Anda di halaman 1dari 18

Hipokalemia et causa Diare Akut

Alitha Rachma Oktavia* NIM 102010278 Mahasiswi Fakultas Kedokteran Ukrida


*Alamat korespondensi Alitha Rachma Oktavia Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510 No. Telp (021) 5694-2061, e-mail :alitharachma@hotmail.com

Pendahuluan
Hipokalemia (K+ serum < 3,5 mEq/L) merupakan salah satu kelainan elektrolit yang ditemukan pada pasien rawat inap. Walaupun kadar kalium dalam serum hanya sebesar 2% dari kalium total tubuh dan pada banyak kasus tidak mencerminkan status kalium tubuh; hipokalemia perlu dipahami karena semua intervensi medis untuk mengatasi hipokalemia berpatokan pada kadar kalium serum. Salah satu penyebab hipokalemia adalah diare. Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara yang sedang berkembang. Banyak dampak yang terjadi karena infeksi seluran cerna antara lain pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan gangguan sekresi dan reabsorpsi cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit, dan keseimbangan asam basa. Invasi dan destruksi sel epitel, penetrasi ke lamina propria serta kerusakan mikrovili dapat menimbulkan keadaan maldiges dan malabsorpsi. Bila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat pada akhirnya dapat mengalami invasi sistemik.

Anamnesis
Pemeriksaan pertama yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dari pasien. Anamnesa selalu didahului dengan pengambilan data pasien kemudian diikuti dengan keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu dan kesehatan dan penyakit dalam
1

keluarga. Identitas: nama, umur, jenis kelamin, dokter yang merujuk, pemberi informasi (misalnya pasien, keluarga,dll). Seperti yang sudah diterangkan dalam skenario seorang wanita 30 tahun datang dengan keluhan kelemahan pada kedua tungkai sejak 1 hari yang lalu. Keluhan disertai dengan nyeri otot dan badan lemas. 3 hari yang lalu pasien diare 10 kali/hari.1

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan abdomen paling baik dilakukan pada pasien dalam keadaan berbaring dan relaks, kedua lengan berada disamping, dan pasien bernapas melalui mulut. Pasien diminta untuk menekukkan kedua lutut dan pinggulnya sehingga otot-otot abdomen menjadi relaks. Tangan pemeriksa harus hangat untuk menghindari terjadinya refleks tahanan otot oleh pasien. Inspeksi Setelah melakukan inspeksi menyeluruh dan keadaan sekitarnya dengan cepat, perhatikan abdomen untuk memeriksa hal berikut ini: Apakah abdomen dapat bergerak tanpa hambatan ketika pasien bernapas? Apakah pasien menderita nyeri abdominal yang nyata? Apakah pasien menderita iritasi peritoneum, yaitu pergerakan abdomen menjadi terbatas? Apakah terdapat jaringan parut akibat operasi sebelumnya? Apakah terdapat distensi abdomen yang nyata? Apakah terdapat vena yang berdilatasi? Apakah terdapat gerakan peristaltik yang dapat terlihat? Apakah terdapat kelainan-kelainan lain yang dapat terlihat? Distensi yang menyeluruh biasanya disebabkan oleh lemak, cairan, janin, atau udara, sedangkan penyebab dari pembengkakkan yang terlokalisasi antara lain hernia atau pembesaran organ. Pada distensi abdomen yang menyeluruh, terutama jika disebabkan oleh asites, umbilikus dapat menonjol keluar. Peristaltik yang terlihat dapat dijumpai pada individu normal yang kurus, tetapi pada orang yang gemuk, gerakan peristaltik hanya terlihat di sebelah proksimal dari letak lesi obstruktif usus.
2

Palpasi Abdomen harus diperiksa secara sistematis, terutama jika pasien menderita nyeri abdomen. Selalu tanyakan letak nyeri yang dirasa maksimal dan periksa bagian tersebut paling akhir. Lakukan palpasi pada setiap kuadran secara berurutan, awalnya tanpa penekanan yang berlebihan dan dilanjutkan dengan palpasi secara dalam (jika tidak terdapat area nyeri yang diderita atau diketahui). Kemudian, lakukan palpasi secara khusus terhadap beberapa organ. 3 Ketika meraba organ intra-abdomen yang membesar, bagian tepi organ lebih sering teraba daripada badan organ, akan tetapi konsistensi antara organ tersebut dengan organ disekitarnya seringkali mudah dibedakan hanya dengan meraba bagian tepinya. Tepi organ dapat diketahui dengan lebih mudah jika pemeriksa meminta pasien untuk mengambil napas agak dalam sehingga organ tersebut bergerak. Bila terdapat pembengkakkan yang abnormal, dan pada waktu palpasi tidak menimbulkan rasa nyeri, tentukan keadaan dan karakteristiknya. Tahanan abdomen merupakan suatu refleks penegangan otot-otot abdomianal yang terlokalisasi yang tidak dapat dihindari oleh pasien dengan sengaja. Adanya tahanan tersebut merupakan tanda iritasi peritoneum perifer atau tanda nyeri tekan yang tajam dari organ dibawahnya. Pastikan adanya tahanan abdomen dengan melakukan perkusi ringan di atas area yang terkena. Perkusi Perkusi berguna (khususnya pada pasien yang gemuk) untuk memastikan adanya pembesaran beberapa organ, khususnya hati, limpa, atau kandung kemih. Lakukan selalu perkusi dari daerah resonan ke daerah pekak, dengan jari pemeriksa yang sejajar dengan bagian tepi organ. Auskultasi Hanya pengalaman klinis yang dapat memberitahu bising usus yang normal. Seorang pemeriksa mungkin membutuhkan waktu selama beberapa menit sebelum dapat mengatakan dengan yakin bahwa bising usus tidak terdengar.

Bising usus yang meningkat dapat ditemukan pada obstruksi usus, diare, dan jika terdapat darah dalam pencernaan yang berasal dari saluran cerna atas (keadaan yang menyebabkan peningkatan peristaltik). Bising usus menurun atau menghilang ditemukan pada ileus, perforasi, peritonitis generalisata. Bising sistolik aorta atau arteri femoralis dapat terdengar di atas arteri yang mengalami aneurisma atau stenosis. Bising arteri renalis dapat terdengar di bagian lateral abdomen atau di punggung. Dengungan vena yang kontinu dapat menunjukkan adanya obstruksi vena kava inferior atau obstruksi vena porta. Terdapat kelemahan pada sistem otot skelet, serabut otot halus, dan otot jantung. Kelemahan otot ini dimulai pada otot ekstremitas bawah sebelum berlanjut pada otot leher dan otot pernafasan. Ileus paralitik dan refleks dilatasi gaster terja dikarena kelemahan serabut otot halus. Bila hipokalemia terjadi lama, bisa didapatkan gangguan ginjal yang hampir sama dengan gejala pielonefritis kronik.2

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan tinja a. Makroskopis dan mikroskopis b. pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet clinitest, bila diduga terdapat intoleransi gula. c. Bila perlu dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi. 2. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam-basa dalam darah, dengan menentukan pH dan cadangan alkali atau lebih tepat lagu dengan pemeriksaan analisa gas darah menurut ASTRUP (bila memungkinkan). 3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal. 4. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium, dan fosfor dalam serum (terutama pada penderita diare yang disertai kejang).2

Differential diagnosis
A. Hiponatremia Patofisiologi Hiponatremia adalah kelebihan cairan relative yang terjadi bila : 1. Jumlah asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi 2. Ketidakmampuan menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan melalui saluran cerna, gagal jantung dan sirosis hati atau pada SIADH (Syndrome of Inappropriate ADH-secretion). Berdasarkan prinsip di atas maka etiologi hiponatremia dapat dibagi atas : Hiponatremia dengan ADH meningkat Hiponatremia dengan ADH tertekan fisiologik Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal atau tinggi

Sekresi ADH meningkat akibat deplesi volume sirkulasi efektif seperti pada muntah, diare, perdarahan, jumlah urin meningkat, gagal jantung, sirosis hati, SIADH, insufisiensi adrenal, dan hipotiroid. Pada polidipsia primer dan gagal ginjal terjadi ekskresi cairan lebih rendah disbanding adupan cairan sehingga menimbulkan respons fisiologik yang menekan sekresi ADH. Respon fisiologik dari hiponatremia adalah tertekannya pengeluaran ADH dari hipotalamus sehingga sekresi urin meningkat karena saluran air (AQP2A) di bagian apical duktus koligentes berkurang (osmolaritas urin rendah). Pemberian cairan iso-osmotik yang tidak mengandung natrium ke dalam cairan ekstrasel dapat menimbulkan hiponatremia disertai osmolalitas plasma normal. Tingginya osmolalitas plasma pada keadaan hiperglikemia atau pemberian manitol intravena menyebabkan cairan intrasel keluar dari sel menyebabkan dilusi cairan ekstrasel yang menyebabkan hiponatremia. Dalam keadaan normal, 93% dari volume plasma terdiri dari air dan elektrolit sedang 7% sisanya terdiri dari lipid dan protein. Pada hiperlipidemia atau hiperproteinemia berat akan terjadi penurunan volume air plasma menjadi 80% sedang jumlah natrium plasma tetap dan osmolalitas plasma normal; akan tetapi karena kadar air plasma berkurang

(pseudohiponatremia) kadar natrium dalam cairan plasma total yang terdektesi pada pemeriksaan laboratorium lebih rendah dari normal.

Hiponatremia Akut Hiponatremia akut adalah kejadian hiponatremia yang berlangsung cepat yaitu kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran dan kejang, hal ini terjadi akibat edema sel otak, karena air dari ekstrasel masuk ke intrasel yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini disebut juga sebagai hiponatremia simptomatik atau hiponatremia berat.

Hiponatremia Kronik Hiponatremia kronik adalah kejadian hiponatremia yang berlangsung lambat yaitu lebih dari 48 jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran atau kejang (ada proses adaptasi), gejala yang timbul hanya ringan seperti lemas atau mengantuk. Pada keadaan ini tidak ada urgensi melakukan koreksi konsentrasi natrium, terapi dilakukan dalam beberapa hari dengan memberikan larutan garam isotonik. Kelompok ini disebut juga sebagai hiponatremia asimptomatik.3

Diagnosis Di klinik bila ditemukan kasus hiponatremia dengan gejala yang berat (kesadaran menurun, kejang) maka hiponatremia digolongkan dalam kategori akut. Hiponatremia tanpa gejala berat (lemas, mengantuk) digolongkan dalam kategori kronik. Hal ini penting untuk diketahui sehubungan dengan tindakan yang akan dilakukan bila terjadi keadaan hiponatremia.3 Tatalaksana Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari penyebab hiponatremia dengan cara : Anamnesis yang teliti (antara lain riwayat muntah, penggunaan diuretic, penggunaan manitol) Pemeriksaan fisik yang teliti (antara lain apakah ada tanda-tanda hipovolemik atau tidak) Pemeriksaan gula darah, lipid darah Pemeriksaan osmolalitas darah (antara lain osmolalitas rendah atau tinggi) Pemeriksaan osmolalitas urin atau dapat juga dengan memeriksa berat jenis urin (interpretasi apakah ADH meningkat atau tidak, gangguan pemeketan)
6

Pemeriksaan natrium, kalium, dan klorida urin untuk mengetahui jumlah ekskresi elektrolit di dalam urin.

Langkah selanjutnya adalah melakukan pengobatan yang tepat sasaran : Perlu dibedakan apakah kejadian hiponatremia akut atau kronik Tanda atau penyakit lain yang menyertai hiponatremia perlu dikenali (deplesi volume, dehidrasi, gagal jantung, gagal ginjal) Koreksi natrium : Pada hiponatremia akut, koreksi Na dilakukan secara cepat dengan pemberian larutan natrium hipertonik intravena. Kadar natrium plasma dinaikkan sebanyak 5 mEq/L dari kadar natrium awal dalam waktu 1 jam. Setelah itu, kadar natrium plasma dinaikkan sebesar 1 mEq/L setiap 1 jam sampai kadar natrium darah mencapai 130 mEq/L. Rumus yang dipakai untuk mengetahui jumlah natrium dalam larutan natrium hipertonik yang diberika adalah 0,5 x beratbadan (kg) x delta natrium Delta natrium merupakan selisih antara kadar natrium yang diinginkan dengan kadar natrium awal.

Pada hiponatremia kronik, koreksi Na dilakukan secara perlahan yaitu sebesar 0,5mEq/L setiap 1 jam, maksimal 10 mEq/L dalam 24 jam. Bila delta Na besarnya 8 mEq/L, dibutuhkan waktu pemberian selama 16 jam. Rumus yang dipakai sama seperti diatas. Natrium yang diberikan dapat dalam bentuk natrium hipertonik intravena atau natrium per oral.3

B. Asidosis Metabolik Patofisiologi Asidosis metabolic ditandai dengan turunnya kadar ion-HCO3 diikuti dengan penurunan tekanan parsial CO2 didalam arteri. Kompensasi umumnya terdiri dari kombinasi mekanisme respiratorik dan ginjal, ion hydrogen berinteraksi dengan ion bikarbonat membentuk molekul CO2 yang dieliminasi di paru, sementara itu ginjal mengupayakan ekskresi ion hydrogen ke urin dan memproduksi ion bikarbonat yang dilepaskan ke cairan ekstraseluler. Kadar ion-HCO3 normal adalah sebesar 24 mEq/L dan kadar normal pCO2
7

adalah 40 mmHG dengan kadar ion-H sebesar 40 nanomol/L. Penurunan kadar ion-HCO3 sebesar 1 mEq/L akan diikuti oleh penurunan pCO2 sebesar 1,2 mmHg. Penyebab asidosis metabolic dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu : a. Pembentukan asam yang berlebihan (asam fixed dan asam organic) di dalam tubuh. Ion hydrogen dibebaskan oleh system buffer asam karbonat-bikarbonat, sehingga terjadi penurunan pH. Dalam klinik ditemukan keadaan ini seperti pada : o Asidosis laktat. Timbul karena hipoksia jaringan berkepanjangan,

mengakibatkan jaringan mengalami proses metabolisme anaerob o Ketoasidosis. Timbul karena produksi badan keton dalam jumlah sangat tinggi pada metabolisme fase pasca absortif. Ketoasidosis merupakan akibat dari starvasi dan komplikasi diabetes mellitus yang tidak terkendali, jaringan tidak dapat memanfaatkan glukosa dari sirkulasi, sehingga mengandalkan metabolisme lipid dan keton o Intoksikasisalisilat o Intoksikasietanol b. Berkurangnya kadar ion-HCO3 dalam tubuh. Sistem buffer asam karbonat-bikarbonat yang mengatur keseimbangan ion hydrogen dan mempengaruhi keseimbangan pH. Penurunan konsentrasi HCO3- di cairan ekstraselular menyebabkan penurunan efektifitas system buffer dan asidosis timbul. Penyebab penurunan konsentrasi HCO3antara lain adalah diare, renal tubular acidosis (RTA) proksimal (RTA-2), pemakaian obat inhibitor enzim anhidrase karbonat atau pada penyakit ginjal kronik stadium IIIIV. c. Adanya retensi ion-H didalam tubuh. Jaringan tidak mampu mengupayakan ekskresi ion hydrogen melalui ginjal. Kondisi ini dijumpai pada penyakit ginjal kronik stadium IV-V, RTA-1 atau RTA-4. Kompensasi paru dengan cara hiperventilasi yang menyebabkan penurunan tekanan parsial CO2, dapat bersifat lengkap, sebagian atau berlebihan. Berdasarkan kompensasi ini, asidosis metabolic dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu : a. Asidosis metabolic sederhana (simple atau compensated metabolic acidosis); penurunan kadar ion-HCO3sebesar 1 mEq/L diikuti penurunan pCO2 sebesar 1,2 mmHg.

b. Gabungan asidosis metabolic dengan asidosis respiratorik dapat juga disebut uncompensated metabolic acidosis; penurunan kadar ion-HCO3 sebesar 1 mEq/L diikuti penurunan pCO2 kurang dari 1,2 mmHg (pCO2 dapat sedikit lebih rendah atau sama atau lebih tinggi dari normal). c. Gabungan asidosis metabolic dengan alkalosis respiratorik atau dapat disebut sebagai partly compensated metabolic acidosis; penurunan kadar ion-HCO3 sebesar 1 mEq/L diikuti penurunan PCO2 sebesar lebih dari 1,2 mmHg (pH dapat sedikit lebih rendah atau sama atau lebih tinggi dari normal). Pada prinsipnya, penyebab gangguan harus diketahui sebelum melakukan pengobatan. Penyebab potensial demikian bervariasi sehingga seorang klinikus harus menegakkan diagnosis. Pada beberapa keadaan, diagnosis sangat jelas. Sebagai contoh misalnya kasus asidosis metabolik yang terjadi pada seorang setelah melakukan aktifitas fisik, tentunya jenis asidosis laktat. Kasus lainnya harus ditelusuri lebih lanjut. Untuk mengetahui etiologi dari tiap kelompok penybaba asidosis metabolic tersebut perlu diketahui besarnya anion gap. Dalam keadaan normal, jumlah anion dan jumlah kation di dalam tubuh adalah sama besar. Ada anion dan jumlah kation yang dapat dihitung (Cl, HCO3 dan Na) dan ada anion dan kation yang tidak dapat dihitung (anion atau kation lain dari zat organic). Selisih antara Na dengan HCO3 dan Cl atau selisih dari anion gap, Na-(HCO3 + Cl), dalam keadaan normal sebesar 12 3 mEq. Pada kelompok pembentukan asam organic yang berlebihan sebagai penyebab asidosis metabolic, besar anion-gap akan meningkat oleh karena adanya penambahan anion lain yang berasal dari asam organik antara lain asam hidroksi butirat pada ketoasidosis diabetic, asam laktat pada asidosis laktat, asam salisilat pada intoksikasi salisilat atau asam organic akibat intoksikasi etanol. Pada kelompok berkurangnya kadar ion-HCO3 sebagai penyebab asidosis metabolik, besar anion gap tetap dalam batas normal dengan peningkatan kadar ion-Cl. Misalnya pada keadaan diare atau renal tubular acidosis proksimal (RTA-2), pemakaian obat inhibitor enzim anhidrase karbonat atau pada penyakit ginjal kronik stadium III-IV. Asidosis metabolic dengan anion gap yang normal selalu disertai dengan peningkatan ion-Cl dalam plasma sehingga disebut juga sebagai asidosis metabolic hiperkloremik. Pada kelompok retensi ion-H sebagai penyebab asidosis metabolic, besar anion gap meningkat,
9

misalnya pada penyakit ginjal kronik stadium IV V, dan besar anion gap normal misalnya pada renal tubular acidosis (RTA-1 atau RTA-4). Anion gap dalam urin Pada keadaan asidosis metabolic dengan anion gap normal (hipokloremik), ion-Cl yang berlebih akan di sekresikan oleh sel intercalated duktus koligentes bersama dengan seksresi ion H+ (ion-Cl melalui saluran-Cl dan ion H+ melalui pompa H-ATPase). Ekskresi ion-Cl dilakukan bersama dengan ion-NH3 dalam bentuk NH4Cl. Ion-NH4 dibentuk dari ikatan antara ion-NH3 dalam tubulus dengan ion H+ yang disekresikan oleh sel tubulus distal (duktus kolektif). Tergnaggu atau normalnya ekskresi ion-NH3 dalam bentuk NH4Cl dapat dinilai dengan menghitung anion gap di dalam urin. Anion-gap dalam urin dihitung dengan rumus : (Na-urin + K-urin) Cl-urin Bila hasilnya positif, terdapat gangguan ekskresi ion-NH3 sehingga NH4Cl tidak terbentuk akibat adanya gangguan sekresi ion H+ di tubulus distal (tidak dapat berikatan dengan ion-NH3) misalnya pada renal tubular acidosis (RTA-1 dan RTA-4). Hasil yang negative, menunjukkan keadaan asidosis metabolik anion-gap normal dimana ekskresi ion-Cl dalam bentuk NH4Cl sebanding dengan sekresi ion H+ di tubulus distal yang terjadi akibat adanya asidosis metabolik, misalnya pada keadaan diare. Penghitungan anion gap dalam urin tak dapat diterapkan bila terjadi deplesi volume sehingga ekskresi Na urin rendah atau bila terjadi peningkatan ekskresi anion yang tak dapat dihitung seperti -hidroksibutirat pada ketoasidosis diabetikum sehingga jumlah Na dan K yang diekskresi dalam urin meningkat.3 Diagnosis Manifestasi asidosis metabolic sangat tergantung pada penyebab dan kecepatan perkembangan prosesnya. Suatu asidosis metabolic akut menyebabkan depresi miokardial disertai reduksi cardiac output (curah jantung), penurunan tekanan darah, penurunan aliran ke sirkulasi hepatic dan renal. Aritmia dan fibrilasi ventricular mungkin terjadi. Metabolisme otak menurun secara progresif. Pada pH lebih dari 7,1 terjadi fatigue (rasa lelah), sesak nafas (pernafasan kussmaull), nyeri perut, nyeri tulang, dan mual/muntah. pada pH kurang dari atau
10

sama dengan 7,1 akan tampak gejala seperti pada pH >7,1 efek inotropik negative, aritmia, konstriksi vena perifer, dilatasi arteri perifer (penurunan resistensi perifer), penurunan tekanan darah, penurunan aliran darah ke hari, konstriksi pembuluh darah paru (pertukaran oksigen terganggu).3 Tatalaksana Asidosis metabolic pada kasus-kasus kritis merupakan pertanda dari kondisi serius yang memerlukan tindakan agresif untuk memperoleh diagnosis dan tatalaksana penyebab. Tatalaksana asidosis metabolic ditujukan terhadap penyebabnya. Peran bikarbonat pada asidosis metabolic akut bersifat controversial tanpa disadari data yang rasional. Bagaimanapun, pada banyak kasus, pemberian bikarbonat lebih banyak menunjukkan bahaya dibandingkan keuntungannya. Kecuali pada kasus-kasus disebutkan pada indikasi terapi berikut, tidak ada data ilmiah penunjang pengobatan asidosis metabolic atau respiratorik menggunakan natrium bikarbonat. Lebih lanjut, pH intrasel memiliki nilai sangat penting dalam menentukan fungsi selular. System buffer intrasel cukup efektif dalam

mempertahankan pH ke nilai normal dibandingkan dengan system buffer ektrasel. Sebagai konsekuensinya, pasien dapat bertoleransi terhadap pH di bawah 7.0 selama fase hiperkapnia tanpa efek yang membahayakan. Pemberian infus bikarbonat menimbulkan problem pada pasien-pasien dengan asidosis, antara lain kelebihan pemberian cairan, alkalosis metabolic, dan hipernatremia. Selain itu, penelitian yang dilakukan pada hewan maupun manusia memperlihatkan bahwa alkali hanya menimbulkan efek sesaat (kadar bikarbonat plasma meningkat sesaat). Hal ini tampaknya memiliki korelasi dengan CO2 yang dihasilkan pada pemberian bikarbonat sebagai ekses buffer pada ion hydrogen. CO2 ini secara normal dibuang melalui paru. Namun, pada pasien-pasien kritis seringkali dijumpai penurunan sirkulasi ke pulmonary sehingga PCO2 vena terus meningkat melebihi nilai normal dan CO2 yang diproduksi tidak dapat dieleminasi. Meskipun minute ventilation ditingkatkan (pada pasien dengan ventilator), eliminasi CO2 tidak dapat ditingkatkan. Pada kasus asidosis metabolic hiperkloremik dapat tidak terjadi regenerasi endogen bikarbonat karena yang berlangsung pada keadaan tersebut adalah kehilangan bikarbonat bukan aktivasi system buffer. Oleh karena itu, walaupun asidosis metabolic bersifat reversible, pemberian bikarbonat eksogen hanya diperlukan bila pH < 7,2. Keadaan tersebut dapat terjadi pada diare berat, fistula high-output, atau RTA.
11

Bikarbonat diperlukan pada kasus asidosis metabolic dengan kemampuan melakukan kompensasi yang menurun, misalnya pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dengan keterbatasan melakukan eliminasi CO2. Pada kasus ini, sejumlah kecil bikarbonat diperlukan untuk mencegah terjadinya gagal nafas dan mengurangi kebutuhan intubasi serta penggunaan ventilator mekanik. Indikasi koreksi asidosis metabolik perlu diketahui dengan baik agar koreksi dapat dilakukan dengan tepat tanpa menimbulkan hal-hal yang membahayakan pasien. Langkah koreksi asidosis metabolik : 1. Langkah pertama. Tetapkan berat ringannya gangguan asidosis. Gangguan disebut letal bila pH darah kurang dari 7 atau kadar ion H lebih dari 100nmol/L. Gangguan yang perlu mendapat perhatian bila pH darah 7.1-7.3 atau kadar ion H antara 50-80 nmol/L. 2. Langkah kedua. Tetapkan anion gap atau bila perlu anion-gap urin untuk mengetahui duga anetiologi asidosis metabolik. Dengan bantuan gejala klinis lain dapat dengan mudah ditetapkan etiologinya. 3. Langkah ketiga. Bila dicurigai kemungkinan asidosis laktat, hitung rasio delta aniongap dengan delta HCO3 (delta anion gap : anion gap pada saat pasien diperiksa dikurangi dengan median anion gap normal, delta HCO3 : kadar HCO3 normal dikurangi dengan kadar HCO3 pada saat pasien diperiksa). Bila rasio lebih dari 1 (dalam beberapa litelatur lain disebutkan 1,6), asidosis disebabkan oleh asidosis laktat. Langkah ketiga ini menetapkan sampai sejauh mana koreksi dapat dilakukan. Prosedur koreksi 1. Secara umum koreksi dilakukan hingga tercapai pH 7.2 atau kadar ion HCO3 12 mEq/L 2. Pada keadaan khusus : Pada penurunan fungsi ginjal, koreksi dapat dilakukan secara penuh hingga mencapai kadar ion HCO3 20-22 mEq/L. Pertimbangan dilakukan hal tersebut adalah mencegah hiperkalemia, mengurangi kemungkinan malnutrisi, dan mengurangi percepatan gangguan tulang (osteodistrofiginjal). Pada ketoasidosis diabetic atau asidosis laktat tipe A, koreksi dilakukan bila kadar ion HCO3 dalam darah kurang atau sama dengan 5 mEq/L, terdapat
12

hiperkalemia berat, setelah koreksi insulin pada diabetes mellitus, koreksi oksigen pada asidosis laktat, atau pada diabetes mellitus, koreksi oksigen pada asidosis laktat, atau pada asidosis belum terkendali. Koreksi dilakukan sampai kadar ion HCO3 10 mEq/L Pada asidosis metabolic yang terjadi bersamaan dengan asidosis respiratorik dan tidak menggunakan ventilator, koreksi harus dilakukan secara hati-hati atas pertimbangan depresi pernafasan.

Koreksi dengan pemberian larutan natrium bikarbonat dilakukan setelah kebutuhan bikarbonat diketahui. Yang dimaksud dengan kebutuhan bikarbonat adalah menentukan berapa banyak bikarbonat yang akan diberikan pada satu keadaan untuk mencapai kadar bikarbonat darah yang diinginkan. Untuk hal ini, harus diketahui bicarbonate-space atau ruang bikarbonat pasien pada kadar bikarbonat tertentu. Ruang bikarbonat adalah besarnya kapasitas penyangga total tubuh, termasuk bikarbonat ekstrasel, protein intrasel, dan bikarbonat tulang.3

Working Diagnosis
Hipokalemi et causa diare akut

Pada umumnya, hipokalemia akan menyebabkan ekskresi kalium melalui ginjal menurun hingga kurang dari 25 mEq per hari sedangkan eksresi kalium di dalam darah urin lebih dari 40 mEq/L per hari menandakan adanya pembuangan kalium yang berlebihan melalui ginjal. Ekskresi kalium yang rendah melalui ginjal disertai asidosis metabolik merupakan pertanda adanya pembuangan kalium berlebihan melalui saluran cerna seperti diare akibat infeksi atau penggunaan pencahar. Ekskresi kalium berlebihan melalui saluran ginjal dengan disertai asidosis metabolik merupakan pertanda adanya ketoasidosis diabetic atau renal tubular acidosis (RTA), baik tipe proksimal maupun distal. Eksresi kalium yang rendah di urin disertai alkalosis metabolic merupakan pertanda adanya muntah kronik atau pemberian diuretic jangka lama. Ekskresi kalium yang tinggi di urin disertai alkalosis metabolic dan tekanan darah rendah merupakan pertanda dari Sindrom Bartter. Ekresi kalium tinggi di urin disertai alkalosis metabolik dan tekanan darah tinggi merupakan pertanda adanya hiperaldosteronisme primer.
13

Konsentrasi kalium didalam feses berkisar antara 80 sampai 90 mmol/L. Tetapi dikarenakan kadar air didalam feses rendah, maka hanya sekitar 10 mmol/L potasium yang keluar melalui feses. Pada diare, konsentrasi kalium pada feses meningkat, sehingga kehilangan kalium menjadi lebih banyak.4

Etiologi
Penyebab terjadinya hipokalemia Malnutrisi, atau intake kalium yang kurang Kehilangan kalium pada traktus gastrointestinal o Muntah o Diare o Penggunaan enama atau laksatif Efek dari obat-obatan o Diuretik o Agonist beta-adrenergik o Steroid o Teofilin o Aminoglikosida
14

Pergeseran kalium intraseluler o Insulin o Alkalosis

Kehilangan kalium pada ginjal o Asidosis Tubular Renalis o Hiperaldosteronism o Deplesi magnesium o Leukemia5

Epidemiologi
Hipokalemia dapat ditemukan pada 20% dari pasien rawat inap di rumah sakit. Sebagian besar dari pasien rawat inap ini adalah mereka yang mempunyai kadar potassium berkisar anatara 3.0 sampai 3.5 mmol/liter. Kadar konsentrasi potassium yang rendah dapat ditemukan antara 10 sampai 40% pada pasien yang mengkonsumsi thiazide diuretik. 5

Patofisiologi
Hipokalemia merupakan kejadian yang sering dijumpai di klinik. Penyebab hipokalemik dapat dibagi sebagai berikut : Asupan kalium kurang Pengeluaran kalium berlebihan Kalium masuk kedalam sel

Asupan kalium kurang Kalium yang masuk ke dalam tubuh dalam keadaan fungsi ginjal yang normal, akan di ekskresikan melalui ginjal. Makin tinggi asupan kalium, makin tinggi eksresi melalui ginjal, demikian sebaliknya bila asupan kalium rendah. Asupan kalium normal berkisar antara 40-120 mEq perhari. Dalam keadaan normal ekskresi kalium melalui ginjal dapat minimal sampai 5 mEq per hari untuk mempertahankan kadar kalium normal dalam darah, sejalan dengan rendahnya asupan kalium. Hipokalemia akibat asupan kalium rendah saja, jarang terjadi dalam klinik. Biasanya disertai oleh masalah lain misalnya pada pemberian diuretic atau pemberian diet rendah kalori pada program menurunkan berat badan.

15

Pengeluaran kalium berlebihan Pengeluaran kalium yang berlebihan terjadi melalui saluran cerna, ginjal atau keringat. Pada keadaan muntah atau pemakaian selang naso-gastrik, pengeluaran kalium bukan melalui saluran cerna atas karena kadar kalium dalam cairan gastric hanya sedikit (510 mEq/L), akan tetapi kalium banyak keluar melalui ginjal. Akibat muntah atau pemakaian selan naso-gastrik, terjadi alkalosis metabolic sehingga banyak bikarbonat yang difiltrasi di glomerulus yang akan mengikat kalium di tubulus distal (duktus koligentes) yang juga dibantu dengan adanya hiperaldosteron sekunder dari hipovolemia yang timbul akibat muntah. Kesemuanya ini akan meningkatkan ekskresi kalium melalui urin dan menyebabkan hipokalemia. Pada saluran cerna bawah (diare, pemakaian pencahar), kalium keluar bersama bikarbonat (asidosis metabolic). Kalium dalam saluran cerna bawah jumlahnya lebih banyak (20-50 mEq/L). Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui ginjal dapat terjadi pada pemakaian diuretic, kelebihan hormone mineralokortikoid orimer/hiperaldosteronisme primer 9adenoma kelenjar adrenal), anion yang tidak dapat di reabsorbsi yang berikatan dengan natrium berlebihan dalam tubulus (bikarbonat, beta-hidroksibutirat, hipurat) menyebabkan lumen duktus koligentes bermuatan lebih negative dan menarik kalium masuk dalam lumen lalu dikeluarkan bersama urin, pada hipomagnesemia, poliuria (polidipsia primer, diabetes insipidus) dan salt-wasting nephropathy(sindrom Bartter atau Gitelman, hiperkalsemia). Pengeluaran kalium berlebihan melalui keringat dapat terjadi bila dilakukan latihan berat pada lingkungan yang panas sehingga produksi keringat mencapai 10L. Kalium masuk kedalam sel Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel, pemberian insulin, peningkatan aktifitas beta-adrenergik (pemakaian 2-agonis), paralisis periodic hipokalemik, hipotermia. Hanya sejumlah kecil praksi konsentrasi ion kalium berada pada rongga ekstraseluler. Karenanya, konsentrasi total ion kalium secara akurat. Defisit ion kalium tergantung pada lamanya kontak dengan penyebab (time for equilibration) dan konsentrasi ion kalium serum 1 mEq sebanding dengan defisit 200mEq. Dianjurkan untuk mempertahankan konsentrasi ion kalium serum <4.0 mEq/L.3

16

Manifestasi klinis
Manifestasi klinisnya bervariasi, tergantung dari kadar kalium dalam darah. Pada kadar kalium 3-3,5 mEq/L gejalanya asimptomatik, kadar 2,5-3 mEq/L didapatkan adanya gejala nonspesifik (lemah, lesu, konstipasi), kadar 2-2,5 mEq/L bisa didapatkan adanya nekrosis pada otot dan kadar kalium dibawah 2 mEq/L bisa didapatkan adanya ascending paralysis yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi respirasi.

Pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung yang mendasari, biasanya kelainan konduksi jantung akibat hipokalemia jarang terjadi, walaupun kadar kalium dalam darah <3 mEq/L. Sebaliknya, pada pasien dengan kelainan jantung (iskemia, hipertrofi) keadaan hipokalemia yang ringan sampai sedang sudah dapat menyebabkan terjadinya aritmia.4,5

Tatalaksana
Dalam melakukan koreksi kalium, perlu diperhatikan indikasinya. Indikasi koreksi kalium dapat dibagi dalam : Indikasi mutlak, pemberian kalium mutlak segera diberikan yaitu pada keadaan : 1. Pasien sedang dalam pengobatan digitalis 2. Pasien dengan ketoasidosis diabetic 3. Pasien dengan kelemahan otot pernafasan 4. Pasien dengan hipokalemia berat (K < 2 mEq/L) Indikasi kuat, kalium harus diberikan dalam waktu tidak terlalu lama yaitu pada keadaan : 1. Insufisiensi koroner/iskemia otot jantung 2. Ensefalopati hepatic 3. Pasien menggunakan obat yang dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ekstra ke intrasel Indikasi sedang, pemberian kalium tidak perlu segera seperti pada hipokalemia ringan (K antara 3-3,5 mEq/L) Pemberian kalium lebih disukai melalui oral karena lebih mudah. Pemberian 40-60 mEq dapat meningkatkan kadar kalium sebesar 1-1,5 mEq/L, dan pemberian 135-160 mEq dapat meningkatkan kadar kalium 2,5-3,5 mEq/L.3

17

Pemberian kalium intravena dalam bentuk larutan KCl disarankan melalui vena yang besar dengan kecepatan 10-20 mEq/jam. Pada keadaan aritmia yang berbahaya atau adanya kelumpuhan otot pernafasan, KCl dilarutkan sebanyak 20mEq dalam 100ml NaCl isotonic. Bila melalui vena perifer, KCl maksimal 60 mEq dilarutkan dalam NaCl isotonic 1000 ml karena bila melebihi kadar ini dapat menimbulkan rasa nyeri dan menyebabkan sklerosis vena.

Prognosis
Baik apabila dilakukan kontrol yang adekuat terhadap kadar kalium darah serta mengobati penyakit yang mendasarinya.6

Kesimpulan
Wanita 30 tahun dengan keluhan kelemahan pada kedua tungkai kaki sejak 1 hari yang lalu menderita hipokalemia et causa diare akut.

Daftar Pustaka
1. Welsby. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinik. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC;2008.h.50-2. 2. Kowalak JP, Welsh W, editor. Buku pegangan uji diagnostik. Ed. 3. Jakarta: EGC, 2009.h.83-5. 3. Sudoyo, Aru. W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta 2007: Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. 4. John Gennar,F. Current Conceps Hypokalemia. The New England Journal of Medicine, 339 (7) Agustus 1998., pp. 451-458. 5. Dickerson RN. Guidelines for the Intravenous Management of Hypophosphatemia, Hypomagnesemia, 2001;36:1201-08. 6. Amir S.M. gangguan keseimbangan air-elektrolit dan asam basa. Jakarta: Penerbit buku kedokteran Fakultas kedokteran Universitas Indonesia;2008.h.83-140. Hypokalemia and Hypocalcemia. Hospital pharmacy.

18

Anda mungkin juga menyukai