Anda di halaman 1dari 18

Panduan Ibadah Qurban (bagian 1)

Posted: 08 Nov 2009 08:35 PM PST


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, Maka
shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (Qs. Al
Kautsar: 2) Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian
ulama ahli tafsir mengatakan; yang dimaksud dengan
menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah
shalat Ied.” Pendapat ini dinukil dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah
(Taisirul ‘Allaam, 534, Taudhihul Ahkaam IV/450, & Shahih Fiqih
Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa
disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al
Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis).
Pengertian Udh-hiyah
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul
Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan
Shahih Fiqih Sunnah II/366)
Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama.
‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan
suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh
Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya
kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didla’ifkan oleh Syaikh Al Albani (Dla’if Ibn Majah,
671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan
hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan
bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih
utama dari pada sedekah yang senilai atau seharga dengan
hewan qurban, atau bahkan lebih utama dari pada sedekah yang
lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud
terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada
Allah. Bukan semata-mata nilai binatangnya. Disamping itu,
menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih
sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat
Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521)
Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:

Pertama: Wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang


berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al
Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya,
Laits bin Sa’ad beserta beberapa ulama pengikut Imam Malik,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat
yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat
yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya
diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408)
Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau
berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat
kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh
Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan) .
Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i,
Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil
pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari
radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku
sedang tidak berqurban. Padahal aku adalah orang yang
berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau
tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur
Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula
dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar
sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq
dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada
riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa
qurban itu wajib.” (lihat Al Muhalla 5/295, dinukil dari Shahih Fiqih
Sunnah II/367-368, dan Taudhihul Ahkaam, IV/454).
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-
masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan
masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama
memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan:
“…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan
berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan
hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam. (Tafsir Adwa’ul
Bayan, 1120).
Yakinlah…! Bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera
memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena
setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa
Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang
kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang
yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim
1010).
Hewan yang Boleh Digunakan untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari jenis Bahiimatul Al An’aam
(hewan ternak). Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan
bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian
mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian
berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (Qs. Al Hajj:
34). Dalam bahasa arab, yang dimaksud Bahiimatul Al An’aam
hanya mencakup tiga binatang yaitu onta, sapi atau kambing.
Oleh karena itu, berqurban hanya sah dengan tiga hewan
tersebut dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama
menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak
sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih
Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban
dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak
tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih
untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan
seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya
(dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’ III/409)
Seekor Kambing untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan
pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun
jumlahnya banyak, baik yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu
yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai
qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau
menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266)
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan
qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya
qurban tahun ini untuk bapaknya, tahun depan untuk ibunya,
tahun berikutnya untuk anak pertama, dan seterusnya.
Sesungguhnya karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka
tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk dirinya
dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih
kambing qurban, sebelum menyembelih beliau mengatakan: “Yaa
Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak
berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan
dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan
hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum
muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala
sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu
orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya
pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu
orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh
orang dan qurban onta hanya boleh dari maksimal 10 orang.
Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul
qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka
diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan
status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban.
Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan?
Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi pemberian sedekah
maupun hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada
orang yang diberi sedekah maupun hadiah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor
onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau
mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha
maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor
onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak
tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406).
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan
ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban
seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari
7 orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam
pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan
adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban
meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim
sebagaimana dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri dan disebutkan
oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:
36)[1]. Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau
menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar
berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari
ketujuh setelah kelahiran.
Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan
pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah
Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net dibawah
bimbingan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah
no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang
punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang
dari pada berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau
pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban
karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit
hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan
antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka
lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang
terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.” (lih. Majmu’
Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyata an ulama di atas tidaklah saling
bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan
dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama
yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban terkait dengan
orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau
hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran
sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada
qurban terkait dengan orang yang kesulitan melunasi hutang atau
orang yang memiliki hutang dan pemiliknya meminta agar segera
dilunasi.
Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai
hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah
dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang
baik. Wallahu a’lam.
Hukum Qurban Kerbau
Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai
hukum dan keduanya dianggap sebagai satu jenis (Mausu’ah
Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara
tegas membolehkan berqurban dengan kerbau. Baik dari
kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari
madzhab Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan
Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban
dengan kerbau.
Isi Pertanyaan:
“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan adalam banyak sifat
sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci
penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci
penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam
surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”
Beliau menjawab:
“Jika kerbau termasuk (jenis) sapi maka kerbau sebagaimana sapi
namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam
alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan
kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’
Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan
ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau
hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu
a’lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di beberapa lembaga pendidikan di daerah
kita, ketika idul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan
kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa
dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk
membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini
bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam
islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan
oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai
ibadah qurban, alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan
tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana telah
dibahas sebelumnya, biaya pengadaan untuk seekor kambing
hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus
tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.
Karena biaya pengadaan kambing diambil dari sejumlah siswa.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci
menjadi tiga bentuk:
• Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama
namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih
hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan
keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang
telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala
qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya, termasuk yang
sudah meninggal.
• Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa
ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali
menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya
bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama
mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765).
Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai
perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak
ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak
ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama
Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang telah
meninggal, mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah
pendapat yang menyatakan bahwa berqurban atas nama
orang yang sudah meninggal secara khusus tanpa ada
wasiat sebelumnya adalah tidak disyariatkan. Karena Nabi r
tidak pernah melakukan hal itu. Padahal beliau sangat
mencintai keluarganya yang telah meninggal seperti istri
beliau tercinta Khadijah dan paman beliau Hamzah.
• Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena
mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban
untuk dirinya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit
untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka
menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki
Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh
Ibn Utsaimin 51)
Umur Hewan Qurban
Dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali
musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka
kalian boleh menyembelih domba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, diambil dari
kata sinnun yang artinya gigi. Hewan tersebut dinamakan
musinnah karena hewan tersebut sudah ganti gigi (bahasa jawa:
pow’el). Adapun rincian usia hewan musinnah adalah:
No. Hewan Usia minimal
1. Onta 5 tahun
2. Sapi 2 tahun
3. Kambing 1 tahun
jawa
4. Domba 6 bulan (domba Jadza’ah)
(lihat Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)
Apakah yang menjadi acuan usianya ataukah ganti
giginya?
Yang menjadi acuan hewan tersebut bisa digolongkan musinnah
adalah usianya. Karena penamaan musinnah untuk hewan yang
sudah genap usia qurban adalah penamaan dengan umumnya
kasus yang terjadi. Artinya, umumnya kambing yang sudah
berusia 1 tahun atau sapi 2 tahun itu sudah ganti gigi. Disamping
itu, ketika para ulama menjelaskan batasan hewan musinnah dan
hewan jadza’ah, mereka menjelaskannya dengan batasan usia.
Dengan demikian, andaikan ada sapi yang sudah berusia 2 tahun
namun belum ganti gigi, boleh digunakan untuk berqurban.
Allahu a’lam.
Berkurban dengan domba jadza’ah itu dibolehkan secara
mutlak ataukah bersyarat
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. An Nawawi
menyebutkan ada beberapa pendapat:
Pertama, boleh berqurban dengan hewan jadza’ah dengan syarat
kesulitan untuk berqurban dengan musinnah. Pendapat ini
diriwayatkan dari Ibn Umar dan Az Zuhri. Mereka berdalil dengan
makna dlahir hadis di atas.
Kedua, dibolehkan berqurban dengan domba jadza’ah (usia 6
bulan) secara mutlak. Meskipun shohibul qurban memungkinkan
untuk berqurban dengan musinnah (usia 1 tahun). Pendapat ini
dipilih oleh mayoritas ulama. Sedankan hadis Jabir di atas
dimaknai dengan makna anjuran. Sebagaimana dianjurkannya
untuk memilih hewan terbaik ketika qurban.
Insyaa Allah pendapat kedua inilah yang lebih kuat. Karena pada
hadis Jabir di atas tidak ada keterangan terlarangnya berqurban
dengan domba jadza’ah dan tidak ada keterangan bahwa
berqurban dengan jadza’ah hukumnya tidak sah. Oleh karena itu,
Jumhur ulama memaknai hadis di atas sebagai anjuran dan bukan
kewajiban. Allahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim An Nawawi 6/456)
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
a. Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4
[2]:
- Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya
Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum
buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu
matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula
hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan
hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan
termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
- Sakit dan jelas sekali sakitnya. Tetapi jika sakitnya belum jelas,
misalnya, hewan tersebut kelihatannya masih sehat maka boleh
diqurbankan.
- Pincang dan tampak jelas pincangnya
Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika
baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka
boleh dijadikan hewan qurban.
- Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat
di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih.
Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).
b. Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 [3]:
- Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
- Tanduknya pecah atau patah
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
c. Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh
dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari
itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya
tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak
berhidung. Wallahu a’lam (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Footnotes:
[1] Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: “Dulu Abu Hatim
pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya:
“Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya
mendengar Allah berfirman: ‫خي ٌْر‬ َ ‫ها‬
َ ‫في‬ ْ ُ ‫( ل َك‬kamu memperoleh
ِ ‫م‬
kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (Qs. Al
Hajj: 36). (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36)
[2] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan
apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab:
“Ada empat cacat…dan beliau berisyarat dengan tangannya.”
(HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih
oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika
menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang
terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat
sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban.
(Syarhul Mumthi’ 7/464)
[3] Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan
hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk
pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama
menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan
makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)
***
Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or. id
HUKUM-HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN HEWAN
KURBAN
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari
http://www.almanhaj .or.id/content/ 1281/slash/ 0
Ada beberapa hukum yang berkaitan dengan hewan kurban.
Sepantasnyalah bagi seorang muslim untuk mengetahuinya agar
ia berada di atas ilmu dalam melakukan ibadahnya, dan di atas
keterangan yang nyata dari urusannya. Berikut ini aku sebutkan
hukum-hukum tersebut secara ringkas.
PERTAMA
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor
domba jantan [1] yang disembelihnya setelah shalat Ied. Beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan.
"Artinya : Siapa yang menyembelih sebelum shalat maka tidaklah
termasuk kurban sedikitpun, akan tetapi hanyalah daging
sembelihan biasa yang diberikan untuk keluarganya" [2]
KEDUA
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada para
sahabatnya agar mereka menyembelih jadza' dari domba, dan
tsaniyya dari yang selain domba [3]
Mujasyi bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu mengabarkan bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya jadza' dari domba memenuhi apa yang
memenuhi tsaniyya dari kambing" [4]
KETIGA
Boleh mengakhirkan penyembelihan pada hari kedua dan ketiga
setelah Idul Adha, karena hadits yang telah tsabit dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam : (bahwa) beliau bersabda :
"Artinya : Setiap hari Tasyriq ada sembelihan" [5]
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah.
"Ini adalah madzhabnya Ahmad, Malik dan Abu Hanifah semoga
Allah merahmati mereka semua. Berkata Ahmad : Ini merupakan
pendapatnya lebih dari satu sahabat Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam. Al-Atsram menyebutkannya dari Ibnu Umar dan
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum"[6]
KEEMPAT
Termasuk petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bagi orang
yang ingin menyembelih kurban agar tidak mengambil rambut
dan kulitnya walau sedikit, bila telah masuk hari pertama dari
sepuluh hari yang awal bulan Dzulhijjah. Telah pasti larangan
yang demikian itu.[7]
Berkata An-Nawawi dalam "Syarhu Muslim" (13/138-39). "Yang
dimaksud dengan larangan mengambil kuku dan rambut adalah
larangan menghilangkan kuku dengan gunting kuku, atau
memecahkannya, atau yang selainnya. Dan larangan
menghilangkan rambut dengan mencukur, memotong, mencabut,
membakar atau menghilangkannya dengan obat tertentu[8] atau
selainnya. Sama saja apakah itu rmabut ketiak, kumis, rambut
kemaluan, rambut kepala dan selainnya dari rambut-rambut yang
berada di tubuhnya".
Berkata Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" (11/96). "Kalau ia
terlanjur mengerjakannya maka hendaklah mohon ampunan pada
Allah Ta'ala dan tidak ada tebusan karenanya berdasarkan ijma,
sama saja apakah ia melakukannya secara sengaja atau karena
lupa".
Aku katakan :
Penuturan dari beliau rahimahullah mengisyaratkan haramnya
perbuatan itu dan sama sekali dilarang (sekali kali tidak boleh
melakukannya -ed) dan ini yang tampak jelas pada asal larangan
nabi.
KELIMA
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memilih hewan kurban yang
sehat, tidak cacat. Beliau melarang untuk berkurban dengan
hewan yang terpotong telinganya atau patah tanduknya[9] .
Beliau memerintahkan untuk memperhatikan kesehatan dan
keutuhan (tidak cacat) hewan kurban, dan tidak boleh berkurban
dengan hewan yang cacat matanya, tidak pula dengan
muqabalah, atau mudabarah, dan tidak pula dengan syarqa'
ataupun kharqa' semua itu telah pasti larangannya. [10]
Boleh berkurban dengan domba jantan yang dikebiri karena ada
riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dibawakan
Abu Ya'la (1792) dan Al-Baihaqi (9/268) dengan sanad yang
dihasankan oleh Al-Haitsami dalam " Majma'uz Zawaid" (4/22).
KEENAM
Belaiu shallallahu 'alaihi wa sallam menyembelih kurban di tanah
lapang tempat dilaksanakannya shalat. [11]
KETUJUH
Termasuk petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa satu
kambing mencukupi sebagai kurban dari seorang pria dan seluruh
keluarganya walaupun jumlah mereka banyak. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Atha' bin Yasar [12] : Aku bertanya kepada
Abu Ayyub Al-Anshari : "Bagaimana hewan-hewan kurban pada
masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Ia menjawab :
"Jika seorang pria berkurban dengan satu kambing darinya dan
dari keluarganya, maka hendaklah mereka memakannya dan
memberi makan yang lain" [13]
KEDELAPAN
Disunnahkan bertakbir dan mengucapkan basmalah ketika
menyembelih kurban, karena ada riwayat dari Anas bahwa ia
berkata : "Artinya : Nabi berkurban dengan dua domba jantan
yang berwarna putih campur hitam dan bertanduk. beliau
menyembelihnya dengan tangannya, dengan mengucap
basmalah dan bertakbir, dan beliau meletakkan satu kaki beliau
di sisi-sisi kedua domba tersebut" [14]
KESEMBEILAN
Hewan kurban yang afdhal (lebih utama) berupa domba jantan
(gemuk) bertanduk yang berwarna putih bercampur hitam di
sekitar kedua matanya dan di kaki-kakinya, karena demikian sifat
hewan kurban yang disukai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam. [15]
KESEPULUH
Disunnahkan seorang muslim untuk bersentuhan langsung
dengan hewan kurbannya (menyembelihnya sendiri) dan
dibolehkan serta tidak ada dosa baginya untuk mewakilkan pada
orang lain dalam menyembelih hewan kurbannya. [16]
KESEBELAS
Disunnahkan bagi keluarga yang menyembelih kurban untuk ikut
makan dari hewan kurban tersebut dan menghadiahkannya serta
bersedekah dengannya. Boleh bagi mereka untuk menyimpan
daging kurban tersebut, berdasarkan sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam. "Artinya : Makanlah kalian, simpanlah dan
bersedekahlah" [17]
KEDUA BELAS
Badanah (unta yang gemuk) dan sapi betina mencukupi sebagai
kurban dari tujuh orang. Imam Muslim telah meriwayatkan dalam
"Shahihnya" (350) dari Jabir radhiyallahu 'anhu ia berkata.
"Artinya : Di Hudaibiyah kami menyembelih bersama Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam satu unta untuk tujuh orang dan satu
sapi betina untuk tujuh orang".
KETIGA BELAS
Upah bagi tukang sembelih kurban atas pekerjaannya tidak
diberikan dari hewan kurban tersebut, karena ada riwayat dari Ali
radhiyallahu ia berkata.
"Artinya : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
aku untuk mengurus kurban-kurbannya, dan agar aku bersedekah
dengan dagingnya, kulit dan apa yang dikenakannya[ 18] dan aku
tidak boleh memberi tukang sembelih sedikitpun dari hewan
kurban itu. Beliau bersabda : Kami akan memberikannya dari sisi
kami" [19]
KEEMPAT BELAS
Siapa di antara kaum muslimin yang tidak mampu untuk
menyembelih kurban, ia akan mendapat pahala orang-orang yang
menyembelih dari umat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena
Nabi berkata ketika menyembelih salah satu domba. "Artinya : Ya
Allah ini dariku dan ini dari orang yang tidak menyembelih dari
kalangan umatku" [20]
KELIMA BELAS
Berkata Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" (11/95) : "Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dan Al-Khulafaur rasyidun sesudah
beliau menyembelih kurban. Seandainya mereka tahu sedekah itu
lebih utama niscaya mereka menuju padanya.... Dan karena
mementingkan/ mendahulukan sedekah atas kurban
mengantarkan kepada ditinggalkannya sunnah yang ditetapkan
oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[Disalin dari kitab Ahkaamu Al-'iidaini Fii Al-Sunnah Al-
Muthatharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh
Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, terbitan
Putsaka Al-Haura, hal. 47-53, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa
Husein]
FootNote.
[1]. Akan datang dalilnya pada point ke delapan
[2]. Riwayat Bukhari (5560) dan Muslim (1961) dan Al-Bara' bin
azib.
[3]. Berkata Al-Hafidzh dalam "Fathul Bari" (10/5) : Jadza' adalah
gambaran untuk usia tertentu dari hewan ternak, kalau dari
domba adalah yang sempurna berusia setahun, ini adalah ucapan
jumhur. Adapula yang mengatakan : di bawah satu tahun,
kemudian diperselisihkan perkiraannya, maka ada yang
mengatakan 8 dan ada yang mengatakan 10 Tsaniyya dari unta
adalah yang telah sempurna berusia 5 tahun, sedang dari sapi
dan kambing adalah yang telah sempurna berusia 2 athun. Lihat
"Zadul Ma'ad" (2/317).
[4]. 'Shahihul Jami'" (1592), lihat " Silsilah Al-Ahadits Adl-Dlaifah"
(1/87-95).
[5]. Dikeluarkan oleh Ahmad (4/8), Al-Baihaqi (5/295), Ibnu
Hibban (3854) dan Ibnu Adi dalam "Al-Kamil" (3/1118) dan pada
sanadnya ada yang terputus. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabari
dalam 'Mu'jamnya" dengan sanad yang padanya ada kelemahan
(layyin). Hadits ini memiliki pendukung yang diriwayatkan Ibnu
Adi dalam "Al-Kamil" dari Abi Said Al-Khudri dengan sanad yang
padanya ada kelemahan. Hadits ini hasan Insya Allah, lihat
'Nishur Rayah" (3/61).
[6]. Zadul Ma'ad (2/319)
[7]. Telah lewat takhrijnya pada halaman 66, lihat 'Nailul Authar"
(5/200-203).
[8]. Campuran tertentu yang digunakan untuk menghilangkan
rambut.
[9]. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad (1/83, 127,129 dan
150), Abu Daud (2805), At-Tirmidzi (1504), An-Nasa'i (7/217) Ibnu
Majah (3145) dan Al-Hakim (4/224) dari Ali radhiyallahu 'anhu
dengan isnad yang hasan.
[10]. Muqabalah adalah hewan yang dipotong bagian depan
telinganya. Mudabarah : hewan yang dipotong bagian belakang
telinganya. Syarqa : hewan yang terbelah telinganya dan Kharqa :
hewan yang sobek telinganya. Hadits tentang hal ini isnadnya
hasan diriwayatkan Ahmad (1/80 dan 108) Abu Daud (2804), At-
Tirmidzi (4198) An-Nasa'i (7/216) Ibnu Majah (3143) Ad-Darimi
(2/77) dan Al-Hakim (4/222) dari hadits Ali radhiyallahu 'anhu.
[11]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (5552) An-Nasai 97/213) dan
Ibnu Majah (3161) dari Ibnu Umar.
[12]. Wafat tahun (103H) biografisnya bisa dibaca dalam
"Tahdzibut Tahdzib" (7/217).
[13]. Diriwayatkan At-Tirmidzi (1505) Malik (2/37) Ibnu Majah
(3147) dan Al-Baihaqi (9/268) dan isnadnya hasan.
[14]. Diriwayatkan oleh Bukhari (5558), (5564), (5565), Muslim
(1966) dan Abu Daud (2794).
[15]. Sebagaimana dalam hadits Aisyah yang diriwayatkan
Muslim (1967) dan Abu Daud (2792).
[16]. Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam
permasalahan ini di antara ulama, lihat point ke 13.
[17]. Diriwayatkan oleh Bukhari (5569), Muslim (1971) Abu Daud
(2812) dan selain mereka dari Aisyah radhiyallahu 'anha. Adapun
riwayat larangan untuk menyimpan daging kurban masukh
(dihapus), lihat 'Fathul Bari' (10/25-26) dan "All'tibar" (120-122).
Lihat Al-Mughni (11/108) oleh Ibnu Qudamah.
[18]. Dalam Al-Qamus yang dimaksud adalah apa yang dikenakan
hewan tunggangan untuk berlindung dengannya.
[19]. Diriwayatkan dengan lafadh ini oleh Muslim (317), Abu Daud
(1769) Ad-Darimi (2/73) Ibnu Majah (3099) Al-baihaqi (9/294) dan
Ahmad (1/79,123,132 dan 153) Bukhari meriwayatkannya (1716)
tanpa lafadh : "Kami akan memberinya dari sisi kami".
[20]. Telah lewat takhrijnya pada halaman 70
__._,_.___

Anda mungkin juga menyukai