendefinisikan adalah kemampuan mengenali suatu objek untuk kemudian berusaha memberikan label, itulah yang disebut dengan nama benda. Kemampuan yang Tuhan berikan kepada Adam, adalah kemampuan mendefinisikan sesuatu hal.

Kenapa Tuhan harus didefinisikan ? Biarkan Dia mendefinisikan diriNya sendiri, jika dia memang mengaku bernama Allah, maka bolehlah kita panggil Dia dengan sebutan Allah. Kalaupun kita berusaha mendefinisikan Dia, itupun hanya terbatas pada memahami ciptaan Dia, salah satunya adalah kita sendiri. Cara Tuhan berbahasa adalah dengan karyaNya. Itu adalah lingua franca Dia. Kalau mau mendefinisikan Dia, pahami bahasa-Nya. Cuma, terkadang manusia suka mendefinisikan kata- kata Tuhan dengan hasrat mereka sendiri, jadinya suka saling menumpahkan darah, yang secara nalar terlihat bodoh, memangnya sukar sekali ya, berdiskusi baik- baik ? Kenapa Manusia mencari Tuhan ? Mungkin, kita yang punya tiga kemampuan, yaitu Cipta, Rasa, dan Karsa. Mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lain yang punya otoritas selain kita. Mulai mencipta bahwa ternyata Dia punya sifat dan kehendak. Mulai berkehendak bahwa Dia sebaiknya ada. Kenapa Tuhan menciptakan aturan ? Saya tidak tahu, tanyakan pada Dia langsung, hanya saja, Dia tidak pernah bicara dengan kita secara langsung. Dia menciptakan aturan yang kompleks dalam ranah semesta yang luas, dimana setiap aturan punya aksioma sendiri. Kita baru bisa mendefinisikan tentang kausalitas saja, dugaan saya, ada takdir lain selain kausalitas. Hanya saja, terkadang manusia cukup sombong untuk berhenti bertanya lalu dengan tergesa menyimpulkan, Ini loh maksud Tuhan, lupa bahwa dalam setiap akhir kata, selalu ada kata, Wallahu alam bishshowab. Kenapa ada Takdir ? Saya tidak merasa tahu juga apa itu takdir. Setahu saya, takdir adalah hukum, semacam hukum matahari berputar pada porosnya, dan bumi berevolusi selama 365,5 hari, itulah takdir. Ya, itulah yang orang sebut dengan The Law of Universe. Orang suka bilang soal universalitas hukum, dan sifat kesemestaan hukum itu sendiri. Kita memang harus tahu takdir, tapi sepertinya takdir yang dimaksud, adalah mendefinisikan kita, siapa kita dan seperti halnya

blogosphere.dagdigdug.comTM
memahami hukum kausalitas akademis, kita harus senantiasa mengobservasi diri dan alam semesta. Tentunya, dengan data, yang diawali oleh asumsi. Ayat pertama saja sudah bicara, Observasilah, kata Tuhan- yang mengakunya bernama Allah itu- untuk membaca takdir semesta, dan tentunya termasuk kita di dalamnya. Walaupun yang namanya Teori Segala Sesuatu itu belum ketemu, cuma, kalau yang saya pahami sejauh ini dalam kata Tuhan di ayat pertama surat itu, bahwa ada hukumhukum dalam setiap penciptaan Dia, yang sifatnya sudah Dia tentukan, bisa ambil contoh mengenai Gravitasi dan Kecepatan Cahaya, yang ternyata, ada. Dan, itu harus diobservasi sedemikian rupa, dari yang semula di otak, kemudian dilakukan penelitian, dan memang ada kan ? Kenapa kita harus percaya adanya Takdir ? Kenapa kamu bilang harus ? Sebenarnya, kamu akan paham bahwa yang namanya takdir itu ada, kalau kamu mengobservasi bahasa Dia, karya Dia. Seperti Tuhan bilang, itu buat kita juga sih.Analognya, setelah tahu bahwa takdir bumi berevolusi selama 365,5 hari, ada banyak konstruksi yang manusia bisa perbuat bukan ? Kalau kamu mau tahu hukum apa yang telah, sedang, dan akan terjadi kamu, ya kamu harus senantiasa mengobservasi diri kamu sendiri. Ya, kan itu yang seseorang bijak pernah bilang, Kalo loe mo tahu siapa Tuhan, loe kudu kenali diri loe sendiri. Siapapun yang kenal dirinya, dia bakalan kenal siapa TuhanNya. Artinya, hukum itu berlaku di kita juga. Dan harusnya, setelah tahu riwayat takdir yang pernah berlaku pada kita, kita bisa berbuat lebih, soalnya, takdir masa depan kita juga punya hak buat ngebuat sendiri, kan ? Saya ambil contoh mengenai Gravitasi dan Relativitas Umum, awalnya dari pemikiran, yang berarti si penemu berusaha bertanya pada dirinya sendiri, kenapa ? Benar ? Lalu, dia berusaha melakukan pembuktian pemikirannya ( atau, hipotesisnya) dengan melakukan serangkaian penghitungan dan penelitian, dan jikalau dia berhasil membuktikan bahwa pemikirannya itu eksis, maka, dia menemukan salah satu takdir semesta. Artinya, sebenarnya takdir itu sudah ada dari dulu, dia terperangkap dalam ruang dan waktu, manusia, setelah berusaha mengenali dirinya dengan bertanya dan membuat hipotesis personal, lalu dia mencari, dan hola, ketemu si takdir ini! Tapi, manusia menemukan sesuatu, yang sebenarnya, sudah eksis, kan ? Kenapa Tuhan menurunkan Agama ? Saya tidak tahu, itu maunya Dia sendiri kan ? Tanyakan langsung saja ke Dia. Kalau kata Dia, bahwa Dia menurunkan pembawa pesan sebentuk dengan bentuk makhluk yang Dia tuju, itu juga terserah Dia sih. Mengenai legalitas lembaga berlabel agama, itu kan inovasi manusianya sendiri, memangnya Tuhan meminta Anda untuk melembagakan risalah-Nya secara eksplisit juga dalam bentuk objek fisik ? Karena sepemahaman saya, inspirasi soal keberadaan Dia, dan konfirmasi kenapa Dia menciptakan semesta, itu adalah sebuah berita, dan terserah pada manusia, apakah mau mematuhinya, atau tidak. Kenapa manusia menggagas bahwa Tuhan itu ada ? Tuhan bisa jadi merupakan gagasan saja, jika kamu menganggapnya seperti itu. Maksud saya, bedakan Tuhan, dengan Konsep KeTuhanan, dua hal yang berbeda.Manusia mengalami evolusi fisik ( anatomis- fisiologis), moral ( etika), dan akal ( intelektual). Paradigma tentang Tuhan ternyata dipengaruhi variabel tiga evolusi tersebut, namun, apakah Tuhannya sendiri berubah, saya pikir tidak, itu hanya soal manusianya sendiri yang berpikir dia mengenal Tuhan dengan baik, padahal, dia hanya sok kenal Tuhan, paham ? Kenapa Tuhan menurunkan pembawa pesan ? Itu juga terserah Dia sih. Sepengalaman saya, kalimat sumpah yang menyatakan bahwa Theres no god beside God and Muhammad is a God messenger, lebih susah dipahami pada aspek kedua, paham maksud saya ? Memahami bahwa Tuhan itu eksis dengan sendirinya, dalam hal ini, Dia tidak berada dalam ruang dan waktu, sesuai pemahaman saya mengenai relativitas umum, melainkan di luar ruang dan waktu, jauh lebih mudah dibanding

blogosphere.dagdigdug.comTM
sumpah kedua, bahwa Tuhan yang mengaku bernama Allah ini mengutus pembawa pesan, bernama Muhammad, yang notabene Muhammad ini adalah makhluk bumi, spesies manusia, dan bukan alien, atau mungkin kita bahasakan lebih halus, malaikat. Jika pemahaman kamu seperti saya, sempat- sempatnya Tuhan- yang bernama Allah, kata Dia sendiri- ini, menyuruh seseorang untuk menjadi pembawa pesannya, padahal, secara kuantitatif maupun kualitatif, Planet Bumi itu kecil, dengan jumlah penghuni yang mungkin kecil juga, apa kepentingan Tuhan mengirimkan pembawa pesan ? Saya tidak tahu pastinya, yang pasti, Dia bilang, bahwa pesan ini adalah bentuk kasih sayang-Nya, wow, penuh kasih rupanya ya, kreator kosmos ini, baru paham Who said that business streetfighter always shallow minded bout God ? Im not really juga tuhAh, pusing !
Written by Maximillian Posted in rational,soul Tagged with epiphany, experience, god, hidayah, islam, muslim, personal,revelation, syahadah

SIMBOL__________________________________

asca kekalahan kelompok Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa (

20 Juli 1825- 23 Maret 1830), implikasi kultural yang terbentuk pada kalangan masyarakat Jawa ( lingkar dalam Jogja- Solo, dan daerah sekitarnya) sangatlah mendalam, bahkan diturunkan sampai beberapa generasi setelahnya. Perang Jawa mencatat, dari 23 ribu serdadu Belanda yang dikerahkan (tiga ribu di antaranya didatangkan langsung dari Belanda), delapan ribu di antara tewas. Sementara jumlah serdadu bumiputera yang dikerahkan Belanda ditemukan tujuh ribu di antaranya tewas.Sejarawan MC Ricklefs mengajukan angka hingga 200 ribu orang Jawa kedapatan tewas, sehingga penduduk Yogyakarta disebut-sebut hanya tinggal separuhnya. Sejak kekalahan telak itu, para bangsawan Jawa, baik dari Surakarta maupun Yogyakarta, membuang jauh-jauh impian-impian untuk mengusir pemerintah kolonial Hindia Belanda dari tanah Jawa. Peran kraton-kraton Jawa surut ke dalam dan hanya menjadi lembaga-lembaga ritual, itupun dengan bentuk- bentuk ritualitas yang semakin kompleks, rumit, simbolistis, sekaligus tidak fungsional sama sekali. Diponegoro, Sentot Prawirodirdjo, Untung Suropati, Trunojoyo, masih bisa dengan bangga menyandang keris di depan, lalu kenapa sekarang lelaki jawa harus menundukkan sikap, dan dengan malu- malu menyembunyikan kerisnya di punggung belakang dekat pantat ? Lalu membuat pembenaran bahwa keris di depan itu tidak sopan,

blogosphere.dagdigdug.comTM
kurang tata krama ? Tidak seharusnyalah beban kekalahan dan rasa malu itu ditanggung juga oleh generasi muda yang ada jauh setelahnya. Sebuah simbol terkadang menjadi lebih kuat dibanding substansi, bahkan simbol menjadi bentuk lain dari substansi, jauh lebih penting karena secara visual lebih dapat dibuktikan keberadaannya. Kalangan sejarawan mengenal Teori Perifer. Teori ini menyatakan bahwa peradaban yang tumbuh di daerah pinggiran ( perifer), cenderung lebih mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, berikut cepat merespon untuk kembali membentuk budaya baru. Sedangkan peradaban yang menjadi pusat tumbuhnya peradaban baru, atau agama baru, cenderung untuk terbebani dengan sejarah masa lalu, lalu kesulitan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman dan kemudian mati. Kasusnya jamak, terjadi pada pusat peradaban klasik Sungai Eufrat Tigris ( Afrika Barat), Mesopotamia ( Timur Tengah), Kuning ( Asia Timur), dan Indus- Gangga ( Asia Barat) yang pernah menjadi pusat pengetahuan, kekuasaan, ekonomi, dan militer, ada masa matinya juga Dalam perkembangannya, Eropa Barat, Eropa Utara, Asia Timur jauh ( Jepang- Korea), dan Amerika Utara, melesat cepat, menggantikan hegemoni masa lalu, dan menjadi pusat peradaban baru. Tesis Ibnu Khaldun tentang pola pergantian peradaban, dalam rentang waktu tertentu, memang terjadi nyata, manusia lahir dan mati. Yang hidup akan berkelompok lalu membentuk tradisi baru.Indonesia, adalah peradaban perifer Republik Indonesia, lahir sebagai sebuah komunitas terbayang, sebelumnya telah hadir komunitas konkret yang meninggali Kepulauan Nusantara. Otomatis, sebagai sebuah komunitas terbayang, peradaban Indonesia lahir atas sebuah komitmen persatuan dalam keberagaman, yang sifatnya memang lebih membutuhkan proses berpikir lebih canggih dibandingkan dengan persatuan sebuah negara berdasar atas kesamaan etnis, suku, agama, atau bahasa. Komitmen persatuan atas keberagaman ini tidaklah selesai dalam satu generasi, karena manusia lahir, hidup, dan mati. Komitmen satu Indonesia atas keberagaman seharusnya diwariskan antar generasi yang lahir dalam setiap zaman baru. Setiap generasi akan menghadapi tantangan zamannya masing- masing, maka komitmen tentang Indonesia Satu sebaiknya juga tidak terbangun dari trauma masa lalu yang terkadang terasa hiperbolik, dramatik, romantik, sekaligus melankolik yang bikin mual orang muda Memahami akar budaya itu penting, dan saya sepakat dengan itu, namun jika masa lalu justru membebani langkah menuju masa depan, berikut merenggut rasa kemerdekaan sebagai manusia berakal, di situlah letak ketidaksetujuan saya. Tanpa mengurangi rasa hormat saya dengan Pemerintahan Orde Baru dan Jenderal Soeharto, dalam hemat saya, pasca naiknya Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI awal 70-an, memang terlihat signifikan perubahan budaya di Indonesia, terutama dari segi keterbukaan investasi ekonomi, luar biasa. Namun, di sisi lain, mulai 80-an, terlihat wajah lain dari cantiknya kekuasaan, yaitu kecenderungannya untuk korup dan menghancurkan kepercayaan. Terasa sekali kolonialisme Jakarta dan hegemoni Jawa tumbuh subur di kalangan birokrat dan militer ( Angkatan Darat khususnya). Disadari atau tidak, terlihat sekali dari segi pendidikan, universitas terbaik terkonsentrasi di Pulau Jawa. Segi ekonomi, 80% perputaran uang terkonsentrasi di Jakarta, padahal Jakarta notabene tak punya sumber bahan baku, daerah luar Jakarta jauh lebih kaya bahan baku, secara de facto. Kenyataan ini tentunya menyakitkan, terutama bagi yang tahu faktanya, bagi manusia Indonesia yang bermukim di luar Jakarta, atau luar Jawa. Paradoks dengan slogan- slogan kosong nasionalisme yang sesaat nampak seksi itu, masalah perut tentu tak bisa diajak kompromi bukan ? Tetapi, semoga ini tidak menjadi alasan untuk melemahnya komitmen Indonesia Satu, seberapapun menyakitkannya. Saya lebih suka jika komitmen Indonesia Satu dibangun dengan kejujuran terhadap masa lalu tanpa terperangkap oleh nostalgia melankolik yang bikin kambuh rasa mual muntah, berikut optimisme melangkah ke depan dengan pembentukan identitas keIndonesiaan yang realistis, jujur, tanpa menghilangkan keberagaman yang sudah ada, bahkan tetap menjaga sinerginya Lagi pula, di sisi lain, saya menaruh belas kasihan dengan posisi Jakarta yang sudah hampir tenggelam itu. Setiap kali harus mengurus pendanaan perusahaan saya ke bekas Batavia itu, saya tidak mau membayangkan untuk tinggal di kota yang untuk bernapas saja susah cari yang bersih, airnya diambil dari Sungai yang warnanya ( dan bau) tidak

blogosphere.dagdigdug.comTM
karuan, kendaraan yang tidak bisa bergerak bebas, dan panasnya setengah mampus. Kawan muda mantan sekampus kebanyakan lari ke Jakarta memang soal imajinasi penghidupan yang layak, namun dengan kualitas kehidupan seperti itu, atau cara pilihan mati karena kanker paru, stres, kolesterol, kanker rahim, atau sipilis, bukan pilihan cara mati yang keren buat saya. Sebaiknya, simbol Jakarta sebagai pusat politik sekaligus ekonomi ini mulai direduksi, kasihan Penduduk Jakarta, kota yang kelihatan cantiknya cuma kalau sudah malam hari itu Pelan- pelan Sobat, kita usahakan untuk membangun pusat- pusat ekonomi di kota luar Jakarta. Ada Bandung, Jogja, Solo, Semarang, Surabaya, Lampung, Medan, Aceh, Pontianak, Kutai, Manado, Makasar, Ambon, Halmahera, dan kota- kota lain yang orang mudanya siap membangun masa depan Indonesia Satu yang lebih baik dan beradab, tanpa harus tergantung dengan Ibukota. Cukuplah Jakarta menjadi Ibukota politik, kami orang muda ini, berbaik hati ingin mengurangi beban pemerintah pusat untuk mengatur seluruh manusia di Kepulauan Nusantara yang luas ini. Lagi pula, sekarang sudah ada internet, Singapura, transito perdagangan Asia Tenggara mudah dicapai dengan maskapai murah, dan anak- anaknya Pak Harto sudah tidak punya pelindung lagi, apalagi yang menjadi halangan ? Sekali lagi, saya tidak mau terbebani trauma masa lalu, apalagi terjebak simbolisme. Bagi saya, menjadi keren itu penting sekali ! Dan manusia terkeren adalah yang paling bermanfaat buat sesamanya. Menaruh senjata di depan, adalah keren menurut saya, tanpa ada rasa rendah diri, apalagi beban sejarah masa lalu. Masa depan masih banyak tantangan yang harus dihadapi, berikut prestasi yang harus diraih. Sobat
Written by Maximillian Posted in rational Tagged with introspektif, lelaki jawa, masa depan, perang jawa, retrsopektif,satria jawa, simbol kejawaan

PRAMUKA !______________________________
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Tidak berguna, bubarkan saja Diganti Menwa, ya sama saja.. Lebih baik diganti Pramuka.. ( Plesetan Mars ABRI, mars demonstran 1998)

ramuka ya ? Apa yang terbayang di kamu ? Kotor, dekil,

tidak canggih, murahan, kurang kerjaan, membosankan, udik, kekanak- kanakan, tidak berasa urban, kuno, bau badan apek, seragam cokelat kucel, kulit legam dijemur , tenda kumal, masakan campur aduk, ceria berlebihan, tidak higienis, korsa absurd, sampai berasa militeristik. Itu lazim, saya sendiri kurang tahu, apakah saat ini yang namanya gerakan kepanduan Indonesia ( Pramuka), masih diminati oleh adik- adik saya di sekolahnya. Yang pasti,

blogosphere.dagdigdug.comTM
Pramuka memberikan pembelajaran penting, momen indah, dan kesan yang mendalam buat saya pribadi. Tahapan Siaga dan Penggalang terutama, karena pasca itu, saya tidak mau aktif lagi di Pramuka, ada pilihan lain yang lebih menarik. Substansi epistemologis kepramukaan ini adalah pada fungsi pemandu ( Scout), yang juga menjadi fungsi dasar kemiliteran, serta pendidikan dasar bela negara untuk kalangan sipil. Kemampuan bertahan hidup di alam liar, membaca peta dan menentukan posisi, mencari jejak layaknya pemburu, berkomunikasi dengan kode- kode sandi, membuat peralatan darurat siap pakai ( dan siap bongkar), menerjemahkan tanda alam, solidaritas kelompok, disiplin komunitas, serta rasa keriangan untuk menjaga lingkungan sekitar. Lord Baden Powell yang memulai gerakan kepanduan ini di Inggris, untuk kalangan pelajar sekolah dasar dan menengah, sedang di Indonesia, dibawa oleh Sneevliet ( Hindia Belanda waktu itu).

Pada Orde Baru, Presiden Soeharto nampak sangat peduli dengan Gerakan Pramuka. Pramuka menjadi bagian ekstrakurikuler wajib pendamping kegiatan akademik sekolah, momen pertemuan dan kompetisi juga terselenggara rutin lokal, nasional, bahkan internasional. Adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi kami, waktu itu, untuk bisa mengikuti momen pertemuan antar Pramuka, semacam Jambore Daerah, atau Jambore Nasional. Akan tetapi, waktu itu, saya tidak berkesempatan mengikuti Jambore, melainkan Lomba Tingkat. Jika Jambore adalah momen pesta dan keceriaan, maka Lomba Tingkat ini adalah momen kompetisi dan sangat serius. Lomba Tingkat juga berjenjang, dari Lomba Tingkat 1 di sekolah, sampai Lomba Tingkat 5 di nasional. Regu tergiat ( terbaik) Lomba Tingkat 5 dipastikan mewakili Indonesia mengikuti Jambore Kepanduan Internasional. Saya ingat, waktu itu satu regu terdiri dari sepuluh personel. Kita berkemah dalam satu kawasan luas bersama dengan puluhan regu lain. Ada tenda utama, tenda pendukung, dan tenda tamu dalam satu wilayah regu. Lomba Tingkat berlangsung selama 7 hari penuh, dan sistem penilaian berlangsung 24 jam. Kita harus siap dengan berbagai bentuk kompetisi, mulai baris berbaris, mencari jejak, semaphore ( kode bendera untuk kapal laut), morse tengah malam, jurit malam, tali temali, memecahkan sandi, halang rintang ala militer, keterampilan panorama, elektronika dasar, sampai pertunjukan seni di acara api unggun bersama. Kegiatan selalu dimulai apel tiap pagi, dan tiap malam kami harus bergiliran jaga, karena bisa jadi ada panggilan peluit untuk morse suara di tengah malam, untuk petunjuk kegiatan esok, kalau ketiduran, bahaya. Kami harus memasak sendiri, jangan bayangkan soal rasa, bagi kami saat itu, rasa lapar dan capek membuat nasi tidak matang jadi enaknya bukan main. Kami harus siaga terus, jadi 7 hari tidak mandi, kalau sempat ganti celana dalam, itu juga sudah beruntung ( seringnya sih dibolak- balik, side a- side b, tolong jangan dibayangkan ya !). Belum urusan MCK yang serba darurat, untung ada sungai dekat area perkemahan. Keadaan itu sangat beralasan membuat orang sakit, diare misalnya, dan kalau ada yang sakit, kita akan semakin runyam lagi. Rasanya, daya tahan tubuh kita berlipat luar biasa waktu itu. Mau tidak mau, di tengah kompetisi yang menuntut kerja tim seefisien dan efektif mungkin, kita harus bisa berbagi, saling menjaga kawan, melaksanakan semua tugas secara mandiri, tidak merepotkan sesama anggota regu ( karena semua repot), saling dukung, dan berusaha memperkecil potensi konflik. Usia kita 13 tahun waktu itu, saya masih ingat. Disadari atau tidak, dari momen itulah saya belajar banyak makna potensi diri, karakter pribadi, persahabatan, komitmen, kemandirian, kerja sama, dan menghargai alam dalam urusan bertahan untuk tetap hidup, berikut mengetahui potensinya dan menjaganya, tanpa banyak teori atau slogan kosong. Kita langsung berada di tempat dan waktu yang tepat. Sangat membekas karena usia saat itu 7- 14 tahun ( Siaga- Penggalang), kepramukaan lebih pada tataran praktek lapangan, bertepatan dengan usia psikologis akhir masa kanak- kanak, dan awal usia remaja, potensial untuk

blogosphere.dagdigdug.comTM
dibentuk fungsi kognitif, afektif, dan psikomotoriknya. Pasca 15 tahun, remaja mulai merasa bisa semua, egosentris, jika sudah merasakan nuansa egaliter ala Pramuka, maka ada ruang toleransi dan solidaritas sesama di dalam dirinya. Ngomong- ngomong, di tengah santer slogan tentang pendidikan karakter, apa kabar Pramuka hari ini ?
Written by Maximillian Posted in soul Tagged with baris berbaris, bela negara, cinta alam, elang buana, jambore,kemandirian, lomba tingkat, mencari jejak, morse, penggalang, pramukla,semaphore, semi militer, tali temali, tenda

Menyoal Pendidikan Privat__________________

emberikan kepercayaan kepada institusi sekolah, sebagai

instrumen pendidikan dan pengajaran utama, nampaknya terwujud sebagai satu kelaziman sosial. Pandangan ini epidemik, nampak idiom pendidikan hampir pasti menyeret idiom lain bernama sekolah. Sekolah adalah instrumen negara untuk membangun peradabannya secara sistemik, opini ini terbentuk dari otoritas penuh negara untuk menciptakan kurikulum dan standar. Menafikan bentuk lain instrumen pendidikan, adalah sebuah kenaifan sosial. Membebankan fungsi pendidikan, pembentukan karakter, dan penumbuhan sifat kemanusiaan, hanya pada instrumen sekolah, juga pilihan ketidakbijaksanaan dalam bentuk lain. Variabel individu manusia sangatlah kompleks, paduan individu manusia dalam satu kelas, jelas akan membentuk kompleksitas baru yang lebih canggih. Kelindan keunikan individu ini bertemu dengan nilai dan ilmu yang sifatnya generik, dalam ruangan kecil bernama sekolah, hasil yang dicapai pun, diukur lagi dalam standar yang juga generik. Sifat kelas yang simplifikatif, reduksionis, dan empiris ini adalah karakter dunia akademis. Dalam satu sisi, fokus pengambilan keputusan misalnya, adalah sifat yang layak dijadikan pilihan. Namun, di sisi lain, mempertimbangkan keunikan karakter, keluasan kreativitas, keaslian ide, dan kedalaman pemikiran, satu ruang kelas dengan satu pembimbing berlabel guru nampaknya bukan pilihan konstruktif untuk bisa memanusiakan manusia. Bahkan, sisi lain yang bisa terjadi justru destruktif, pembunuhan karakter, penyangkalan kreativitas, penyeragaman ide, dan pendangkalan pemikiran. Sekolah penting, tentu saja, namun pembebanan fungsi pendidikan hanya pada satu instrumen generik bernama sekolah, opsi itu menjadi tidak bijaksana. Instrumen pendidikan pertama dan paling penting bukanlah sekolah, jika memang tujuannya untuk membentuk manusia. Pilihan bijak untuk memperkuat pendidikan justru pada instrumen yang lebih kecil dan dinamis, yaitu : Keluarga. Keluarga adalah instrumen pendidikan pertama dan paling utama untuk membentuk karakter, menumbuhkan sifat kemanusiaan, dan dalam skala lebih besar, membangun peradaban. Sifatnya yang independen, privat, terfokus, dinamis, intim, unik, dan fleksibel, berpadu dengan keluasan ruang- waktu pembelajaran, serta sosok pendidik berlabel Ayah dan Ibu yang interaktif, membuat institusi bernama keluarga ini memiliki kekuatan tersendiri untuk mengkonstruksi sifat kemanusiaan.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Objek Isu penguatan institusi bernama keluarga nampaknya bukan isu yang cukup seksi binti bahenol untuk diangkat media saat ini. Memetika ide ini tertangkap dari karya sastra dan sinematika yang berbuah penghargaan, isu sosialpopuler urban , hingga opini media arus kuat yang mengangkat heroisme individualitas serta relasi negatif interaksi keluarga. Isu kegagahan gaya hidup selibat khas kosmopolit , perselingkuhan yang memabukkan, hingga erotisme dalam berbagai modus masyarakat urban sedenter, menjadi komoditas pasar berbungkus cantik ,dan nampak cukup atraktif untuk membangun arus budaya berlabel modern dalam definisinya sendiri, walaupun wajah artifisialnya nampak menonjol malu di sana- sini. Ada beberapa objek ilmu dalam institusi keluarga sebagai instrumen pendidikan, untuk diperhatikan mekanisme transfernya antar generasi. Sains- matematika dasar, membantu untuk menafsir semesta di luar manusia yang kompleks dengan ukuran- ukuran definit sekaligus mencari inovasi kreatif untuk memanfaatkan ukuran- ukuran tersebut. Sosial- humaniora, manusia nampaknya lebih mengetahui semesta besar di luar diri, dibandingkan dengan semesta kecil dalam dirinya.Pengetahuan ini akan membantu interaksi dan relasi sosial dalam berbagai format serta membentuk model- model toleransi sekaligus reduksi antar nilai budaya masyarakat yang beragam. Linguistik dan seni, keduanya adalah manifestasi peradaban manusia yang khas sekaligus universal. Keduanya adalah wajah peradaban dalam bentuk humanis dan dinamis, mampu merasakan keindahan kedua objek tadi adalah sebuah hadiah terindah yang harus ditransfer antar generasi. Objek yang lebih privat mengenai konsep keTuhanan, membutuhkan mediasi antar ilmu yang sudah disebutkan sebelumnya. Di tengah klaim para demagog- bigot serta kepentingan besar mengatasnamakan Tuhan untuk urusan klise dan arus berkebalikan yang nyaman dengan membunuh opsi Tuhan sejak awal, objek satu ini bertambah kompleks proses transfernya.Bahkan motif bersyukur pun, butuh kecukupan pengetahuan untuk mendorong kemunculan rasa tersebut. Akomodasi rasio dan rasa yang bersenyawa dengan transformasi kerumitan persoalan hidup serta simpangan- simpangan pengambilan keputusan, membantu pendewasaan pemahaman konsep yang sangat privat ini.Sekaligus memutuskan apakah nilai dalam konsep keTuhanan ini akan mempengaruhi area privat sekaligus publik atau salah satu area saja. Objek berikutnya yang juga privat adalah disiplin kepemimpinan dan kemandirian. Bahwa setiap individu harus bertanggung jawab terhadap segala konsekuensi dari keputusan yang diambilnya, adalah pemahaman yang dibentuk dalam simulakra simpangan- simpangan kehidupan. Kedua objek ini sekaligus membangun konsep untuk membawa diri memasuki beragamnya jejaring sosial dengan berbagai warnanya, berinteraksi dan melebur dalam relasi interpersonalnya, sekaligus menjaga independensi dalam kecamuk kontestasi memetikanya. Fenomena data smog, bundel informasi yang justru tidak lebih sekedar sampah penimbun otak, karena ketidaksiapan individu mengolah arus banjir data menjadi bentuk lain yang lebih konstruktif, bisa jadi adalah salah satu bentuk ketidakmampuan instrumen bernama sekolah mendeteksi keunikan masing- masing individu. Di sini, sekali lagi, deteksi keunikan individu adalah hak istimewa yang dimiliki institusi pendidikan bernama keluarga. Membentuk institusi pendidikan sistemik berformat generik yang mampu membangun kesadaran kritis bagi peserta didik, tetap salah satu kewajiban pemerintah. Tetapi besarnya kepercayaan yang diberikan kepada instrumen sekolah ini untuk membentuk manusia tidak tak terbatas, banyak keterbatasan yang harus diantisipasi jika melihat sisi lain kompleksitas manusia. Keluarga adalah institusi pendidikan tersolid pertama dan tulang punggung spesies manusia untuk mewariskan pengetahuan antar generasinya. NB :

blogosphere.dagdigdug.comTM
1. 2. Tulisan terinspirasi berbagai sumber yang terlampau banyak untuk dituliskan, mengingat ruang ketik yang sengaja penulis batasi. Pembaca dibebaskan untuk tidak mempercayai tulisan di atas, mengingat penulisnya sendiri masih malas mencari rekanan yang cocok dan bisa saling percaya untuk membangun institusi pendidikan solid bernama keluarga. Memberikan komitmen itu tidak bisa sembarangan, itu menurut hemat penulis, apalagi berurusan dengan makhluk berjenis perempuan, itu sangat membutuhkan penanganan intensif, intim, dan berkelanjutan. Berikut kompleksitas variabelnya yang lebih berupa ketidakpastian daripada resiko. Tulisan di atas adalah manifestasi imajinasi liar penulis, jadinya mohon dimaafkan ya Saudara- saudara sekalian sidang pembaca yang budiman ^_^

3.

4.

Written by Maximillian Posted in rational Tagged with institusi pendidikan, karakter, kekuatan keluarga, pendidikan keluarga, pendidikan privat, sekolah formal

SELF MADE MAN_________________________


Success is not a random act. It arises out of a predictable and powerful set of circumstances and opportunities. These circumstances include family background, ethnic heritage, who your parents are, who they know, how much money they have, what year you were born, and even when in the year you were born. The successful are those who have been given opportunities, and who have had the strength and presence of mind to seize them. ( Malcolm Gladwell, on The Outliers)

ulu, jujur, kalau ditanya, siapa yang mengilhami saya

untuk suka ikutan mencoba kompetisi atau lomba, apapun itu, sejak SD sampai SMU ( bahkan kuliah), adalah Bruce Wayne dan Tony Stark, lho, kok bisa ? Ya, biasalah, imajinasi anak- anak. Keduanya, punya alter ego yang keren, yaitu Batman, dan Iron Man. Namun, bukan cuma itu yang menginspirasi saya, melainkan perjalanan hidup mereka, hingga mereka bisa menjadi pribadi serba bisa, sekaligus bisa mewujudkan apapun yang mereka mau, saat itu juga.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Keduanya adalah sosok superhero, yang juga paling antihero. Bruce, okelah dia juga Batman, tapi dia punya latar belakang tragis, kedua orang tuanya dibunuh, langsung dimukanya, saat masih 10 tahun. Itu juga yang membuat aksi Batman cenderung brutal dan sadis, dia punya dendam masa lalu, dendam itu juga yang memotivasi dia untuk jadi vigilante. Kalau Tony, dia pemabuk berat, sekaligus bajingan cerdas yang beruntung sempat disadarkan, untuk jadi Iron Man. Tapi, dibalik aksinya itu, dia punya segala cara untuk menjadi sangat arogan, dan nampak konyol, yang seringkali justru membuatnya hampir celaka. Kesamaannya, mereka sama- sama cerdas, Bruce, sarjana sains ( matematika) , dan berkelana sambil mempelajari segala kebijakan, berikut seni perang, sekaligus kemampuan detektif, langsung dari para ahlinya. Tony, sarjana teknik, belajar langsung dari ayahnya, yang sudah milyarder, berikut kebebasan peluang untuk mempelajari segala sesuatu, dan membuat apapun yang dia mau, Tony punya semua aksesnya. Mereka juga sama- sama tajir mampus, Tony, CEO Stark Industries, warisan dari ayahnya yang lalu dia kembangkan, adalah figur terkaya nomor 4 ( 8,8 triliun USD), dan Bruce, CEO Wayne Enterprise, juga warisan dari ayahnya, yang dia kembangkan bersama orang- orang kepercayaan ayahnya, adalah figur terkaya nomor 7 ( 6,5 triliun USD). Sayang, dari daftar figur terkaya resmi versi Forbes itu, keduanya masih tetap kalah kaya dari Gober Bebek (2) dan Richie Rich (3). Bruce dan Tony nampaknya memang cukup kurang kerjaan, dibandingkan CEO perusahaan pesaingnya, sehingga mereka punya cukup konsentrasi ( dan masih sempat- sempatnya) untuk menjadi vigilante. Jika dibandingkan dengan Clark Kent, yang sudah super dari lahir ceprot, dan karakternya kalem, sedangkan Bruce dan Tony pada kenyataannya adalah manusia brengsek, tentunya ini menjadi tanda tanya besar bukan ? Kembali ke pernyataan Gladwell yang paling atas, ini adalah soal peluang, berikut kekuatan serta penemuan kesadaran diri, untuk memanfaatkan peluang itu. Manusia aneh semacam Bruce dan Tony, memiliki variabel- variabel pendukung, yang membuat peluang untuk berposisi seperti itu, atau minimal mereka punya peluang lebih besar untuk memilih, jalan mana yang akan mereka ambil. Ya, mereka adalah orang- orang tahu peluang, sadar akan peluang itu, berikut punya pilihan atas opsi yang telah mereka sadari tersebut, dan mereka membuat keputusan sadar atas pilihannya. Gladwel menggunakan penguat argumen, Oppenheimer, bos proyek bom Manhattan yang tersohor dijuluki Bapak Bom Atom itu, dengan Chris Langan, manusia ber IQ 195 (salah satu dari sedikit manusia super cerdas), yang nasibnya menjadi pekerja peternakan kuda di pedesaan. Perbandingan perjalanan keduanya sungguh unik, Oppenheimer lahir di kalangan kelas atas Manhattan, dan Langan lahir di kalangan kelas bawah yang menyedihkan. Oppenheimer memang cerdas, tapi lingkungan juga memberikan peluang lebih besar buat dia, untuk mengakses tata nilai budaya antar kelas, pendidikan, berikut pergaulan lain yang secara langsung membuat mobilitasnya melesat. Sedangkan Langan sebaliknya, jauh dari itu, tidak banyak yang menyadari bahwa dia adalah manusia super cerdas, termasuk orang tuanya sendiri.

Kalau bicara soal peluang, maka kita sudah bicara ke ranah yang lebih luas, yaitu komunitas masyarakat. Ini, adalah soal bagaimana lingkungan manusia, mulai dari keluarga, tetangga, guru, kawan sekolah, secara langsung mempengaruhi peluang anak manusia, untuk membentuk kepibadiannya, berikut memberikan pilihan- pilihan dalam hidupnya, yang pilihan itu menjadi peluang untuk melakukan mobilitas sosial, baik itu vertikal, maupun horizontal. Gladwell mengambil contoh yang cermat, dari perjalanan pebisnis berbasis teknologi informasi, yang menurut Gladwell paling meritokratis, di AS. Bahwa Bill Gates ( Microsoft), Paul Allen ( Microsoft), Bill Joy ( SUN Microsystem), Scott McNealy ( SUN Microsystem), dan Steve Jobs ( Apple), lahir pada tahun yang berdekatan, 1954- 1955, dan mereka berada di kota yang berdekatan, universitas yang mereka jadikan tempat kuliah, juga

blogosphere.dagdigdug.comTM
sedang mengembangkan program komputer, kalaupun Gates dan Jobs DO, tetapi mereka sudah terpapar dunia pemrograman sejak usia SMP, bahkan Jobs sudah kerja di perusahaan tetangganya sejak usia 12 tahun, oh iya, tetangga Jobs namanya Dave Packard, pemilik Hewlett Packard. Koinsiden ? Kebetulan ? Bukan juga, mereka lahir di tahun yang tepat, di negara yang tepat ( militer AS sedang mengembangkan program komputer, kerjasama dengan industri dan universitas), di kota yang tepat, di universitas yang tepat, di tetangga yang tepat, dari orang tua yang tepat, serta mereka mengembangkan kesukaan mereka tersebut. Mereka adalah manusia yang berada pada momen yang tepat, dan momen inilah yang membuat pencapaian mereka sukar untuk disamai. Kalau bicara soal distribusi peluang, maka ( ini yang saya tidak suka), berarti itu melibatkan ke pemerintah. Fungsi pemerintah saat sebuah sistem negara dibentuk, adalah menjadi administrator, penjaga keseimbangan distribusi keadilan sosial ( Itu, Sila 5 memang benar adanya, soal keadilan sosial). Saya mencoba menggunakan valuasi bernama Koefisien Gini, yang mengukur tingkat kesamaan, dalam sebuah peradaban bernama kenegaraan. Koefisien ini melibatkan komponen disiplin ekonomi, kesehatan, ekologi, kimia, dan rekayasa keteknikan.

Koefisien Gini adalah pendefinisian matematis berbasis pada kurva Lorenz, yang membandingkan antara jumlah penerimaan pendapatan dalam persentase kumulatif. ( sumbu horizontal, y), dengan sumbu vertikal, yang menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh masing-masing persentase jumlah (kelompok) penduduk tersebut. Angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Koefisien Gini dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada. Dalam ilmu Ekonomi Industri, Koefisien Gini juga dapat dipergunakan untuk melihat konsentrasi pasar. Okelah, nampaknya itu sangat teknis sekali. Pendeknya, dari hasil koefisien Gini memang biasa dipakai untuk mengukur rentang pendapatan atau pengeluaran kelompok kaya dan miskin. Semakin tinggi nilai Gini, maka semakin besar jurang pemisah yang ada. Kembali ke soal peluang tadi, bahwa nilai gini yang rendah, dalam artian pemerataan pendapatan merata, tidak sama sekali menjamin kesamaan peluang. Akan tetapi, memang distribusi pendapatan yang sama, akan memunculkan terjadinya peluang baru, ini memang sangat dinamis.

Indonesia, sebagai sebuah peradaban dengan administrasi negara demokratis, koefisien gininya antara 0,35- 0,39, dibandingkan dengan Eropa Barat ( dan Kanada) ( 0,3- 0,34) atau Eropa Utara ( 0,25- 0,29), kita nampak lebih terjadi kesenjangan. Tapi, jika dibandingkan dengan AS, Cina, atau Malaysia ( 0,45- 0,49), maka kita mending, lebih merata distribusinya. Koefisien gini Indonesia mirip dengan India, dan Jepang. Yah, pasti akan ada perdebatan soal angka- angka yang terlihat deterministik dan positivistik di atas. Okelah, saya paham, koefisien gini ini adalah sebuah pemodelan matematis, yang sifatnya memang simplifikatif dan reduksionis,

blogosphere.dagdigdug.comTM
tetapi sekali lagi, ini adalah instrumen. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa, membandingkan kondisi sosial, dalam artian fasilitas, budaya, kemudahan, antara kita, yang di Indonesia, dengan peradaban negara lain, yang kita anggap lebih maju, tanpa adanya usaha penyadaran diri, bahwa mereka ( negara yang kita sebut maju tadi), juga punya masalahnya masing- masing, sebenarnya akan membuat kita semakin jauh terttinggal di belakang. Menjadi komunitas melankolik yang sukanya menyiksa diri sendiri ( dan anehnya, nampak menikmati). Kita sekarang punya masalah, ya benar. Kita punya banyak masalah, itu harus disyukuri, setidaknya masalah sudah terdefinisikan, karena syarat pertama untuk menyelesaikan masalah adalah : mendefinisikan masalah. Kedua, menyelesaikan masalah komunitas dalam sistem organik bernama negara, jelas sangatlah kompleks. Membandingkan dengan negara lain yang lebih maju ( saya kok risih bilang ini ya ?), tidak akan menyelesaikan masalah, jika sikap kita lalu menjelekkan komunitas kita sendiri. Sebenarnya, yang paling bisa menyelesaikan masalah di Indonesia, ya orang Indonesia sendiri, walaupun mungkin sesekali butuh pembanding. Tetapi, kita punya fungsi kognitif. Apakah butuh waktu ? Iyalah. Kalaupun ada yang tidak sabar, ya itu biasalah. Pokoknya, kita optimis bahwa kita punya masa depan lebih baik, dan sekarang bukan saatnya untuk menikmati keterpurukan, asal kita yakin untuk mengambil langkah, walaupun itu kecil. Sebuah peradaban bisa lahir, berdiri, dan berkembang, karena memang terjadi kompromi- kompromi di dalam kesehariannya. Karena tentu saja banyak kepentingan yang ingin mengambil peran. Kembali ke soal manusia berkualitas tadi. Banyak sekali saya menyaksikan peristiwa pembunuhan karakter, di keluarga, sekolah, dan bermasyarakat, seperti yang dialami oleh Chris Langan. Banyak juga saya menyaksikan, kemubaziran peluang, dari beberapa manusia yang bertebar fasilitas, namun menggunakannya untuk urusan destruktif. Minder dengan peradaban di Eropa Barat ? Anda harus pernah mengalami dua kali perang dunia yang berdarah, dan pergolakan yang tidak ringan. Minder dengan Jepang ? Anda harus mengalami di sebuah kawasan yang cuma 30% wilayahnya layak ditinggali, dan itupun cuma 10% yang bisa ditanami. Kalau mereka tidak bekerja keras, mereka mati, kata Kenichi Ohmae.Minder dengan siapa lagi ? Bagi saya, jalan kesuksesan sebuah komunitas, memang jauh lebih kompleks dibandingkan individu. Padahal kita tahu, bahwa yang dimaksud dengan kesuksesan individu, ternyata juga banyak peluang yang didapat adalah kontribusi dari lingkungan yang mendukung. Jadi, peluang itu memang dibuat kawan. Ada imajinasi, manusia bergerak, berusaha mencapai citanya, peluang lahir disitu, dan dari peluang, keputusan dihasilkan. Interaksi manusia, yang punya kesamaan cita, dengan metode berbeda untuk meraih, melahirkan hibrida baru, peluang lain yang membutuhkan keputusan lain lagi, dibanding yang pertama, dan seterusnya. Ada satu hal yang harus disyukuri sebenarnya, dan saya tidak tahu, berapa manusia Indonesia yang bisa membandingkan keadaan pasca Orde Reformasi, dengan saat Orde Lama, maupun Orde Baru memang peran administrasi negara, apa itu ? Ya, kebebasan.. Kenapa kebebasan ? Amartya Sen mengatakan bahwa kemiskinan harus dipandang dalam konsep kapabilitas. Kapabilitas merefleksikan kebebasan yang memungkinkan orang untuk menjalankan pelbagai fungsi dalam hidupnya (functionings). Orang menjadi miskin karena ruang kapabilitas mereka kecil, bukan karena mereka tidak memiliki barang. Dengan kata lain orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Implikasinya: kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, tetapi karena aktifitas yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut. Itu sebabnya peran dari kebebasan menjadi begitu penting. Kebebasan adalah syarat utama dari dimungkinkannnya sebuah tindakan untuk memiliki sesuatu. Yah, kalau masih pada kaget dengan suasana kebebasan ini, wajar sih, asal tidak terlalu lama. Ada negatifnya, misalnya yang dulu tidak bisa korupsi, sekarang bisa bebas korupsi. Efek positifnya, kita juga bisa bebas menunjukkan sikap dan mendukung segala upaya menentang korupsi, ada adu kekuatan yang lebih transparan.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Menurut saya, akan ada titik kulminasi kebosanan ( semoga saja). Sampai kita secara bijak, mampu memanfaatkan kebebasan ini untuk bertindak lebih, menciptakan peluang. Itu saja, ini cuma tulisan ringan kok, iseng, karena nggak bisa tidur. 45 menit buat bikin tulisan, biar capek..Selamat Ramadhan, buat yang merayakan, dan selamat mingguan, buat yang tidak merayakan, pokoknya selamat buat semua ya Damai.
Written by Maximillian Posted in rational Tagged with Amartya Sen, Batman, Black Swan, Bruce Wayne, distribusi pendapatan, Gladwell, Iron Man, Keadilan Sosial, Koefisien Gini, orang kelebihan duit, Outliers, Peluang, superhero kurang kerjaan, Tony Stark

MITOS TENTANG PERAN PEMUDA____________


What does not destroy me, makes me stronger ( Friedrich Nietzsche)

diom pemuda, biasanya jadi komoditas laik jual saat Pemilu

Nasional atau Pilkada, isunya jamak yaitu soal peluang suksesi tahta. Kalau coba kita tengok sejarah, label pemuda ini lazim disematkan pada anak muda ( 20- 40 tahun) yang berpolitik ( paham, sadar, dan berpartisipasi aktif dalam bernegara). Kebangkitan Nasional ada para pemuda disitu, Sumpah Pemuda bahkan di judulnya ada kata pemuda, dentuman besarnya pada Revolusi 1945, yang Ben Anderson bilang itulah Revolusi Pemuda. Kenapa disebut mitos ? Karena memang setiap perubahan sosial cenderung terdapat keberadaan anak muda di dalamnya, aspek semangat dan intelektualitas terutama. Akan tetapi, jika mereduksi komponen revolusi hanya pada para pemuda ini, apalagi membuat mereka menjadi satu- satunya pemicu, maka disitulah letak kekurangtepatannya. Tidak mungkin sebuah pemerintahan rezim runtuh hanya karena gerakan pemuda saja, realitasnya, banyak kekuatan lebih besar lain yang ikut bermain dalam tumbangnya rezim, walaupun mungkin sengaja tidak memperlihatkan jati dirinya.

Akhir- akhir ini, malah terjadi pendefinisian ulang akan label pemuda ini. Label ini digeser dengan istilah pelajar dan mahasiswa untuk menyebut anak muda yang berusia di bawah 30 tahun dan berpikir serta berniat dalam kehidupan bernegara. Sebenarnya, pergeseran label ini memang cukup mendasar sebabnya, para pemuda momen 1908, 1928, dan 1945 identik dengan mahasiswa sekarang, yaitu mendapat akses pengetahuan luas, terdidik, dan relatif dari kalangan mampu secara ekonomi. Namun, sebenarnya ini adalah gejala elitisme, yaitu penyempitan terhadap golongan yang aktif berpolitik. Selain itu, akses pengetahuan sekarang bisa dikonsumsi begitu mudahnya, asalkan orang muda yang tidak kuliah mau belajar, dia bisa menjadi intelektual. Belum tentu juga mahasiswa mau memanfaatkan kemudahan akses pengetahuan dan didikan di kampusnya untuk lebih memperadabkan kehidupan bernegara bukan ? Lalu, jika memang Revolusi 1945 dilabelkan Revolusi Pemuda, apakah peta kekuatan saat itu memang didominasi anak muda intelek semua ? Apakah anak muda intelek juga semuanya pro dengan lahirnya Republik Indonesia di Nusantara ? Seorang ahli hukum Indonesia, penasehat Pemerintah Hindia Belanda, membagi kekuatan politik

blogosphere.dagdigdug.comTM
menjadi tiga besar, yaitu : Pertama, loyalis Pemerintahan Hindia Belanda, yang rata- rata terdidik dengan pendidikan barat, berkedudukan sosial ekonomi mapan, dan diperlakukan setaraf dengan orang Belanda. Mereka paham nasionalisme, tetapi nyaman dengan suasana kolonial. Kedua, subversif dan kontra Pemerintahan Hindia Belanda, yang terdidik dengan pendidikan barat, tidak menempati kedudukan sosial ekonomi mapan dalam negara kolonial, dan paham nasionalisme. Jumlahnya sekitar 500,000. Dan ketiga, bagian terbesar masyarakat yang acuh tak acuh dengan keberadaan Pemerintahan Hindia Belanda, dan mereka ini yang berpeluang besar merintangi usaha Pemerintah Hindia Belanda kembali bercokol di Nusantara, yang waktu itu Dai Nippon diambang kekalahan. Dai Nippon dapat memicu gelora semangat penduduk nusantara dan golongan intelektual subversif untuk membangun negara independen, walaupun sesungguhnya mereka punya niat sama seperti Pemerintahan Hindia Belanda, tidak berniat sungguh- sungguh memberi kemerdekaan. Kalau sudut pandangnya adalah revolusi sosial, kita coba bandingkan Revolusi Indonesia dengan Revolusi Perancis, yang seringkali mengilhami para pemuda di Nusantara kala itu. Komponen pemicu utama Revolusi Perancis adalah Kaum Borjuis, yang terbagi menjadi tiga; Borjuis atas, para industrialis dan bankir, lalu Borjuis menengah, usahawan menengah dan kaum profesional, serta Borjuis bawah, pegawai subsisten yang hanya punya dana untuk kehidupan sehari- hari. Golongan ketiga ini yang paling militan dan menjadi motor massa dalam gerakan. Sedangkan Revolusi Indonesia, dipicu oleh para mahasiswa, dan intelektual muda, yang mulai sadar nasionalisme pasca terbukanya akses pendidikan dan pengetahuan dari barat. Perbedaan ini sangat mendasar justru terlihat pada perkembangan stabilitas kenegaraan pasca revolusi, di Indonesia, yang pelakunya adalah para pemuda ini, mereka belum masuk ke proses produksi atau transaksi ekonomi riil apapun, dan selalu bisa berteriak bahwa revolusi belumlah selesai. Sedangkan di Perancis, golongan borjuis rendah yang jumlahnya terbesar serta paling militan, mulai bosan dan tidak sabar dengan ketidakstabilan politik, pada jamaknya, golongan ini diricuhi anak dan istrinya untuk lebih menyelesaikan masalah pangan keluarga yang tidak terselesaikan dengan revolusi politik. Intinya, Revolusi Perancis berhenti karena masyarakatnya memang sudah bosan dengan gejolak politik yang menghambat aktivitas ekonomi, dimana aktivitas ekonomi berurusan dengan perut. Orde Baru yang 32 tahun berkuasa menekankan pada stabilitas politik, berikut kontinuitas. Terlihat dari hirarki ketat di militer, politik, dan birokrasi. Para pemuda ini tidak memiliki tempat di hirarki manapun, kalaupun mau ikut sistem, maka harus dimulai dari bawah. Ada yang unik dengan momen dentuman sosial revolusioner yang dimotori oleh para pemuda, yaitu legitimasi angkatan. Ada angkatan 28, 45, 66, 78, dan 98, yang seolah- olah membuat pemuda ini menjadi akses plus mendapat saluran cepat untuk kedudukan politis tertentu. Bahkan sudah ada rahasia umum bahwa legitimasi angkatan pemuda ini, menjadi kendaraan buat para oportunis politik yang mengambil jalur cepat sebuah kedudukan di sisi tahta utama. Sebenarnya, keresahan utama anak muda ada di satu saluran : mobilitas sosial masyarakat Indonesia. Mobilitas vertikal sebenarnya bisa disalurkan lewat jalur ekonomi, itu yang terjadi di anak muda daerah Eropa Barat, Amerika Utara, dan Asia Timur jauh yang memang budaya ekonominya sudah terbentuk baik dan pengetahuan memang benar bisa dijadikan nilai tambah ekonomi signifikan. Masalahnya, saluran ekonomi sempat tertutup di masa Orde Baru, dan sekarang para pemuda ini masih menganut paradigma lama, bahwa satu- satunya mobilitas vertikal adalah jalur politik, maka tidak heran jika menjamur politisi yang tidak kompeten tetapi bisa duduk jadi pengambil kebijakan. Tidak juga terpikir untuk terjun menjadi praktisi ekonomi riil aktif ( entrepreneur) dengan pengetahuan yang dimiliki, karena budaya kemapanan pola lama masih terpatri kuat di benak para pemuda ini. Membangun perusahaan dari nol dengan menghadapi ketidakpastian berikut kalkulasi resiko tingkat tinggi, bukan pilihan yang cukup aman.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Bagaimanapun, konsekuensi dari tekad para pemuda pendahulu kita yang memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia ini adalah kemandirian yang menyejahterakan bersama. Tidak lucu jika keadaan Nusantara ternyata lebih teratur dan rapi saat dikelola Pemerintah Hindia Belanda daripada Pemerintah Indonesia, karena berarti itulah tanda bahwa Nusantara tidak siap menerima konsekuensi logis dari kemerdekaan itu sendiri. Dan, dengan akses pengetahuan yang begitu luas sekarang, berikut kesempatan mencuri ilmu dari peradaban lain yang dirasa lebih maju, serta keterbukaan lapangan ekonomi dibanding masa Orde Baru, maka sebaiknya para pemuda sadar diri, mau mengukur dirinya, serta berani berdiri dengan pengetahuan serta optimis realistis dengan masa depan. Tidak menganut aji mumpung, Mumpung Masih Muda, atau Mumpung Mahasiswa, dan segala pembenaran lain, mengisi momen kemudaan usia dengan karya nyata, kreativitas penuh keberanian, dan kemampuan menjadi diri sendiri, nampaknya keren juga menurut saya, bukan begitu Sobat ? Diekstrak dari : Ong Hok Ham, Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang NB : Soal pemerintah saat ini, saya belum mau komentar dulu, sudah terlalu banyak yang mengomentari, maaf.
Written by Maximillian Posted in rational Tagged with ekonomi riil, indonesia, intelektualitas anak muda, kepadatan penduduk, kewirausahaan, militer muda, mobilitas vertikal, negarawan,pembonceng politik, pemuda, pencoleng, pengusaha muda

BANGSAT !_______________________________
If one has no affection for a person or a system, one should feel free to give the fullest expression to his disaffection so long as he does not contemplate, promote, or incite violence. ( Gandhi)

alah seorang anggota dewan yang berbadan pendek

gempal, dan dulunya sempat berkuncir itu, memang gemar menarik perhatian publik dengan idiom umpatan, belum lagi pilihan frase yang sengaja dibuat untuk memancing keluar kemarahan ( pedas), ditambah gaya penyampaian tengil serta nada bicara keras, beliau sengaja diposisikan ( dan memposisikan) diri sebagai agitator di tengah ruang sidang, atau tokoh selebritis badass yang memilih posisi antihero pengumpat kalau di layar kaca ( tipikal karakter pilihan Clint Eastwood dan Bruce Willis) . Menarik, karena syarat pertama sebuah ide mampu diterima di tengah kerumunan adalah dengan memancing perhatian.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Perhatian pertama berwujud penolakan ( denial) , berkembang kemarahan ( angerness), lalu kritik ( critics), dan terakhir justru adalah simpati ( symphaty), ini adalah soal strategi memenangkan kontestasi ideologi ( memetika) dalam pemikiran masyarakat manusia.

Tiba- tiba saja publik memasang muka keheranan, bagaimana bisa di ruang sidang anggota dewan yang wangi dan terhormat, ada tukang umpat bermulut kotor, dan berlidah tajam ? Dimana etika para pemimpin negara yang penuh sopan santun ini ? Tetapi di luar itu, tayangan televisi berrating tinggi justru dipenuhi berbagai idiom umpatan, kekerasan verbal, dan pola komunikasi agresif lain. Anehnya, jurang budaya antagonistik ini sengaja dibiarkan, ada pandemik hipokrit kolektif yang tidak terlihat tapi nyata di peradaban kita nampaknya, epidemik bernama impunitas ( pembiaran) kolektif. Pengharapan yang sangat tinggi terhadap tokoh- tokoh yang dianggap sebagai pemerintahnya, sampai- sampai seolah mereka dianggap manusia setengah dewa, di lain sisi, ini seperti melemahkan potensi warga negara yang sebenarnya punya kecerdasan tidak lebih rendah dibanding pemerintah. Disini pemerintah juga adalah sekelompok manusia, dengan fungsi anatomi, fisiologis tidak jauh beda dengan warga yang diperintah. Kesamaan metabolisme berikut fungsi kognitif dengan warganya. Bedanya adalah soal kekuasaan, pemerintah dipercaya untuk menguasai hajat hidup yang mengendalikan warga yang diperintahnya. Tetapi tetap saja, pemerintah juga adalah jenis spesies manusia, yang punya potensi korup terhadap kuasa, atau lemah dengan kelompok yang secara de facto lebih kuat, walaupun de jure lebih lemah ( sikap pemerintah terhadap korporasi Bakrie tentang lumpur Lapindo, penggelapan pajak, dengan koalisi antar partainya, yang nampak paradoks dan tidak lucu, contohnya) Bicara soal strata tingkat status sosial antara pemerintah dengan warga yang diperintah, maka kita kembali ke sikap anggota dewan penggemar umpatan di atas. Idiom umpatan seringkali dipilih sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap orang lain, atau sesuatu yang memancing amarah. Di sisi lain, idiom ini diekspresikan sebagai bahasa pergaulan antar teman sederajat, untuk ungkapan keakraban yang egaliter. Idiom ini sungguh unik karena setiap suku atau etnis, punya kosakata khas. Idiom bisa dipilih dari jenis mamalia ( Anjing, kambing, kerbau, tupai (bajing) dan babi. Anjing, babi, dan tupai ( bajing) paling terkenal ), serangga ( Jengkerik, kutu busuk), kotoran manusia ( Faeces/ tahi), dan aktivitas privat lain semacam kopulasi/ senggama ( kawin). Keberagaman gaya ekspresi ini bisa terungkap manakala kita bergaul dengan manusia yang berasal dari berbeda daerah, ambil contoh Surabaya dengan dantjuk-nya, Bandung dengan njing-nya, Solo dengan asem-nya, atau Ambon dengan puki-nya. Banyak sekali sebenarnya pilihan kata yang bisa digunakan sebagai instrumen kekesalan, dengan label tidak sopan jika menggunakan nilai budaya setempat. Mengekspresikan kekesalan dengan pilihan idiom umpatan seringkali justru menghasilkan rasa kepuasan sekejap, kenikmatan rasa berdosa (guilty pleasure), berikut sensasi kehebatan pemberontakan terhadap nilai, yang terasa mengungkung kebebasan berekspresi pribadi di ruang publik. Atau, kalau dalam interaksi perkawanan, maka idiom ini seringkali terlontar sebagai bagian ungkapan keakraban yang egaliter, sekaligus membuang jauh- jauh sikap snobisme budaya yang terkadang menjengkelkan. Apakah manusia yang memposisikan diri sebagai pemerintah selalu lebih tahu dan lebih cerdas dibanding sekelompok warga manusia yang diperintah ? Tentu saja tidak. Mereka, yang dipilih oleh warga diperintah, untuk duduk dalam pemerintahan, dalam mekanisme demokrasi, adalah karena faktor kepercayaan populis, bahwa keadilan akan dipegang dalam membuat kebijakan ( policy) untuk umum. Kuncinya adalah pada pengetahuan ( epistemologi). Dan kunci bernama pengetahuan ini pulalah yang memotivasi salah seorang anak muda, bernama Soewardi Soerjaningrat ( Ki Hajar Dewantara), untuk menuliskan ekspresi kekesalannya terhadap sikap Pemerintahan Hindia Belanda waktu itu, di tulisannya yang fenomenal Als Ik Nederlander Was. Tulisan yang didasari epistemologi kuat, tentang rasa kebangsaan yang terinjak, oleh ulah sekelompok manusia yang duduk sebagai penguasa ini, menjadi bagian gelombang besar revolusi berdirinya Negara bernama Republik Indonesia, di kepulauan Nusantara. Ekspresi kekesalan yang didasari oleh kedalaman epistemologi ( pengetahuan) dan kejelasan ontologi ( sudut pandang), dalam satuan ungkapan jalinan kata berwujud tulisan, mampu menginspirasi pemikiran

blogosphere.dagdigdug.comTM
kerumunan manusia secara kolektif, artinya terjadi reproduksi kekesalan dalam frekuensi yang sama bagi manusia yang membaca tulisan tersebut.

Mungkin, disinilah letak pembeda antara kekesalan yang diekspresikan lewat idiom umpatan dengan tulisan, yaitu efek resonansi intelektual yang terjadi selanjutnya. Umpatan memang efektif untuk memancing rasa kesal dengan cepat, apalagi bagi yang paham dan sensitif rasa bahasanya, tetapi tidak akan cukup efektif untuk menimbulkan kekesalan kolektif dan resonansi intelektual masif. Sedangkan tulisan yang terstruktur dengan kedalaman epistemologis ( pengetahuan) dan ketegasan ontologis ( sudut pandang), sama- sama memancing perhatian publik dan mereproduksi kekesalan, akan menimbulkan resonansi intelektual masif, orang menyebutnya menginspirasi. Walaupun di lain sisi, akan membutuhkan banyak waktu untuk memahaminya. Kekagetan publik terhadap seorang anggota dewan, yang melontarkan idiom umpatan, terasa wajar apabila dilihat dari mekanisme seleksinya ( Pemilu) yang rumit dan boros duit. Tentunya publik berharap banyak bahwa spesies manusia- manusia yang terpilih menjadi sosok pemerintah ini, memang memiliki kedalaman epistemologis ( pengetahuan) dan ketegasan ontologis ( sudut pandang) dalam membuat kebijakan (policy), menyangkut hajat hidup warga yang diperintahnya. Adalah wajar apabila ada segelintir warga diperintah yang mengumpat dengan intelek, karena warga diperintah bisa jadi jauh lebih cerdas daripada pemerintahnya. Pemerintah sebaiknya jangan berharap akan lahir lagi snobisme nilai atau negara drama seperti Orde Baru yang lampau, apalagi jika berharap bahwa Negara Indonesia memang terbangun sebagai sebuah peradaban yang cerdas kolektif. Bagaimanapun juga, itu resiko yang harus dihadapi manusia yang memerintah manusia lain, dimana sebenarnya fungsi kognitif dan metabolismenya sama saja. Pemerintah bukanlah manusia setengah dewa atau dewa seperti laiknya Dewa Olympus yang bisa membodohi manusia.

Jangan kaget juga jika saking kesalnya, maka warga diperintah akan mengumpat dengan sangat tidak intelek, menggunakan idiom mamalia, serangga, kotoran, atau senggama, karena kapasitas intelektual dipengaruhi oleh kedalaman epistemologi. Dan kedalaman epistemologi dipengaruhi oleh distribusi peluang mendapatkan pendidikan formal dan informasi. Tugas pemerintah untuk memastikan pendidikan warganya bukan ?Anggap saja umpatan sebagai idiom tanda keakraban antara pemerintah dengan warga yang diperintah, bahwa manusia pemerintah tidaklah lebih sakti mandraguna dibanding manusia warga diperintah.. Mengumpat secara intelek, dengan kedalaman epistemologis ( pengetahuan) dan ketegasan ontologis ( sudut pandang), akan lebih mampu melahirkan rasa kesal kolektif, berikut reproduksi ide, untuk selanjutnya bisa mengingatkan manusia yang duduk sebagai pemerintah. Dan jurnalisme warga cukup terbuka untuk terjadinya resonansi intelektual itu, maka manfaatkanlah sebaik- baiknya, Sobat. Percayalah, P ini bukan sekedar omongdoang ( omdo). NB : Bangsat : 1. Sejenis serangga penghisap darah yang hidup di sela- sela lipatan kursi atau kasur, sering disebut dengan kutu busuk 2. Idiom umpatan yang ekspresinya bisa memicu terjadi konflik bahkan pertumpahan darah sesama spesies manusia
Written by Maximillian Posted in rational Tagged with demokrasi, demokrasi manusiawi, kebangsaan, kritik sosial,nasionalisme, peradaban, resonansi intelektual

blogosphere.dagdigdug.comTM

SALAD DAYS_____________________________

m, pernah ada rasa dengan cewek ? Jatuh cinta ? Umur berapa itu

? Kalau, sekitar usia SMP- SMU, sudah berapa kali pengalaman ? Pernah saingan berebut perhatian cewek, dengan kakak ( adik) sendiri , kawan baik, atau preman ? Ditembak adik kelas ? Atau justru menembak kakak kelas ? Ditolak dan merasa merana, atau justru menolak dia lalu menyesali diri ? Menemukan semangat belajar setelah diskusi dengan cewek cerdas yang misterius, atau malahan terganggu kehadiran cewek cakep yang merusak konsentrasi ? Kamu masih ingat dengan momenmomen itu ? Atau butuh stimulan grafis yang sanggup membangunkan kenangan indah ( atau, mungkin kenangan buruk) masa remaja awal itu ? Fragmen realistis, menggelitik, cerdas, lazim, penuh kejutan, dan sekaligus komikal ala Shinobu Inokuma ini, terjajar di daftar manga ( komik Jepang), yang masuk standar layak koleksi saya, bersanding dengan Urasawa Naoki tentunya, bertetangga dengan Frank Miller ( AS) dan Marjane Satrapi ( Iran- Perancis) serta grafis klasikGoschinniUderzo ( Perancis) dan Herge ( Belgia). Grafisnya realistis, dengan anatomi yang masuk akal. Kekuatan Salad Days justru pada temanya yang mudah, soal cinta remaja, di lingkungan sekolah.

Kelindan masalah khas remaja usia sekolah, semacam pencarian jati diri, ujian akhir nasional, ulangan mingguan, laboratorium, tawuran, organisasi sekolah, kompetisi ranking, sampai motivasi mencapai universitas favorit, menjadi baluran bumbu sedap, yang membuat tema romantis ala Shinobu Inokuma ini menarik diikuti. Latar ruang dan waktu, berikut sudut pandang pentingnya pendidikan formal, membuat Salad Days tidak linear ( makanya, saya koleksi), sangat lateral, sekaligus realistis. Faktor fokus pada sudut pandang pelajar inilah, yang membuat seolah saya kembali lagi ke masa itu, dan bisa menyelami saat- saat kebingungan menghadapi soal ujian, tetapi masih saja menoleh kalau lihat siswi kelas sebelah ( yang cantik) lagi lewat. Optimisme pelajar, untuk menatap masa depan, atau justru malah kebingungan dengan nasib masa depannya, menjadi poin kultural terpenting dalam sajian grafis Inokuma. Tanpa harus kehilangan momen kejutan romantis, atau mengganggu proses belajar akademis- seperti yang selama ini menjadi kekhawatiran orang tua siswa-, relasi cowok dan cewek yang baru merasakan ada rasa aneh bin ajaib antara mereka itu tergambar secara sederhana, wajar, serta masih dalam koridor batasan etika yang sesuai dengan prinsip etika saya saat ini. Bagi saya, disinilah letak kecerdasan Inokuma, galian fragmen romantis dalam suasana kebingungan psikologis khas remaja untuk menemukan dirinya, dibalut suasana realistis sistem pendidikan formal yang sarat penanaman nilai. O iya, apakah saya punya memori dipendam, yang tidak sengaja tergali, pasca menyelami Salad Days ? Tentu saja, maka itulah saya tulis ini. Waktu itu sedang bingung memilih universitas,tanpa dinyana tiba- tiba ada telepon yang masuk, suara halus yang memberi ucapan selamat ( secara kebetulan, dia mendengar dari adiknya, saya juara sebuah kompetisi di propinsi, waktu itu).Suara seseorang yang saya kenal, cewek manis dan cerdas, sahabat lama yang sekolah di lain tempat. Si manis ini juga mengajak untuk masuk institut di Kota Bandung, yang mendadak sontak membuat saya menghapus opsi pilihan sebuah universitas di Kota Depok atau akademi militer di Kota Magelang,

blogosphere.dagdigdug.comTM
dan akademi akuntansi di Kota Bekasi. Dua pilihan dimasukkan ke satu institut yang sama langsung, saya sangat yakin dengan itu, apalagi suara si manis menguatkan tekad.

Setelah diterima, baru saya tahu kalau si manis ternyata memilih universitas di kotanya, tidak jadi ke Bandung. Lalu, kenapa bisa telepon dia yang masuk membuat saya memutuskan langkah ? Yup, sebuah kisah masa lalu, kami satu sekolah sebelumnya, dan ada peristiwa tidak mengenakkan, dia merasa saya tolak, atau pendeknya, bertepuk sebelah tangan bukan ?. Ini membuat semacam perasaan bersalah di dalam diri saya, walaupun sebenarnya, saya punya rasa yang sama dengan dia, yang baik, manis dan cerdas lagi ( beliau memegang juara kompetisi sains propinsi). Tetapi posisi saya kala itu, ketua OSIS dan Pratama Pramuka, membuat pertimbangan jadi lain, soal etika publik. Jadinya CLBK ( Cinta Lama Bersemi Kembali) istilahnya ? Dan kilatan memori itu membawa kembali ke momen keputusan bodoh kala itu. Dari Salad Days, baru saya paham, bahwa rasa ditolak ternyata bisa sangat menyakitkan buat seorang cewek, baru saya pahami kemarahan beliau waktu itu ( dan bodohnya saya !)..Itupun setelah tujuh tahun terlewat LOL! Selamat menempuh hidup baru, Sahabat manis. Semoga berkah selalu. -_-
Written by Maximillian Posted in soul Tagged with cinta pertama, entahlah, komitmen, lupa ingatan, salad days,soal cewek

SIANG HWEE_____________________________

igrasi sudah lazim dijalankan komunitas

manusia, sejak awal munculnya jenis kita di Planet Bumi. Diawali dari keluarnya nenek moyang pertama manusia modern keluar dari Benua Afrika, menuju benua di sekitarnya, memenuhi hasrat keingintahuan, atau sekedar bertahan untuk tetap hidup, mencegah kepunahan spesies.Kalaupun kemudian hari muncul batasanbatasan abstrak, semacam kerajaan dan nasion ( kebangsaan), maka itu adalah salah dua bentuk transformasi sosial, modusnya evolutif lebih sering revolutif, upaya sekumpulan manusia untuk menegaskan identitas ras, atau sukunya, atas sejengkal tanah wilayah. Juga antitesis dari upaya sekelompok manusia untuk menguasai kelompok manusia lain, atas nama egosentrisme dan berujung monopoli pasar tentunya. Migrasi diikuti adaptasi, asimilasi, kohabitasi, dan hibridisasi, beberapa konflik terjadi, rekonsiliasi menjadi solusi, dan seterusnya. Migrasi kelompok manusia berkulit kuning langsat bermata sipit, dari Kekaisaran Tiongkok, menuju Kepulauan Nusantara, yang dihuni mayoritas manusia berkulit sawo matang bermata lebar, tercatat terjadi besar- besaran

blogosphere.dagdigdug.comTM
pertama (1860- 1890) berjumlah 318.000 orang, 40% mendarat di Pulau Jawa, dan 60% di pulau lain, terutama pesisir Timur Sumatera, Bangka dan Belitung. Apakah sudah ada manusia berkulit kuning bermata sipit sebelum migrasi ini ? Tentu. Bahkan jumlah hasil hibridisasi antara kulit sawo matang dan kulit kuning langsat ( peranakan) berbanding 60: 40 dengan manusia yang baru datang kemudian dari Tiongkok ( totok). Manusia berkulit kuning bermata sipit ini tidaklah homogen, walaupun untuk awam terlihat susah dibedakan. Marga Hokkien, yang datang lebih dulu, jumlahnya terbesar, kebanyakan peranakan di Pulau Jawa bermarga ini. Abad ke-19 migrasi besarbesaran berikutnya adalah Marga Hakka, Kanton, Teochew, dan yang paling akhir, Hokchia, mereka berbeda dialek, sangat heterogen. Urutan migrasi mempengaruhi cara beradaptasi dengan penduduk sebelumnya, berikut model bangunan bisnis yang dibangun di Kepulauan Nusantara, yang kala itu bernama Hindia Belanda. Peranakan, yang mayoritas Hokkien, lebih suka berusaha dengan kekuatan sendiri, menjadi pebisnis. Sedangkan totok, karena tidak punya modal cukup dan masih harus meraih kepercayaan, memilih menjadi pegawai negeri Hindia Belanda, atau orang upahan.

Waktu berlalu, dan dalam perkembangannya, bisnis Marga Hokkien cenderung memainkan peranan penting dalam perdagangan hasil bumi di kota- kota besar, ini membutuhkan modal paling besar. Orang Hakka, kebanyakan memainkan peran distribusi, menjadi pemilik toko dan warung eceran, butuh modal lebih kecil. Posisi ekonomi Kelompok Hakka lebih rendah daripada Hokkien pada umumnya di Pulau Jawa.Kelompok besar migrasi paling akhir, Marga Hokchia, segera membentuk posisi kuat, dengan pilihan yang lebih sedikit, kebanyakan terjun di bidang kredit, terutama untuk agrobisnis. Konsentrasi Hokkien cenderung terpusat di area urban ( perkotaan) Pulau Jawa dan Sumatra. Migrasi berikutnya membuat persebaran konsentrasi sedikit berubah, untuk Pulau Jawa, 30% terkonsentrasi di kota besar, 30% kota sekunder, dan 40% di pedesaan. Menariknya, di Pulau Sumatera dan Kalimantan, 70% konsentrasi justru di area pedesaan. Tahun 1900, kaum peranakan dan totok membentuk lembaga terpusat, Tiong Hua Hui Koan ( THHK), untuk meruntuhkan dinding pemisah antara mereka sendiri, serta antar dialek. Dalam area persebarannya, Kelompok Tiong Hua mendiami kota besar sebagai pusat aktivitas bisnis, Semarang, Batavia, dan Surabaya di Jawa, serta Medan dan Palembang, untuk Sumatera. Kota sekunder lain dihuni konsentrasi dengan tingkat ekonomi lebih rendah adalah Solo, Jogjakarta, Bandung, lalu Makasar di Sulawesi dan Pontianak di Kalimantan. Konsentrasi terus terdistribusi di daerah- daerah di sekitarnya. Ketika tingkat kemampuan meningkat, cenderung terjadi urbanisasi. Apakah terjadi hibridisasi ? Tentu. Perkawinan antara manusia berkulit kuning bermata sipit dengan manusia berkulit sawo matang bermata lebar, banyak terjadi, menghasilkan hibrid manusia berkulit sawo matang bermata sipit, berkulit kuning langsat bermata lebar, dan segala bentuk modifikasi morfologi lain. Situasi politik sejak 1900 sampai 1950 di Kepulauan Nusantara terus berubah, dimulai dari Pemerintahan Hindia Belanda di bawah Kerajaan Belanda, invasi oleh Kekaisaran Jepang, hingga revolusi kemerdekaan dan lahirnya Republik Indonesia di Kepulauan Nusantara. Bahkan, jika boleh dilanjutkan lagi, sejak 1950 sampai 2010 pun, situasi politik di Republik Indonesia, yang berkomitmen membangun negara atas dasar kesamaan tujuan ini, bukan berdasar pada kesamaan ras atau suku, bergolak hingga setidaknya tiga kali perubahan besar, Pemerintahan Orde Lama yang suka bergelut mencari bentuk ideal , Pemerintahan Orde Baru yang suka sekali membangun dengan modal pinjaman, kemudian berganti Pemerintahan Orde Reformasi yang sedang berusaha mencari identitas di tengah arus globalisasi. Di setiap periode rezim, selalu ada kelompok manusia yang mendukung dan menentang, apakah dia berkulit kuning bermata sipit, ataupun berkulit sawo matang bermata lebar. Bentrokan horizontal di masyarakat dalam setiap periode bisa terjadi, dan sengaja disulut, dengan motif apapun bisa, sentimen ras, kepercayaan transenden, hingga yang paling lazim terjadi, kesenjangan ekonomi.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Jika memang manusia yang menghuni Kepulauan Nusantara ini bersepakat untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia, maka komitmen awal dahulu untuk membangun sebuah negara persatuan, bukan penyatuan, harus selalu dibangunkan, di setiap generasi yang baru lahir, yang menggantikan generasi tua sebelumnya. Apakah dia berkulit sawo matang bermata lebar, atau berkulit kuning bermata sipit, tentunya pilihan sejak lahir itu bukanlah halangan untuk membangun kedewasaan bernegara bukan ? Oh iya, ngomong- ngomong, belum membahas kelompok manusia berkulit hitam bermata cerah di pojok timur nusantara, mereka juga warga negara Republik Indonesia lho.Tanah mereka yang bergunung emas, digali terus menerus oleh perusahaan milik manusia berkulit pucat bermata biru. Kelompok manusia yang dipercaya memerintah, sebagian kecil yang dipercaya untuk memegang senjata, serta beberapa manusia cerdas yang diupahnya, kebanjiran sedikit bagian dolar hasil penjualan gunung emas, merasa sudah cukup lebih kaya. Tidak adil ? Ah, itu kan bagi orang yang tahu. Beruntunglah, masih banyak yang enggan mengumpulkan pengetahuan. Percayalah, keengganan belajar pengetahuan adalah anugerah, bagi sekelompok manusia yang ingin tetap mempertahankan penguasaan atas manusia lain. Inspirasi : 1. Imagined Community, Benedict Anderson 2. Out of Africa Theory 3. Selfish Meme, Richard Dawkins 4. Hoa Kiau di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer 5. Animal Farm, George Orwell Literasi : Chinese Business Elite in Indonesia and the Transition to Independence 1940- 1950, Twang Peck Yang. National University of Singapore, Singapura. Referensi Literasi : 1. 2. 3. Lea E. Williams, Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of the Pan- Chinese Movement in Indonesia, 1900- 1916, Glencoe: Free Press, 1960, hlm. 9- 10, 11, Cator, The Economic Position of The Chinese in The Nederland Indies, hlm. 112 Volkstelling 1930, Deel VII, Chineezen en andere Vreemde Oosteringen in Nederlandsche- Indie, Batavia. Departement van Ekonomische Zaken, 1935, hlm. 11

Keterangan : Siang Hwee : Majelis dagang; Kamar dagang.


Written by Maximillian Posted in rational Tagged with cina perantauan, cina semarang, cina surabaya, hakka, hokkia,kanton, kapitalis cina, nasionalisme, nusantara, siang hwee, teochew, tiong hoa Indonesia, voc

PSIKOPATOLOGI KOLONIALISME________

blogosphere.dagdigdug.comTM

enduduk Singapura pada suatu masa pernah secara

kolektif beranggapan bahwa jalan di sepanjang Kota London, di Kerajaan Britania Raya yang agung, dilapisi oleh emas. Para penduduk berkulit kuning itu begitu kagum dengan negeri penakluk lautan dan benua, tempat lahir pendiri negara Singapura, yang berkulit pucat dan bermata biru. Dalam satu ruangan kelas, di sebuah institut teknologi yang penduduknya berkulit sawo matang, seorang perwakilan perusahaan telekomunikasi dari negeri utara nun jauh, yang penduduknya berkulit pucat dan berambut jagung, berceramah penuh semangat, mereka kagum dengan tingkat penerimaan konsumen di negeri yang penduduknya berkulit sawo matang itu, terhadap setiap produk baru yang mereka luncurkan. Setiap ada produk baru dengan teknologi tambahan yang mereka luncurkan, konsumen selalu antusias menyambutnya, dan anehnya setiap kali harganya turun, turun pula tingkat penjualannya. Si perwakilan perusahaan ini juga bercerita salah satu pengalaman unik mereka, pernah mereka meluncurkan produk yang berteknologi 3G sebagai upaya tes selera konsumen, dan produk 3G langsung diserbu oleh konsumen dengan sangat antusias. Anehnya lagi, pada masa itu,infrastruktur di negara berpenduduk sawo matang itu belum mendukung penggunaan teknologi baru itu, lalu kenapa mereka antusias membelinya jika tak dapat digunakan ? Apakah produk telekomunikasi itu akan fungsional, atau asesoris ? Yah, semakin senanglah perwakilan perusahaan dari negeri berpenduduk pucat dan berambut jagung tadi, mereka membanggakan sebuah negeri yang pasarnya sangat sangat potensial untuk menjadi pasar utama semua produk mereka, yaitu negeri sawo matang. Toh mereka tidak peduli dengan fungsionalitas, mereka hanya butuh asesoris bukan ?

Tahun 1990, di sebuah benua yang disimbolkan berwarna biru, dalam sebuah perebutan bola oleh 22 orang lelaki, seorang berkulit hitam dengan lincah mengecoh sang kiper dan membuat gol. Dia bergoyang merayakan kemenangannya, dia berharap bahwa akan ada suatu masa, dimana kaumnya, manusia- manusia berkulit hitam, akan mampu mengalahkan kaum kulit pucat, untuk berebut bola. 20 tahun kemudian, di benua yang semua wilayahnya pernah diklaim dikuasai oleh kaum kulit pucat, walaupun penduduknya sebagian besar berkulit hitam, terjadi momen besar dalam rangka mencari yang terbaik dalam soal perebutan bola oleh tim berisi 11 lelaki, dari seluruh dunia. Namun, kaum si lelaki berkulit hitam tadi nampaknya tak bisa bicara banyak. Mereka cukup menjadi penyelenggara dan penonton di benua mereka sendiri, bukan pemenang, mereka kalah budaya. Kembali ke negara yang penduduknya mayoritas sawo matang, mereka beranggapan bahwa di dalam tanah yang mereka injak itu, ada harta luar biasa besarnya, dan mereka merasa dirinya sudah kaya. Nun jauh di wilayah negara itu, yang penduduknya berkulit hitam, sebuah perusahaan milik manusia berkulit pucat, menggali gunung emas terbesar di dunia, dan mereka bilang itu bukan emas, tapi tembaga! Di pulau yang mayoritas penduduknya tinggal di situ, sebuah perusahaan milik manusia berkulit pucat lain, berebut sumber energi yang tak akan habis, panas bumi. Penduduk berkulit sawo matang selalu diajari bahwa mereka harus merasa kaya, karena adanya harta karun terpendam di tanah yang sekarang sedang mereka injak, tapi cukuplah dengan merasa kaya, karena kekayaan sesungguhnya dinikmati oleh manusia lain nun jauh, yang membuai mereka seolah- olah mereka masih kaya. Manusia- manusia berkulit pucat itu lebih mengetahui apa dan berapa harta yang ada di dalam tanah, mereka mampu mengolahnya, dan penduduk berkulit sawo matang itu, tidak tahu sama sekali, apa dan berapa yang dimaksud dengan harta karun terpendam, untuk mengolahnya, apalagi menikmatinya.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Bolehlah sebuah kaum mengklaim bahwa mereka telah merdeka, secara politik. Namun, efek kolonialisme yang bertahan jangka panjang adalah sifat inferioritas, rendah diri. Rasa kagum secara kolektif yang terdapat dalam satu kumpulan orang terhadap pencapaian prestasi sekumpulan orang lain ternyata berbanding lurus dengan rasa rendah diri dan ketidakmampuan untuk berdiri di atas kaki mereka sendiri, menentukan akan kemana mereka melangkah . Kolonialisme, yang secara substansial adalah penguasaan sekelompok kaum dengan akumulasi pengetahuan lebih banyak, terhadap sekumpulan kaum lain, yang tidak mendapat akses pengetahuan, membuat efek reproduksi budaya, imitasi status sosial, berikut destruksi identitas, dan ujung- ujungnya adalah perluasan pasar hasil produksi. Adalah sebuah keanehan manakala suatu kaum bangga berstatus sebagai pasar potensial terbesar, tanpa merasa terdorong untuk memproduksi sesuatu dan mampu memperdagangkannya, padahal mengakunya punya sumber daya alam berlimpah, ah! Obat, solusi dari psikopatologi kolonialisme, adalah kemauan penguasaan atas pengetahuan, episteme maupuntechne.Pengetahuan itu adalah tentang diri mereka sendiri, maupun segala sesuatu di luar dirinya. Teknik itu adalah strategi untuk membuat pengetahuan menjadi lebih memperadabkan sesama manusia.

Terinspirasi Oleh : Frantz Omar Fanon, The Wretched of the Earth Kishore Mahbubani, Can Asian Think ?
Written by Maximillian Posted in rational Tagged with budaya, ekonomi, frantz fanon, inferior, kebangsaan,kolonialisme, medioker, peradaban, psikopatologi

VAN HEUTZ______________________________

osoknya tegap, berkepala botak, pandangan mata tajam, dan

kumis melintang. Lelaki ini memainkan salah satu peranan penting dalam epik penuh pertumpahan darah, adu strategi, perjuangan harga diri, dan sikap kepahlawanan, yaitu Perang Aceh. Namanya Johannes Baptista Van Heutz, memori tentang jenderal gemilang ini terpatri kuat dalam memori rakyat Aceh dan kalangan militer Belanda , dalam sudut pandang yang bertolak belakang. Tahun 1873, Pemerintah Hindia Belanda, cikal bakal Indonesia sekarang, melancarkan perang terhadap negara merdeka dan berdaulat, Kesultanan Aceh. Serangan militer pertama pada April

blogosphere.dagdigdug.comTM
1873, dipimpin Jenderal Kohler, berujung pada tewasnya sang jenderal, di area Masjid Baiturahman. Gelombang serangan berikutnya Desember 1873, berakibat Jenderal Van der Heyden kehilangan mata kirinya, kena tembak. Pemerintah Hindia Belanda nampaknya tidak boleh menyamakan Perang Aceh dengan Perang Diponegoro di Jawa atau Perang Paderi di Minangkabau , ada sesuatu yang menjadi inti kekuatan Kerajaan Aceh, mereka harus segera mencari tahu inti itu, dan menghancurkannya, kalau ingin memenangkan perang itu. Kampanye perang dirancang ulang dengan perencanaan lebih dimatangkan. Jenderal Van Heutz bekerjasama dengan ilmuwan pakar keIslaman, Dr. Christiaan Snouck Hourgronje. Sarjana, pakar teologi dan bahasa semit Universitas Leiden ini pada 1885 belajar tentang orang- orang Islam Indonesia yang naik Haji, langsung di Mekah. Mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar, mengaku memeluk Islam. Dia menjadi penasehat khusus Jenderal Van Heutz pada 1896. Snouck fasih berbicara bahasa Aceh, Melayu, Jawa, dan dua belas bahasa lain. Ada perbedaan mendasar antara Peradaban Aceh dengan Peradaban Jawa .Sejarah menunjukkan bahwa rakyat Aceh punya memori kolektif sebagai bangsa merdeka dan berdaulat di zaman sultan. Dalam sisi tata nilai, sistem organik masyarakat Aceh beradab dengan tata nilai Islami, bukan hanya untuk ritual atau simbol politis saja. Paparan nilai Islami lewat interaksi perdagangan dengan dunia internasional waktu itu- sejak abad 13 M sudah berdiri Samudera Pasai- membuat konstruksi tata nilai sistem organis masyarakat Aceh berbeda dengan sistem organis masyarakatJawa. Penetrasi nilai Islam di Jawa belum sampai memperadabkan masyarakatnya, cenderung kompromis dan sinkretis, nilainya bersifat simbolik dan ritual, tata nilai sistem organis masyarakatnya juga mencampurkan nilai Islami dengan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya. Akibat dari hal ini, salah satunya adalah karakter kepemimpinan orang Aceh cenderung lebih egaliter-kolektif, dibanding orang Jawa yang cenderung feodal- patriarkal. Kesultanan Aceh pernah pernah dipimpin empat ratu perempuan secara berurutan pada periode 1641- 1699* dan satu laksamana angkatan laut perempuan, Keumalahayati. Karakter masyarakat Aceh punya kemiripan dengan Minangkabau, dibandingkan dengan Jawa. Terbukti, Perang Jawa berhenti setelah pemimpin utamanya, Diponegoro, diasingkan.Sedangkan di Aceh, pergerakan mereka tidak pernah bergantung pada satu sosok individu, dan itu butuh pemetaan kekuatan lebih detail. Snouck Hourgronje, yang sebelumnya sudah dikenal oleh banyak pemimpin Aceh dan mengenal peta simpul kekuatannya, menjelaskan bahwa ada tiga simpul utama, yaitu Sultan, ulama, dan hulubalang. Simpul sultan boleh dianggap sepi, simpul hulubalang yang feodal, bisa diajak bekerja sama, dan yang harus dipukul keras adalah simpul ulama, yang paling dipercaya masyarakat Aceh sekaligus ideolog perlawanan. Simpul ulama juga menjustifikasi Perang Aceh sebagai Perang Sabil ( konflik ideologi). Justifikasi ini membuat inti perlawanan menjadi lebih abstrak, masif, dan heroik, mereka berani mati untuk membela prinsip yang mereka yakini itu benar. Van Heutz menerima saran Snouck, dia membentuk pasukan khusus gerilya, kumpulan serdadu pilihan orang Belanda, juga impor dari Jerman, Austria, serta orang lokal, serdadu Jawa dari Purworejo, karakter ulet orang Jawa, yang jarang mengeluh dibandingkan serdadu lokal Ambon, dianggap cocok menghadapi ketangguhan orang dan medan berat Aceh. Pasukan ini bernama Marechaussee ( Marsose), dalam kelompok kecil gerilya jalan kaki, senjata lengkap, berkarakter pemberani- petarung agresif, dan tingkat mobilitas tinggi. Medan perang yang dihadapi mulai dataran sampai pegunungan. Dalam perkembangannya, 1899, Van Heutz dan serdadu marsose-nya membunuh pemimpin perlawanan berpengaruh kuat, Teuku Umar, di tepi pantai. Perlawanan lanjutan dipimpin Cut Nyak Dien, jandanya. 4 November 1905, Cut Nyak Dien disergap pasukan Letnan Van Vuuren. Perlawanan pasangan lelaki hebat dan perempuan tangguh itu berpusat di Takengon dan Gayo. 1910, pasukan marsose pimpinan Mayor Christoffel membunuh Pang Nanggu, perlawanan lanjutan dipimpin jandanya, Cut Meutia, sampai 24 Oktober 1941. Cut Meutia tewas dalam kontak senjata dengan pasukan marsose pimpinan Sersan Mosselman di Alue Kuning. 1904, Sultan Aceh terakhir, Muhammad Daud Syah menyatakan diri menyerah. Tetapi perlawanan rakyat Aceh ternyata tidak berhenti walaupun sultannya menyerah. Tahun 1909, Letnan H.J Schmidt diperintahkan melenyapkan simpul ulama ( para

blogosphere.dagdigdug.comTM
Tengku) yang masih melawan dan bertahan di Pegunungan Tangse. Mei 1910 ia menemukan persembunyian klan Tengku Di Tiro, penyergapan menewaskan sejumlah besar anggota klan Di Tiro, tapi tidak semua. 1911, sisa klan Di Tiro ditemukan persembunyiannya, semua lelaki keturunan klan Di Tiro dihabisi, kecuali seorang anak laki- laki enam tahun, dan bayi lima bulan. Perang Aceh ini menjadi perang paling berdarah yang pernah dialami Pemerintah Hindia Belanda, tercatat 70.000 orang, atau seperempat penduduk Aceh terbunuh. Di pihak Hindia Belanda, 35.000 serdadu bule maupun lokaltewas. Menderita luka- luka satu juta orang keseluruhan. Perang Aceh juga menghancurkan kewarasan, banyak orang Aceh sampai depresi dan gila. Tercatat, sekitar 1.000 orang gila berat. Pemerintah Hindia Belanda mendirikan rumah sakit jiwa terbesar seantero negeri, di Pulau Sabang. Jenderal Johannes Baptista van Heutz menerima banyak penghargaan tinggi atas keberhasilannya memadamkan Perang Aceh. Dia diangkat menjadi pemimpin tertinggi Hindia Belanda oleh Kerajaan Belanda, sebagai gubernur jenderal setelah turunnya William Rooseboom pada 1904. Dr. Christiaan Snouck Hourgronje, yang sebelumnya bersahabat dekat, kecewa dengan langkah yang diambil Van Heutz berdasarkan dari hasil investigasinya. Snouck sebenarnya lebih cenderung ke metode asosiasi, daripada konfrontasi militer. 1906 dia kembali ke Belanda dan menjadi profesor di almamaternya, Universitas Leiden. Dia menyerukan reformasi kebijakan Kerajaan Belanda di Hindia Belanda, terutama pada kebebasan hak pribumi, namun tak pernah didengar. Snouck pernah menetap di Garut, dan menikahi perempuan Sunda, keturunan Snouck kemungkinan besar masih ada. Marsose menjadi cikal bakal korps polisi militer Kerajaan Belanda, hingga saat ini. Dan nama Van Heutz diabadikan dalam salah satu satuan militer Kerajaan Belanda, bernama Resimen Van Heutz. Sementara, kisah tentang Aceh masih terus berlanjut sampai tahun 2010 ini, dalam simpul- simpul penuh epik kepahlawanan, diwarnai tema kepercayaan dan pengkhianatan, pembangunan dan pemiskinan, penindasan dan kesalahpahaman, serta bencana alam yang justru membuka kembali pintu persahabatan. 3 Juni 2010 kemarin, Hasan Di Tiro, Sang Wali pemimpin Gerakan Aceh Merdeka, yang sebelumnya menggerakkan perlawanan kepada pemerintah Republik Indonesia, meninggal di Banda Aceh. Dalam status yang dia sendiri mengajukan, sebagai Warga Negara Indonesia. Terinspirasi oleh : Bernard H M Vlekke, Nusantara Rosihan Anwar, Sejarah Kecil Indonesia Ismail Sofyan, Prominent Women in the Glimpse of History Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah * Empat Sultanah Kerajaan Aceh 1. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675). 2. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678) 3. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688) 4. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
Written by Maximillian Posted in rational Tagged with cut nyak dien, infanteri, marsose, perang aceh, perang jawa,serdadu lokal, snouck hourgronje, tengku cik ditiro, teuku umar, van heutz

blogosphere.dagdigdug.comTM

The Prominent Women_____________


Selama aku masih hidup masih berdaya, perang suci melawan kaphir ini hendak kuteruskan, demi Allah! Polem hidup, Bait hidup, Imam Long Bata hidup, menantuku Teuku Mayet hidup, Di Tiro hidup, Sultan Daud hidup, dan kita hidup ! Belum ada yang kalah, Umar syahid, marilah kita meneruskan pekerjaannya, guna agama, guna kemerdekaan bangsa kita, guna Aceh, guna Allah! Cut Nyak Dien memandang pada orang yang berbadan tinggi kurus yang berdiri di depannya itu, seolah- olah mengharap daripadanya pertolongan guna menjalankan maksudnya dengan sempurna, hati Umar terasuk melihat muka wanita yang lusuh oleh geram dan berang itu. Saudara sepupunya itu berdarah bangsawan yang panas, sikapnya seolah- olah harimau betina yang hendak menyerang si pengacau keluarganya, tapi pandangan mata itu mengisyaratkan pula, bahwa ia seorang perempuan. Kata kesetiannya membisikkan padanya untuk membantu wanita yang menjanda ini Jika hati Dien sesudah itu dapat pula melekat kepada Teuku Umar, maka yang menjadi dasar dan sebabnya hanyalah satu; Tertariknya hati oleh seorang laki- laki, yang di dalam Sabilillah, melawan kafir hendak dijadikan kawan seikhwan, rekan seperjuangan. Rekan itulah yang akan mengangkat senjata untuknya, penumpas kafir yang sedang menodai tanah airnya. Kawan itulah yang yang akan menyertainya dalam ia berhasrat hendak mengusir orang kafir dari tanah Aceh! Bukanlah suami pengantin yang hilang hendak dicarinya, penghibur hati yang gundah, melainkan ia hendak mencari rekan berjuang karena ia kehilangan kawan guna menyambung tangan yang puntung di dalam ia berhasrat hendak menerkam musuhnya Cut Nyak Dien seorang wanita luar biasa, ibu yang hebat, melahirkan seorang putri pejuang bernama Cut Gambang, putrinya ini menikah dengan Teuku Mayet, putra Tengku Cik Di Tiro M Saman, seorang pejuang juga.Berderet nama wanita- wanita muslim utama yang turut menghiasi sejarah panjang Bumi Rencong Aceh, mereka adalah Ratu Nur Ilah, Ratu Nahsariyah, Laksamana Keumalahayati, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam, Sultanah Inayat Syah, Sultanah Kamalat Syah, Cut Nyak Meutia, Pocut Baren, dan Pocut Meurah Intan

Mereka adalah Ratu Kerajaan Aceh, komandan tentara angkatan laut Kerajaan Aceh, dan pemimpin pejuang kemerdekaan. Di balik semua itu, mereka juga adalah seorang Ibu Hanya wanita hebat yang akan mampu mendidik calon- calon pahlawan peradaban, bukan hanya karena keturunan, namun lebih karena karakter didikan, teladan langsung seorang Ibunda berkarakter pejuang, bukankah Al Ummu Madrasatun ? Ibu adalah madrasah pertama dan yang utama untuk membentuk karakter pahlawan sejati.

Selamat untuk para Ibu hebat yang telah melahirkan dan mendidik Anda semua yang telah membaca tulisan ini, dan tentunya untuk Anda, para calon Ibu pembangun peradaban. Semoga dari tanah Indonesia ini akan terwujud kembali pahlawan- pahlawan wanita hebat seperti di atas, dan semoga itu adalah Anda, salah satunya. Ref : The Prominent Women in the Glimpse of History, Ismail Sofyan dkk
Written by Maximillian

blogosphere.dagdigdug.comTM
Posted in soul Tagged with cut nyak dien, kekuatan perempuan, kesetaraan gender,maskulinitas, perang aceh

Paradoks Stockdale_________________________
I never lost faith in the end of the story, I never doubted not only that I would get out, but also that I would prevail in the end and turn the experience into the defining event of my life, which, in retrospect, I would not trade. Oh, thats easy, the optimists. Oh, they were the ones who said, Were going to be out by Christmas. And Christmas would come, and Christmas would go. Then theyd say, Were going to be out by Easter. And Easter would come, and Easter would go. And then Thanksgiving, and then it would be Christmas again. And they died of a broken heart. This is a very important lesson. You must never confuse faith that you will prevail in the endwhich you can never afford to losewith the discipline to confront the most brutal facts of your current reality, whatever they might be.
Kolonel Stockdale, salah seorang veteran yang mampu bertahan hidup hingga saat ini, dia salah satu alumni sadisnya Hotel Vietnam hasil kreasi milisi Vietnam Selatan, Vietkong, dalam era Perang Vietnam yang tragis dan mengharukan itu. Mungkin bagi Anda penggemar layar lebar pendeskripsi Perang Vietnam semacam Tour of Duty dan Platoon, akan menyimpan memori seputar penjara bagi tawanan tentara Amerika Serikat yang sial tertangkap. Salah satu yang masih saya ingat hingga saat ini, adalah penjara terbuka yang berada dalam rawa, dimana si tawanan yang sial itu tubuhnya sebagian tenggelam di air rawa berwarna lumpur, dia akan mati pelan karena tekanan psikis, kedinginan, kelaparan, atau menjadi salah satu aduan judi milisi Vietkong yang butuh hiburan sesaat, indah namun dramatis. Dalam kondisi yang Stockdale sebutkan sebagai Fakta Brutal itu, memang hanya beberapa gelintir makhluk manusia yang mampu bertahan hidup. Dia akan meninggal cepat atau lamban, itu adalah pilihan umum di antara tawanan. Kalaupun ada peluang untuk terus hidup, maka itu adalah pilihan yang sangat bergantung pada diri pribadi masing- masing personal. Tekanan itu menyergap lebih cepat manakala menyaksikan teman di samping mereka yang satu persatu tewas dengan cara- cara yang sama sekali tidak menyenangkan. Menghadapi fakta brutal mengenai ketidakpastian kesempatan untuk hidup dan melihat matahari esok hari, menghadirkan siksaan psikis yang membunuh pelahan para prajurit sial itu, setidaknya harapan yang terbunuh adalah titik awal sebelum jiwanya benar- benar tewas, cepat atau lambat, entah kapan.Tewas karena kehilangan harapan untuk hidup

blogosphere.dagdigdug.comTM
Beberapa jenis manusia mematikan rasa Optimis dengan kata Realistis. Ada semacam ketergelinciran logika definisi, bahwa realistis bukanlah antonim dari optimis. Realistis adalah antonim imajinatif dan optimis sendiri adalah lawan dari pesimis. Sadarkah pengucap dengan realitas relativitas waktu ? Bahwa ruang dan waktu adalah entitas relatif yang senantiasa berubah sesuai dengan titik acuan ukuran ? Keterselipan logika ini, mungkin tidak akan berpengaruh manakala masih pada ranah definisi kosakata. Hal ini akan menjadi problem kompleks, karena logika ini terselip dalam benak beberapa jenis manusia, yang mereka berinteraksi dan membentuk budaya pembunuh rasa optimis, menggunakan teriakan, Realistis dong !. Rasa optimis, yang berarti adanya semacam pengharapan perubahan keadaan menjadi lebih baik pada waktu- waktu mendatang, dengan tetap berpijak pada realitas saat ini, berikut memperhitungkan variabel yang kemungkinan akan terjadi, terkadang menjadi satu- satunya yang dimiliki oleh spesies manusia, untuk sekadar bertahan hidup. Stockdale adalah salah satunya. Dan, rasa itulah yang tidak setiap orang mampu untuk merasionalisasi apa dan kenapa bisa memiliki akibat timbulnya rasa itu ? Tanpa bisa menjelaskan sebabnya. Dalam beberapa literatur psikologi terdapat idiom Adversity Quotient- kemampuan mewujudkan ide menjadi realitas- dan Creativity mewujudkan sesuatu ide dari abstrak menjadi konkret-. Kedua idiom tadi membutuhkan rasa kuat akan satu hal yang tidak semua manusia memiliki kekuatan rasa ini, yaitu optimisme. Lalu, apakah bisa beralasan dengan realitas untuk menghabisi optimisme ? Bisa ! Dan, itulah yang menjadi pilihan mungkin sebagian besar makhluk manusia. Beralasan kondisi saat ini, untuk tidak melangkah menghampiri masa depannya. Menghadapi fakta brutal semacam pengalaman Stockdale, sebenarnya bukanlah menghadapi fakta itu sendiri, melainkan melawan persepsi diri terhadap fakta brutal, yang terkadang jauh lebih kejam, dramatis, dan sadis dibandingkan fakta brutal sebenarnya. Fakta atau fiksi, persepsi kitalah yang menentukan respon terhadapnya. Pada hakekatnya, makhluk bernama manusia ini, harus melawan persepsi dirinya terhadap suatu fakta brutal, dengan menciptakan fakta- fakta baru abstrak yang harus dia gapai pada waktu yang akan datang, dengan rasa optimis dan usaha nyata, bahwa fakta- fakta abstrak di kepalanya- yang dia sebut dengan ide itu- akan menjadi konkret. Inilah yang disebut dengan Harapan, salah sekian idiom terkejam yang saya miliki hingga saat ini. Kata Tuhan, Dia tidak akan merubah keadaan suatu kelompok atau individu manusia, sebelum kelompok manusia atau suatu individu itu berusaha merubah persepsi mereka bahwa mereka punya kemampuan dan kemauan untuk berusaha berubah. Yah, itu kata Tuhan. Dia memberikan kebebasan bahkan hingga pada ranah perubahan keadaan, yang oleh beberapa manusia menyebutnya merubah takdir. Tetapi saya tidak tahu, apakah semua manusia tahu mengenai kabar yang Tuhan sampaikan ini. Metafora dalam wahyu-Nya memang membutuhkan refleksi substansi tindakan, bukan hanya simbolitas yang merepresentasikan persepsi sekelompok makhluk manusia. Bahkan manusia pun, punya kebebasan penuh untuk mempertahankan optimisme, menghadapi fakta brutal untuk mewujudkan fakta abstrak dalam kepalanya, menjadi fakta konkret pada waktu yang berjalan, sesuai relativitasnya. Apakah manusia tahu itu ? Ah, memang sebenarnya manusia kan hanya makhluk sok tahu, kita tidak tahu apaapaHanya yang Mahatahu yang tahu semuanya, makanya saya selalu minta Dia tunjukkan jalan, apapun itu, silakan menikmati realitas detik ini, dan optimis menghadapi keadaan yang akan berubah, 60 detik lagi. Ah, Tuhan memang indah, realitas ruang dan waktu , hanya beberapa gelintir manusia yang memahami karya-Nya ini, itu relatif kawan! Hak manusia untuk membunuh harapan berikut menumbuhkan harapan pun, Dia juga membebaskan sepenuhnya. Dan nikmat Tuhan manakah yang akan kau dustakan ?

blogosphere.dagdigdug.comTM
Salah satu kenikmatan saya tahu, bahwa Tuhan membebaskan manusia buat memilih seluas- luasnya. Bahkan hak memilih untuk menjalani kehidupan itu atau membunuh kehidupannya sendiri. Keren memang

Measure what is measurable, and make measurable what is not so. Galileo Galilei An optimist may see a light where there is none, but why must the pessimist always run to blow it out? Rene Descartes
Written by Maximillian Posted in rational Tagged with brutal fact, fakta brutal, optimisme, persistensi, realistis,realitas, stockdale, valuasi

EKONOMI MAKRO DAN ENTREPRENEURSHIP_____________________

erinspirasi kembali oleh karya klasik Yoshihara

Kunio, The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia ( 1988), saya berusaha untuk mencari interkoneksi antara kondisi ekonomi makro yang nampak dinamis dan canggih di media ( namun sulit dimengerti oleh awam yang telanjur terkesima dengan penjelasan penuh istilah keren a la akuntansi ), dengan posisi saya sebagai pelaku ekonomi mikro serta gembar- gembor soal kebangkitan ekonomi Indonesia 2030 ( mencari tahu, apakah ini optimisme realistik atau optimisme platonik). Secara singkat, Yoshihara berpendapat bahwa kapitalisme Asia Tenggara menjadi ersatz karena dua hal, pertama; Campur tangan pemerintah terlalu banyak, sehingga mengganggu prinsip kompetisi pasar. Belum lagi sebenarnya banyak pihak di dalam pemerintahan yang main di dua kaki, bisnis dan politik, atau saudara seiblis-nya, bisnis dan militer. Kedua hal ini menimbulkan jamur beracun bernama pemburu rente ( dan KKN tentunya). Bagi Anda yang suka dengan buku investigatif, tentu paham bagaimana detail berjalannya Pertamina di bawah Ibnu Sutowo,atau monopoli terigu Bogasari- Indofood yang nampak gagah tapi bikin miris itu. Hal ini membentuk budaya yang mematikan wirausahawan sejati, yang sebenarnya terbentuk dari bibit persamaan kesempatan untuk berusaha. Yang kedua; kapitalisme di Indonesia ( Asia Tenggara) tidak didasarkan pada perkembangan teknologi yang memadai, akibatnya, sampai sekarang kita merasakan bahwa industrialisasi yang mandiri itu tak pernah tumbuh. Kapitalisme di Asia Tenggara dominan di bidang jasa, kalaupun di bidang industri, dia hanya bergerak sebagai kapitalisme komprador yaitu bertindak sebagai agen industri manufaktur asing di negerinya sendiri ( faktor murahnya manpower berkemampuan teknis tinggi). Padahal untuk membangun kemandirian ekonomi, maka industri yang berbasis kreasi teknologi khas- budaya masyarakat ( yang paling tahu target dan kebutuhannya), adalah sangat penting. [ Jadi, Anda jangan berharap pada kami yang digodok di institut teknologi untuk mampu menjadi motor

blogosphere.dagdigdug.comTM
lahirnya industri berbasis teknologi-yang bisa memberi nilai tambah ekonomi buat faktor produksi di Indonesiakenapa ? Sejak semula didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, institut ini memang dimaksudkan untuk menyuplai tenaga ahli teknis murah bagi perusahaan Belanda dari kalangan pribumi. Menilik cerita Bernard HM Vlekke, saya mulai tersadar nampaknya keadaaan itu tidak berubah hingga sekarang, kami dengan bangga hati dan bersemangat tinggi menjadi bagian dari para "komprador" *]

Memetik pendapat dari Noam Chomsky, bahwa Asia Tenggara secara defaultnya adalah penghasil bahan baku, dan port-nya adalah Singapura. Sekali lagi, kalau mengingat kembali memori sejarah, bukankah Portugis dan Belanda dulu sempat- sempatnya mampir ke sini memang karena kita kaya bahan baku ? Kalau tidak kaya, lalu apa yang membuat nusantara layak untuk diajak berdagang ( baca : dijajah) oleh perusahaan multinasional bernama VOC ? Dan kesadaran bahwa yang berdagang ( baca : menjajah) nusantara itu adalah sebuah perusahaan quasi militer ( baca : kongsi dagang yang dillindungi tentara) pun, jarang sekali yang menyadari*. Artinya, jika sampai sekarang ekspor Indonesia masih di sekitaran bahan baku ( misal : sawit, batubara, tembaga, atau emas-nya Freeport), menurut hemat saya, tidak ada perubahan signifikan .Industri kita mengalami stagnasi selama 30 tahun terakhir. Jika pemahaman yang dimaksud dalam konsep industri adalah kontribusinya pada pemasukan negara, ditinjau dari proporsi industri terhadap pertanian, maka sudah signifikan. Tapi, jika mengacu pada pandangan industri kontemporer, kita jauh panggang dari api. Karena yang dimaksud dengan industrialisasi adalah pendalaman industri. Kemajuan pendalaman industri ini terlihat dari gradasi peningkatan teknologi proses dan nilai tambah terhadap bahan baku asal ( faktor produksi). Kita tidak bisa stagnan bergantung pada industri berbasis low technology yang nilai tambahnya rendah sekali. Banyak industri kita terjebak pada budaya merakit ( assembling). Saya mencoba untuk menengok ke tetangga, siapa tahu ada yang bisa kita pelajari, yaitu Korea Selatan. Setiap sepuluh tahun pada mereka terjadi perubahan pengembangan industri. Selalu ada yang bisa diunggulkan, misalkan pada 1960-an, mereka unggul pada ekspor raw silk. Bertahap pada 1970-an ke wigs, ships pada 1980-an, leather goods pada 1990-an, dan pada 200-an sampai dengan sekarang pengembangan automobiles. Kunci dari pendalaman industri adalah pada kekuatan perbaikan terus menerus ( Continues Improvement), yang tentunya bertumpu pada riset dan pengembangan. Prof Michael Porter membagi tahapan industrialisasi menjadi tiga, yaitu tahap factor driven (digerakkan oleh ketersediaan faktor produksi) didalamnya adalah : Angola, Bolivia, dan India; tahap investment driven (didorong oleh kekuatan investasi) terdapat : Brasil, Afrika Selatan, dan Rusia dan tahap innovation driven (dimotori kemampuan inovasi) didalamnya : Israel, Jepang, Jerman, dan AS. Pada awalnya,industrialisasi lebih mengandalkan pada upah buruh rendah dan ketersediaan sumber daya yang berlimpah. Setelah itu laju industrialisasi lebih ditentukan oleh faktor investasi. Itu sebabnya, persaingan antarnegara berkembang yang paling menonjol saat ini adalah persaingan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif agar para investor dapat bergerak leluasa di negara-negara tersebut. Bermacam cara dilakukan, dari deregulasi sampai pemberian insentif besar-besaran. Tak ada negara yang mau ketinggalan dalam perlombaan memberi kemudahan dan kenyamanan untuk investasi ini. Negara yang peraturannya berbelit- belit, birokrasinya ruwet, korupsinya meluas, kualitas sumber daya manusianya rendah, dan infrastruktur bisnisnya parah, tak akan banyak menarik investor. Yang akan terjadi adalah lingkaran setan (vicious circle) ekonomi biaya tinggi.Investor akan memilih negara lain sebagai basis produksinya. Lalu, apakah jika investasi asing masuk dalam jumlah besar maka Indonesia layak masuk kategori tahap ketiga ? Belum tentu, kondisi pemain pasar uang di Indonesia masih didominasi oleh asing, berkisar antara 60- 70 %. Hal tersebut menyebabkan kondisi ekonomi kita masih sangat terpengaruh oleh asing. Arus uang masuk ke Indonesia sifatnya hanya untuk mencari keuntungan ( gain) sementara, sehingga tidak masuk menjadi modal permanen bagi pembangunan Indonesia.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Saya cenderung kepada pembangunan bertahap, transformasi progresif ini harus ada dan terjadi, mulai dari yang kecil namun masif -melibatkan semua pihak- dan mulai dari sekarang tentunya. Bukan hanya pemerintah saja yang bisa diharapkan ( kali ini saya berpikir positif semoga pemerintah benar- benar bisa dikasih harapan), tapi semua pihak masyarakat. Ada data yang menarik, korelasi positif antara indeks entrepreneurship ( kewirausahaan) dengan peningkatan positif pendapatan perkapita. Tapi kewirausahaan macam mana yang berpengaruh positif terhadap pendapatan perkapita negara ? Dalam hal ini, fokusnya sekali lagi pada Opportunity Based Entrepreneurship ( kewirausahaan karena tersedianya peluang untuk menjadi pemain pasar). Untuk negara semacam Indonesia, maka ada beberapa prasyarat utama yang harus ada, yaitu efisiensi institusi negara ( birokrasi), pemerataan infrastruktur, stabilitas makroekonomi, dan pemerataan kualitas pendidikan serta kesehatan. Jika selama ini banyak ahli di media yang berkoar untuk mencontoh apa yang telah dihasilkan oleh Jepang, Jerman, atau AS, maka itu adalah tahapan berikutnya, yaitu peningkatan kualitas pendidikan tinggi, efisiensi pasar, efisiensi pasar tenaga kerja, kesiapan untuk melakukan adopsi dan akulturasi ( baca : pencurian) teknologi, serta ukuran pasar lokal ( untuk yang terakhir ini, Indonesia sangat potensial). Seperti kata George Orwell, Ignorance is Bliss, yup, bermimpi dan menancapkan target memang indah dan puitis, namun hidup nyatanya adalah prosa, bukan puisi. Ketika ditargetkan bahwa Indonesia akan sejajar dengan Brasil, Cina, dan India, bahkan mengalahkan AS dan Jepang di suatu masa, maka mari kita lihat detailnya, dimana posisi kita sekarang dan seberapa jauh posisi ini terhadap target yang akan kita raih. Saya suka ketika ada tokoh yang dengan optimis mengungkapkan optimisme Indonesia 2020 atau 2030 yang akan jadi raja dunia, namun saya kembali ragu karena yang dijadikan parameter adalah indikator ekonomi makro, lalu lupa menjelaskan proses- proses ekonomi mikro yang menunjang keberlangsungan aktivitas ekonomi jangka panjangnya, kali ini saya sepakat dengan Nassem Nicholas Thaleb, Jangan percaya dengan peramal tren ekonomi, mereka pembual . Dari penjelasan Global Entrepreneurship Monitor saya bisa ambil kesimpulan, bahwa manusia adalah aset ekonomi terbesar suatu negara, dan kunci untuk membangun aset adalah pada kualitas pendidikan. Kekuatan ekonomi makro ditunjang oleh solidnya ekonomi mikro, yaitu perusahaan- perusahaan yang dikendalikan oleh manusia berpengetahuan. Saya pribadi berharap kepada kawan- kawan pemenang atau nominator kompetisi bisnis anak muda semacam Shell LiveWire, Wirausaha Muda Mandiri, Telkom Indigo, dan macam- macam kompetisi wirausaha muda lain untuk tetap solid dan teguh membangun ide inovasi bisnis berkarakter khas, melakukan perbaikan berkelanjutan terus menerus ( Continues Improvement- KAIZEN; Edward Deming), pertumbuhan berkelanjutan ( Sustainable Growth; Januar Darwaman, PhD), dan berharap banyak beberapa dekade lagi ( 10 tahun lagi 2020, 20 tahun lagi 2030, mari kita hitung mundur) kemandirian ekonomi Indonesia menjadi terwujud riil, bukan ersatz lagi. Kali ini saya mulai memahami nasehat kakek saya, Alon alon waton kelakon, sing temen bakal tinemu ( Pelan pelan asalkan terwujud, siapa yang bersungguh- sungguh akan menemukan kesuksesan). Masih banyak kerja yang harus dilaksanakan, jika memang target kemandirian ekonomi tersebut mau dijadikan optimisme realistik, ya manjadda wa jada ! Terinspirasi oleh : Kapitalisme, Noam Chomsky Black Swan, Nassem Nicholas Taleb Nusantara, Bernard HM Vlekke The Rise of Ersatz Capitalism in South East Asia, Yoshihara Kunio Global Entrepreneurship Monitor Review 2008, GEM Koran Republika 12 Oktober 2009

blogosphere.dagdigdug.comTM
Global Entrepreneurship Index, Jena Economic Research Paper 2009 ( Grafik diambil dari salah satu halaman paper ini) * Vlekke menulis bahwa Kerajaan Belanda belajar dari kegagalan imperium politik Portugis dan Spanyol yang justru kesusahan untuk mengatur besarnya wilayah politik. Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda justru membangun imperium ekonomi dengan perusahaan multinasional EIC ( East India Company) dan VOC ( Vereenigde Oost Indische Compagnie) untuk membangun imperium ekonomi. VOC sendiri hancur karena korupsi di dalamnya. Modus operandi ini masih berlangsung sampai sekarang.
Written by Maximillian Posted in rational Tagged with ekonomi riil, entrepreneurship, inovasi pengetahuan,kewirausahaan, makroekonomi, pendidikan tinggi

ENTREPRENEURSHIP KATA SAYA_________

alau Anda dilahirkan di budaya manusia asli jawa pedesaaan atau

pegunungan macam saya ini, maka pilihan untuk mencapai status sosial terpuja itu lewat pilihan profesi terbatas, yaitu menjadi tentara- perwira ( senopati), guru- dosen ( begawan), pegawai negeri- pejabat negara ( abdi dalem- adipati),atau yang lebih kompleks pendidikannya adalah dokter. Dulu menjadi pegawai kumpeni ( VOC- Perusahaan multinasional pertama di dunia- lahir di Indonesia) juga adalah primadona, mungkin transformasi saat ini adalah menjadi pegawai perusahaan multinasional ( positif dari segi status,fasilitas dan prospek masa depan). Mobilitas vertikal itu harus didapatkan dengan biaya yang tidak sedikit, Jer Basuki Mawa Beya, kata kakek saya yang juga guru itu. Selain biaya, maka keuletan dan kerja keras adalah prasyarat berikutnya, kemudian doa didukung sikap prihatin sebagai sikap pendukung mutlak. Sungguh sangat lazim jika untuk mendukung anaknya mendapatkan status empat tersebut, orang tua rela puasa senin kamis, puasa ngrowot, puasa mutih, dan segala macam perilaku kebatinan ala pandhita ( orang soleh model jawa kuno). Orang tua akan bangga menyaksikan masyarakat menjura pada keempat posisi tersebut, yang akan diperoleh anaknya. Label keluarga sukses pun pasti disematkan, karena keberhasilan mengantar ke posisi yang Basuki versi jawa kawasan tertentu.

Posisi pedagang dalam masyarakat jawa bagian tengah- selatan- timur bukanlah posisi terpuja, bahkan stereotype yang terbentuk cenderung negatif. Idiom populer yang diberikan oleh lingkungan kami semacam Melik Nggendong Lali, Urip Namung Sawang Sinawang , Mangan Ora Mangan Kumpul, Alon alon Waton Kelakon, Ngono Yo Ngono Ning Aja Ngono, tidak menempatkan ambisi atau target mendapatkan keuntungan dari marjin perdagangan sebagai tujuan menarik atau mulia. Bahkan karena menjadi pedagang tidaklah membutuhkan sekolah, sangat aneh jika ada manusia berpendidikan tinggi bersedia bersusah payah membangun perusahaan dari nol untuk membuka lapangan pekerjaan atau mendinamisasi ekonomi, berdagang itu untuk kaum pariah, bukan satria apalagi brahmin. Seloroh Kaya itu Mulia tutur Eyang Deng tidak mendapat tempat di benak kita. Sifat kikir, curang, cerdik, licin, atau yang lebih canggih via media metafisika menggunakan jasa pesugihan ternak tuyul, babi ngepet, dan ngalap berkah ke Gunung Kawi sudah menjadi prasangka awalan jika melintas kata pedagang sukses kaya raya bermata lebar berkulit sawo matang.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Segala cara menghalalkan cara yang haram jadi halal, sikut- menyikut, tindas- menindas, jalan pintas metafisika, dan hal negatif lain sudah menjadi halangan psikologis, alih alih mencoba untuk terjun langsung membanting tulang membangun institusi ekonomi swasta. Maka sekilas pintas dapat dilihat, pelaku ekonomi strategis di kota besar jawa bagian tengah- selatan- timur yaitu Jogjakarta, Solo, Semarang, dan Surabaya mayoritas adalah kawan- kawan Tionghoa. Saya mengamati bahwa bukannya peluang usaha itu tidak ada, bahkan mungkin sangat besar, namun persepsi antropologis yang sudah mengurat mengakar itu nampaknya endemik, bahkan hingga saat ini, mengingat saya sendiri adalah pelaku empiris. Menyitir pernyataan Muhamad Yunus, peraih nobel perdamaian dengan gerakan bisnis sosial Grameen Bank yang sudah dikembangkan ke beberapa negara di luar Bangladesh itu, bahwa substansi ekonomi pasar adalah terletak pada terciptanya peluang untuk menjadi pelaku usaha aktif bagi semua orang, termasuk orang paling miskin, pengemis bahkan. Setiap orang memiliki kesempatan setara untuk menjadi produsen sekaligus konsumen. Beliau menantang konsep literatur universitas di AS dan Eropa Barat yang memandang bahwa solusi penciptaan lapangan kerja adalah dengan membangun megaproyek atau pabrik padat karya dengan modal hutang luar negeri.Konsep tersebut hanyalah temporer, sifatnya untuk menyiasati statistik, dan sama sekali tidak memandang manusia sebagai faktor ekonomi paling signifikan, dus memandang bahwa pendidikan formal tidak berfungsi signifikan, atau secara substansi memandang pendidikan formal sebagai institusi penyuplai pekerja, bukan pelaku usaha aktif. Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mampu memberikan nilai tambah ekonomi, tidak menjadi bagian dari solusi ala literatur fakultas ekonomi yang menjadi rujukan konsultan di banyak negara berkembang ( termasuk Indonesia, dan manusia jawa didalamnya) ini. Mantan rektor saya, Kusmayanto Kadiman, yang sempat- sempatnya jadi abdi dalem bertitel menteri riset dan teknologi itu, pernah berkomentar, bahwa kesuksesan riset sains dan teknologi itu bisa dilihat dari tiga hal, secara pendidikan, mampu menjadi referensi bagi pelaku dan siswa didik. Secara sosial mampu memberikan manfaat kemudahan baru bagi masyarakat luas, dan secara ekonomi mampu memberikan nilai tambah signifikan. Untuk itu, kewirausahaan berbasis pengetahuan ( Knowledge Based Entrepreneurship) yang diharapkan ditumbuhkan dalam institusi pendidikan formallah yang akan menjadi tumpuan dominan perekonomian negara berkembang untuk mandiri secara ekonomi. Kemampuan untuk memberikan nilai tambah faktor- faktor produksi via pengetahuan dan teknologi, dengan memadukan kemampuan dagang sekaligus kompetensi sains- teknologi untuk bersaing di pasar global adalah kuncinya. Namun dalam hal ini, sikap responsif terhadap perubahan, inovatif dan kreatif, tahan banting dan mampu mengambil resiko tanpa ada contoh, adalah prasyarat yang perlu untuk mencapai tujuan kewirausahaan berbasis pengetahuan itu. Kewirausahaan berbasis pengetahuan punya prasyarat budaya yang harus dipenuhi, yaitu sifatnya yang Opportunity Based Entrepreneurship ( Bisnis karena terbuka peluang) mengharuskan persamaan peluang, kebersihan regulasi ( regulator maksudnya), keadilan peraturan, penegakan hukum, stabilitas politik dalam sebuah negara. Riset Global Entrepreneurship Monitor ( GEM) menggambarkan jelas, bahwa untuk negara berkembang, model kewirausahaan yang marak adalah Necessity Based Entrepreneurship ( Bisnis karena terdesak kebutuhan), dan seringkali model semacam ini susah untuk berkembang pesat, alih- alih membangun nilai tambah ekonomi. Kembali ke manusia jawa, Prof. Satjipto Rahardjo ( almarhum) yang tulisan renyahnya saya gemari itu memberikan tesis simpel, bahwa ledakan ekonomi dalam suatu negara dimulai dari aktivitas ekonomi yang berbasis pada budaya masyarakatnya. Jepang, Cina, Korea, dan Jerman, punya ciri khas masing- masing, sudah terlalu banyak ahli- ahli pintar bangsa ini yang memberikan puja puji pada budaya mereka, dan tidak lupa menghinadinakan budaya bangsa sendiri, lalu pura- pura lupa untuk memberikan solusi, jadi bagaimana seharusnya kita memulai menginsafi kesalahan ( Jika memang sekarang kita salah) ?

blogosphere.dagdigdug.comTM
Saya sangat positif bahwa yang namanya kemajuan ekonomi itu haruslah dinikmati proses pencapaiannya, dan kenikmatan itu tidak lain tidak bukan adalah dengan berusaha untuk menjadi diri sendiri. Kemajuan yang didapatkan dengan mengekor manusia lain bukanlah hakekat kemajuan yang sesungguhnya, melainkan cuma mengekor. Mencari solusi sebuah masalah sebaiknya dimulai dengan mendefinisikan sumber masalah dulu, sepakat dengan Bang Faisal Basri, selama ini persepsi UKM ( Usaha Kecil Menengah) adalah UKM sampai mampus, dan tidak melihat bahwa masalahnya ada pada manusia penggeraknya, jikalaupun dua orang manusia dengan kemampuan dagang sama, namun yang satu lulusan SD inpres dan seorang lagi lulusan institut teknologi bagus, dengan awalan modal dan model bisnis sama, maka kemungkinan besar orang kedua akan membangun perusahaan lebih pesat, karena bisnis adalah soal mencampurkan imajinasi, kreativitas, informasi, pengetahuan, dan ambisi. Ada sedikit catatan kecil, saat ini pun, label pengusaha ala media lazimnya masih diberikan kepada pelaku ekonomi kapitalisme ersatz** yang bisnisnya tidak bisa hidup kalau tidak berdiri di dua kaki, bisnis dan politik ( atau militer). Bukan berbasis ide yang mampu diterima-cobakan dan tangguh bermain di pasar,melainkan peluang demand yang didapat karena informasi berbasis kolusi- nepotis ( bahasa halusnya : networking), kemudahan ( privilege), yang lebih tepat disebut tipikal pemburu rente, tukang mroyek, dan para penadah tender, bukan entrepreneur sejati. Contoh yang didapatkan masih sangat sedikit di sini, dan masih butuh banyak lagi kedepannya. Sambil berjalannya waktu, bertambah luasnya pemakai internet, semakin egaliternya dunia pendidikan, saya memandang positif bahwa persepsi negatif, stereotype kaum pariah, turunan nenek moyang jawa saya itu akan bertransformasi baru. Bahwa pengetahuan itu adalah kekuatan, bisa dimaknai lebih luas lagi, tidak perlu beternak tuyul, ngalap berkah di Gunung Kawi, atau berdiri di dua kaki bisnis- politik untuk berhasil berbisnis. Bahwa status sosial itu dibentuk oleh kontribusi karya, bukan bentukan profesinya. Bahwa menjadi wirausahawan intelek didikan perguruan tinggi ( bahkan sampai setingkat doktor kalau perlu) yang membangun institusi bisnis swasta, atau kasarnya dagang alias saudagar, bukanlah posisi yang lebih rendah atau bodoh dibandingkan dokter, adipati, senopati, maupun begawan. Bahwa menjadi pelaku ekonomi riil yang aktif, sebagai produsen, dengan digabung pengetahuan- kompetensi yang didapat lewat sekolahan itu, dampak ekonominya akan lebih dahsyat untuk ikut serta membangun bangsa Indonesia yang mandiri dan bermartabat.

Terinspirasi oleh : Para Priyayi, Umar Kayam Mangan Ora Mangan Kumpul,Sketsa Umar Kayam Majalah SWA sembada, edisi 22 Januari- 4 Februari 2009 Membangun Dunia Tanpa Kemiskinan, Muhamad Yunus Global Entrepreneurship Review 2008, GEM Hoa Kiau di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer Kompas, edisi 9 Januari 2010 Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Yoshihara Kunio Catatan : * Judul ini adalah majas pars pro toto ** Sistem kapitalisme semu, dibangun oleh birokrat dan militer yang berfungsi sebagai penjual jasa untuk para pengusaha pemburu rente ( kasus di Indonesia dan Asia Tenggara kebanyakan). Sistem ini ikut mematikan budaya kewirausahaan masyarakat Indonesia.
Written by Maximillian Posted in rational

blogosphere.dagdigdug.comTM
Tagged with bisnis daerah, ekonomi mikro, entrepreneurship, homo economicus, knowledge based entrepreneurship, makroekonomi, pemuda

MENSYUKURI RASA SYUKUR_____________


Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih ( Q.S. Ibrahim; 7)

yukur itu apa ? Atas dasar apa saya bersyukur ? Kalau

semua, adalah karena hasil kerja keras, kejeniusan, visi saya, usaha saya, dan memang sudah saya rencanakan semuanya, apakah Tuhan ikut campur tangan di setiap proses itu ? Semua probabilitas memang sudah kita perhitungkan, kompetitor pun, bertekuk lutut mengakui kita, semua karena dedikasi, konsistensi, kekuatan kita, dan kompetitor terhebat pun, tidak dalam kondisinya yang terbaik, apa mau dikata ? Saya adalah manusia terbodoh dan miskin, atas dasar apa saya bersyukur ? Saya akan bersyukur jika dan hanya jika doa saya terkabul. Saya kalah, terhina, dan terus dikecewakan, kalaupun doa, saya tidak merasa akan didengar, tidak terlintas di kepala saya, bersyukur, sedetikpun. Saya adalah orang hilang, dari kaum yang terbuang, saya bukan siapa- siapa, bahkan di keluarga sekalipun, bagian mana yang harus disyukuri ? Jujur, dari sudut pandang pelaku, kecepatan komunikasi dan informasi, dari seluruh dunia, membuat kompetisi dan benturan, semakin tinggi intensitasnya. Gelora prestasi atas pencapaian, yang dilandasi motivasi personal atau kelompok, untuk selalu menjadi lebih baik, daripada hari kemarin, atau selalu menjadi paling unggul, dibanding para pesaing, membuat rasa senang, sekaligus capek berlebihan.Fluktuasi rasa ekstrem, antara menang dan kalah, membuat sebagian kalangan urban, mencari momen- momen kontemplatif, yang berasa spiritual komunal, maka tidak heran jika forum kajian yang berusaha mendekatkan personal dengan Tuhan, atau momen spiritual personal, semacam meditasi dan yoga, menjadi marak dan terlihat seksi. Momen- momen yang berasa menjadi tempat relaksasi, atau menemukan identitas diri, mengumpulkan tenaga kembali, untuk kembali terjun di medan pertarungan lagi, keesokan harinya. Saya harus mengakui, bahwa variabel produktivitas, adalah parameter sakti bin seksi, yang menjadi salah satu penguat variabel profitabilitas. Inovasi teknologi menjadi sungguh teramat keren, fasilitas semua seolah memanjakan konsumen, manusia berusaha membuat semua hal dapat dipastikan sedetailnya, berikut membuat peradaban manusia menjadi semakin produktif, dalam menghasilkan pencapaian baru, setiap sepersekian detiknya. Peradaban manusia berevolusi, transformasi sosial maju melesat. Formulasi baru, pemodelan strategis, atau inovasi instrumen tercanggih, dibuat untuk mengakomodasi kemauan manusia, memastikan segala sesuatu, yang ada di luar dirinya, ataupun di dalam dirinya. Jika saya bedakan pada dua kategori besar peluang, yaitu Ketidakpastian dan Resiko. Maka manusia berusaha keras mendefinisikan semua

blogosphere.dagdigdug.comTM
komponen, merubah Ketidakpastian menjadi Resiko. Ketidakpastian tidak memiliki komponen elemen yang terdefinisikan, sedang Resiko, memiliki komponen elemen terdefinisikan, yang memudahkan proses pengambilan keputusan. Hidup manusia memang soal ketidakpastian, dan manusia,dengan fungsi kesadarannya, berusaha membuat ketidakpastian itu menjadi resiko, yang bisa dipilih opsi- opsinya. Rasa syukur, yang seringkali didefinisikan sebagai :berterima kasih dan merasa berhutang budi kepada Allah atas karunia-Nya, bahagia atas karunia tersebut dan mencintai-Nya dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, seolah diasosiasikan bahwa ada variabel yang belum terkuantifikasi, yang turut mempengaruhi proses, yaitu campur tangan Allah, dalam pencapaian target. Di beberapa kalangan, mereka ogah mengasosiasikan variabel perhitungan dengan aspek transendental. Akan lebih terasa bebas nilai, jika mendefinisikannya dengan : faktor X, keberuntungan, atau limit mendekati 100%, tidak sampai 100%, cukup 99,99% sudah sepenuhnya dikendalikan. Okelah, saya tidak ingin menghakimi siapapun, dengan label manusia syukur, atau kufur, karena sudut pandang manusia dipengaruhi oleh budaya, pengalaman, dan pengetahuan yang telah tersimpan di otaknya. Lagian, hidayah juga variabel yang diluar otoritas manusia, itu adalah urusan prerogratif Allah. Kenapa ? Karena toh saat saya menuliskan ide ini pun, saya masih menghisap beberapa liter oksigen dengan nikmatnya, saraf simpatik dan parasimpatik saya bekerja lancar, fungsi hormonal juga nampak efektif, berikut pencahayaan matahari yang dipantulkan ke fungsi optik saya, fungsi organ kranial saya normal, memungkinkan saya untuk mengetik sekaligus membaca. Saya tidak tahu, harus kemana saya berterima kasih atas semua yang menunjang kehidupan saya, sebagai manusia, kecuali kepada yang Maha Menciptakan. Bahkan, saat berusaha keras memvaluasi dan mengalkulasikan segala kemungkinan ke depan, manusia masih berada di dalam lapisan atmosfer, lingkup pengaruh gravitasi bumi, masih di lingkungan ekosistem biosfer, yang memang memungkinkan segala proses aktivitas kehidupan, bisa terjadi. Bahkan sepengetahuan saya, saat beberapa manusia mengaku tidak punya Tuhan, atau membunuh Tuhan, atau mengeluarkan aspek Tuhan, dalam setiap kesuksesan target, tidak serta merta juga terjadi penghentian suplai oksigen, atau suplai cahaya, atau pengusiran dari lingkup gravitasi Planet Bumi, ke manusia tersebut, ini fenomena yang menarik. Terkadang, segala hasil observasi manusia, semenjak penemuan tulisan pertama kalinya, hingga detik ini, dalam bentuk konkret maupun abstrak, baik itu sains maupun teknik, membuat manusia merasa bahwa segala sesuatunya bisa dikendalikan dan dipastikan. Tapi, tetap, bahwa sebuah formulasi terbentuk karena inspirasi pemikiran, hasil dari observasi semesta. Dan ketika manusia yang terobsesi mengendalikan ketidakpastian merasa sudah selesai, disitulah titik dimana manusia akan punah. Bersyukur adalah berterima kasih, atas segala sesuatu, baik itu yang kita definisikan sebagai baik atau buruk. Bersyukur adalah berterima kasih, atas segala hal yang sudah bisa kita definisikan, maupun belum bisa kita definisikan, dan sedang berusaha kita definisikan. Bersyukur juga bukan berarti merasa puas, karena merasa puas adalah jebakan pertama yang membuat manusia malas bergerak membuat pencapaian.Ketika manusia merasa bahwa segala ketidakpastian telah diubah menjadi resiko, yang terlihat komponen- komponennya, maka perasan itu akan menggiring ke posisi celaka. Bersyukur juga bukan hanya saat posisi kita sukses, karena saat kita di posisi yang paling bawah pun, bersyukur adalah sebuah aktivitas yang menyadarkan fungsi kesadaran kita, bahwa masih ada peluang untuk memperbaiki keadaan. Bersyukur sebenarnya tidaklah butuh alasan yang spesifik, bersyukur menurut saya tidak mengenal motif, apalagi batasan ruang dan waktu.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Saya berucap syukur atas rasa syukur yang telah dianugerahkan oleh Allah, Alhamdulillahirabbil alamin..

Ini adalah anugerah dari Tuhanku, agar ia mencoba aku, apakah aku bersyukur ataukah aku kufur. Siapa yang bersyukur, sesungguhnya ia bersyukur kepada dirinya sendiri, dan siapa yang kufur, sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya dan Maha Mulia. (QS. An Naml: 40)
-Ramadhan MomentWritten by Maximillian Posted in soul Tagged with ketidakpastian, kontemplasi, probabilitas, ramadhan, resiko,syukur

PROMETHEUS LEGACY___________________
Aku tahu kamu tidak tahu apa yang aku tahu. Dan aku diam, berpura- pura tidak tahu sehingga kamu merasa untuk tidak perlu tahu. Aku tahu apa yang kamu tidak tahu. Dan aku sengaja bilang kamu bodoh sehingga kamu merasa tidak mampu untuk tahu Aku tahu kamu bisa tahu. Dan aku sengaja bilang kamu akan celaka jika sampai tahu sehingga kamu tidak akan pernah tahu. Aku tahu kamu belum tahu. Dan aku tidak akan pernah akan memberi kamu tahu sehingga aku akan tetap mengendalikan hidupmu. Aku tahu tidak semua manusia yang tahu itu baik. Aku tahu tidak semua manusia yang baik itu tahu. Aku tahu hanya sedikit manusia yang baik dan tahu. Aku tahu semua manusia berhak untuk tahu. Dan aku tahu hanya sedikit yang berusaha untuk mencari tahu. Aku tahu manusia malas mencari tahu. Dan aku juga tahu manusia tidak serba tahu. Tuhan Mahatahu, dan Dia menunggu. Aku akan selalu berusaha mencari tahu, kenapa Dia menunggu. Aku tahu apa yang kamu tidak tahu dan kamu tahu apa yang aku tidak tahu. Mau berbagi tahu ? Maximillian Note : Prometheus adalah salah satu titan dalam mitologi Yunani, saudara Atlas dan Epimetheus. Dia adalah titan yang mencuri api pengetahuan dari Zeus untuk diberikan kepada manusia. Prometheus dihukum diikat pada batu dan tiap hari datang burung Elang mencabik dada dan memakan hatinya, hukuman itu terus berulang karena setiap kali selesai dicabik, tubuhnya akan utuh kembali untuk mendapatkan cabikan esok harinya.

blogosphere.dagdigdug.comTM
Prometheus adalah pahlawan bagi makhluk manusia, sehingga manusia mendapatkan pengetahuan, yang sebelumnya hanya dimiliki oleh para dewa. Dengan pengetahuan itulah manusia bisa merdeka, yang semula dewa mengendalikan manusia dengan apa yang mereka punyai, yaitu pengetahuan. Sekarang beberapa jenis manusia bertindak hendak menjadi DEWA, menyembunyikan pengetahuan bukan untuk maksud membangun peradaban, menyampaikan seolah- olah dia ( mereka) tidak tahu apa yang orang lain tahu. Hanya manusia- manusia baik yang mau berbagi tahu dan mencari tahu yang bisa membangun peradaban manusia berkualitas, bukan manusia yang merasa serba tahu atau mereka yang enggan berbagi pengetahuan
Written by Maximillian Posted in soul Tagged with dominasi, filosofi pengetahuan, hegemoni, pendobrakan,prometheus

Anda mungkin juga menyukai