Anda di halaman 1dari 25

1

KERATITIS
2.1 Anatomi dan Histologi Kornea

Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 1112 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea
memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60
kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada
sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus
humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan,
kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ
tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah
100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf
sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf
siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus
membran Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi
sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan
pada daerah limbus (Ilyas, 2005).

Kornea dalam bahasa latin cornum artinya seperti tanduk, merupakan selaput
bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis dari
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :
1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak
bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan
epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air
mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal sering
terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap
dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan
sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa
melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang
kepadanya.

Bila

terjadi

gangguan

akan

mengakibatkan

melekat erat
erosi

rekuren.

Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya


regenerasi (Ilyas, 2005).
2. Membran bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari epitel.
Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal
dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi (Ilyas,
2005).
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan
tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar
sekitar 1 m yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter
kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer
serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
lama, dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit

membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau
sesudah trauma (Ilyas, 2005).
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang
dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf pada
pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup
dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis daripada membran
Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses patologik lainnya
dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain (Ilyas, 2005).
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal
antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari
kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan
epitel

karena

tidak

mempunyai

daya

regenerasi,

sebaliknya

endotel

mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel


dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat
menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel,
stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya
transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh
epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini
mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan
ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea (Ilyas, 2005).
2.2 Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang
uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif
jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh
fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih
penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak

jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel
menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan
pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan
meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata
prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang
mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan
membantu mempertahankan keadaan dehidrasi (Vaughan, 2009).
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat
melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya
agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel
adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea.
Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran bowman
mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba,
dan jamur (Vaughan, 2009).
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan
seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di
permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea,
segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya
kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang
hebat terutama bila letaknya di daerah pupil (Vaughan, 2009).
2.3 Keratitis
2.3.1 Definisi
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut
lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan
epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga
keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma (Ilyas, 2006).

2.3.2 Etiologi dan faktor pencetus

Penyebab keratitis bermacam-macam. Bakteri, virus dan jamur dapat menyebabkan


keratitis. Penyebab paling sering adalah virus herpes simplex tipe 1. Selain itu penyebab
lain adalah kekeringan pada mata, pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda
asing yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik
mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain, kekurangan vitamin A dan penggunaan lensa
kontak yang kurang baik (Mansjoer, 2001).

2.3.3 Tanda dan Gejala Umum


Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat dapat
ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan keratitis.
Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan
parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun gejala
umum adalah :
Keluar air mata yang berlebihan
Nyeri
Penurunan tajam
Radang
Mata

penglihatan

pada kelopak mata (bengkak, merah)

merah

Sensitif

terhadap cahaya (Mansjoer, 2001).

2.3.4 Klasifikasi
Keratitis biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena :
yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel dan bowman dan keratitis
profunda apabila mengenai lapisan stroma.
Bentuk-bentuk klinik keratitis superfisialis antara lain adalah (Ilyas, 2006):
1. Keratitis punctata superfisialis
Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh
sindrom dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmus, keracunan obat topical, sinar
ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa kontak.
2. Keratitis flikten
Benjolan putih yang yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan
untuk menyerang kornea.

3. Keratitis sika
Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar lakrimale
atau sel goblet yang berada di konjungtiva.
4. Keratitis lepra
Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf, disebut juga
keratitis neuroparalitik.
5. Keratitis nummularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multiple dan
banyak didapatkan pada petani.
Bentuk-bentuk klinik keratitis profunda antara lain adalah :
1. Keratitis interstisialis luetik atau keratitis sifilis congenital
2. Keratitis sklerotikans.
2.3.5 Patofisiologi Gejala
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera
datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka
badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea,
segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh
darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya
baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear
(PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak
berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin,
kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea (Vaughan, 2009).
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea
baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa
sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior)
pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris,
yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada
ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya
dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit
kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit ini,
yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair mata dan
fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada tahi mata

kecuali pada ulkus bakteri purulen (Vaughan, 2009).


Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas
cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau
letaknya di pusat (Vaughan, 2009).
2.3.6

Diagnosa

Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan


adanya riwayat trauma---kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan dua lesi
yang umum pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitis
akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat
sakit dan keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari
gejalanya. Hendaknya pula ditanyakan pemakaian obat lokal oleh pasien, karena
mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi
penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis herpes simpleks. Juga
mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes,
AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus (Vaughan, 2009).
Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih
mudah dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulusan fluorescein dapat memperjelas
lesi epitel superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas. Pemakaian
biomikroskop (slitlamp) penting untuk pemeriksaan kornea dengan benar; jika tidak
tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan pencahayaan terang. Harus diperhatikan
perjalanan pantulan cahaya saat menggerakkan cahaya di atas kornea. Daerah kasar
yang menandakan defek pada epitel terlihat dengan cara ini (Vaughan, 2009).
Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan dengan terapi
empiris dan dikelola tanpa hapusan atau kultur.Hapusan dan kultur sering membantu
dalam kasus dengan riwayat penyakit yang tidak jelas. Hipopion yang terjadi di mata
dengan keratitis bakteri biasanya steril, dan pungsi akuos atau vitreous tidak perlu
dilakukan kecuali ada kecurigaan yang tinggi oleh mikroba endophthalmitis.
Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-satunya
cara untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat membantu
sebagai panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis yang tidak bagus

dan untuk mengurangi toksisitas dengan mengelakkan obat-obatan yang tidak perlu.
Dalam perawatan mata secara empiris tanpa kultur dimana respon klinisnya tidak
bagus, kultur dapat membantu meskipun keterlambatan dalam pemulihan patogen
dapat terjadi.
Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan
menggunakan instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari daerah
yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk mendapatkan
sampel. Ini paling mudah dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp.
Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap
pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis
yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika
infiltrat terletak di pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak
terlibat.
Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit Lamp
atau mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk
mengambil sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan
pembelahan sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk
histopatologi. Spesimen biopsi harus disampaikanke laboratorium secara tepat waktu.
2.4 Keratitis Bakterialis
Keratitis bakteri adalah gangguan penglihatan yang mengancam. Ciri-ciri khusus
keratitis bakteri adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi corneal lengkap bisa
terjadi dalam 24 48 jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus kornea,
pembentukan abses stroma, edema kornea dan inflamasi segmen anterior adalah
karakteristik dari penyakit ini.
2.4.1 Patogen
Grup bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis bakteri adalah
Streptococcus, Pseudomonas, Enterobacteriaceae (meliputi Klebsiella, Enterobacter,
Serratia, and Proteus) dan golongan Staphylococcus. Lebih dari 20 kasus keratitis
jamur (terutama candidiasis) terjadi komplikasi koinfeksi bakteri.
Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan hanya bervariasi

dalam beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang disebabkan bakteri
oportunistik

(mis.,

Streptococcus

alfa-hemolyticus,

Staphylococcus

aureus,

Staphylococcus epidermidis, Nocardia, dan M fortuitum-chelonei), yang menimbulkan


ulkus kornea indolen yang cenderung menyebar perlahan dan superficial (Vaughan,
2009).
2.4.2 Patofisiologi
Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang intak
dan atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi
proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi
mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa
bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur non fimbriasi
yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi, epitel dan stroma
pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama
neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan nekrosis lamella stroma.
Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior,
menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hypopyon.
Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat
diproduksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi
substansi kornea.
2.4.3 Temuan Klinis
a. Keratitis Pneumokokus
Ulkus kornea pneumokokus biasanya muncul 24-48 jam setelah inokulasi pada
kornea yang lecet. Infeksi ini secara khas menimbulkan sebuah ulkus berbatas tegas
warna kelabu yang cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat infeksi ke
sentral kornea. Batas yang maju menampakkan ulserasi aktif dan infiltrasi sementara
batas yang ditinggalkan mulai sembuh. (Efek merambat ini menimbulkan istilah
"ulkus serpiginosa akut".) Lapis superfisial kornea adalah yang pertama terlibat,
kemudian parenkim bagian dalam. Kornea sekitar ulkus sering bening. Biasanya ada
hipopion. Kerokan dari tepian depan ulkus kornea pneumokokus mengandung
diplokokus berbentuk-lancet gram-positif (Vaughan, 2009).

10

Ulkus Pseudomonas

b. Keratitis Pseudomonas
Ulkus kornea pseudomonas berawal sebagai infiltrat kelabu atau kuning di
tempat epitel kornea yang retak. Nyeri yang sangat biasanya menyertainya. Lesi ini
cenderung cepat menyebar ke segala arah karena pengaruh enzim protcolitik yang
dihasilkan organisme ini. Meskipun pada awalnya superfisial, ulkus ini dapat
mengenai seluruh kornea. Umumnya terdapat hipopion besar yang cenderung
membesar dengan berkembangnya ulkus. Infiltrat dan eksudat mungkin berwarna
hijau kebiruan. Ini akibat pigmen yang dihasilkan organisme dan patognomonik
untuk infeksi P aeruginosa.
Pseudomonas adalah penyebab umum ulkus kornea bakteri. Kasus ulkus kornea
Pseudomonas dapat terjadi pada abrasi kornea minor atau penggunaan lensa kontak
lunak, terutama yang dipakai agak lama. Ulkus kornea yang disebabkan organisme
ini bervariasi dari yang sangat jinak sampai yang menghancurkan. Organisme itu
ditemukan melekat pada permukaan lensa kontak lunak. Beberapa kasus dilaporkan
setelah penggunaan larutan florescein atau obat tetes mata yang terkontaminasi
(Vaughan, 2009).
c. Keratitis Streptokokus
Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea (serpinginous).
Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang
menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea,
karena eksotoksin yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia.
2.4.4 Terapi
a. Terapi antibiotika

11

Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi dan
merupakan metode yang banyak dipakai dalam pengobatan banyak kasus. Salep pada
mata berguna sewaktu tidur pada kasus yang kurang berat dan juga berguna sebagai
terapi tambahan. Antibiotik subkonjungtiva dapat membantu pada keadaan ada
penyebaran segera ke sclera atau perforasi atau dalam kasus di mana kepatuhan
terhadap rejimen pengobatan diragukan.
Antibiotik topikal spektrum luas empiris digunakan pada pengobatan awal dari
keratitis bakteri. Untuk keratitis yang parah (melibatan stroma atau dengan defek
yang lebih besar dari 2 mm dengan nanah yang luas), diberikan dosis loading setiap 5
sampai 15 menit untuk jam pertama, diikuti oleh aplikasi setiap 15 menit sampai 1
jam pada jam berikutnya. Pada keratitis yang kurang parah, rejimen terapi dengan
dosis yang kurang frekuen terbukti efektif. Agen Cycloplegic dapat digunakan untuk
mengurangi pembentukan sinekhia dan untuk mengurangi nyeri pada kasus yang
lebih parah pada keratitis bakteri dan ketika adanya peradangan bilik anterior mata.
Terapi

single-drug

dengan

menggunakan

fluoroquinolone

(misalnya

ciprofloksasin, ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti terapi


kombinasi. Tetapi beberapa patogen (misalnya Streptococcus, anaerob) dilaporkan
mempunyai kerentanan bervariasi terhadap golongan fluoroquinolone dan prevalensi
resistensi terhadap golongan fluoroquinolones tampaknya semakin meningkat.
Gatifloksasin dan moksifloksasin (generasi keempat fluoroquinolone) telah
dilaporkan memiliki cakupan yang lebih baik terhadap bakteri gram-positif dari
fluoroquinolone generasi sebelumnya pada uji in-vitro. Namun, fluoroquinolone
generasi keempat belum disetujui FDA untuk pengobatan keratitis bakteri.
Terapi kombinasi antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan mata
yang tidak responsif terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih dari satu agen
mungkin diperlukan untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri non-tuberkulos.
Antibiotik sistemik jarang dibutuhkan, tetapi dapat diipertimbangkan pada kasuskasus yang parah di mana proses infeksi telah meluas ke jaringan sekitarnya
(misalnya, sclera) atau ketika adanya ancaman perforasi dari kornea. Terapi sistemik
juga diperlukan dalam kasus-kasus keratitis gonokokal.

12

b. Terapi kortikosteroid
Terapi topikal kortikosteroid memiliki peran bermanfaat dalam mengobati
beberapa kasus menular keratitis. Keuntungan potensial adalah penekanan
peradangan dan pengurangan pembentukan jaringan parut pada kornea, yang dapat
menyebabkan kehilangan penglihatan. Antara kerugiannya pula termasuk timbulnya
aktivitas infeksi baru, imunosupresi lokal, penghambatan sintesis kolagen dan
peningkatan tekanan intraokular. Meskipun berisiko, banyak ahli percaya bahwa
penggunaan kortikosteroid topikal dalam pengobatan keratitis bakteri dapat
mengurangi morbiditas. Terapi kortikosteroid pada pasien yang sedang diobati
dengan kortikosteroid topikal pada saat adanya curiganya keratitis bakteri hendaklah
diberhentikan dahulu sampai infeksi telah dikendalikan.
Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah menggunakan dosis minimal
kortikosteroid yang bisa memberikan efek kontrol peradangan. Keberhasilan
pengobatan membutuhkan perkiraan yang optimal, regulasi dosis secara teratur,
penggunaan obat antibiotika yang memadai secara bersamaan, dan follow-up.
Kepatuhan dari pasien sangat penting, dan tekanan intraokular harus sering dipantau.
Pasien harus diperiksa dalam 1 sampai 2 hari setelah terapi kortikosteroid topikal
dimulai.
2.4.5 Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan kornea,
dan akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophthalmitis dan
hilangnya penglihatan.
2.4.6 Prognosis
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah ini,
dan dapat mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat.
- Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis
- Luas dan lokasi ulkus kornea
- Hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagen

13

2.5 Keratitis Virus


2.5.1 Keratitis Herpes Simplek
Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling sering
ditemukan dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai dengan
adanya infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada mata, virus
herpes simplek dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita keratitis herpes
simpleks. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata,
rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus (Ilyas, 2006).
a. Temuan klinis
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. lnfeksi primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan
ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis
folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus
bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya
pada pasien-pasien atopic (Vaughan, 2009). Bentuk ini umumnya dapat sembuh
sendiri, tanpa menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus
topikal dapat dipakai unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi
untuk penyakit kornea. Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya
antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominir
oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas (American academy, 2006).
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer.
Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik
atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion
n.trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhirakhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat
berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan terjadinya infeksi
kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres emosional,
pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi
imunosupresi (Vaughan, 2009).

14

Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun pertama,
dan meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Peneliti lain bahkan melaporkan
angka yang lebih besar yaitu 46,57% keratitis herpes simpleks kambuh dalam kurun
waktu 4 bulan setelah infeksi primer. Penelitian di Yogyakarta mendapatkan angka
kekambuhan hanya 11,5% dalam kurun waktu

bulan

pengamatan

setelah

penyembuhan. Perbedaan angka-angka tersebut dimungkinkan oleh perbedaan cara


pengobatan (American academy, 2007).
Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 namun beberapa
kasus pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi kornea kedua
jenis ini tidak dapat dibedakan.
b. Gejala Klinis
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian pusat
yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya
timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang
berobat. Sering ada riwayat lepuh lepuh, demam atau infeksi herpes lain, namun
ulserasi kornea kadang kadang merupakan satu satunya gejala infeksi herpes
rekurens (Vaughan, 2009).
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel,
berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya
pada: herpes zoster oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna
lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis
herpes simpleks ringan adalah tidak adanya foto-fobia (Ilyas, 2000).
c.

Lesi
Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial, profunda,

dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa
pungtata,

dendritik,

dan

geografik.

Keratitis

dendritika merupakan proses

kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan
menyebar sambil menimbulka kematian sel serta membentuk defek dengan

15

gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas pada
kornea, memiliki percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus
terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit, namun
sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea yang lain
dan harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial (Vaughan, 2009).
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit
dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat
bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan
demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang
mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit
dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah
keratitis epitelial blotchy, keratitis epitelial stelata, dan keratitis filamentosa.
Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas
dalam satu dua hari (Vaughan, 2009).

Lesi dendritik

Lesi geografik

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes
zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang
dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil (Ilyas, 2006).
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi
HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti,
dan umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk

16

membentuk lipatan-lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat endapan keratik


tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh endotel karena sering
bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi herpes pada orang
imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh sendiri, setelah berlangsung
beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda terpenting, dan penyembuhan
dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi minimal (Vaughan, 2009).
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering
disertai vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang
dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga
sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes
simpleks. Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika
dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel,
akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit herpes. Pada
penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda tanda khas herpes, namun unsur
bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh reaksi imun akut,
yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif. Mungkin
terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi sekunder
(Vaughan, 2009).

17

Lesi dengan Wessely Ring

Keratitis Diskiformis

d. Patogenesa
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal
Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel
epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi
imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang
menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik
untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini
penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan
terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan
reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma
kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke
tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh
sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya
mungkin menahun dan dapat merusak (Vaughan, 2009).
e. Terapi
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil efek
merusak akibat respon radang.
1. Debridement

Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena


virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus
pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi
mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus.
Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis
kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam
sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap
hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumny adalah 72 jam.
Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan epitel.
Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi

18

keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi
berbagai keracunan obat (Vaughan, 2009).
2. Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif
untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali
menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan
penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap
penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum). Study multicenter
terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis herpes simpleks dan
pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan ( herpes eye disease study)
(Vaughan, 2009).
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel
kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini
penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak.
Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang
meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid
topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali ditambahkan obat anti
virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus (Vaughan, 2009).
3. Bedah
Keratolasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan
pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa
bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat
timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk
mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan
transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens (Vaughan, 2009).
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau
fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan
sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft petak
lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan

19

dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi penolakan


transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi mungkin diperlukan untuk
pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis herpes simplek (Vaughan, 2009).
4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira kira sepertiga kasus
dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya.
Setelah denga teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat
dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan berlebihan terhadap
sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari. Keadaan keadaan yang dapat
menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. Dan aspirin dapat diminum sebelum
menstruasi (Vaughan, 2009).
f. Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea.
Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan gejala
sisa.
2.3.7 Keratitis Virus Varisela Zoster
Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan rekuren
(zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering pada zoster
ophthalmic. Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian kelopak.
Jarang ada keratitis (khas lesi stroma perifer dengan vaskularisasi), dan lebih jarang
lagi keratitis epithelial dengan atau tanpa pseudodendrite. Pernah dilaporkan keratitis
disciformis, dengan uveitis yang lamanya bervariasi (Vaughan, 2009).
Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster ophthalmic relatif
banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya sesuai
dengan status kekebalan pasien. Komplikasi kornea pada zoster ophthalmic dapat
diperkirakan timbul jika terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi cabangcabang Nervus Nasosiliaris (Vaughan, 2009).

20

Keratitis Herpes Zoster pada cabang N Nasosiliaris

Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai epithel,
keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya keruh
dan amorf, kecuali kadang-kadang pada pseudodendrite linear yang sedikit mirip
dendrite pada keratitis HSV. Keluhan stroma disebabkan oleh edema dan sedikit
infiltrate sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini dapat diikuti penyakit
stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadang-kadang timbul keratitis
disciformis dan mirip keratitis disciformis HSV. Kehilangan sensasi kornea selalu
merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea
tampak sudah sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap beberapa minggu
sampai bulan, namun akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada
penyakit VZV mata (Vaughan, 2009).
Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati
herpes zoster ophthalmic, khususnya pada pasien yang kekebalannya terganggu.
Dosis oralnya adalah 800mg, 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi hendaknya
dimulai 72 jam setelah timbulnya kemerahan. Peranan antivirus topikal kurang
meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk mengobati keratitis
berat, uveitis, dan glaukoma sekunder. Penggunaan kortikosteroid sistemik masih
kontroversial. Terapi ini mungkin diindikasikan untuk mengurangi insidensi dan
hebatnya neuralgia paska herpes. Namun demikian keadaan ini sembuh sendiri
(Vaughan, 2009).
2.6 Keratitis Fungi
Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan
berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus

21

keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis
jamur (Grayson, 1983).
2.6.1 Etiologi
Secara ringkas dapat dibedakan :
1. Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler dengan cabangcabang hifa.
a) Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporium
sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria
sp.
b) Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
2. Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas :
Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
2.6.2 Manifestasi Klinik
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur
dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut.
Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut ,
respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.
Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan
infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang
tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi
utama dan berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel
terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi
antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan
sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli
anterior dapat cukup parah. Pada keratitis candida biasaya ditandai dengan lesi
berwarna putih kekuningan.
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :
1.

Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.

2.

Lesi satelit.

22

3.

Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti
hifa di bawah endotel utuh.

4.

Plak endotel.

5.

Hypopyon, kadang-kadang rekuren.

6.

Formasi cincin sekeliling ulkus.

7.

Lesi kornea yang indolen (Duane, 1987).

Keratitis Aspergilus

Keratitis Candida

2.6.3 Diagnosa Laboratorik


Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan
diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea
(sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan
biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta
India, dengan angka keberhasilan masing-masing 20-30%, 50-60%, 60-75% dan
80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan
Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar.
Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope
untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang
dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud
atau agar ekstrak maltosa (Srinavan, 2006).
2.6.4 Terapi
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat
komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi
pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis
keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi:

23

1.

Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.

2.

Jamur berfilamen.

3.

Ragi (yeast).

4.

Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.


Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10
mg/ml), Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole.
Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin
5% (obat terpilih), econazole 1% (obat terpilih).
Untuk golongan III : Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%,
Clotrimazole 1%, fluoconazol 2 % (Jack, 2009).
Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.
Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan

juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi
uveitis anterior.
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria
penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari
lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya
infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik
biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit
menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan kadang-kadang
terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan
kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua (Grayson, 1983).

BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan

24

Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri, virus,
dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang terkena
seperti keratitis superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya yaitu
keratitis karena berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan obat,
keratitis reaksi alergi, infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap konjungtivitis
menahun.
Pada Keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea bergesekan
dengan palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan
merupakan media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk ke mata maka lesi pada
kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak sentral
dari kornea. Fotofobia terutama disebabkan oleh iris yang meradang Keratitis dapat
memberikan gejala mata merah, rasa silau dan merasa ada yang mengganjal atau
kelilipan.
Manajemen yang tepat dapat mengurangi insidensi kehilangan penglihatan dan
membatasi kerusakan kornea. Keterlambatan diagnosis infeksi adalah salah satu
faktor yang berperan terhadap terapi awal yang tidak tepat. Kebanyakan gangguan
penglihatan ini dapat dicegah, namun hanya bila di diagnosis penyebabnya ditetapkan
secara dini dan diobati secara memadai.
4.2 Saran
1. Dilakukan penelitian epidemiologi tentang penatalaksanaan secara empiris

pada kasus keratitis bakteri, virus dan jamur di Indonesia khususnya di tiaptiap daerah
2. Dilakukan penelitian terkait faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
terapi keratitis bakteri, virus serta jamur
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea. San Fransisco
2007

25

2. Duane, D Thomas : Clinical Ophthalmology, Volume 4, Philadelphia, Harper &


Row Publisher, 1987.
3. Grayson, Merrill : Diseases of The Cornea, Second Edition, London, The C. V.
Mosby Company, 1983.
4. Ilyas, Sidarta. 2000.Sari Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI Jakarta :52.
5. Ilyas, Sidarta. 2005. Ilmu penyakit Mata. Edisi ketiga. FKUI. Jakarta. Hal (118120) (147-167)
6. Ilyas, Sidarta. 2006. Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3. Balai Penerbit FKUI Jakarta.
7. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI. Hal: 56
8. Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non infectious keratitis.
INDIAN Journal of Opthalmology 2006 56:3;50-56
9. Vaughan, Daniel. Oftalmologi Umum. Edisi 14 Cetakan Pertama. Widya Medika
Jakarta, 2009

Anda mungkin juga menyukai

  • Icd - Ix CM Mata
    Icd - Ix CM Mata
    Dokumen6 halaman
    Icd - Ix CM Mata
    Prabha Amandari Sutyandi
    100% (2)
  • Pengendalian PPTM
    Pengendalian PPTM
    Dokumen67 halaman
    Pengendalian PPTM
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Lembar Pengesahan
    Lembar Pengesahan
    Dokumen44 halaman
    Lembar Pengesahan
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Laporan Keuangan Pembangunan
    Laporan Keuangan Pembangunan
    Dokumen5 halaman
    Laporan Keuangan Pembangunan
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Hasil Rapat 2 Bulanan
    Hasil Rapat 2 Bulanan
    Dokumen4 halaman
    Hasil Rapat 2 Bulanan
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Ukuran Jaket
    Ukuran Jaket
    Dokumen2 halaman
    Ukuran Jaket
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Peran Dokter Penerbangan
    Peran Dokter Penerbangan
    Dokumen8 halaman
    Peran Dokter Penerbangan
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • MP 8
    MP 8
    Dokumen2 halaman
    MP 8
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Bab Ift
    Bab Ift
    Dokumen32 halaman
    Bab Ift
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Kepemimpinan
    Kepemimpinan
    Dokumen3 halaman
    Kepemimpinan
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Referat Saraf
    Referat Saraf
    Dokumen15 halaman
    Referat Saraf
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Transgender Menurut Aspek Medis
    Transgender Menurut Aspek Medis
    Dokumen5 halaman
    Transgender Menurut Aspek Medis
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Yang Biasa Disingkat AD
    Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Yang Biasa Disingkat AD
    Dokumen52 halaman
    Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Yang Biasa Disingkat AD
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Cover Luar
    Cover Luar
    Dokumen1 halaman
    Cover Luar
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Kepemimpinan
    Kepemimpinan
    Dokumen3 halaman
    Kepemimpinan
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Surveilans Epidemiologi
    Surveilans Epidemiologi
    Dokumen32 halaman
    Surveilans Epidemiologi
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • TM Abadaftar Isi Tabel Gambar (Revisi)
    TM Abadaftar Isi Tabel Gambar (Revisi)
    Dokumen4 halaman
    TM Abadaftar Isi Tabel Gambar (Revisi)
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Kekerasan Dalam Rumah Tangga
    Kekerasan Dalam Rumah Tangga
    Dokumen12 halaman
    Kekerasan Dalam Rumah Tangga
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Cover IKM
    Cover IKM
    Dokumen1 halaman
    Cover IKM
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • No RE
    No RE
    Dokumen2 halaman
    No RE
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Clue Card MC
    Clue Card MC
    Dokumen1 halaman
    Clue Card MC
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Per Tanya An
    Per Tanya An
    Dokumen2 halaman
    Per Tanya An
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • No RE
    No RE
    Dokumen2 halaman
    No RE
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Rumah Sehat 5 - Perilaku
    Rumah Sehat 5 - Perilaku
    Dokumen6 halaman
    Rumah Sehat 5 - Perilaku
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • BAB V SPM - Revised
    BAB V SPM - Revised
    Dokumen13 halaman
    BAB V SPM - Revised
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Isiologi 3
    Isiologi 3
    Dokumen1 halaman
    Isiologi 3
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Mata
    Mata
    Dokumen2 halaman
    Mata
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • DXFGH
    DXFGH
    Dokumen10 halaman
    DXFGH
    Nanda Soraya
    Belum ada peringkat
  • BAB V SPM - Revised
    BAB V SPM - Revised
    Dokumen13 halaman
    BAB V SPM - Revised
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka Emg 4
    Daftar Pustaka Emg 4
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka Emg 4
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat