Anda di halaman 1dari 16

Review Buku

Konstitusi dan Konstitusionalisme


Karya
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,S.H

Oleh :
Rachmat Hidayat

ii

Latar Belakang Buku


Konstitusi dan Konstitusionalisme
Karya
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,S.H
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,S.H.,dalam buku ini membahas sejarah awal
konstitusi di Indonesia,demokrasi,nomokrasi,prinsip kekuasaan,dan bagaimana
penerapan ideal sebuah konstitusi.Dalam pengantarnya,buku ini merupakan
refleksi dari perjalanan dan keterlibatan penulis dalam dunia ilmu
hukum.Keterlibatan penulis sebagai akademisi,politisi (ketika penulis menjadi
anggota legislatif), dan sebagai Hakim Konstitusi dituangkan dalam bentuk teoriteori dan ulasan ilmu hukum.
Buku ini berisi banyak memberikan ulasan mengenai konstitusi di
Indonesia.Walaupun di awal penulis memaparkan mengenai gagasan konstitusi
secara umum.Pembaca dibawa pada penjelasan secara historis perkembangan
konstitusi.Dalam memaparkan pandangan konstitusi saat masa Yunani kuno dan
Romawi Kuno,penulis juga memberikan pandangan pembanding tentang Piagam
Madinah Hal ini merupakan karakteristik penulis dalam memaparkan pandangan
konstitusi beliau yang dielaborasikan dengan parspektif penulis mengenai syariat
Islam dalam konteks kenegaraan yang berdasarkan pemahamanya.Pandangan ini
akan kita temui pada pembahasan-pembahasan dalam beberapa bab dalam buku
ini.

ii

Bab 1
Penulis
membahas
Konstitusi
dan
Konstitusionalisme.Secara
substantif,menguraikan pengertian,sejarah,dan kaitannya dengan Piagam
Madinah,serta karakter konstitusi dan konstitusionalisme modern.Kerangka
teoritik yang dipergunakan dalam menganalisis konstitusionalisme menggunakan
pemikiran William G. Andrews, yang menyatakan untuk menjamin tegaknya
konstitusionalisme pada umumnya bersandar pada tiga unsur kesepakatan,yaitu:
(i) kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama tentang pemerintahan,(ii)
kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan pemerintahan atau
penyelenggara negara,(iii) kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan
prosedur-prosedur ketatanegaraan .Dalam buku Hukum Perbandingan Konstitusi
(Jazim Hamidi & Malik) juga menggunakan teori yang sama menganalis teori
konstitusionalisme.
Disebutkan bahwa kontekstualisasi pemikiran Andrews menyangkut tujuan
atau cita-cita bersama merupakan falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara)
yang
berfungsi
sebagai filosofische
grondslag atau common
platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks
kehidupan bernegara.Dasar filsosofis-sosiologis di Indonesia adalah Pancasila
serta perwujudan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara yang disebutkan
dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945.Ketiga kesepakatan tersebut melengkapi
inti yang menyangkut prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan. Pada
pokoknya, prinsip konstitusionalisme modern sebenarnya memang menyangkut
prinsip pembatasan kekuasaan atau yang lazim disebut sebagai prinsip limited
government.

ii

Bab 2
Penulis secara khusus membahas konstitusi Indonesia dari masa ke
masa.Pembahasan mengenai konstitusi yang ada di Indonesia diulas secara
komprehensif.Pembahasan dilakukan dari kajian historis perkembangan perubahan
konstitusi Indonesia (UUD) sampai amandemen terakhir.
Berkenaan dengan prosedur perubahan Undang-Undang Dasar,Penulis
memaparkan adanya tiga tradisi yang berbeda antara satu negara dengan negara
lain.Pertama,kelompok negara yang mempunyai kebiasaan mengubah materi
Undang-Undang Dasar dengan langsung memasukkan materi perubahan itu ke
dalam naskah Undang-Undang Dasar. Dalam kelompok ini dapat disebut,
misalnya Republik Perancis,Jerman,Belanda,dan sebagainya.Kedua,kelompok
negara-negara yang mempunyai kebiasaan mengadakan penggantian naskah
Undang-Undang Dasar.Di lingkungan negara-negara ini, naskah konstitusi sama
sekali diganti dengan naskah yang baru, seperti pengalaman Indonesia dengan
Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950.
Ketiga,yaitu perubahan konstitusi melalui naskah yang terpisah dari teks
aslinya,yang disebut sebagai amandemen.Dengan tradisi demikian, naskah asli
Undang-Undang Dasar tetap utuh, tetapi kebutuhan akan perubahan hukum dasar
dapat dipenuhi melalui naskah tersendiri yang dijadikan adendum tambahan
terhadap naskah asli tersebut.Dapat dikatakan, tradisi perubahan demikian
memang dipelopori oleh Amerika Serikat.Perubahan UUD 1945 yang telah
berlangsung empat kali berturut-turut sampai sekarang, sesungguhnya, tidak lain
juga mengikuti mekanisme perubahan gaya Amerika Serikat itu.

ii

Bab 3
Penulis membahas mengenai prinsip dasar penyelenggaraan negara.Pembahasan
dilatarbelakangi substansi pembukaan UUD yang memuat pokok-pokok pikiran,
cita-cita luhur, dan filosofis bangsa Indonesia.Adapaun dalam penyelenggaraan
Negara Indonesia dilaksanakan berdasarkan Pancasila.
Penulis mengemukakan adanya sembilan prinsip pokok yang mendasari
penyusunan sistem penyelenggaraan Negara Indonesia dalam rumusan UndangUndang di masa depan. Kesembilan prinsip itu adalah: (i) Ketuhanan Yang Maha
Esa, (ii) Cita Negara Hukum atau Nomokrasi, (iii) Paham Kedaulatan Rakyat atau
Demokrasi, (iv) Demokrasi Langsung dan Demokrasi perwakilan, (v) Pemisahan
Kekuasaan dan Prinsip Checks and Balances, (vi) Sistem Pemerintahan
Presidensiil, (vii) Prinsip Persatuan dan Keragaman dalam Negara Kesatuan, (viii)
Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Pasar Sosial, dan (ix) Cita Masyarakat Madani.
Kesembilan prinsip pokok itu ditemukan dan ditelaah secara mendalam
dari berbagai pergumulan pemikiran yang berkembang di kalangan para ahli dan
di kalangan para perumus dan perancang naskah Undang-Undang Dasar maupun
naskah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sejak tahun 1945 sampai sekarang.
Namun ada hal kecil yang agak mengganggu yakni kesalahan penulisan
jumlah prinsip penyelenggaraan negara yang dilakukan berulang sebanyak 2 kali.
Jumlah prinsip tersebut ditulis sebanyak sepuluh prinsip.Padahal jumlah prinsip
yang dipaparkan hanya sembilan.

ii

Bab 4
menurut saya,penulis dengan karakter khasnya dalam melakukan analisa
Perumusan Prinsip Ketuhanan menjelaskan antara pemikiran Islam dan pemikiran
Barat dalam runtutan penjabaran secara historis.Menurut penulis, bangsa
Indonesia berbeda dari paham teokrasi yang mewujudkan ide Kedaulatan Tuhan
itu ke dalam paham Kedaulatan Raja.Bangsa Indonesia mewujudkan paham
Kedaulatan Tuhan itu dalam dan melalui konsep Kedaulatan Rakyat dan
Kedaulatan Hukum.Pandangan demikian kiranya lebih sesuai dengan prinsip
tauhid menurut ajaran agama Islam yang dianut oleh sebagian terbesar rakyat
Indonesia, dan sejalan pula dengan prinsip ke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai
sila pertama Pancasila.Adapun dalam perubahan dari perumusan Piagam Jakarta
penulis mengutip pendapat Umar Basalim mengenai mengenai kedudukan
syariat Islam yang dikaitkan dengan pencoretan ketujuh perkataan dari naskah
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Pertama, kelompok yang berpendapat
bahwa pencoretan itu terjadi karena pertimbangan untuk memelihara persatuan di
antara sesama warga bangsa yang menganut berbeda-beda agama.Penulis
berpendapat, kelemahan pandangan ini yang bersifat pragmatis cenderung
menyederhanakan persoalan. Pandangan pragmatis ini tidak menyelesaikan
konflik (conflict resolution),melainkan hanya sekedar menghindari konflik atau
malah menghindar dari upaya untuk menyelesaikan perbedaan dan
persengketaan (conflict avoidance).
Kedua,kelompok yang berpendapat bahwa pemberlakuan syariat Islam di
kalangan masyarakat yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam
merupakan kewajiban yang mutlak sifatnya.Menurut penulis, pemberlakuan
syariat Islam itu tidak perlu mengkhawatirkan para pemeluk agama selain Islam,
karena subjek hukum yang dituju oleh pemberlakuan syariat Islam itu adalah
hanya kaum Muslimin.Ketiga,kelompok yang berpendapat lebih realistis.
Pandangan penulis bahwa syariat Islam tidak perlu dan tidak boleh direduksikan
maknanya sekedar menjadi persoalan internal institusi negara.Hukum negara
harus mencerminkan esensi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
memang sudah seharusnya, yaitu diwujudkan melalui prinsip yang saya namakan
hirarki norma dan elaborasi norma.Pada bab ini penulis juga memuat
ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia. Menurut penulis hal ini
sangat penting dalam memberikan jaminan konstitusional.Hal itu bahkan dianggap
merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip Negara hukum di suatu Negara.
Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipahami bahwa setiap
orang memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang juga bersifat asasi.

ii

ii

Bab 5
merupakan pembahasan Cita Demokrasi dan Nomokrasi.Ulasan dimulai
dengan membedah konsepsi gagasan kedaulatan.Penulis memaparkan dengan
membandingkan antara pemikiran Islam dan pemikiran Barat dalam runtutan
penjabaran secara historis.Pengertian kata kedaulatan dalam makna klasiknya
berkaitan erat dengan gagasan mengenai kekuasaan tertinggi,baik di bidang
ekonomi maupun terutama di lapangan politik. Makna kekuasaan yang bersifat
tertinggi itu,terkandung pula dimensi waktu dan proses peralihannya sebagai
fenomena yang bersifat alamiyah.Pandangan seperti ini terdapat pula dalam
pemikiran Ibn Khaldun mengenai naik tenggelamnya kekuasaan negara-negara
dalam sejarah umat manusia.
Pandangan Ibnu Khaldun inilah yang sebenarnya mempengaruhi Niccolo
Maciavelli (1461-1527,yang lahir kurang lebih 6 tahun setelah Ibnu Khaldun
wafat)
ketika
menulis
karya
monumentalnya lPrince.Buku ini,
seperti Mukadimah, juga mengungkapkan teori yang sangat mirip mengenai naiktenggelamnya negara dalam sejarah umat manusia.Di dunia ilmu pengetahuan,
tokoh yang dapat disebut sebagai pelopor pertama yang membahas ide kedaulatan
ini sebagai konsep kekuasaan tertinggi di dunia ilmu pengetahuan adalah Jean
Bodin (1530-1596). Setelah Jean Bodin,tokoh yang harus disebut jasanya dalam
mengembangkan studi mengenai konsep kedaulatan ini adalah Thomas
Hobbes.Adapun kedaulatan dalam pandangan klasik tidak dapat dipisahkan dari
konsep negara.Menurut penulis, pandangan Bodin maupun Hobbes ini, betapapun
juga dapat dianggap merupakan cermin dari atau mencerminkan pandangan yang
sangat dipengaruhi oleh paham liberalisme yang dikembangkan karena kebutuhan
untuk melawan serta membebaskan zamannya dari kungkungan kesewenangwenangan Raja.Kemudian dalam perkembangannya penulis mengemukakan
pendapat para ahli dalam kritik atas kelemahan definisi klasik seperti Rossseau
(1712-1778),
Montesquieu
(1681-1755),John
Austin,dan
Jeremy
Bentham.Menurut penulis,konsep kedaulatan dewasa ini haruslah dipahami
sebagai konsep kekuasaan tertinggi yang dapat saja dibagi dan
dibatasi.Pembatasan kekuasaan itu, betapapun tingginya, harus dapat dilihat dalam
sifatnya yang internal yang biasanya ditentukan pengaturannya dalam konstitusi
yang pada masa kini biasanya dikaitkan dengan ide konstitusionalisme negara
modern.Artinya, di tangan siapapun kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu
berada, terhadapnya selalu diadakan pembatasan oleh hukum dan konstitusi
sebagai produk kesepakatan bersama para pemilik kedaulatan itu sendiri.Pada sub

ii

bab tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat,penulis menggambarkan fenomena


demokratisasi di hampir seluruh negara di dunia.Konsep demokrasi itu
dipraktekkan di seluruh dunia secara berbeda-beda dari satu negara ke negara
lain.Akan tetapi fenomena tersebut hanya sebagai paradigma dalam bahasa
komunikasi dunia mengenai sistem pemerintahan dan sistem politik yang diangap
ideal.Oleh karena itu, bisa saja pada suatu hari nanti, timbul kejenuhan atau
bahkan ketidakpercayaan yang luas mengenai kegunaan praktis konsep demokrasi
modern ini.Penulis sendiri memberikan pandangan mengenai demokrasi dan
kedaulatan rakyat bahwa rakyat mempunyai otoritas tertinggi untuk menetapkan
berlaku tidaknya suatu ketentuan hukum dan mempunyai otoritas tertinggi untuk
menjalankan dan mengawasi pelaksanaan ketentuan hukum. Dengan perkataan
lain,rakyat berdaulat,baik dalam perencanaan,penetapan,pelaksanaan,maupun
evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan produk hukum yang mengatur
proses pengambilan keputusan dalam dinamika penyelenggaraan negara dan
pemerintahan yang berkaitan dengan nasib dan masa depan mereka sendiri sebagai
rakyat negara yang bersangkutan.
Pandangan penulis dalam sub bab Nomokrasi dan Konsep Negara Hukum
dimulai dengan memaparkan teori konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental
dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant,Paul Laband,Julius
Stahl,Fichte,dan
lain-lain
dengan
menggunakan
istilah
Jerman,yaitu rechtsstaat.Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika,konsep
negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan The
Rule of Law.Pembahasan yang dilakukan sepertinya kurang komprehensif.Tidak
seperti Muhammad Tahir Azhary dalam buku Negara Hukum:Suatu Studi
tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,Implementasinya pada
Periode Negara Madinah dan Masa Kini yang tidak hanya memaparkan konsep
negara hukum dari negara-negara Eropa kontinental dan negara-negara AngloSaxon tetapi juga negara-negara komunis/sosialis dengan istilah Sosialist
Legality dan nomokrasi Islam.Namun demikian, penulis berpendapat agar
dilakukan perumusan kembali prinsip pokok negara hukum yang berlaku di zaman
sekarang.Prinsip-prinsip tersebut yaitu Supremasi Hukum,Persamaan dalam
Hukum,Asas
Legalitas ,Pembatasan
Kekuasaan,Organ-Organ
Eksekutif
Independen,Peradilan Bebas dan Tidak Memihak,Peradilan Tata Usaha
Negara,Peradilan Tata Negara,Perlindungan Hak Asasi Manusia,Bersifat
demokratis ,Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan negara,serta
Transparansi
dan Kontrol Sosial.Kedua belas prinsip pokok tersebut

ii

merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negaramodern


sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sebenarnya.

ii

Bab 6
Pembahasan Organ Negara dan Pemisahan Kekuasaan terdapat
dalam.Diawal penulis mempersoalkan hakikat kekuasaan yang dilembagakan atau
diorganisasikan kedalam bangunan kenegaraan. Di Indonesia, menurut penulis,
konsep kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum, dan kedaulatan rakyat itu berlaku
secara simultan dalam pemikiran bangsa kita tentang kekuasaan. Ketiga konsep
kedaulatan tersebut dengan latar belakang pemikiran yang tumbuh dan
berkembang sejak sebelum kemerdekaan, dan di dalamnya dengan cita
kenegaraan (staatsidee)yang terkandung dalam rumusan Undang-Undang Dasar.
Dalam UUD NRI 1945 mengenal perspektif pembagian kekuasaan yang
bersifat vertikal itu, prinsip kesederajatan dan perimbangan kekuasaan itu tidaklah
bersifat primer. Menurut penulis, prinsip pembagian kekuasaan atau pemisahan
kekuasaan ini penting untuk dijernihkan karena pilihan di antara keduanya sangat
mempengaruhi mekanisme kelembagaan dan hubungan antar lembaga negara
secara keseluruhan.Pengaturan dan pembatasan kekuasaan tersebut menjadi ciri
konstitusionalisme dan sekaligus tugas utama konstitusi, sehingga kemungkinan
kesewenang-wenangan kekuasaan dapat dikendalikan dan diminimalkan.
Kemudian, penulis membahas beberapa cabang-cabang kekuasaan negara
yang terdapat dalam UUD NRI 1945. Pembahasan dianalisa dari segi substansi
dan yuridis diantaranya dalam cabang kekuasaan legislatif (MPR, DPR, DPRD),
Badan Periksaan Keuangan, kekuasaan pemerintah negara (eksekutif), dan
kekuasan kehakiman (MA, MK, KY). Penulis menggambarkan kondisi ideal
lembaga-lembaga negara tersebut.

ii

Bab 7
mengulas Bentuk Negara Kesatuan dengan Otonomi Luas.Menurut penulis
masih terdapat kelemahan rumusan di atas terkait dengan pengertian bentuk
negara yang tidak dibedakan dari pengertian bentuk pemerintahan.Padahal,
kedua konsep ini sangat berbeda satu sama lain.Karena yang dibicarakan adalah
bentuk negara berarti bentuk organ atau organisasi negara itu sebagai keseluruhan.
Jika yang dibahas bukan bentuk organnya,melainkan bentuk penyelenggaraan
pemerintahan atau bentuk penyelenggaraan kekuasaan maka istilah yang lebih
tepat dipakai adalah istilah bentuk pemerintahan.Istilah ini pun harus dibedakan
pula dari istilah sistem pemerintahan yang menyangkut pilihan antara sistem
presidential,sistem parlementer,atau sistem campuran.Selain itu,penulis menyoroti
perkembangan dan konsep otonomi daerah di Indonesia.Dalam sejarah
awal,penulis mengemukakan pandangan Bung Hatta dalam merumuskan UUD
1945.Menurutnya, bentuk negara federal lebih tepat untuk bangsa Indonesia yang
dikenal sangat majemuk,bukan negara kesatuan (unitary state).Akan tetapi karena
argumen-argumen kalangan pergerakan lainnya nampaknya cukup meyakinkan
baginya bahwa dalam wadah Negara Kesatuan yang hendak dibangun,sudah
dengan sendirinya daerah-daerah dapat dibangun atas dasar prinsip
desentralisasi.Menurut penulis,semangat Negara Kesatuan dengan prinsip
Otonomi Daerah yang luas inilah yang sebenarnya meyakinkan orang seperti
Bung Hatta, sehingga ide Negara Federal dinilai menjadi tidak lagi memiliki
relevansi.
Pembahasan dilanjutkan dengan perkembangan otonomi daerah setelah
kemerdekaan sampai dengan periode Demokrasi Terpimpin yang digambarkan
bagaimana tantangan yang dihadapi oleh gagasan otonomi daerah dan prinsip
desentralisasi yang luas.Setelah terjadinya pergantian Presiden pada tahun 1967,
barulah muncul kembali apresiasi mengenai pentingnya prinsip otonomi daerah
dan desentralisasi pemerintahan. Hal ini terlihat dengan jelas dalam TAP MPRS
tanggal 5 Juli 966, No. XXI/MPRS/ 966 tentang Pemberian Otonomi Seluasluasnya Kepada Daerah. Akan tetapi oleh penulis digambarkan
bahwa kenyataannya di lapangan, idealisme yang muncul dalam suasana peralihan
kekuasaan yang menjanjikan demokrasi dan otonomi daerah itu tidak segera dapat
dilaksanakan.Setelah memasuki masa reformasi pada tahun 1998 yang juga
ditandai dengan terjadinya pergantian kekuasaan dari Presiden Soeharto ke
Presiden B.J. Habibie, aspirasi mengenai otonomi daerah dan desentralisasi
muncul kembali dengan penuh janji dan optimisme.

ii

Dalam perkembangan otonomi daerah tersebut,penulis mengajak pembaca


untuk melihat dalam pelaksanaan otonomi daerah. Sebab di lapangan banyak
sekali kasus-kasus dan dampak samping yang terjadi dan menurunkan apresiasi
masyarakat luas akan kebijakan otonomi daerah itu sendiri.Tinggal yang menjadi
persoalan adalah bagaimana agar kebijakan otonomi daerah tetap dapat
diwujudkan, tetapi ekses-ekses dan kecenderungan timbulnya gejala eforia dan
sikap kebablasan juga dapat ditanggulangi secara rasional.Dengan demikian,
otonomi daerah dilihat sebagai solusi, bukan problem ataupun ancaman yang
menakutkan.

ii

Bab 8
mengenai Perangkat Peraturan Perundang-Undangan sepertinya penulis
harus segera melakukan revisi. Sebab, pada bab ini penulis masih menggunakan
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan dalam mementukan hierarki perundang-undangan. Padahal, sudah ada
perubahan hierarki perundang-undangan dengan adanya UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada bab ini adanya
perubahan perundang-undangan merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Wajah
hukum pada beberapa tahun yang lalu tentu bisa saja telah berbeda ketika tahun
juga bergeser. Ada peraturan perundang-undangan yang baru, ada aturan baru,
bahkan ada komposisi kenegaraan serta pola bernegara yang baru.
Selain itu, dalam bab ini penulis menempatkan peraturan dalam arti sempit
dan luas yang digunakan secara silih berganti. Pengertian tentang sumber tertib
hukum memuat pengertianyang lebih luas, yaitu tidak hanya mencakup aneka
putusan legislatif dan eksekutif yang dapat dijadikan sumber hukum, tetapi
mencakup pula putusan-putusan pengadilan dalam lingkungan kekuasaan
judikatif. Sedangkan bentuk-bentuk dan tata-urut peraturan hanya mencakup
putusan-putusan cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif yang isinya dapat
bersifat mengatur (regeling), dan karena itu disebut dengan peraturan. Akan tetapi,
pengertian peraturan dalam arti luas dapat pula mencakup putusan-putusan yang
bersifat administratif yang meskipun tidak bersifat mengatur tetapi dapat dijadikan
dasar bagi upaya mengatur kebijakan yang lebih teknis.

ii

Bab 9
sekaligus epilog, penulis ingin menyampaikan ide aganda strategis
pembangunan sistem hukum nasional. Kemunduran penegakan hukum dengan
maraknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menyebabkan citra hukum yang
tidak memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Tidak sedikit yang
memandang hukum bak penyakit yang kronis dengan berbagai komplikasi. Sistem
hukum nasional harus segera berbenah diri untuk keluar dari persoalan yang sudah
menggurita. Penanganan melalui cetak biru dan desain makro penjabaran ide
negara hukum harus dirumuskan secara sistemis dan komprehensif. Hal ini
dipandang perlu dilakukan untuk menciptakan bangsa Indonesia yang diidealkan
dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu Negara Hukum. Hal ini
juga secara tegas termaktub dalam Perubahan Keempat UUD 1945 Pasal 1 ayat
(3) bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Oleh karena itu, penulis memandang perlu melakukan agenda strategis
melalui penataan sistem hukum, penataan kelembagaan hukum, pembentukan dan
pembaharuan hukum, penegakan hukum dan hak asasi manusia, pemasyarakatan
dan pembudayaan hukum, peningkatan kapasitas profesional hukum, dan
infrastruktur sistem kode etika positif.
Secara keseluruhan, buku ini adalah sebuah pengantar yang komprehensif
memahami konstitusi dan konstitusionalisme secara khusus dalam konteks keIndonesia-an. Satu nilai lebih buku ini, meskipun ditulis dalam topik-topik yang
khusus di setiap babnya, tetapi benang merah diantara topik dimaksud sangat jelas
terbaca, sehingga buku ini mudah untuk dipahami.

ii

Daftar Pustaka
Asshiddiqie,Jimly.2014.Konstitusi dan Konstitusionalisme.Jakarta:Sinar Gravika

ii

Anda mungkin juga menyukai