Anda di halaman 1dari 15

1. Cara menentukan unsur intrinsik kutipan novel, cerper, atau drama! Unsur Intrinsik Cerpen atau Novel a.

Penokohan Jika dilihat dari cara menampilkan tokohnya ada yang ditampilkan dengan cara analitik dan dramatik. Penampilan secara anlitik adalah pengarang langsung memaparkan karakter tokoh, misalnya disebutkan keras hati, keras kepala, penyayang dan sebagainya. Sedangkan penampilan yang dramatik, karakter tokohnya tidak digambarkan secara langsung, melainkan disampaikan melalui; (1) pilihan nama tokoh, (2) penggambaran fisik atau postur tubuh, dan (3) melalui dialog (Atar Semi, 1984:31-32). Sering dapat diketahui bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya dengan berbagi cara. Mungkin cara pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya di alam mimpi, pelaku memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya, maupun pelaku egois, kacau dan mementingkan diri sendiri (Bouton dalam Aminuddin, 1984). Penyajian watak tokoh yang dihadirkan pengarang tentunya melahirkan karakter yang berbeda-beda pula, antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Cara mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui pernyataan langsung, melalui peristiwa, melalui percakapan, melalui menolong batin, melalui tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dari tokoh-tokoh lain dan melalui kiasan atau sindiran. Suatu karakter mestinya harus ditampilkan dalam suatu pertalian yang kuat, sehingga dapat membentuk kesatuan kesan dan pengertian tentang personalitas individualnya. Artinya, tindak-tindak tokoh tersebut didasarkan suatu motivasi atau alasan-alasan yang dapat diterima atau setidak-tidaknya dapat dipahami mengapa dia berbuat dan bertindak demikian (Atar Semi, 1988:37-38). Penokohan atau perwatakan adalah pelukisan tokoh cerita, baik keadaan lahir maupun batinnya termasuk keyakinannya, pandangan hidupnya, adat-istiadat, dan sebagainya. Yang diangkat pengarang dalam karyanya adalah manusia dan kehidupannya. Oleh karena itu, penokohan merupakan unsur cerita yang sangat penting. Melalui penokohan, cerita menjadi lebih nyata dalam angan pembaca. Ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk melukiskan watak tokoh cerita, yaitu dengan cara langsung, tidak langsung, dan kontekstual. Pada pelukisan secara langsung, pengarang langsung melukiskan keadaan dan sifat si tokoh, misalnya cerewet, nakal, jelek, baik, atau berkulit hitam. Sebaliknya, pada pelukisan watak secara tidak langsung, pengarang secara tersamar memberitahukan keadaan tokoh cerita. Watak tokoh dapat disimpulkan dari pikiran, cakapan, dan tingkah laku tokoh, bahkan dari penampilannya. Watak tokoh juga dapat disimpulkan melalui tokoh lain yang menceritakan secara tidak langsung. Pada Pelukisan kontekstual, watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan pengarang untuk mengacu kepada tokoh. b. Tokoh

Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan (Panuti Sudjiman, 1988:16). Tokoh merupakan bagian atau unsur dari suatu kebutuhan artistik yaitu karya sastra yang harus selalu menunjang kebutuhan artistik itu, Kennye dalam Panuti Sudjiman (1966:25). Penokohan dalam cerita rekaan dapat diklasifikasikan melalui jenis tokoh, kualitas tokoh, bentuk watak dan cara penampilannya. Menurut jenisnya ada tokoh utama dan tokoh bawahan. Yang dimaksud dengan tokoh utama ialah tokoh yang aktif pada setiap peristiwa, sedangkan tokoh utama dalam peristiwa tertentu (Stanton, 1965:17). Ditinjau dari kualitas tokoh, ada tokoh yang berbentuk datar dan tokoh yang berbentuk bulat. Adapun tokoh yang berbentuk datar ialah tokoh yang tidak memiliki variasi perkembangan jiwa, karena sudah mempunyai dimensi yang tetap, sedangkan tokoh yang berbentuk bulat ialah tokoh yang memiliki variasi perkembangan jiwa yang dinamis sesuai dengan lingkungan peristiwa yang terjadi. Biasanya tokoh yang berbentuk datar itu pada dasarnya sama dengan tokoh tipologis, dan tokoh yang berbentuk built disebut tokoh psikologis. Dengan demikian tokoh tipologis juga berarti tokoh yang tidak banyak mempersoalkan perkembangan jiwa atau tidak mengalami konflik psikis, karena sudah mempunyai personalitas yang mapan. Sedangkan tokoh psikologis adalah tokoh yang tidak memiliki persoanlitas yang mapan dan selalu dinamis (Kuntowijaya dalam Pradopo dkk, 11984:91). c. Alur Pengertian alur dalam cerita pendek atau dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 1987:83). Alur atau plot adalah rentetan peristiwa yang membentuk struktur cerita, dimana peristiwa tersebut sambung sinambung berdasarkan hukum sebab-akibat (Forster, 1971:93). Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi (Atar Semi, 1988:43-46). Alur merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang semuanya terikat dalam suatu kesatuan waktu. Urutan peristiwa dalam karya sastra belum tentu merupakan peristiwa yang telah dihayati sepenuhnya oleh pengarang, akan tetapi mungkin hanya berasal dari daya imajinasi. Begitu pula urutan peristiwa itu jumlahnya belum tentu sama dengan pengalaman yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, urutan peristiwa yang demikian tidak lain hanyalah dimaksudkan untuk mendekatkan pada masalah yang dikerjakan terhadap tujuan dalam karya sastra.

Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas menurut tasrif ada lima hal yang perlu diperhatikan pengarang dalam membangun cerita, yaitu : (1) situation, yakni pengarang mulai melukiskan suatu keadaan, (2) generating circumstances, yaitu peristiwa yang bersangkutan-paut, (3) ricing action, keadaan mulai memuncak, (4) climax, yaiut peristiwa mencapai puncak, dan (5) document, yaitu pengarang telah memberikan pemecahan persoalan dari semua peristiwa. Dari kelima bagian tersebut jika diterapkan oleh pengarang secara berurutan no 1-5, maka disebut sebagai alur lurus (progresif), sedangkan apabila penerapan itu dimulai dari tengah atau belakang disebut sebagai alur balik (regresif). Di samping kedua bentuk alur tersebut, ada pula alur yang disebut alur gabungan. Dalam alur ini dipergunakan sebagian alur lurus dan sebagian lagi alur sorot balik. Meskipun demikian gabungan dua alur itu juga dijalin dalam kesatuan yang padu, sehingga tidak menimbulkan kesan adanya dua buah cerita atau peristiwa yang terpisah, baik waktu atau pun tempat kejadiannya (Suharianto, 1982:29). Ditinjau dari padu tidaknya alur dalam sebuah cerita, maka alur dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni alur rapat dan alur renggang. Dalam alur rapat hanya tersaji adanya pengembangan cerita pada satu tokoh saja, sehingga tidak timbul pencabangan cerita, akan tetapi apabila ada pengembangan tokoh lain selain tokoh utama, maka terjadilah alur renggang atau terjadi pencabangan cerita. Dari beberapa batasan di atas jelas masing-masing alur mempunyai keistimewaan sendiri. Alur lurus dapat memberikan kemudahan bagi pembaca untuk menikmati cerita dari awal sampai akhir cerita. Akan tetapi lain halnya dengan alur sorot balik (flash back). Alur ini dapat mengejutkan pembaca, sehingga pembaca dibayangi pertanyaan apa yang terjadi selanjutnya dan bermaksud apa pengarang menyajikan kejutan seperti itu. Dengan demikian pembaca merasa terbius untuk membacanya sampai tuntas. Dikatakan alur yang berhasil, jika alur yang mampu menggiring pembaca menyelusuri cerita secara keseluruhan, tidak ada bagian yang tidak ditinggalkan yang dianggap tidak penting. d. Latar Menurut pendapat Aminuddin (1987:67), yang dimaksud dengan setting/latar adalah latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Lebih lanjut Leo Hamalian dan Frederick R. Karel menjelaskan bahwa setting dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, melainkan juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problema tertentu. Setting dalam bentuk terakhir ini dapat dimasukkan ke dalam setting yang bersifat psikologis (Aminuddin, 1987:68). Secara rinci Tarigan (1986:136) menjelaskan beberapa maksud dan tujuan pelukisan latar sebagai berikut :

1) Latar yang dapat dengan mudah dikenal kembali dan dilukiskan dengan terang dan jelas serta mudah diingat, biasanya cenderung untuk memperbesar keyakinan terhadap tokoh dan gerak serta tindakannya. 2) Latar suatu cerita dapat mempunyai relasi yang lebih langsung dengan arti keseluruhan dan arti umum dari suatu cerita. 3) Latar mempunyai maksud-maksud tertentu yang mengarah pada penciptaan atmosfir yang bermanfaat dan berguna. Selain menjelaskan fungsi latar sebagai penggambaran tempat (ruang) dan waktu, latar juga sangat erat hubungannya dengan tokoh-tokoh cerita, karena tentangnya dapat mengekspresikan watak pelaku (Wellek, 1962:221). Penggambaran latar yang tepat akan mampu memberikan suasana tertentu dan membuat cerita lebih hidup. Dengan adanya penggambaran latar tersebut segala peristiwa, keadaan dan suasana yang dilakukan oleh para tokoh dapat dirasakan oleh pembaca. e. Sudut Pandang Cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya disebut sudut pandang, atau biasa diistilahkan dengan point of view (Aminuddin, 1987:90). Pendapat tersebut dipertegas oleh Atar Semi (1988:51) yang menyebutkan istilah sudut pandang, atau point of view dengan istilah pusat pengisahan, yakni posisi dan penobatan diri pengarang dalam ceritanya, atau darimana pengarang melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita itu. Sudut pandang membedakan kepada pembaca, siapa menceritakan cerita, dan menentukan struktur gramatikal naratif. Siapa yang menceritakan cerita adalah sangat penting, dalam menentukan apa dalam cerita, pencerita yang berbeda akan melihat benda-benda secara berbeda pula (Montaqua dan Henshaw, 1966:9). Lebih lanjut Atar Semi (1988:57-58) menegaskan bahwa titik kisah merupakan posisi dan penempatan pengarang dalam ceritanya. Ia membedakan titik kisah menjadi empat jenis yang meliputi : (1) pengarang sebagai tokoh, (2) pengarang sebagai tokoh sampingan, (3) pengarang sebagai orang ketiga, (4) pengarang sebagai pemain dan narrator. f. Gaya Gaya adalah cara pengarang menampilkannya dengan menggunakan media bahasa yang indah, harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin, 1987:72). Hal demikian tercermin dalam cara pengarang menyusun dan memilih kata-kata, tema dan dalam memandang tema atau persoalan, tercermin dalam pribadi pengarangnya. Oleh Karena itu unsur cerita sebagaimana tersebut di muka baru dapat sempurna apabila disampaikan dengan gaya tertentu pula, karena gaya dalam karya sastra adalah bahasa yang dipergunakan oleh pengarang (Suhariyanto, 1982:37). Sehubungan dengan pembahasan ini pemberian gaya akan ditinjau melalui dua sudut, yaitu gaya bahasa dan gaya bercerita, karena pengertian gaya umumnya dapat

dirumuskan sebagai cara pengarang menggambarkan cerita agar cerita lebih menarik dan berkesan. Hal tersebut erat kaitannya dengan kemampuan pengarang dalam penulisan cerita dengan penggunaan bahasa, karena cerita pada dasarnya bermediakan bahasa. - Gaya Bahasa Dalam persoalan gaya bahasa meliputi semua herarhi kebahasaan yaitu pilihan kata secara individual, frase, klausa, kalimat dan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan (Keraf, 1984:112). Pengembangan bahasa melalui sastra dikatakan bersifat pribadi karena sastra itu sendiri merupakan kegiatan yang pribadi dan perorangan, ia merupakan pengungkapan apa-apa yang menjadi pilihan pribadinya, hasil seorang sastrawan melihat lingkungannya dan memandang ke dalam dirinya. Atar Semi (1988:49) menyatakan bahwa gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan, meskipun tidaklah terlalu luar biasa, adalah unik, karena selain dekat dengan watak jiwa penyair; juga membuat bahasa yang digunakannya berbeda dengan makna dan kemesraannya. Dengan gaya tertentu seorang pengarang dapat mengekalkan pengalaman rohaninya dan penglihatan batinnya, serta dengan itu pula ia menyentuh dan menggelitik hati pembacanya. Karena gaya bahasa itu berasal dari batin seorang pengarang, maka gaya bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam karyanya secara tidak langsung menggambarkan sikap dan karakteristik pengarang tersebut. Sedangkan Muchin Ahmadi, dkk (1984:7) mendifinisikan gaya bahasa sebagai kenyataan penggunaan bahasa (phenomena) yang istimewa dan tidak dapat dipisahkan dari cara-cara atau teknik seorang pengarang dalam merefleksikan pengalaman, bidikan, nilai-nilai kualitas, kesadaran pikiran dan pandangannya yang istimewa. Secara tentatif tetapi praktis gaya bahasa dapat dibatasi pengertian dasarnya sebagai suatu pengaturan kata-kata dan kalimat-kalimat yang paling mengekspresikan tema, ide, gagasan dan perasaan serta pengalaman pengarang. Secara garis besar gaya bahasa dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu : (1) gaya bahasa perasosiasian pikiran, dan (2) gaya bahasa penegasan, penekanan dan penguatan.

-Gaya Berbicara Pada dasarnya gaya bercerita juga berperan penting bagi pengarang untuk menulis cerita, di samping gaya bahasa yang dipergunakannya, karena pengertian gaya cerita atau gaya bahasa pada umumnya dapat dijelaskan sebagai salah satu metode pengarang dalam melukiskan cerita, sehingga cerita dapat menarik bagi pembaca. Dalam penulisan cerita, biasanya setiap pengarang mempunyai gaya yang lain daripada yang lain. Pengarang biasa memperhatikan latar tepat atau waktu sebagai pembuka atau penutup cerita, akan tetapi ada pula yang menekankan pada tokoh atau penokohannya. Oleh karena cerita bermediakan bahasa, maka gaya bercerita erat kaitannya dengan bentuk cerita yang ditumpukan dalam bentuk frase, kata, kalimat bahkan paragraf, sehingga semuanya membentuk struktur wacana cerita (Ihsan, 1990:63).

g. Tema Menurut Scharbach dalam Aminuddin (1987:91), tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Lebih lanjtu Brooks berpendapat seperti yang dikutip Aminudddin (1987:72), bahwa dalam mengapresiasi suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu humanitas, karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusian serta masalah lain yang bersifat universal. Tema sebagaimana pendapat Sudjiman (1988:51) merupakan sebuah gagasan yang mendasari karya sastra. Tema kadang-kadang di dukung oleh pelukisan latar, dalam karya yang lain tersirat dalam lakukan tokoh, atau dalam penokohan. Tema bahkan menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam satu alur. Tema sebagaimana pendapat-pendapat di atas merupakan pemikiran pusat yang inklusif di dalam sebuah cerita (karya sastra). Kedudukannya menyebar pada keseluruhan unsur-unsur signifikan karya sastra. Tema tersebut ada yang dinyatakan dengan jelas, ada pula yang dinyatakan secara simbolik atau tersembunyi (Scharbach, 1963:273). Aminuddin (1987:92) merinci upaya pemahaman tema sebagai berikut: Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca Memahami penokohan atau perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca. Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca. Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca. Menghubungkan pokok pikiran-pokok pikiran yang satu dengan yang lainnya yang disimpulkan dari satu-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita. Menentukan sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkan. Mengidentifikasikan tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya. Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan.

Selain upaya pemahaman tema seperti di atas, untuk memahami tema, seorang pembaca atau paresiator perlu juga memahami latar belakang kehidupan yang diungkapkan pengarang lewat prosa fiksi yang merupakan usaha pengarang dalam memahami keseluruhan masalah kehidupan yang berhubungan dengan keberadaan seorang individu maupun dalam hubungan antara individu dengan kelompok masyarakatnya. (http://sugikmaut.blog.com/?p=27, 14 Febuari 2012, 17:27 WIB)

2. Unsur hakikat (tema, sikap penyair terhadap pokok persoalan terhadap pembaca, amanat) puisi-puisi modern! Puisi baru disebut puisi modern. Bentuk puisi baru lebih bebas daripada puisi lama. Kalau puisi lama sangat terikat pada aturan-aturan yang ketat, puisi baru lebih bebas. Meskipun demikian, hakikat puisi tetap dipertahankan seperti rima, irama, pilihan kata, dll. Hakikat puisi ada tiga hal, yaitu: 1 . Sifat seni atau fungsi estetika Sebuah puisi haruslah indah. Unsur-unsur keindahan dalam puisi misalnya rima, irama, pilihan kata yang tepat, dan gaya bahasanya. 2. Kepadatan Puisi sangat padat makna atau pesan. Artinya, penulis hanya mengemukakan inti masalahnya.Jadi, katakata perlu dipilih supaya mampu mengungkapkan gagasan yang sebenarnya. 3 . Ekspresi tidak langsung Puisi banyak menggunakan kata kiasan. Bahasa kias adalah ucapan yang tidak langsung. Jadidia harus berpikir untuk memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.

A. Rima Rima adalah persamaan atau pengulangan bunyi. Bunyi yang sama itu tidak terbatas padaa k h i r b a r i s , tetapi ju g a u nt u k kese luru ha n ba r i s , ba h k a n ju ga ba it . Persa ma a n bu ny i

y a n g dimaksudkan di sini adalah persamaan (pengulangan) bunyi yang memberikan kesan merdu,indah, dan dapat mendorong suasana yang dikehendaki oleh penyair dalam puisi.R i m a b i s a b e r u p a ( 1 ) p e ng u l a n g a n b u n y i - b u n y i k o ns o na n d a r i k a t a - k a t a b e r u r u t a n (aliterasi), (2) persamaan bunyi vocal dalam deretan kata (asonansi), (3) persamaan bunyi yangterdapat setiap akhir baris. B. Irama Irama terjadi sama dengan ritme. Irama dan diartikan sebagai alunan bu n y i da la m yang arus

k a r e n a p e ng u l a ng a n

p e r g a nt i a n

kesatuan

p a n j a n g p e nd e k bu n y i . J a d i , i r a m a dikatakan memiliki (1) pengulangan, (2) pergantian bunyi dalam arus panjang pendek, dan (3)memiliki keteraturan.Contoh: Piring putih piring bersabun Disabun anak orang CinaMemetik bunga dalam kebunSetangka saja yang menggila

C. Diksi Diksi adalah pemilihan kata untuk menyampaikan gagasan secara tepat. Selain itu, diksi juga berart i (1) kemampuan memilih kata dengan cermat sehingga dapat

membedakan secaratepat nuansa makna (perbedaan makna yang halus) gagasan yang ingin

disampaikan, dan (2)kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa.Kemampuan memilih dan menyusun kata amat pent ing bagi penyair. Sebab, pilihan dansusunan kata yang tepat dapat menghasilkan (1) rangkaian bunyi yang merdu, (2) makna yangd a p a t menimbulkan rasa estet is (keindahan), dan (3)

k e p a d a t a n b a y a n g a n y a n g d a p a t menimbulkan kesan mendalam.Misalnya, pemilihan dan penyusunan kata seperti gelombang melambung tinggi, a t a u roda pedati berderakderak atau hilang terbang atau meradang menerjang, a t a u hilang rasa, selain menimbulkan kemerduan bunyi, juga menimbulkan rasa estetis dan kesan mendalam. Memilih kata yang tepat memang t idak mudah. Oleh karena itu, menulis puisi kadang-kadang t idak sekali jadi. Puisi yang sudah jadi pun kadang-kadang masih mengalami bongkar pasang kata sampai dirasakan pas oleh penyairnya. D. Citraan Ketika membaca puisi, kita sering merasakan seolah-olah ikut hanyut dalam suasana yangd i c i p t a k a n o l e h p e n ya i r d i d a l a m p u i s i n ya . K e t ik a p e n ya i r m e n g u n g k a p k a n p e r i s t i w a y a n g menyedihkan kita ikut larut dalam suasana sedih. Demikian juga kalau penyair

mengungkapkan perasaan dendam, kecewa, marah, benci, cinta, bahagia, dan sebagainya.Citraan adalah gambaran angan yang muncul di benak pembaca puisi. Lebih lengkapnya,c it r a a n a d a l a h g a m b a r g a m b a r d a l a m p i k i r a n d a n b a h a s a y a ng m e n g g a m b a r k a n n ya . W u j u d gambaran dalam angan itu adalah sesuatu yang dapat dilihat, dicium, diraba, dikecap, dandidengar (panca indera). Akan tetapi, sesuatu yang dapat dilihat, dicium, diraba, dikecap, dandidengarkan itu tidak benar-benar ada, hanya dalam angan-angan pembaca atau pendengar. E. Makna Denotasi dan Konotasi Pada dasarnya, kata memang selalu mengacu pada makna referensinya, yaitu makna yangada dalam pikiran pemakainya. Makna yang demikian itu tertulis dalam kamus. Misalnya, kata kursi maknanya tempat duduk berkaki dan bersandaran. Makna yang demikian disebut maknadenotatif.Kata, selain bermakna denotatif, juga bermakna konotatif. Makna konotatif adalah maknayang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang t imbul atau dit imbulkan o leh pembicara atau pendengar. Dengan kata lain, makna konotatif adalah makna tambahan yang timbul berdasarkannilai rasa seseorang. Kata hujan dalam kamus berarti t it ik-t it ik air berjatuhan dari udara lewat proses pendinginan. Tetapi kata hujan bisa berarti rahmat bagi petani dan petaka bagi orang Jakarta. (http://www.scribd.com/doc/13895207/Puisi-Baru, 14 Febuari 2012, 16:28 WIB)

3. Unsur metode berpuisi (Pilihan kata, gaya bayang, penggunaan kata konkreat, gaya bahasa, rima, irama) puisi-puisi modern!

Secara metodologis, sebuah puisi dapat diciptakan melalui cara1) pilihan kata (diction); 2) daya bayang (imagery); 3) kata-kata konkret (the concrete words ); 4) gaya bahaya (figurative language); 5) ritme (rythm); 6) rima (ryme); dan 7) simbolisme (symbolism)

Pilihan kata (diction) Sebuah puisi diciptakan oleh penyair berdasarkan penghayatan atas hidup dan kehidupan manusia, baik sebagai pribadi, kolektif, maupun universal. Dalam konteks penyusunan puisi sebagai ekspresi cita rasa sebi dengan media bahasa yang digunakan wajae saj a bola kata-kata yang digunakan dalam sebuah puisi bukanlah sembarang kata biasa, melainkan kata-kata yang: 1) mempunyai cira rasa seni; 2) memiliki nuansa maknawi yang tepat; 3) dan memiliki nilai estetika yang sesuai dengan maksud.

Pilihan kata sangat dipengaruhi oleh kekayaan kosa kata penyair dan referensinya. Seorang penyair bisa terpengaruh oleh penyair lain, baik dalam kosa kata pilihan, pola perlambangan, penafsiran dan penghayatan hidup dan kehidupan, maupun pola pikir/kinerja merumuskan sebuah puisi. Karena itu, amat diperlukan kekayaan refersni bacaan tentang puisi bila kita ingin mengetahui dan mampu menulsi puisi yang baik. Tentu saja hal itu tidak tepat bila dimaknakan sebagai plagiat dan plagiator.

Daya bayang (imagery) Sebuah pilihan kata amat menentukan daya bayang yang ingin dibentuk oleh seorang penyiar. Dalam hal ini amat diperlukan kekuatan dan kemampuan penulisan kesan inderawi tentang objek yang ingin kita kemukakan. Sebuah objek paling sedikit bisa kita kemukakan secara deskriptif dalam lima sasaran inderawi. Setiap indera mampu menghasilkan beberapa baris puisi. Semua itu sangat dipengaruhi oleh ketajaman inderawi dan kemampuan pengungkapan bahasawi penyairnya. Semua unsur inderawi tersebut juga sangat bisa dilatih dan dibina secara teratur dan terarah.

Kata-Kata Konkret (the concret words) Sebuah kata mempunyai makna. Makna yang dimaksud mengacu ke benda tertentu berarti kata tersebut bersifat konkret, sedangkan bila sebuah kata mengandung makna konseptual atau pengertian belaka berarti kata tersebut bersifat abstrak. Dalam membuat sebuah puisi sebaiknya kita gunakan kaya-kaya konret sehingga gagasan yang kita kemukakan gamnoang dan mudah dimengerti oleh poembaca, meski ridak lupa terhadap aspek diksi dan keindagan puitisnya. Pilihan kata manakah yang gampang dimengerti langkah cahaya pagi dengan geliat hangat matahari pagi?

Gaya bahasa (figurative language)

Sebuah puisi umumnya terdiri atas serangkaian kata menjadi baris, kemudian baris puisi menjadi bait, dan seterusnya. Di sisi lain maksud yang hendak disampaikan oleh penyair akan terasa lebih imajinatif dan gampang dimengerti oleh pembaca bila penyair juga pangai merangkaikannnya dalam gaya bahasa yangt tepat. Gaya bahasa yang umumnya dipakai adalah metafora, simbolisme, personifikasi, hiperbola, klimaks, dan lain-lain. Kata-kata metaforis bak, laksana, bagai, seperti, ibarat sering digunakan oleh penyair W.S. Rendra sehingga maksud kalimatnya gampang dimengerti dan terasa lebih hidup.

Irama (rhythm) Baris sebuah puisi terasa lebih indah bila disusun dalam irama bunyi sebagai naluri manusia yang senang berirama. Sentuhan permainan bunyi konsonan maupun vokal dalam baris puisi akan terasa memberikan kenikmatan membaca.

Rima (ryme) Secara tradisional terutama puisi bentuk lama pada umumnya memiliki peraturan persajakan di akhir baris, misalnya aaaa, abab, dan sejenisnya. Hanya saja dalam puisi baru khususnya puisi bebas hal tersebut tidak diperhatikan. Artinya, kita mau mengakhiri baris puisi dengan rima apa pun boleh saja. Yang penting gagasan kita gampang dan mudah dimengerti oleh pembaca.

Simbolisme (symbolism) Kadang dalam menyampaikan gagagsan seorang penyair tidak secara terus terang mengatakannya kepada pembaca. Caranya, penyair memanfaatkan lambang atau simbol untuk maksud tertentu. Hal ini tidak bersifat kesepakatan yang ada atau berlaku dalam masyarakat.

(http://kasdiharyanta-kasdih.blogspot.com/2010/09/mari-membuat-puisi-dengan-gampang.html, 14 Febuari 2012, 17:02 WIB)

4. Unsur metode berpuisi (Pilihan kata, gaya bayang, penggunaan kata konkreat, gaya bahasa, rima, irama) puisi lama, pantun, dan gurindam! Bahasa puisi berbeda dengan bahasa prosa atau karangan pada umumnya. Ada beberapa usur yang terdapat dalam puisi. Unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut: a. Bunyi i. Asonansi/aliterasiAsonansi adalah persamaan bunyi vokal pada setiap akhir kata. Contoh: menemu udara dari lembah utara. Alierasi adalah persamaan konsonan pada setiap akhir kata. Contoh : berkata benar itu ibadah karena lidah punya Allah. ii. Rima

Rima awal/akhir adalah persamaan bunyi atau persajakan di awal atau di akhir kata, contoh : Rima awal : memulai, memulas. Rima akhir : inilah,marilah. iii. Persajakan horizontal/vertical Persajakan horizontal adalah persamaan bunyi dalam larik satu baris. Persajakan vertikal adalah persamaan bunyi dalam larik atau baris yang berbeda.

b. Pilihan kata i. Pengimajian yaitu pencitraan untuk mengkonkretkan gambaran ide, gagasan dan pikiran melalui pengindraan. ii. Kata konkret yaitu kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud membangkitkan imaji pembaca.

c. Pembaitan (bait-bait), yaitu menyusun larik-larik dalam bait-bait sesuaidengan makna yang dikandung setiap bait. Pelarikan (larik-larik) yaitu menyusun kata-kata dalam larik-larik.

d. Tipografi yaitu bahasa puisi yang ditulis dalam bentuk-bentuk bait atau bentuk-bentuk lain yang unik yang membadakan antara bentuk puisi dengan bentuk karya sastra yang lain.

e. Suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi, misalnya perasaan haru, sedih, bahagia, bersemangat dan lain-lain.

f. Nada, yaitu sikap penyair kepada pembacanya, misalnya menggurui, menasehati, mengejek, atau menyindir.

g. Makna, yaitu maksud keseluruhan puisi yang di bangun oleh kata-kaata,larik-larik dan bait-bait.

(http://www.scribd.com/doc/61180787/Index, 15 Febuari 2012, 16:00 WIB)

5. Unsur hakikat (tema, sikap penyair terhadap pokok persoalan terhadap pembaca, amanat) puisi lama, pantun, dan gurindam! a. Tema Seorang penyair dalam menciptakan puisi selalu mempunyai keinginan dan tujuan. Keinginan dan tujuan itu disampaikan penyair kepada pembaca melalui puisinya. Keinginan berhubungan langsung dengan penyair, penyair ingin agar apa yang menjadi makna dan isi dari puisinya dapat dipahami dan

pembaca tidak mendapatkan kesulitan dalam menafsirkan puisinya. Sedangkan tujuan berhubungan langsung dengan pembaca, penyair berharap setelah membaca dan memahami isi serta pesan moral dalam puisinya dapat menambah pengetahuan dan pengalaman pembaca tentang hidup dan kehidupan. Jika kita berhadapan dengan puisi kita tidak hanya berhadapan dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah, namun juga merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak diucapkan oleh penyair. Setiap puisi mengandung suatu pokok persoalan (subject matter) yang hendak dikemukakan (Situmorang, 1983:12). Tema merupakan gagasan pokok atau subject matter yang dikemukakan penyair (Waluyo, 1991:106). Jadi jelas bahwa dengan puisinya penyair ingin mengemukakan sesuatu bagi pembaca melalui puisinya. Sang penyair melihat, mengalami beberapa kejadian dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dia ingin mengemukakan, mempersoalkan, mempermasalahkan hal-hal itu dengan caranya sendiri. Atau dengan kata lain sang penyair ingin mengemukakan pengalaman pribadinya kepada para pembaca melalui puisinya (Tarigan, 1985: 10). Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat itu berupa hubungan penyair dengan Tuhan, maka puisinya bertema ketuhanan. Jika desakan yang kuat berupa rasa belas kasih atau kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongann untuk memproses ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial. Perasaan cinta atau patah hati yang kuat juga dapat melahirkan tema cinta atau tema kedukaan hati karena cinta (Waluyo, 1991: 106-107). Jadi tidak ada puisi yang tidak mempunyai sesuatu yang hendak dikemukakannya. Walaupun sering penyair sangat lihai menutup-nutupi atau menyelubungi maksud puisinya dibalik kata-kata sehingga pembaca harus bekerja keras untuk memahami dan menafsirkannya. Tapi pasti ada sesuatu yang hendak dikemukakannya. Inilah yang disebut sense (Situmorang, 1983: 12). Tema berhubungan langsung dengan pengarangnya yang tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain falsafah hidup, lingkungan, agama, pekerjaan dan pendidikan. (1985: 10). Hal ini didukung oleh pendapat Herman J. Waluyo yang mengatakan bahwa tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan (Waluyo, 1991: 106-107). Sebuah puisi bisa menyenangkan karena bersifat menghibur, mengemukakan sesuatu yang menarik atau mengagumkan, namun sebuah puisi tidak hanya bersifat menghibur tetapi juga berupa nasehat-nasehat yang berupa dorongan moral atau berupa pengajaran akan kebenaran yang bersifat spiritual dan rohaniah yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kita tidak akan dapat memahami tema dari sebuah puisi kalau hanya membaca sekilas saja (Tjahyono, 1988:68). Karena penyair tidak langsung membeberkan dan menjelaskan apa tema yang ada di dalam puisinya. dengan membaca berulang-ulang sedikit demi sedikit, pembaca akan menemukan isi dari puisi itu kemudian mengambil pengalaman yang diperoleh untuk diri sendiri maka itu tandanya

penyair telah bekerja dengan baik dan pembaca mendapatkan kenikmatan dari puisi yang dibacanya (Situmorang, 1983: 36). Seorang sastrawan akan merasa bangga apabila apa yang disampaikan dalam puisinya dapat diterima dengan baik dan dipahami oleh pembaca, serta pembaca tidak mengalami kesulitan untuk menafsirkan (Sumardjo, 1982:13). Dari uraian di atas dapat disimpulkan sesuatu yang digambarkan penyair dalam puisinya disebut tema, sedangkan pokok persoalan yang hendak dikemukakan penyair dalam puisinya disebut subject matter. Jadi tema membangun puisi secara umum dan subject matter membangun puisi secara khusus. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan tema adalah sesuatu yang diciptakan atau digambarkan penyair melalui puisinya yang mengandung suatu pokok persoalan yang hendak dikemukakan. Tema juga merupakan latar belakang terciptanya sebuah puisi, yang tidak dapat dipisahkan dari pengarangnya. Dengan latar belakang pengetahuan yang sama, penafsir-penafsir puisi akan memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi, karena tafsir puisi bersifat lugas, obyektif dan khusus (Waluyo, 1991: 107). Berikut ini dipaparkan macam-macam tema puisi sesuai dengan Pancasila. i. Tema Ke-Tuhanan Puisi-puisi bertema ke-Tuhanan biasanya akan menunjukkan religius experience atau pengalaman religi penyair yang didasarkan tingkat kedalaman pengalaman ke-Tuhanan seseorang. Dapat juga dijelaskan sebagai tingkat kedalaman iman seseorang terhadap agamanya atau lebih luas lagi terhadap Tuhan atau kekuasaan gaib (Waluyo, 1991:107). Kedalaman rasa ke-Tuhanan itu tidak lepas dari bentuk fisik yang terlahir dalam pemilihan kata, ungkapan, lambang, kiasan dan sebagainya yang menunjukkan betapa erat hubungan antara penyair dengan Tuhan. Juga menunjukkan bagaimana penyair ingin Tuhan mengisi seluruh kalbunya. (Waluyo, 1991:108). ii. Tema Kemanusiaan Tema kemanusiaan bermaksud menunjukkan betapa tingginya martabat manusia dan bermaksud meyakinkan pembaca bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama. Perbedaan kekayaan, pangkat dan kedudukan seseorang tidak boleh menjadi sebab adanya perbedaan perlakuan terhadap kemanusiaan seseorang (Waluyo, 1991:112). iii. Tema Patriotisme / Kebangsaan Tema patriotisme dapat meningkatkan perasaan cinta aka bangsa dan tanah air. Banyak puisi yang melukiskan perjuangan merebut kemerdekaan dan mengisahkan riwayat pahlawan yang berjuang merebut kemerdekaan atau melawan penjajah. Tema patriot juga dapat diwujudkan dalam bentuk usaha penyair untuk membina kesatuan bangssa atau membina rasa kenasionalan (Waluyo, 1991:115). iv. Tema Kedaulatan Rakyat

Penyair begitu sensitif perasaannya untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat dan menentang sikap sewenang-wenang pihak yang berkuasa, didapati dalam puisi protes. Penyair berharap orang yang berkuasa memikirkan nasib si miskin. Diharapkan penyair agar kita semua mengejar kekayaan pribadi, namun juga mengusahakan kesejahteraan bersama. v. Tema Keadilan Sosial Nada protes sosial sebenarnya lebih banyak menyuarakan tema keadilan sosial dari pada tema kedaulatan rakyat. Yang dituliskan dalam tema keadilan sosial adalah ketidakadilan dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengetuk nurani pembaca agar keadilan sosial ditegakkan dan diperjuangkan.

b. Perasaan (Feeling) Perasaan (feeling) merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkannya. Perasaan penyair dalam puisinya dapat dikenal melalui penggunaan ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam puisinya karena dalam menciptakan puisi suasana hati penyair juga ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca (Waluyo, 1991:121). Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa setiap manusia mempunyai sikap dan pandangan tertentu dalam menghadapi setiap pokok yang diekspresikan. Sikap-sikap itu mungkin saja bisa berupa kemarahan, kasihan, simpati, acuh tak acuh, rindu, sedih, gelisah dan lain sebagainya (Tjahyono, 1988:71). Jadi perasaan adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkan dalam puisinya, yang merupakan gambaran perasaan yang dialami penyair pada saat menciptakan puisinya.

c. Nada dan Suasana Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca berkenaan dengan pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya (Tjahyono, 1988:71). Hal ini seperti dikemukakan Tarigan bahwa nada adalah sikap penyair terhadap para penikmatnya (Tarigan, 1985: 13). Dalam menulis puisi, penyair memiliki sikap tertentu yang ditujukan kepada pembacanya, apakah penyair itu bersikap menggurui, angkuh, membodohkan, rendah hati, mengejek, menyindir atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca (Waluyo, 1991:125). Nada dalam puisi dapat diketahui dengan memahami apa yang tersurat, yaitu bahasa/ ungkapanungkapan yang dipakai dalam puisi. Nada berhubungan dengan suasana, karena nada menimbulkan suasana tertentu pada pembacanya. Suasana adalah keadaan jiwa pembaca (sikap pembaca) setelah membaca puisi, atyau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi terhadap pembaca (Waluyo, 1991:71). Misalnya : puisi yang

bernada duka menimbulkan suasana iba hati pada pembaca, nada khusuk dapat menimbulkan suasana khusuk.

d. Amanat Penyair sebagai sastrawan dan anggota masyarakat baik secara sadar atau tidak merasa bertanggugjawab menjaga kelangsungan hidup sesuai dengan hati nuraninya. Oleh karena itu, puisi selalu ingin mengandung amanat (pesan). Meskipun penyair tidak secara khusus dan sengaja mencantumkan amanat dalam puisinya. amanat tersirat di balik kata dan juga di balik tema yang diungkapkan penyair (Waluyo, 1991:130). Amanat adalah maksud yang hendak disampaikan atau himbauan,pesan, tujuan yang hendak disampaikan penyair melalui puisinya.

(http://rumahsastra.blogdetik.com/, 15 Febuari 2012, 16:12 WIB)

Anda mungkin juga menyukai