Anda di halaman 1dari 5

Qiyas berasal dari kata qasa, yaqisu, qaisan, artinya mengukur dan ukuran, kata qiyas diartikan ukuran

sukatan, timbangan dan lain-lain yang searti dengan itu, atau pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya, misalnya kalimat:

Artinya: ia telah mengukur sesuatu dengan lainnya atas lainnya Qiyas diartikan pula dengan at-taqdir wa at-taswiyah, artinya menduga dan mempersamakan

Artinya: Mengeluarkan semisal hukun yang disebutkan kepada yang tidak disebutkan dengan menghimpun keduanya.

Artinya: Qiyas ialah membandingkan yang didiamkan (tidak ada ketentuan hukumnya) kepada yang di terangkan (sudah ada ketentuan hukumnya) pada illat hokum.

Artinya: Menetapkan semisal hokum yang diketahui pada yang hokum lain yang diketahui, Karena persekutuan (persamaan) illat hukum.

Artinya: Menghasilkan hokum pokok pada cabang karena bersamaan padanya illat hokum disisi mujtahid.

Artinya: Menghubungkansuatu perkara yang didiamkan oleh syara (tidak ada ketetapan hukumnya) dengan yang diterangkan (ditetapkan hukumnya) karena illat yang sama pada keduanya.

Artinya: Membawa yang diketahui kepada sesuatu yang lain yang diketahui pula untuk menetapkan hokum atau melarang keduanya karena ada sesuatu yang sama diantara keduanya, baik hokum maupun sifatnya.

Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan qiyas:

Artinya: Qiyas menurut istilah para ahli ushul fiqh adalah mempersamakan keadaan perkara yang tidak ada nash dan ketentuan hukumnya dengan keadaan perkara yang ada nash dan ketentuan hukumnya karena pada dua perkara tersebut terdapat illat hokum yang sama. Dari beberapa definisi tersebut, dapat dikemukaan secara tegas, bahwa yang dimaksud dengan qiyas adalah menetapkan hokum suatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. Diartikan pula sebagai proses permindahan hokum yang terdapat pada pokok kepada cabang (dari ashl dan furu) karena adanya illat hukum yang sama, dan atau adanya illat yang tidak dapat diketahui dengan pendekatan kebahasaan (logika lingustik). Definisi ini dinamakan juga dengan alasan adanya illat hukum yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni, sebagaimana rahmat syafiI mengutip pendapat Al-Human dan Shadr Asy-Syariah. Syarat utama dalam pendekatan analogi atau qiyas adalah adanya persamaan illat hukum. Dengan demikian, pendekatan analogis akan lebih mengutamakan logika induktif, karena dari kasus khusus ditarik ke kasus yang sifatnya umum. Dalam qiyas terdapat proses generalisasi, sehingga memerlukan penalaran yang serius dan proses analisasi keberbagai sudut pandang, mulai pemaknaan bahasa, pemahaman peristiwa asal, dan sifat-sifat hukum yang dikategorikan memiliki indikasi yang serupa. Dengan pemikiran tersebut, ulama ushul fiqh mengatakan bahwa rukun qiyas terdiri dari: 1. Ashl atau pokok, yakni suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat menganalogikan. 2. Furu (cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nash-nya, yang akan dipersamakanhukumnya dengan ashl yang disebut maqis dan musyabah (yang dianalogikan dan diserupakan) 3. Hukum ashl, yaitu hukum syara yang telah ditentukan oleh nash 4. Illat, yaitu sifat yang terdapat pada ashl. Denngan adayan illat hukum inilah, proses mempersamakan ketentuan hukum dapat dilakukan. Disini digunakan logika induktif,

bukan deduktif karena sifat hukum yang melekat pada ashl merupakan hakikat hukum ashl yang secara ontologis hanya berlaku untuk hakikat untuk dirinya sendiri dan tentu saja berlau khusus. Dengan pendekatan qiyas, hukum ashl dengan illat-nya tersebut diambil alih kemasalah yang berbeda, tetapi dipandang memiliki illat yang sama, dan terjadilah upaya mempersamakan hukum. Cara kerja logika ini merupakan proses generalisasi hukum. Oleh karena itu, ketentuan hukum untuk ashl tidak hanya berlaku baginya sendiri, melainkan termasuk untuk masalah lain (cabang) yang memerlukan ketentuan hukum. Pandangan tentang penalaran anaologis dalam qiyas merupakan pemahaman silogistik, sebagai gerakan pikiran dari sesuatu yang diketahui secara eksplisif pada sesuatu yang tidak diketahui secara eksplisif. Qiyas sebagai analogi induktif adalah penalaran yang berangkat dari peristiwa khusus kepada kejadian yang khusus pula; menyimpulkan bahwa kebenaran pada kasus tertentu berlaku pula untuk khasus tertentu yang lain. Dengan rumusan logis, bahwa jika benar keseluruhannya, benar pula bagian-bagiannya. Akan tetapi, jika benar bagian-bagiannya belum tentu benar keseluruhannya, sebagaimana jika tidak benar bagian-bagiannya, belum tentu tidak benar keseluruhannya. Rumusan tersebut dipasang dalam logika induktif atau analogi induktif, karena kebenaran dalam suatu kasus yang memiliki nash dan ketentuan hukumnya, sebaga alat utama untuk membenarkan kasus yang baru yang memiliki keserupaan dengan ciri substansial kasus yan telah ada sebelumnya. Qiyas dibagi menjadi dua macam, yaitu al-qiyas al-aqliy dan al-qiyas asy-syarI. kedua qiyas itu dapat digunakan untuk berargumentasi. Qiyas aqli digunakan oleh mutakallimin dalam menyelesaikan berbagai persoalan akidah pada zamannya. Dalam qiyas itu, illat yang didapat hanya ada satu dan pasti, tidak mungkin diperoleh dua illat yang berbeda atau lebih. Dengan demikian, kesimpulan hukumnya yang benar hanya satu. Akan tetapi, dalam qiyas syarI, yang banyak di gunakan oleh pukaha. Illat bias diperoleh secara pasti dan bias pula didapat atas dasar hasil penelitian dari dugaan yang kuat seorang mujtahid. Jika illat ditunjuka oleh dalil nash secara jelas dan pasti, illat tersebut dapat menetapkan hukun secara pasti pula. Kebenaran hasil ijtihad yang diperoleh dari penelitian yang benar terhadap nash, yang didasarkan atas dugaan yang kuat dari para mujtahid, hal itu mungkin akan melahirkan dua illat yang berbeda atau lebih dan berakibat kemungkinan adanya berbagai hukum yang berbeda-beda pula. Jika berbagai hukum yang beragam, dengan sebab adanya illat yang beragam pula, dalam masalah hukum tertentu ternyata membawa kemaslahatan dan rahmat serta manusia sanggup mengamalkannya, semua hukum itu adalah benar. Penendekatan qiyas bukan sekedar mempersamakan ketentuan zakat untuk memakan pokok, sebagaimana antara gandum dengan beras. Akan tetapi, telah melampawi analogi unta dengan pesawat terbang bagi yang memulai membaca talbiyah ketika menunaikan ibadah haji. Bahkan dikalangan ulama yang duduk didalam ormas islam. Pendekatan qiyas sering digunakan untuk menetapkan hukum berumuamalah. Contohnya adalah

ketika umat islam marak mempertanyakan kedudukan hukum jual-beli mata uang atau valuta asing, bursa komoditi, jual-beli sistem tengkulak, dan sebagainya. Sebagai contoh konkret, Nabi Muhammad SAW, pernah bersabda: janganlah kalian menghadang kafilah-kafilah dan janganlah orang-orang kota menjualkan untuk orang-orang desa Demikian pula, dalam hadis riwayat Ibnu Masud yang menyatakan: Rasulullah SAW. Telah melarang menghadang dagangan Menurut Imam SyafiI sebagaimana dikatakan oleh Hamzah Yaqub, yang dimaksudkan dengan larangan menghadang di jalanan ialah ketika khafilah masih berada didalam desanya dan mereka belum mengetahui harga pasar. Sedangkan orang-orang kota yang telah meninjau harga pasar mencegahkhafilah untuk mendorong semua barang dagangan yang sedang dibawa menuju pasar. Akibatnya, barang-barang dipasar menjadi langka dan jika ada, harganya akan tinggi. Menurut Hanafiyah dan Malikiyah, menghadang penjual untuk membeli barang untuk membeli barang yang belum diketahui harga pasarannya oleh penjual, hukumnya haram. Akan tetapi, jika penjual mengetahuinya dan membuat kemadharatan bagi bagi kepentingan umum, hukumnya makruh. Menurut Hamzah Yaqub, jual belinya sah, tetapi sifatnya makruh. Supaya sifatnya tidak makruh, pihak penjual memiliki hak khiyar untuk membatalkan atau melanjutkan jual-beli. Dalam hal ini, Rasulullah SAW. Bersabda dalam hadaist yang disampaikan oleh Abu Hurairah: Rasulullah SAW telah melarang penghadangan barang yang dibawa (dari luar kota). Apabila seseorang menghadangnya lalu membelinya, maka pemilik barang (penjual) memiliki hak khiyar padanya, apabila dating kepasar (H.R. jamaah Ahli Hadist kecuali Bukhari). Dengan perumpamaan tersebut, dalam pendekatan qiyas, tidak cukup dengan mengetahui adanya illat, yaitu hal-hal mengumpulkan soal pokok dengan soal cabang, tetapi harus mengetahui pula dalil-dalil yang menunjukan illat tersebut, baik dari nash Al-quran, ijma maupun istinbath. Para ulama ushul menetapkan langkah-langkah menentukan adanya illat, yaitu sbb: Cara pertama: Menentukan illat dengan dalil naqli (Al-Quran dan Hadist= Nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung, artinya dengan perkataan yang jelas menunjukan illat. Secara tidak langsung adalah dengan perkataan tidak jelas, perkataan yang dimaksud bias menunjukan illat atau tidak menunjukannya. Contoh yang jelas menunjukan illat hukum, yakni dengan menggunakan huruf lam, meskipun kadang-kadang menunjukan akibat, misalnya dalam surat Al-Qashash ayat 8 Artinya: maka dipungutlah ia oleh keluarga firaun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesediaan bagi mereka Cara kedua Menetapkan illat dengan ijma .contoh-contohnya

1, telah disepakati bahwa belum dewasa menjadi illat dikuasakan hartanya kepada wali. 2. Ali bin Abi Thalib berkata, kalu kita minum tentu mabuk, kalau mabuk mengigau, kalau mengigau, tentu akan berkata dusta. Perkataan itu tidak ada yang membantunya. Semua sepakat. Dengan demikian kedustaan menjadi illat adanya sanksi hukum untuk bagi peminum khamr. Cara ketiga Menetapkan illat dengan melakukan penyelidikan dan penelitian istinbath. Di antaranya pendekatan yang dilakukan adalah dengan cara berikut 1. Pendekatan munasabah 2. Pendekatan as-sibr wa at-taqsim 3. Pendekatan tanqiq al-manath, dan 4. Pendekatan tahqiq al-manath Munasabah ialah persesuaian antara satu hal atau sifat dengan larangan dan perintah. Pendekatan Munasabah digunakan dalam penafsiran sebelumnya.

Beni, januri. 2008. Fiqh ushul fiqh. Pustaka setia. Bandung

Anda mungkin juga menyukai