Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini pneumonia masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada
anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas anak balita. Menurut Survei Kesehatan nasional (SKN)
2001,27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan
oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia.1
Pada usia anak-anak menurut UNICEF (2006), pneumonia merupakan
penyebab kematian terbesar terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Angka kematian pneumonia pada balita diperkirakan mencapai 21%. Adapun
angka kesakitan mencapai 250 hingga 299 per 1000 anak balita setiap tahunnya.
Fakta yang sangat mencengangkan. Karenanya, kita patut mewaspadai setiap
keluhan panas, batuk, sesak pada anak dengan memeriksakannya secara dini.2
Pneumonia biasanya disebabkan oleh virus atau bakteri. Sebagian besar
episode yang serius disebabkan oleh bakteri. Biasanya sulit untuk menentukan
penyebab spesifik melalui gambaran klinis atau gambaran foto thorax. Dalam
penanggulangan penyakit ISPA, pneumonia dikalsifikasikan sebagai pneumonia
sangat berat, pneumonia berat, peneumonia dan bukan pneumonia, berdasarkan
ada tidaknya tanda bahay, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam dan
frekuensi napas, dan dengan pengobatan yang spesifik untuk masing-masing
derajat penyakit.3

1.2 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah

1.Pembaca dapat memahami definisi, penyebab, gejala klinis, cara


mendiagnosa, penatalaksanaan dan prognosis dari bronkopneumonia
dengan dehidrasi ringan pada anak .
2.Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah kedokteran.
3.Memenuhi tugas laporan kasus pada SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD dr.
Moh. Saleh Probolinggo.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bronkopneumonia
2.1.1 Definisi Bronkopneumonia
Pneumonia merupakan infeksi

yang

mengenai

parenkim

paru.

Bronkopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang


disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. Bronkopneumonia
didefinisikan sebagai peradangan akut dari parenkim paru pada bagian distal

bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris,


sakus alveolaris, dan alveoli.1
2.1.2 Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan
hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak
balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika
dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% angka
kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit
system respiratori, terutama pneumonia 2.
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak
di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di
Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada
anak di bawah umur 2 tahun Insiden pneumonia pada anak 5 tahun di negara
maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang 10-20
kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian
pertahun pada anak balita di negara berkembang 5.

2.1.3 Etiologi
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi
pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp,
atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S.
aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut,
sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae 2.
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang
mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human
metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens

global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia
dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang perlu rawat-inap. Diperkirakan
tahun 2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita karena pneumonia RSV,
99% di antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas mempertegas
kembali peran RSV sebagai etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia
anak-balita baik sebagai penyebab tunggal maupun bersama dengan infeksi lain.2
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber
dari data di Negara maju dapat dilihat di tabel.

Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di


negara maju.8

Usia
Lahir - 20 hari

Etiologi yang sering


Bakteri
E.colli
Streptococcus grup B
Listeria monocytogenes

3 miggu 3 bulan

Bakteri
Clamydia trachomatis
Streptococcus pneumoniae
Virus
Adenovirus
Influenza
Parainfluenza 1,2,3
Bakteri
Clamydia pneumonia
Mycoplasma pneumoniae
Streptococcus pneumoniae
Virus
Adenovirus
Rinovirus
Influenza
Parainfluenza
Bakteri
Clamydia pneumonia
Mycoplasma pneumoniae
Streptococcus pneumoniae

4 bulan 5 tahun

tahun remaja

Etiologi yang jarang


Bakteri
Bakteri anaerob
Streptococcus grup D
Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonie
Virus
CMV
HMV
Bakteri
Bordetella pertusis
Haemophillus influenza tipe B
Moraxella catharalis
Staphylococcus aureus
Virus
CMV
Bakteri
Haemophillus influenza tipe B
Moraxella catharalis
Staphylococcus aureus
Neisseria meningitides
Virus
Varisela Zoster

Bakteri
Haemophillus influenza
Legionella sp
Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus
Varisela zoster
Influenza / Parainfluenza

Tabel 2 Etiologi Pneumonia dilihat dari penyakit penyerta.3


Gejala / penyakit penyerta

Kemungkinan etiologi

Abses kulit / ekstra pulmoner

S. aureus, S. group A

Otitis media, sinusitis,

S. pneumoniae, H. influenzae

meningitis

H. influenzae

Epiglotitis, perkarditis

Faktor non-infeksi 3
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
Bronkopneumonia hidrokarbon :

Terjadi oleh karena aspirasi selama menelan muntah atau sonde


lambung. zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah, dan bensin.
Bronkopneumoni lipoid :
Terjadi akibat pemasuksn obat yang mengandung minyak secara
intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu
mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan
posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak
ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung
pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang
mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya
seperti susu dan minyak ikan.
2.1.4 Klasifikasi3
Pneumonia dapat diklasifikasikan berdasarkan :
1. Asal infeksi
a.Community-acquired pneumonia (CAP)
infeksi parenkim paru yang didapatkan individu yang tidak sedang
dalam perawatan di rumah sakit paling sedikit 14 hari sebelum
timbulnya gejala.
b.Hospital-acquired pneumonia (HAP)
infeksi parenkim paru yang didapatkan selama perawatan di
rumah sakit yang terjadi setelah 48 jam perawatan (Depkes : 72
jam) atau karena perawatan di rumah sakit sebelumnya, dan bukan
dalam stadium inkubasi.
2. Lokasi lesi di paru
a. Bronkopneumonia
b. Pneumonia lobaris
c. Pneumonia interstitialis
3. Etiologi
- Infeksi
Berdasarkan mikroorganisme penyebab :

a.
b.
c.
d.

Pneumonia bakteri
Pneumonia virus
Pneumonia jamur
Pneumonia mikoplasma
Non infeksi
Aspirasi makanan / asam lambung / benda asing/hidrokarbon /

substansi lipoid, reaksi hipersensitivitas, drug- dan radiationinduced pneumonitis.


4. Karakteristik penyakit
- Pneumonia Tipikal
- Pneumonia Atipikal (mis. Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia
pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis)
5. Derajat keparahan penyakit
Untuk mengklasifikasikan beratnya pneumonia perlu diperhatikan
adanya tanda bahaya (danger signs), yaitu : takipnea dan tarikan
dinding dada bagian bawah ke arah dalam (retraksi epigastrik).
Berdasarkan kedua tanda ini, maka klasifikasi beratnya pneumonia
pada anak bawah lima tahun (balita) ditentukan berdasarkan usia,
sebagai berikut :
Tabel 3. klasifikasi beratnya pneumonia pada anak bawah lima tahun
(balita) ditentukan berdasarkan usia. 3
Klasifikasi
Pneumonia sangat
berat

Pneumonia berat

Anak usia < 2 bulan


Hipo/hipernatremi
Kesadaran turun
Kurang mau minum
Kejang
Wheezing
Stridor

Anak usia 2 bulan 5 tahun


Kesadaran turun
Tidak mau minum
Kejang
Stridor
Sianosis sentral
Gizi buruk

Tarikan dinding dada dalam

Tarikan dinding dada dalam


Dapat minum
Sianosis (-)

yang tampak jelas


Takipnea

Takipnue
Tarikan dinding dada dalam (-)

Pneumonia

Bukan pneumonia

Tarikan dinding dada dalam (-), takipnea (-)

2.1.5Patogenesis1,4
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara
daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat
timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas
dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain :
1. Inhalasi langsung dari udara
2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
4. Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk
mencegah infeksi yang terdiri dari :
1. Susunan anatomis rongga hidung.
2. Jaringan limfoid di nasofaring.
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius
dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
4. Refleks batuk.
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang
terinfeksi.
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
8. Sekresi enzim enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang
bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat
melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada
dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba
di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat
stadium, yaitu :
a. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator

peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan
jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel
darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi
padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti
hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan
fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 11 hari)

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan
diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya
semula.

Gambar 1 Patofisiologi4
2.1.6 Patofisiologi :

10

Gambar 2 Algoritma Patofisiologi bronkhopneomonia4


2.1.7Gejala klinis2
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan
hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang
berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga
memerlukan perawatan dirumah sakit. Beberapa faktor yang mempengaruhi
gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan
imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadangkadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur
diagnostic invasive, etiologi noninfeksi yang relative lebih sering, dan faktor
patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting
yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu
dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.

11

Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat
ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
-

Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah, malaise,


penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti : mual,
muntah atau diare ; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.

Gejala gangguan respiratori, yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dada,


takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

2.1.8Pemeriksaan fisik2
Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkopneumoni ditemukan hal-hal
-

sebagai berikut :
Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan

pernapasan cuping hidung.


Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan
infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan
berkurang. Pada perkusi tidak terdapat kelainan dan pada auskultasi
ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada
tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang
mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang
atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar
(tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh
gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas
kecil yang tiba-tiba terbuka.
Tabel 4 Berdasarkan lokasi lesi di paru2
bronkopneumoni

Interstitial

12

Pneumonia lobaris

Lobularis

Interstitial

Segmental/lobus

Ronki

Pendataran

Konsolidasi

diafragma dan

Ronki (+) saat

selalu
terdengar
-

hiperinflasi
-

Dullness
(-)

Ronki ,
wheezing +

kongestif dan

Dullness (-)

resolusi
-

Dullness (+) di
lobus yang terkena

2.1.9Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral
dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak
melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit
meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada
hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED.
Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium
lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari
paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin
dilakukan1,6.
Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan,
hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan
foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan
gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk
menunjang diagnosis pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch
dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks
tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan diagnosis.

13

Gambar 3 Ro. infiltrat alveoler di lobus kanan bawah ec. S pneumoniae6


Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
-

Infiltrat

interstisial,

ditandai

dengan

peningkatan

corakan

bronkovaskular, peribronchial cuffing dan hiperaerasi


-

Infiltrat

alveolar,

merupakan

konsolidasi

paru

dengan

air

bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan


pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya
cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan
menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round pneumonia
-

Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua


paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.1,6

Gambaran

foto

rontgen

toraks

dapat

membantu

mengarahkan

kecenderungan etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata


dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar
berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia dan air
bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri 2.
C-Reactive Protein (CRP)

14

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan


antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi
bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada
infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri
profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi respons terhadap terapi
antibiotik 2.
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit.
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap
tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau
aspirasi paru2,5.
2.1.10 Diagnosis6,7
Dari anamnesa didapatkan gejala non respiratorik dan gejala respiratorik.
Dasar diagnosis tergantung umur, beratnya penyakit dan jenis organisme
penyebab. Pada bayi/anak kecil (balita) pemeriksaan auskultasi sering tidak jelas,
maka nafas cepat dan retraksi/tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
dipakai sebagai parameter. Kriteria nafas cepat, yaitu :
Umur < 2 bulan : 60x/menit
2 bulan -< 12 bulan : 50x/menit
12 bulan -5 tahun : 40x/menit
5 tahun : 30x/menit
Tabel 5. Klasifikasi Pneumonia6
Klasifikasi

Nafas cepat

Retraksi

< 2 bl Pneumonia berat

Bukan Pneumonia

2 bl-5 th Pneumonia

berat

15

Pneumonia

Bukan Pneumonia

Dapat juga dipakai kriteria paling sedikit 3 dari 5 gejala/tanda berikut :


-

Sesak nafas disertai pernafasan cuping hidung dan tarikan


dinding dada

Panas badan

Ronki basah sedang nyaring pada bronkopneumonia atau suara


pernafasan bronkial (pada daerah yang dengan perkusi bernada
pekak) pada pneumonia lobaris

Foto toraks menunjukkan adanya infiltrat berupa bercak-bercak


(bronko) difus merata (lober) pada satu atau beberapa lobus

Leukositosis Pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3


dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3
neutrofil dominan.
Kadar leukosit berdasarkan umur:
o Anak umur 1 bulan

: 5000 - 19500

o Anak umur 1-3 tahun

: 6000 - 17500

o Anak umur 4-7 tahun

: 5500 - 15500

o Anak umur 8-13 tahun

: 4500 - 13500

Pedoman diagnose dan tatalaksana yang lebih sederhana menurut WHO.


Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumoni dibedakan berdasarkan :
- Bronkopneumonia sangat berat :
Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum, maka
anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
- Bronkopneumonia berat :
Bila di jumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup
minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan d beri
antibiotic.
2.1.11 Diagnosis banding1

16

Tabel 6. Diagnosis banding anak yang datang dengan keluhan batuk dan
atau kesulitan bernafas1
Diagnosis
Bronkiolitis

Tuberculosis (TB)

Gejala klinis yang ditemukan


episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun
hiperinflasi dinding dada
ekspirasi memanjang
gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai kurang atau tidak ada

respon dengan bronkodilator


riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
uji tuberculin positif (10 mm, pada keadaan imunosupresi 5 mm)
pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
demam ( 2 minggu) tanpa sebaba yang jelas
batuk kronis ( 3 minggu)
pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik.

Asma

Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul, lutut, falang.


riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan dengan batuk

dan pilek
hiperinflasi dinding dada
ekspirasi memanjang
berespon baik terhadap bronkodilator

2.1.12 Penatalaksanaan1
-

Sebelum memberikan obat ditentukan dahulu : Berat ringannya


penyakit, riwayat pengobatan sebelumnya dan respons terhadap
pengobatan tersebut, adanya penyakit yang mendasarinya

Antibiotik awal (dalam 24-72 jam pertama) :


a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
- ampicillin + aminoglikosid (gentamisin)
- amoksisillin-asam klavulanat
- amoksisillin + aminoglikosid
- sefalosporin generasi ke-3
b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

beta laktam amoksisillin

amoksisillin-amoksisillin klavulanat

golongan sefalosporin

kotrimoksazol

17

makrolid (eritromisin)

c. Anak usia sekolah (> 5 thn)

amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)


Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial
and error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang
ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit
bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata
dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat
sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu
diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses
paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif)

-Penderita imunodefisiensi atau ditemukan penyakit lain yang mendasari


ampisilin

aminoglikosida

(gentamisin),

Hipersensitif

dengan

penisilin/ampisilin : Eritromisin, sefalosporin (5-16% ada reaksi silang)


atau linkomisin/klindamisin
-Antibiotik selanjutnya ditentukan atas dasar pemantauan ketat terhadap
respons klinis dalam 24-72 jam pengobatan antibiotik awal Kalau penyakit
menunjukkan perbaikan antibiotik diteruskan sampai dengan 3 hari
klinis baik (Pneumokokus biasanya cukup 5-7 hari, bayi < 2 bl biasanya
10-14 hari) Kalau penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan
perbaikan yang nyata dalam 72 jam antibiotik awal dihentikan dan
diganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat (sebelumnya perlu
diyakinkan dulu tidak adanya penyulit seperti empiema, abses, dll, yang
menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).

Antibiotik pengganti bergantung pada kuman penyebab

Pneumokokus : 3-16% sudah resisten dengan penisilin Diganti dengan


sefuroksim, sefotaksim, linkomisin atau vankomisin

18

H. influenzae : Diganti dengan sefuroksim, sefazolin, sefotaksim,


eritromisin, linkomisin atau klindamisin

S. aureus : Diganti dengan kloksasilin, dikloksasilin, flukloksasilin,


sefazolin, klindamisin atau linkomisin

Batang Gram (-) : Aminoglikosida (gentamisin, amikasin, dll)

Mikoplasma : Eritomisin, tetrasiklin (untuk anak > 8 th)

-Simtomatik (untuk panas badan dan batuk) Sebaiknya tidak diberikan


terutama pada 72 jam pertama, karena dapat mengacaukan interpretasi
reaksi terhadap antibiotik awal
-Suportif O2 lembab 40% melalui kateter hidung diberikan sampai sesak nafas
hilang (analisis gas sampai dengan PaO2 60 Torr)
-Cairan, nutrisi dan kalori yang memadai : Melalui oral, intragastrik, atau
infus. Jenis cairan infus disesuaikan dengan keseimbangan elektrolit. Bila
elektrolit normal berikan larutan 1:4 (1 bagian NaCl fisiologis + 3 bagian
dekstrosa 5%), Asidosis (pH < 7,30) diatasi dengan bikarbonat i.v. Dosis
awal : 0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (kg) mEq, Dosis selanjutnya
tergantung hasil pemeriksaan pH dan kelebihan basa (base excess ) 4-6
jam setelah dosis awal. Apabila pH dan kelebihan basa tidak dapat
diperiksa, berikan bikarbonat i.v. = 0,5 x 2-3 mEq x BB (kg) sebagai dosis
awal, dosis selanjutnya tergantung gambaran klinis 6 jam setelah dosis
awal
- Fisioterapi
Tabel 7. Dosis Harian Antibiotik untuk Pneumonia1
OBAT

CARA

DOSIS

FREK. (jam)

PEMBERIAN
i.v., i.m.

100-200

4-6

Ampisilin

p.o.

40-160

(+), Gram (-) ; Bakteri anaerob

Amoksisilin

p.o.

25-100

Fibrosis kistik (kombinasi dengan

i.v., i.m.
i.v.

300-600
300-600

4-6
4

50-150

12

200
300

4-8
4

Gol. PENISILIN

Tikarsilin
Azlosilin
Neonatus <7 hr
Neonatus >7 hr
Mezlosilin

i.v.

19

INDIKASI
Pneumonia berat disebabkan Gram

aminoglikosida)
Sama dengan tikarsilin

Sama dengan tikarsilin

Neonatus >2.000 g

75

6-12

Neonatus <2.000 g
Piperasilin
Oksasilin

i.v.
i.v.

75
300
150

8-12
4
4-6

Kloksasilin
Dikloksasilin

i.v.
i.v.

50-100
25-80

4-6
4-6

GOL. SEFALOSPORIN
Sefalotin

i.v.

75-150

Sefuroksim
Sefotaksim

i.v.
i.v.

100-150
50-200

6-8
6

i.v., i.m.
i.v.

50-100
100-150

12-24
8

i.v., i.m.
i.v., i.m.
i.v., i.m.

5
8-10
15-20

8
8
6-8

Netilmisin

i.v.

4-6

12

gentamisin dan tobramisin


Gram (-) yang resisten terhadap

GOL. MAKROLID

p.o.

30-50

gentamisin
M. pneumoniae, B. pertussis, C.

i.v. (infus lambat)


p.o.

40-70
5-8

6
12

i.v.

15-40

Legionella pneumophila
S. aureus, Streptokokus,

p.o.

10-30

Pneumokokus yang alergi penisilin

Seftriakson
Seftazidim
GOL. AMINOGLIKOSIDA
Gentamisin
Tobramisin
Amikasin

Eritromisin
Roksitromisin
KLINDAMISIN

Sama dengan tikarsilin


Pneumonia, abses paru, empiema,
trakeitis yang disebabkan oleh S.
aureus
Pneumonia oleh S. aureus
(bila alergi penisilin)
Terapi awal infeksi oleh
patogen Gram (-) :
K. pneumoniae, E. coli
Diduga Pseudomonas aeruginosa
Terapi inisial untuk Pneumonia dan
abses paru karena bakteri Gram (-)
Patogen Gram (-) resisten dengan

diphtheriae, C. trachomatis,

dan efalosporin Abses paru karena


bakteri anaerob
KLORAMFENIKOL

i.v.

75-100

Indikasi rawat
Kriteria rawat inap, yaitu :
Pada bayi
saturasi oksigen 92 %, sianosis
frekuensi napas > 60 x/menit
distress pernapasan, apneu intermitten, atau grunting
tidak mau minum / menetek
keluarga tidak bisa merawat dirumah
Pada anak

20

Epiglotitis, abses paru, pneumonia

saturasi oksigen 92 %, sianosis


frekuensi napas 50 x/menit
distress pernapasan
grunting
terdapat tanda dehidrasi
keluarga tidak bisa merawat dirumah

Kriteria pulang:

Gejala dan tanda pneumonia menghilang

Asupan peroral adekuat

Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)

Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana


kontrol dan kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan
dirumah.

2.1.13 Komplikasi1
Komplikasi dari bronchopneumonia adalah :

Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau


kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk

hilang.
Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam

rongga pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.


Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang

meradang.
Infeksi sitemik
- Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
- Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.

21

2.14 Prognosis6
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi
didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang
terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi
berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan
hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan
pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja
sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif
yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi
apabila berdiri sendiri.
2.15 Pencegahan 5
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak
dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya
tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup
sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan ,beristirahat yang
cukup, rajin berolahraga dll. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat
mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain.
Vaksinasi pneumokokus
Dapat diberikan pada umur 2,4,6, 12-15 bulan. Pada umur 17-12 bulan
diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan ; pada usia > 1 tahun di
berikan 1 kali, namun keduanya perlu dosis ulangan 1 kali pada usia
12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur
di atas 2 tahun PCV diberikan cukup 1 kali.
Vaksinasi H.Influenzae
Diberikan pada usia 2, 4, 6, dan 15-18 bulan
Vaksinasi varisela

22

Yang di anjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah dapat
diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur sebelum masuk
sekolah dasar. Bila diberikan pada umur > 12 tahun, perlu 2 dosis
dengan interval minimal 4 minggu
Vaksinasi influenza
Diberiikan pada umur > 6 bulan setiap tahun. Untuk imunisasi primer
anak 6 bulan - < 9 tahun di berikan 2 kali dengan interval minimal 4
minggu.

2.2 Dehidrasi
2.2.1 Definisi dehidrasi7
Dehidrasi adalah gangguan dalam keseimbangan cairan atau air pada
tubuh. Hal ini terjadi karena pengeluaran air lebih banyak daripada pemasukan
(misalnya minum). Gangguan kehilangan cairan tubuh ini disertai dengan
gangguan keseimbangan zat elektrolit tubuh.
Dehidrasi terbagi dalam tiga jenis berdasarkan penurunan berat badan, yaitu:
Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5% BB): gambaran klinisnya turgor
kurang, suara serak (vox cholerica), pasien belum jatuh dalam presyok.
Dehidrasi sedang (hilang cairan 5-8%): turgor buruk, suara serak, pasien
jatuh dalam presyok atau syok, nadi cepat, napas cepat dan dalam.
Dehidrasi berat (hilang cairan 8-10% BB): tanda dehidrasi sedang ditambah
kesadaran menurun (apatis sampai koma), otot-otot kaku, sianosis.
Tabel 8. Tanda dari kehilangan cairan dilihat dari presentasi berat badan7:
Tanda

5%

10 %

23

15 %

Membran mukosa
Sensorium
Perubahan ortostatik

Kering
Normal
Normal

Sangat kering
Lemas
Ada

Nadi

Terpanggang
Sangat lemas
> 15 bpm meningkat

Tekanan darah
Rata-rata aliran urin
Rata-rata nadi

Penurunan ringan
Normal / meningkat

Penurunan
Meningkat >100 bpm

> 10 mmHg turun


Penurunan nyata
Peningkatan nyata >120

Tekanan darah

Normal

Peningkatan ringan dengan

bpm
Penurunan

variasi pernapasan

Bpm (beats per minute)


Dehidrasi menurut Godberger E (1980)
Cara 1
Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka
kehilangan air diperkirakan 2% dari berat badan pada waktu itu. Misalnya
berat badan 50 kg maka defisit air sekitar 1 liter atau 1000 ml.
Jika seseorang berpergian 3-4 hari tanpa air dan ada rasa haus, mulut kering,
oligouria, maka defisit air diperkirakan sekitar 6% atau 3000 ml pada
orang dengan berat badan 50 kg.
Bila ada tanda-tanda diatas ditambah dengan kelemahan fisis yang nyata,
perubahan mental seperti bingung atau delirium maka defisit air sekitar 714% atau sekitar 3,5-7 liter pada orang dengan berat badan 50 kg.
Cara 2
Jika pasien dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4 kg pada fase
akut sama dengan defisit air 4 liter.
Cara 3
Dengan kenyataan bahwa konsentrasi natrium dalam plasma berbanding terbalik
dengan volume air ekstraseluler dengan pengertian bahwa kehilangan air tidak
disertai dengan perubahan konsentrasi natrium dalam plasma, maka dapat
dihitung dengan rumus:

Na2 x BW2 = Na1 x


BW1
24

Di mana:
Na1: kadar natrium plasma normal, 142 meq/L
BW1: volume air badan yang normal, biasanya 60% dari berat badan pria dan
50% dari berat badan wanita
Na2: kadar natrium plasma sekarang 8w2: volume air berat badan sekarang.
Contoh: seorang pria dengan berat badan 80 kg dan kadar natrium plasma
sekarang 162 meq/L Na2 x 8w2
162 x (x)
(x)

= Na1 x 8w1

= 142 x 42

= 37 L

Jadi defisit air 42 37 = 5 L.


Tabel 9. Dehidrasi menurut Daldiyono7:
Muntah

Suara serak

Kesadaran apatis

Kesadaran somnolen, sopor sampai koma

Tensi sistolik kurang atau sama dengan 90 mmHg

Nadi lebih atau sama dengan 120x/menit

Napas kussmaul (lebih dari 30x/menit)

Turgor kulit kurang

Facies cholerica

Ekstremitas dingin

Jari tangan keriput

Sianosis

Umur 50 tahun atau lebih

-1 (negative)

25

Umur 60 tahun atau lebih

-2 (negative)

Daldiyono (1973) mengemukakan salah satu cara menghitung kebutuhan


cairan untuk rehidrasi inisial pada gastroenteritis akut / diare koliform berdasarkan
sistem score (nilai) gejala klinis dapat dilihat pada tabel. Semua skor ditulis lalu
dijumlah. Jumlah cairan yang akan diberikan dalam 2 jam, dapat di hitung:
Skor

x 10% BB (kg) x

1liter

Rehidrasi menurut Morgan-Watten

Dengan mengukur berat jenis plasma:


Berat jenis plasma 1,025 x 40 x 4
ml = 800 ml

Contoh:
Seorang pria dengan berat badan 40 kg dan berat jenis plasma pada waktu itu
1,030, maka kebutuhan cairan untuk rehidrasi inisial:
1,030 1,025 x 40 x 4 ml = 800 ml
0,001
Derajat dehidrasi berdasarkan berat jenis plasma
Pada dehidrasi berat jenis plasma meningkat:
a.dehidrasi berat: BJ plasma 1,032 1,040
b.dehidrasi sedang: BJ plasma 1,028 -1,032
c.dehidrasi ringan: BJ plasma 1,025 1,028
Derajat dehidrasi berdasarkan pengukuran central venous pressure (CVP)
Bila CVP = 4-11 cmH2O: normal

26

Syok atau dehidrasi maka CVP < 4cmH2O

2.2.2

Dehidrasi WHO3

Dehidrasi Ringan
Tidak ada keluhan atau gejala yang mencolok. Tandanya anak terlihat agak
lesu, haus, dan agak rewel.
2.Sedang Sedang
Tandanya ditemukan 2 gejala atau lebih gejala berikut:
-

Gelisah, cengeng

Kehausan

Mata cekung
-

Kulit keriput, misalnya kita cubit kulit dinding perut, kulit tidak segera
kembali ke posisi semula.

3.Dehidrasi berat
Tandanya ditemukan 2 atau lebih gejala berikut:
-

Berak cair terus-menerus

Muntah terus-menerus

Kesadaran menurun, lemas luar biasa dan terus mengantuk

Tidak bisa minum, tidak mau makan

27

Mata cekung, bibir kering dan biru

Cubitan kulit baru kembali setelah lebih dari 2 detik


-Tidak kencing 6 jam atau lebih / frekuensi buang air kecil berkurang /kurang
dari 6 popok / hari.

Kadang-kadang dengan kejang dan panas tinggi


Tubuh manusia sebagian besar terbentuk dari cairan, dengan presentase
hampir 75% dari total berat badan. Cairan ini terdistribusi sedemikian rupa
sehingga mengisi hampir di setiap rongga yang ada pada tubuh manusia.
Dehidrasi terjadi jika cairan yang dikeluarkan oleh tubuh melebihi cairan yang
masuk.
Namun karena mekanisme yang terdapat pada tubuh manusia sudah sangat
unik dan dinamis maka tidak setiap kehilangan cairan akan menyebabkan tubuh
dehidrasi.
Dalam kondisi normal, kehilangan cairan dapat terjadi saat kita :
o Bernafas
o Kondisi cuaca sekitar
o Berkeringat
o Buang air kecil dan buang air besar.
Sehingga setiap hari kita harus minum cukup air guna mengganti cairan yang
hilang saat aktifitas normal tersebut. Untungnya, tubuh mempunyai mekanisme
unik bila kekurangan cairan. Rasa haus akan serta merta muncul bila
keseimbangan cairan dalam tubuh mulai terganggu. Tubuh akan menghasilkan
hormon ADH guna mengurangi produksi kencing oleh ginjal. Tujuan akhir dari
mekanisme ini adalah mengurangi sebanyak mungkin kehilangan cairan saat
keseimbangan cairan tubuh terganggu.
2.2.3 Penyebab dehidrasi8

28

Dehidrasi terjadi bila kehilangan cairan sangat besar sementara pemasukan


cairan sangat kurang. Beberapa kondisi yang sering menyebabkan dehidrasi antara
lain :
o Diare. Diare merupakan keadaan yang paling sering menyebabkan
kehilangan cairan dalam jumlah besar. Di seluruh dunia, 4 juta anak
anak mati setiap tahun karena dehidrasi akibat diare.
o Muntah. Muntah sering menyebabkan dehidrasi karena sangat sulit
untuk menggantikan cairan yang keluar dengan cara minum.
o Berkeringat. Tubuh kehilangan banyak cairan saat berkeringat. Kondisi
lingkungan yang panas akan menyebabkan tubuh berusaha mengatur
suhu tubuh dengan mengeluarkan keringat. Bila keadaan ini
berlangsung lama sementara pemasukan cairan kurang maka tubuh
dapat jatuh ke dalam kondisi dehidrasi.
o Diabetes. Peningkatan kadar gula darah pada penderita diabetes atau
kencing manis akan menyebabkan banyak gula dan air yang
dikeluarkan melalui kencing sehingga penderita diabetes akan
mengeluh sering ke belakang untuk kencing.
o Luka bakar. Penderita luka bakar dapat mengalami dehidrasi akibat
keluarnya cairan berlebihan pada pada kulit yang rusak oleh luka
bakar.
o Kesulitan minum. Orang yang mengalami kesulitan minum oleh
karena suatu sebab rentan untuk jatuh ke kondisi dehidrasi.
2.2.4 Gejala dan tanda dehidrasi8
Respon awal tubuh terhadap dehidrasi antara lain : Rasa haus untuk
meningkatkan pemasukan cairan yang diikuti dengan penurunan produksi kencing
untuk mengurangi seminimal mungkin cairan yang keluar. Air seni akan tampak
lebih pekat dan berwarna gelap. Jika kondisi awal ini tidak tertanggulangi maka
tubuh akan masuk ke kondisi selanjutnya yaitu :
Mulut kering.

29

Berkurangnya air mata.


Berkurangnya keringat.
Kekakuan otot.
Mual dan muntah.
Kepala terasa ringan terutama saat berdiri.
Selanjutnya tubuh dapat jatuh ke kondisi dehidrasi berat yang gejalanya
berupa gelisah dan lemah lalu koma dan kegagalan multi organ. Bila ini
terjadi maka akan sangat sulit untuk menyembuhkan dan dapat berakibat
fatal.

2.2.5 Terapi dehidrasi1,8


Untuk memberikan rehidrasi pada pasien perlu dinilai dulu derajat
dehidrasi. Dehidrasi terdiri dari ringan, sedang, berat. Ringan bila pasien
mengalami kekurangan cairan 2-5% dari berat badan. Sedang bila

pasien

mengalami kekurangan cairan 5-8% dari berat badan. Berat bila pasien mengalami
kekurangan cairan 8-10% dari berat badan
Prinsip menentukan jumlah cairan yang akan diberikan yaitu sesuai
dengan jumlah caran yang keluar dari tubuh. Macam-macam pemberian cairan:
1. BJ plasma dengan rumus:
Kebutuhan cairan = BJ plasma -1,025 x berat badan
x 4 ml

2. Metode Pierce berdasarkan klinis:


Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% x berat badan (kg)
Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan = 8% x berat badan (kg)

30

Dehidrasi berat, kebutuhan cairan = 10% x berat badan (kg)


3. Metode Daldiyono berdasarkan skor klinis, antara lain:
Kebutuhan cairan = Skor x 10% x kgBB x
1liter

Bila skor kurang dari 3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan
peroral (sebanyak mungkin sedikit demi sedikit). Bila skor lebih atau sama
dengan 3 disertai syok diberikan cairan per intravena. Cairan rehidrasi dapat
diberikan melalui oral, enteral melalui selang nasogastrik atau intravena.
Bila dehidrasi sedang-berat sebaiknya pasien diberikan cairan melalui
infus pembuluh darah. Sedangkan dehidrasi ringansedang pada pasien masiih
dapat diberikan cairan per oral atau selan nasogastrik, kecuali bila ada
kontraindikasi atau oral / saluran cerna tak dapat dipakai. Pemberian per oral
diberikan larutan oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 g glukosa, 3,5 g
Nacl, 2,5 g Natrium Bikarbonat dan 1,5 g KCl setiap liter.
Prinsip

utama

pengobatan

dehidrasi

adalah

penggantian

cairan.

Penggantian cairan ini dapat berupa banyak minum, bila minum gagal maka
dilakukan pemasukan cairan melalui infus. Tapi yang utama disini adalah
penggantian cairan sedapat mungkin dari minuman. Keputusan menggunakan
cairan infus sangat tergantung dari kondisi pasien berdasarkan pemeriksaan
dokter. Keberhasilan penanganan dehidrasi dapat dilihat dari produksi kencing.
Indikasi pemasangan infus melalui jalur pembuluh darah vena (Peripheral
Venous Cannulation):
1. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids)
2. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam
jumlah terbatas
3. Pemberian kantong darah dan produk darah.
4. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).

31

5. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya


pada

operasi

besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur inf\us

intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan


pemberian obat)
6. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko
dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum
pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur
infus.
Kontraindikasi dan peringatan pada pemasangan infus melalui jalur pembuluh
darah vena:
1.Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.
2.Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan
digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada
tindakan hemodialisis (cuci darah).
3.Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang
aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).
2.2.6 Jenis cairan infus1,8
1) Cairan

hipotonik:

osmolaritasnya

lebih

rendah

dibandingkan

serum

(konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam
serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan ditarik dari dalam
pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari
osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel
yang dituju. Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi, misalnya
pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien
hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik.
Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari
dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan
peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang.
Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.

32

2) Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum


(bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh
darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan
cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko
terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung
kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan
normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
3) Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga
menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh
darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan
mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan
hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%
+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan
albumin.

Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:


a. Kristaloid: bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume
cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang
singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya
Ringer-Laktat dan garam fisiologis. Sesuai dengan penggunaannya dapat
dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu untuk pemeliharaan, pengganti dan
tujuan khusus.
b.

Koloid: ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak


akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah,
maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah.
Contohnya adalah albumin dan steroid. Disebut juga sebagai plasma
ekspander, karena memiliki kemampuan besar dalam mempertahankan
volume intra-vaskuler. Contoh cairan ini antara lain: Dekstran, Haemacel,

33

Albumin, Plasma, Darah. Cairan koloid ini digunakan untuk menggantikan


kehilangan cairan intra-vaskuler.

BAB III
STATUS PASIEN RAWAT INAP
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
3.1 Identitas pasien
Nama : An. Najwatun
Umur : 10 bulan 23 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Nama Ayah : Tn. Khuzaini / 23 tahun

Pekerjaan : Swasta

Nama ibu

Pekerjaan : Karyawati Sampoerna

: Ny. Fatimah / 23 tahun

No register : 492464
Tgl.masuk : 27 November 2014
34

3.2 Subyektif
Px MRS masuk melalui IGD tanggal 27 November 2013
Keluhan Utama : Panas
Anamnesa
Ibu px mengatakan, px panas sejak 3 hari yang lalu (hari selasa) tadi jam
23.00 WIB px dibawa ke PKM Wonomerto dan bidan di bekali obat syrup
untuk panas dan muntah,
Pilek (+) sejak 5 hari yang lalu, batuk berdahak (+) disertai muntah kurang
lebih 2 kali perhari sejak 2 hari yang lalu,
Makan (+) berkurang sejak sakit, minum (+) tapi berkurang
BAB (+) lancar normal
BAK (+) lancar biasa
3.3 Riwayat Penyakit Terdahulu
Px tidak pernah MRS sebelumnya.
Px tidak memiliki riwayat penyakit kejang demam
Px juga tidak memiliki riwayat penyakit asthma
Px juga tidak memiliki riwayat alergi
3.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak memiliki riwayat alergi dan asthma.
3.5 Imunisasi
Px sudah mendapatkan imunisasi lengkap.
3.6 Riwayat diit
Dari lahir sampai saat ini px masih mengkonsumsi ASI dan susu formula
Px juga mengkonsumsi nasi tim dan bubur sejak umur 8 bulan
3.7 Riwayat perkembangan
Ibu pasien mengatakan perkembangan anak baik

35

3.8 Riwayat Persalinan


Px lahir di bidan, Spt-B dengan BBL 2500g
3.9 Objektif
Keadaan Umum

: Lemah

Kesadaran

: kompos mentis

Berat badan

: 7,8 kg

Panjang badan

: 69 cm

Status gizi

: 82% (normal)

Nadi

: 130x/menit

Pernafasan

: 68x/menit

Suhu

: 40C

Lingkar Kepala : 45 cm
Lingkar Lengan Atas : 15 cm

Kepala
A/I/C/D : -/-/-/PCH
: Negatif
Faring tidak hiperemi
Tidak ada nyeri telan
Leher
Pembesaran KGB

: Negatif

Dada
Bentuk
Retraksi dinding dada

: Simetris +/+
: -/-

Jantung
S1 S2 Tunggal

36

Murmur: Negatif
Paru-paru: ves/ves
Rhonki +/Wheezing -/Abdomen
Supel (+)
Meteriorismus (-)
Turgor kulit baik
Bising usus positif normal
Genitalia
Perempuan dengan genitalia normal
Ekstremitas
Akral : +/+ //+/+
Oedem : -/-//-/Status neurologis : Kaku kuduk negatif
3.10 Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 10. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Nama Pemeriksaan
HEMATOLOGI

Hasil

Satuan

Nilai Rujukan

31

36-46

Hemoglobulin

10,3

g/dL

12-16

Leukosit

7.070

/mm3

4.000 11.000

Eosinofil

0 8

Basofil

0 3

Darah Lengkap
Hematokrit

Hitung Jenis

37

Neutrofil

61

25 60

Limfosit

29

16 46

Monosit

4 11

234.000

/mm3

150.000 350.000

Eritrosit

4.4

juta/L

4,1 5,1

Total Eosinofil

80

/L

50 300

87

mg/dL

<= 200

Trombosit

KIMIA KLINIK
Glukosa Darah
Glukosa Darah Acak
IMUNOSEROLOG
I
CRP

Positif titer 24

NEGATIF

3.11 Assessment
Diagnose

: Observasi febris hari ke 2 + vomiting

Diagnose banding : Pneumonia


3.12 Planning
Diagnosis

: Laboratorium darah lengkap dan CRP

Konsultasi

: dr Sp.A

Terapi

: Inf RL 780cc/24 jam


Inj. Sanmol 3x80mg (k.p)
Inj. Ranitidin 2x1/5 amp iv

38

3.13 Lembar pemeriksaan harian


Tabel 11. Ringkasan Pemeriksaan Harian
Ket / hari
S

27 November 2014
Ibu px mengatakan px
panas sudah turun
pilek (-)
batuk (+) tidak grok-grok
mual (-) muntah (+) 3 kali
saat makan telur tadi pagi
makan (+) bubur sedikit
minum (+) banyak susu
formula dan air putih
BAB (+) normal biasa
BAK (+) lancar
KU : lemah
Kesadaran: kompos mentis
Suhu : 38,5o C
RR : 68x/menit
HR : 120x/menit
Kepala : a/i/c/d -/-/-/PCH(-),
Tonsil hiperemi (-)
Dada : simetris +
Chest indrawing subcostal
Jantung : s1s2 tunggal
Paru
: Rh +/- Wh -/Abdomen : supel, BU(+)N,
meteorismus (+)
Extremitas : Akral hangat
normal , CRT <2 dtk
Hasil radiologi
Foto thorax AP
Cor bentuk ukuran normal
Pulmo pitcy dextra
Sinus costophrenicus dll
normal
Dx : Bronkhopneumonia
Bronchopneumonia +
dehidrasi ringan

28 November 2014
Ibu px mengatakan tidak ada
keluhan, px tidak panas lagi,
pilek (-),
batuk (+) tidak grok-grok
mual (-) muntah (-)
makan (+) bubur >>
minum (+) banyak
BAB (+) normal biasa
BAK (+) lancar

29 November 2014
Ibu px mengatakan px batuk
grok-grok, tidak tau warna
dahak px
Panas (-)
pilek (-),
mual (-) muntah (-)
makan (+) bubur >>
minum (+) banyak
BAB (+) normal biasa,
BAK (+) lancar

KU : baik
Kesadaran: kompos mentis
Suhu : 37,3 C
RR : 62x/menit
HR : 128x/menit
Kepala : a/i/c/d -/-/-/PCH(-),
Tonsil hiperemi (-)
Dada : simetris +
Chest indrawing subcostal
Jantung : s1s2 tunggal
Paru
: Rh +/- Wh -/Abdomen: supel, BU(+)N,
meteorismus (-)
Extremitas : Akral hangat
normal, CRT <2 dtk

KU : baik
Kesadaran: kompos mentis
Suhu : 36,6o C
RR : 66x/menit
HR : 128x/menit
Kepala : a/i/c/d -/-/-/PCH(+),
Tonsil hiperemi (-)
Dada : simetris +
Chest indrawing subcostal
Jantung : s1s2 tunggal
Paru
: Rh +/- Wh -/Abdomen: supel, BU(+)N,
meteorismus (-)
Extremitas : Akral dingin,
CRT <2dtk

Bronchopneumonia +
dehidrasi ringan

Bronchopneumonia +
dehidrasi ringan

39

Inf KAEN 3B 400/3jam ->


KAEN 3B 700/24 jam
Inj Ceftriaxon 2x400mg iv
Inj Sanmol 3x100
Nebulizer pz 2x1 /lr
Ambroxol 3x1
Zink 1x1

Inf D5 / NS 700cc/24 jam


Inj ceftriaxon 2x400mg iv
Inj sanmol 3x80mg iv k/p
Nebul + suction

PULANG PAKSA
Inf D5 1/4NS 500cc/24jam
Lain-lain tetap

BAB IV
PEMBAHASAN

Anak Najwatun umur 10 bulan 23 hari masuk rumah sakit melalui IGD
tanggal 27 November 2013 dengan keluhan utama panas. Ibu pasien mengatakan,
anak panas sejak 3 hari yang lalu (hari selasa) tadi jam 23.00 WIB, anak dibawa
ke PKM Wonomerto dan bidan di bekali obat syrup untuk panas dan muntah, anak
juga sakit pilek sejak 5 hari yang lalu, batuk berdahak disertai muntah kurang

40

lebih 2 kali perhari sejak 2 hari yang lalu. Makan berkurang sejak sakit, mau
minum tapi juga berkurang. BAB (+) lancar normal, BAK (+) lancar biasa.
Riwayat penyakit dahulu, anak tidak pernah MRS sebelumnya, anak juga
tidak memiliki riwayat penyakit asthma dan tidak memiliki riwayat alergi.
Riwayat imunisasi anak sudah mendapatkan imunisasi lengkap. Dari lahir sampai
saat ini anak masih mengkonsumsi ASI dan susu formula. Anak juga
mengkonsumsi nasi tim dan bubur sejak umur 8 bulan. Riwayat perkembangan
dan pertumbuhan anak, baik.
Pasien baru pertama kali MRS, sebelumnya tidak pernah sakit seperti ini.
Dari riwayat penyakit keluarga tidak ada yang menderita asma, kejang maupun
riwayat atopi. Pada kasus ini pasien didiagnosa dengan bronkopnemonia dan
dehidrasi ringan karena pada pasien didapatkan gambaran klinis pneumonia pada
anak yang bergantung pada berat ringannya infeksi, tetapi secara umum gejala
infeksi umum, yaitu didapatkan pada pasien anak ini demam, gelisah, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare, kadangkadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
Gejala gangguan respiratori juga terjadi pada pasien anak ini, seperti
batuk, pilek, sesak napas, takipnea dan napas cuping hidung. Dan pada
pemeriksaan fisik ditemukan suara rhonki pada pulmo dextra.
Pada pemeriksaan laboratorium tidak terdapat peningkatan jumlah leukosit.
Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial.
Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm 3 dengan
limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan
neutrofil yang predominan.
Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial. Hasil radiologi Foto thorax AP
pada pasien anak ini, ditemukan Cor bentuk ukuran normal, Pulmo pitcy dextra,
Sinus costophrenicus normal.

41

Diagnosis pada kasus ini

dipakai kriteria paling sedikit 3 dari 5

gejala/tanda, yaitu sesak nafas disertai pernafasan cuping hidung dan tarikan
dinding dada, panas badan, ronki basah sedang nyaring pada bronkopneumonia
atau suara pernafasan bronkial (pada daerah yang dengan perkusi bernada pekak)
pada pneumonia lobaris, foto toraks menunjukkan adanya infiltrat berupa bercakbercak (bronko) difus merata (lober) pada satu atau beberapa lobus. Leukositosis
Pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan
bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil dominan.
Penatalaksanaan sebelum memberikan obat ditentukan dahulu berat
ringannya penyakit, riwayat pengobatan sebelumnya dan respons terhadap
pengobatan tersebut, adanya penyakit yang mendasarinya.
Pada kasus ini pasien juga mengalami komplikasi, yaitu dehidrasi, dehidrasi
terjadi bila kehilangan cairan sangat besar sementara pemasukan cairan sangat
kurang. Beberapa kondisi yang sering menyebabkan dehidrasi pada pasien ini,
muntah sering menyebabkan dehidrasi karena sangat sulit untuk menggantikan
cairan yang keluar dengan cara minum, berkeringat karena demam, tubuh
kehilangan banyak cairan saat berkeringat. Kondisi lingkungan yang panas akan
menyebabkan tubuh berusaha mengatur suhu tubuh dengan mengeluarkan
keringat. Bila keadaan ini berlangsung lama sementara pemasukan cairan kurang
maka tubuh dapat jatuh ke dalam kondisi dehidrasi, kesulitan minum orang yang
mengalami kesulitan minum oleh karena suatu sebab rentan untuk jatuh ke
kondisi dehidrasi. Dikatakan dehidrasi ringan karena tidak ada keluhan atau gejala
yang mencolok. Tandanya anak terlihat agak lesu, haus/minum banyak, dan BAK
sedikit.
Prinsip

utama

pengobatan

dehidrasi

adalah

penggantian

cairan.

Penggantian cairan ini dapat berupa banyak minum, bila minum gagal maka
dilakukan pemasukan cairan melalui infus. Tapi yang utama disini adalah
penggantian cairan sedapat mungkin dari minuman. Keberhasilan penanganan
dehidrasi dapat dilihat dari produksi kencing.

42

Prognosis pada bronkopneumonia ini adalah sembuh total, mortalitas kurang


dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan
malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi
berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan
hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan
pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja
sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif
yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi
apabila berdiri sendiri.
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak
dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya
tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup
sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan ,beristirahat yang
cukup, rajin berolahraga dll. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat
mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain.

DAFTAR PUSTAKA
1. Garna, herry, dkk. 2005. Pedoman diagnosis dan terapi. Bandung : UNPAD
2. Hegar, badriul. 2010. Pedoman pelayanan medis. Jakarta : IDAI.
3. Latief, abdul, dkk. 2009. Pelayanan kesehetan anak di rumah sakit standar
WHO. Jakarta : Depkes
4. Price, Sylvia Anderson.1994. Pathophysiology : Clinical Concepts Of
Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC
43

5. Smeltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,Volume


I.Jakarta : EGC
6. Sastroasmoro, sudigdo, dkk. 2009. Panduan pelayanan medis dept. IKA.
Jakarta : RSCM
7. Rahajoe, Nastini.N.2008.Buku Ajar Respirologi,Edisi 1.Jakarta : IDAI
Nelson .2000.Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,Volume 2.Jakarta :EGC.
8.Opstapchuk M, Roberts DM, haddy R. community-acquired pneumonia in
infants and children. Am fam physician 2004;20:899-908

44

Anda mungkin juga menyukai