Anda di halaman 1dari 17

Injeksi Botox Dhilah Harfadhilah, Nelly Herfina Dahlan

I.

Pendahuluan
Proses penuaan kulit mempunyai dua fenomena yang saling berkaitan yaitu

proses penuaan intrinsik (chronologic aging) dan proses penuaan ekstrinsik. Proses penuaan intrinsik merupakan proses penuaan yang berlangsung secara alamiah yang disebabkan berbagai faktor dari dalam tubuh sendiri, seperti genetik, hormonal, dan ras. Proses penuaan ekstrinsik terjadi akibat berbagai factor dari luar tubuh seperti sinar matahari/ultraviolet, kelembaban udara, suhu, asap rokok, dan berbagai faktor eksternal lainnya yang dapat mempercepat proses penuaan kulit sehingga terjadi penuaan dini. Proses ini dapat dicegah dengan menghindari faktor-faktor yang mempercepat proses tersebut (1).

Toksin botulinum merupakan toksin yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum, yang dapat menyebabkan paralisis otot dengan merusak transmisi sinyal antara neuromuscular junction (NMJ). Kontraksi otot wajah secara volunter dan involunter memegang peran penting pada berbagai macam ekspresi emosi individu. Kerut merupakan tanda awal proses penuaan, terdapat 2 macam, yaitu kerut dinamik dan kerut statis. Pada bidang kosmetik, toksin botulinum digunakan sebagai terapi pada kerut dinamik akibat kontraksi otot yang kita gunakan seharihari pada ekspresi wajah. Penggunaan toksin botulinum pada terapi wajah bagian atas dapat dilakukan pada glabellar frown lines, horizontal forehead lines, crows feet dan brow lift. Walaupun bekerja secara sementara, toksin botulinum

mempunyai efek samping minimal dan tehnik pelaksanaannya mudah, sehingga berkembang pesat dan diminati masyarakat (1,2,3).

II.

Definisi Injeksi botox adalah suntikan toksin botulinum ke dalam otot-otot

tertentu untuk melumpuhkannya sehingga tidak membentuk keriput maupun kerutan. Injeksi botox merupakan salah satu terapi terbaik yang menggunakan beberapa bentuk toksin botulinum untuk menyebabkan paralisis sementara pada otot. Toksin ini dihasilkan oleh bakteri yang menyebabkan botulisme (4).

III.

Sejarah Toksin botulinum merupakan bahan yang telah dikenal selama lebih dari

satu abad dan digunakan untuk tujuan medis selama lebih dari 50 tahun. Clostridium botulinum pertama kali diidentifikasikan oleh Emile Pierre Marie van Ermengem, pada tahun 1893. Penggunaan klinis dari toksin botulinum (BTX) dimulai pada sekitar tahun 1950 oleh dr. Vernon Brooks, dan maju pesat pada tahun 1970, dikembangkan oleh dr. Alan Scott, yang menunjukkan nilai terapeutik toksin botulinum tipe A (BTX-A) pada penatalaksanaan strabismus non operatif, blefarospasme, dan distonia servikal (5). Kini penggunaan botox meluas untuk perawatan pada bidang dermatology, kosmetik, kelainan sekretori, ophthalmology, dan ortopedi. Pada tahun 2002, toksin botulinum disetujui untuk memperbaiki dan merelakskan garis kerutan yang terdapat pada daerah glabella dan digunakan dengan sukses pada

lebih dari 11 juta pasien pada saat itu. Pada tahun 2004, botox disetujui pada pengobatan hiperhidrosis, dan pada tahun 2010 disetujui dalam penggunaannya pada migren(6).

IV.

Agen pada botox C. botulinum merupakan bakteria berspora, berbentuk batang, Gram

positif dan bersifat anaerobik. Spora dari C. botulinum tersebar dalam tanah, tumbuh-tumbuhan, isi usus hewan mamalia, unggas dan ikan. Dalam kondisi tertentu, spora dapat bergerminasi menjadi sel vegetatif yang dapat menghasilkan toksin. Hal ini yang menyebabkan C. botulinum dapat tumbuh dan menghasilkan neurotoksin dalam kondisi anaerobic (7). Ada 8 tipe C. botulinum yaitu A, B, C1, C2, D, E, F dan G yang menghasilkan toksin berbeda secara imunologis. Neurotoksin botulinum merupakan protein dengan berat molekul 150 kDa yang mempunyai aktivitas zincendopeptidase (protease/endopeptidase spesifik yang tergantung pada keberadaan ion Zn). Toksin ini dapat diaktivasi oleh pemecahan proteolitik. Molekul toksin disekresikan sebagai toksin awal yang mengandung neurotoksin dan komponen nontoksik lainnya. Komponen nontoksik akan melindungi neurotoksin terhadap stres lingkungan dan membantu proses absorbsi neurotoksin ke dalam tubuh. Molekul neurotoksin botulinum terdiri atas 2 subunit yang dihubungkan oleh ikatan tunggal disulfida. Sub-unit 100 kDa (heavy chain) berperan dalam pengikatan dan translokasi toksin menyeberangi membrane synaptic melalui reseptor spesifik, dan subunit 50 kDa (light chain) berperan

memecah protein yang terlibat dalam acetyl choline vesicle docking serta berfusi ke membran presynaptic. Penghambatan pelepasan neurotransmitter

menyebabkan adanya kelumpuhan otot (7). Berdasarkan karakteristik atau aktivitas metabolik bakterinya, C. botulinum dibagi menjadi 4 kelompok Kelompok I termasuk tipe A dan galur proteolitik tipe B dan F. Kelompok II termasuk tipe E dan galur nonproteolitik tipe B dan F. Kelompok III termasuk galur nonproteolitik tipe C dan D. Kelompok IV adalah tipe G. Secara umum, kelompok proteolitik I dari C. botulinum bekerja dengan enzim endogenous dari bakteri, tetapi neurotoksin yang dihasilkan oleh galur proteolitik kelompok II memerlukan protease eksternal seperti tripsin untuk aktifasinya (7).

V.

Mekanisme Kerja Toksin botulinum dihasilkan oleh Clostridium botulinum, yang

menghasilkan 7 macam neurotoksin, yaitu tipe A, B, C1, D, E, F dan G, yang memiliki antigen yang berbeda , tetapi memiliki struktur subunit yang homolog. Neurotoksin ini menghambat pelepasan Asetil kolin (ACh) pada NMJ pada otot bergaris, sehingga menyebabkan paralisis flasid (1,5,8,9). Secara normal, pada NMJ terdapat vesikel-vesikel berisi neurotransmitter ACh. Saat terjadi potensial aksi melalui saraf dan mencapai ujung saraf, vesikelvesikel tersebut akan menempel pada membran terminal pada NMJ, terjadi fusi dengan membran dan ACh akan dilepaskan ke celah sinaptik serta menempel pada post sinaptik pada otot dan terjadilah kontraksi otot (1).

Yang memungkinkan vesikel ACh menempel dan fusi dengan membran otot adalah synaptic fusion complex, yang dibentuk oleh protein Soluble Nethylmaleimide-sensitive factor attachment protein receptor (SNARE). Kompleks ini terdiri dari SNARE VAMP-2 (vesicle associated membrane protein) atau vSNARE atau synaptobrevin dan 2 target protein (t-SNARE), yaitu synaptosomeassociated protein of 25 kDa (SNAP-25) dan syntaxin, yang memungkinkan terjadinya pelepasan neurotransmiter, yang dipicu oleh influks kalsium. Pembentukan formasi kompleks SNARE merupakan proses yang melepaskan energi yang dibutuhkan untuk fusi membran (1,5,10). Toksin botulinum merusak struktur untuk transmisi sinyal antara NMJ, yaitu pada kompleks SNARE. Apabila kompleks SNARE pada otot bergaris rusak, maka akan terjadi kemodenervasi lokal dan kontraksi otot tidak terjadi, yang secara klinis terjadi paralisis. Paralisis mulai terjadi dalam 48 jam setelah injeksi, dan terjadi paralisis maksimal pada 7-10 hari, yang bersifat lokal dan reversibel. Otot yang paralisis akan kembali berfungsi sekitar 2 hingga 5 bulan setelah injeksi BTX, tergantung pada dosis yang diberikan (1). Sebagian besar penderita berespon saat menerima terapi lanjutan BTX, tetapi beberapa menjadi tidak berespon terhadap terapi lanjutan BTX, karena tubuh membentuk blocking antibody. Mekanisme imunoresisten ini masih belum diketahui. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rantai berat BTX (Hc) mengandung epitop yang dikenali oleh anti- Hc Abs dan oleh Hc primed T lymphocyte. Antibodi tersebut melawan kompleks neurotoksin dengan memblok kerja BTX. Adanya blocking antibody yang dapat dideteksi dengan Mouse

Protection Assay (MPA), menunjukkan bahwa penderita sudah tidak berespon dengan serotipe yang menimbulkan antibodi tersebut, tetapi mungkin masih berespon dengan BTX serotipe lain (5). Reaksi silang juga dapat menimbulkan imunoresisten terhadap serotipe alternatif. Suatu studi mengemukakan faktor-faktor yang meningkatkan kejadian reaksi silang, yaitu injeksi booster yang kurang dari 2 hingga 3 bulan serta dosis kumulatif yang besar dalam periode singkat. Pencegahan imunoresisten dapat dilakukan dengan penggunaan preparat BTX dengan potensi antigenisitas rendah dan menjaga dosis rumatan tiap sesi serendah mungkin dan menggunakan interval dosis sepanjang mungkin (setidaknya 10 minggu)(1).

VI.

Bentuk dan Sediaan BTX secara komersial tersedia dalam beberapa nama. BTX-A dikenal

dengan nama BOTOX (Allergan Inc.), dikemas dalam vial berisi 100 unit dalam bentuk lyophilized, yang mengandung 5 ng neurotoksin dan 0,9 mg natrium chloride, serta 0,5 mg albumin human sebagai stabilisator. Selain itu, BTX-A juga tersedia dengan nama dagang Dysport dan Xeomin (1,5). BTX-B tersedia dalam nama Myobloc TM, tersedia dalam bentuk solusio dengan pH 5,6, dimana tiap vialnya ada yang mengandung 2500 unit, 5000 unit atau 10000 unit. BTX-B lebih stabil, tetapi kurang poten dibandingkan BTX-A dan membutuhkan 50150 kali dosis BTX-A untuk mencapai hasil yang sama .(1,10)

Produk-produk diatas mempunyai dosis penggunaan yang beragam sehingga diperlukan suatu unit standart untuk mengukur potensi preparat toksin botulinum dengan Mouse Protection Assay (MPA). Dimana 1 unit toksin botulinum adalah jumlah toksin yang diinjeksikan intraperitoneal dan mematikan 50% (LD 50%) pada sekelompok mencit (1,10).

VII.

Pengenceran dan penyimpanan botox Sebuah pustaka menyebutkan dilusi Botox yang telah dilakukan berkisar

antara 2,5100 unit/ml. Tetapi kebanyakan Botox digunakan dengan dilusi 25 100 unit/ml. Konsentrasi 5 unit/0,1 ml atau pengenceran dengan 2 ml salin per vial memberikan volume distribusi yang baik dan menyediakan volume yang efisien sehingga injeksi lebih mudah dilakukan (11). Saat mengencerkan Botox, normal salin harus dimasukkan perlahan kedalam vial menggunakan jarum 25 gauge dengan spuit 3 ml. Lalu dicampur perlahan dengan gerakan sirkuler mendatar, dan tidak boleh dikocok. Apabila salin dimasukkan kedalam vial dengan cepat, maka akan terjadi turbulensi, lalu rantai ringan dan rantai berat berdisosiasi dan menyebabkan toksin botulinum tidak aktif. Botox sebaiknya disimpan pada temperatur dibawah 5 C (freezer). Setelah diencerkan, penyimpanan dilakukan di lemari pendingin atau suhu kamar
(11)

. Produsen Dysport merekomendasikan pengenceran Dysport dengan 2,5

ml salin tiap vial atau konsentrasi 20 unit/0,1 ml yang rasionya 4:1 bila dibandingkan ekuivalen volume Botox yang diencerkan dengan 2,0 ml salin.

Semenjak Dysport tersedia dalam 500 unit per vial, pengenceran dilakukan dengan 4 ml salin untuk mencapai dosis ekuivalen dengan Botox yang diencerkan dengan 2,5 ml salin. Pengeceran Dysport dengan 2,5 ml salin digunakan pada kelainan spastik pada kelompok otot yang lebih banyak (1,11). Dysport sebaiknya disimpan pada temperatur 28 C. Setelah dilakukan pengenceran, penyimpanan dilakukan di lemari pendingin atau pada suhu kamar. Botox Vial content Reconstitution Volume Injection Concentration Dose Ratio Tabel 1. Dilusi Botox dan Dysport yang Direkomendasikan untuk Indikasi Fungsional. Dikutip dari kepustakaan 11. Type A 100 Unit 2,0 ml 5 units/ 0,1 ml 1 Type A 500 unit 2,5 ml 20 unit/ 0.1 ml 4 Dysport

VIII. Teknik Pelaksanaan A. Persiapan Sebelum melakukan terapi BTX, perlu dilakukan identifikasi penderita, penjelasan mengenai terapi BTX, penandatanganan informed consent, serta dokumentasi foto sebelum terapi. Setelah itu, dilakukan perencanaan perawatan yang meliputi dokumentasi dosis dan lokasi tiap injeksi. Posisi terbaik untuk melakukan injeksi BTX adalah duduk dengan kemiringan 2530 derajat dari posisi vertical (11).

B. Pelaksanaan Pasien berbaring, kemudian daerah suntikan dibersihkan dengan pembersih nonalkohol, seperti Hibiclens dan betadin. Beberapa dokter akan memberikan anastesi topikal, seperti krim EMLA, atau alternatif lain. BTX diambil dari vial dengan spuit 1ml dengan jarum 25 gauge sesuai dosis ditambahkan 0,05 ml, lalu jarum diganti dengan jarum 30 gauge untuk injeksi. Asisten menyiapkan pak gel dingin sebagai anestesi topikal, digunakan selama 1 2 menit untuk mengurangi rasa nyeri, lalu dibersihkan dari area injeksi dengan kapas alkohol. Spuit dipegang pada tangan dominan, dan kasa pada tangan yang tidak dominan. Setelah itu, botox diinjeksikan pada daerah yang diinginkan. Pola injeksi yaitu pada empat atau lima area pada setiap sisi dahi, dua atau tiga area pada daerah kedua mata. Apabila dalam 1 sesi disuntikkan lebih dari 1 injeksi, sebaiknya antar injeksi diberikan jarak waktu 1015 detik. Apabila terjadi titik perdarahan setelah injeksi, sebaiknya segera diberikan penekanan untuk mengurangi resiko ekimosis (6). C. Setelah pelaksanaan Setelah penyuntikan, pasien pasien didudukkan tegak selama dua sampai lima menit untuk memastikan pasien berada dalam keadaan baik setelah prosedur dilakukan, dan pasien sebaiknya tidak berbaring dalam 2 sampai 4 jam. Apabila khawatir terdapat memar, sebaiknya menghindari aspirin atau produk-produk terkait lain, seperti ibuprofen, naproxen, untuk menjaga memar seminimal mungkin setelah prosedur (6).

Banyak dokter yang mengizinkan pasien bekerja pada hari berikutnya, dengan alternatif untuk tidak menggunakan otot yang diinjeksi selama beberapa hari. Hal ini lebih untuk menghindarkan timbulnya memar (6).

IX.

Indikasi Injeksi Botox Botulinum atau biasanya disebut botox adalah injeksi tanpa operasi yang

bersifat sementara untuk mengurangi kerutan pada dahi, seputar mata, dan kerutan pada bagian leher. Proses botox biasanya berlangsung dalam waktu 20 menit, dan hasilnya akan terlihat dalam 2 sampai 7 hari. Botox disarankan pada pasien yang mempunyai kerutan pada wajah dan leher , punya motivasi untuk mempunyai penampilan lebih baik, memiliki harapan realistis, dan sebaikanya tidak merokok
(1)

Gambar 1. Sebelum dan setelah injeksi botox pada musculus orbicularis pada kelopak mata bawah. Dikutip dari referensi 1. Selain untuk mengurangi kerutandi wajah dan leher, botox memiliki fungsi lain. Indikasi penggunaan botox antara lain (12): A. Disfungsi Bladder 1. Overaktif bladder

10

Injeksi botox diindikasikan pada pengobatan overaktif bladder dengan gejala inkotinensia urin tipe urge, urgensi dan frekuensi,pada orang dewasa yang memiliki respon yang minimal atau tidak toleran pada anti kolinergik. 2. Overaktif detrussor terkait dengan kondisi neurologis Botox diindikasikan untuk pengobatan inkotinensia karena overaktivitas detrussor terkait dengan kondisi neurologis pada orang dewasa yang memiliki respon inadekuat atau tidak toleran terhadap oabat-obat antikolinergik.

Gambar 2. Lokasi injeksi untuk pengobatan overaktif bladder dan averaktif detrussor terkait dengan kondisi neurologis. Dikutip dari kepustakaan 12

B. Migrain kronik Botox diindikasikan sebagai profilaksis nyeri kepalapada orang dewasa migraine kronik ( 15 hari per bulan dengan nyeri kepala yang berlangsung 4 jam atau lebih dalam sehari.

11

Gambar 3. Lokasi injeksi untuk pengobatan migrain kronik. Dikutip dari kepustakaan 12

C. Spasme ekstremitas atas Botox diindikasikan untuk pengobatan spasme ekstremitas atas pada orang dewasa untuk mengurangi peningkatan berat tonus otot pada flexor elbow, pergelangan tangan (flexor carpi radialis dan flexor carpi ulnaris), dan flexorflexor jari (flexor digitorum profundus dan flexor digitorum sublimis). Penting untuk diketahui, bahwa belum ada percobaan pasti mengenai keamanan injeksi botox pada otot-otot ekstremitas atas lainnya, ataupun spastisitas ekstremitas bawah. Selain itu, keamanan dan keefektivan botox pada anak usia di bawah 18 tahun belum ditetapkan. D. Distonia servikal Botox diindikasikan untuk pengobatan distonia servikal pada orang dewasa, untuk mengurangi beratnya abnormalitas posisi kepala dan leher yang dapat menyebabkan nyeri.

12

E. Hiperhidrosis Axilla Primer Botox diindikasikan pada pengobatan hiperhidrosis axilla primer yang berat yang tidak berespon dengan pengobatan topical. Namun, keamanan dan keefektivan botox untuk hiperhidrosis pada daerah lain belum dapat dipastikan. F. Blefarospasme dan Strabismus Botox diindikasikan sebagai treatment pada strabismus dan

blefarospasme yang berhubungan dengan distonia, yaitu pada blefarospasme essensial atau disfungsi N.VII pada pasien dengan usia 12 tahun atau lebih.

X.

Kontraindikasi injeksi Botox Terdapat beberapa kontraindikasi penggunaan injeksi botox, antara

lain(12): 1. 2. 3. Hipersensitivitas terhadap toksin botulinum Infeksi pada lokasi injeksi Infeksi traktus urinarius atau retensi urin

Selain itu, kontraindikasi injeksi botox lebih jelas dapat dilihat pada table berikut : Kontraindikasi absolut Hipersensitivitas Infeksi pada lokasi injeksi Relative contraindication Kelainan neuromuscular Penggunaan aminoglycosides, cholinesterase inhibitor, sumlinylcholine, curare-like depolarizing blockers, magnesium sulphates, calcium channel blocker, lincosamides, polymyxins

13

Hamil Laktasi Inflamasi kulit Usia > 65

Tabel 2. Kontraindikasi penggunaan Botox. Dikutip dari kepustakaan 11.

XI.

Komplikasi Injeksi Botox (13) Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik yang lengkap,

kemungkinan resiko dan komplikasi harus diberitahukan kepada pasien dan tertuang dalam inform consent. Nyeri pada lokasi suntikan, udem, ekimosis dapat terjadi pada sebagian besar pasien, walaupun keadaan ini terjadi tergantung pada teknik dokter yang melakukan. Nyeri kepala, malaise, flu like syndrome juga terjadi pada sebagian besar pasien setelah suntikan botox. Selain itu, kejadian memar juga dilaporkan sebagai komplikasi lain dari suntikan botox, terlebih pada pasien yang menggunakan aspirin, obat antikoagulan (seperti warfarin), antiinflamasi, obat-obat herbal seperti ginseng, gingko biloba, bawang dosis tinggi, dsb. Dapat juga terjadi hypestesia pada daerah suntikan, namun tidak mengindikasikan adanya kerusakan saraf. Infeksi juga merupakan komplikasi lain, namun insidennya tidak begitu besar. Terdapat komplikasi lain berupa: a. Komplikasi periorbital Ptosis

14

Gambar 4. Ptosis kelopak mata berupa efek dari ekstravasasi toxin botulinum pada musculus levator palpebra superior. Dikutip dari kepustakaan 13 b. Ectropion Strabismus

Komplikasi perioral Kelemahan bibir bawah Sulit menelan Hilangnya suara

15

XII.

Daftar Pustaka

1. Rohrer TE, Beer K. Backround to Botolinum Toxin. In: Carruthers A., Carruthers J., editors. Botulinum Toxin. USA: Elsevier Inc.; 2005. p. 918. 2. Triana Z. Botulinum Toxin. Available at:

http/www.emedicine.com/derm/surgical. Accessed on February 23, 2008. 3. Klein AW. Complications with the Use of Botulinum Toxin. Dermatol Cli 2004; 22: 197205. 4. Mayo Clinic. Definition botox injection. [serial of internet] 2009 [cited 2013 November 04]. Available from: http://Defenition/Botox injections -

MayoClinic.com.htm. 5. Jankovic J. Botulinum Toxin in Clinical Practice. Journal of Neurosurgery and Psychiatry. 2004; 75: 95157. 6. Schlessinger, J. Botox injection. [serial of internet] 2006 [cited 2013 November 4]. Available from: http://Botox Causes, Symptoms, Treatment After the Procedure - eMedicineHealth.htm. 7. Natalia, L. Priadi, A. Botulismus: pathogenesis, diagnosis dan pencegahan. WARTAZOA Vol. 22 No. 3 Th. 2012. p. 128-9. 8. Klein AW. Botulinum Toxin: Beyond Cosmesis. Arch Dermatol; April 2000; 136: 48790. 9. Khawaja HA, Perez EH. Botox in Dermatology. International Journal of Dermatology. 2001; 40: 31117.

16

10. Lipham W.J. What Is Botulinum Toxin and How Does It Work. I: Lipham WJ. Cosmetic and Clinical Application of Botulinum Toxin. Danvers: Slack; 2004: 510. 11. Lipham W.J. Commercially Available Products, Basic Equipment and Supllies, Reconstitution and Dilution Recommendations and Clinical Implementation. In: Lipham WJ. Cosmetic and Clinical Applications of Botulinum Toxin. Danvers: Slack; 2004: 2336. 12. Irvine. BOTOX (onabotulinumtoxinA) for injection, for intramuscular, intradetrusor, or intradermal use. Allergan Pharmaceuticals Ireland a subsidiary of: Allergan, Inc. 2525 Dupont 2013. 13. Vartain, A.J. Hayan, S.H. Complication of botulinum toxin A use in facial rejuvenation. Facial Plast Surg Clin N Am 13 (2005) 1 10.

17

Anda mungkin juga menyukai