Anda di halaman 1dari 3

HAM sebagai sebuah hak dasar

Dalam tulisan kali ini,saya berharap dapat mengupas ham maupun humanisme secara
universal.Secara lebih abstrak dan secara lebih mendasar dalam pengertian kita
sebagai manusia yang di karuniakan akal oleh tuhan.
Berbicara tentang HAM pada saat ini,aku,kalian ataupun mungkin kita
bersama.Tidaklah benar-benar sedang membicarakan HAM dalam arti yang
sebenarnya.Kita selalu lagi dan lagi terkungkung dalam sebuah persepsi sempit bagai
dalam sebuah kandang besi,begitu kalau boleh saya mengutip kata-kata max
webber.Kapan webber berkata demikian ?,yah memang tidak sama persis dengan
ungkapan saya yang tadi itu.Namun weber pernah berkata dalam salah satu bukunya
bahwa manusia akan terkungkung dalam sebuah kandang besi yang sangat kaku dan
statis.
Begitu juga ham apabila kita hanya mengacu pada uu no 39 tahun 1999,UUD 1945
pasal 28,UDHR dll.Karena ham ataupun humanisme dalam makna yang lebih luas
tidak hanya seperti yang termaktup dalam undang-undang saja,bahkan undangundang yang sampai sekarang kita yakini sebagai undang-undang kemanusian justru
malah lagi-lagi menjadi pembatas bagi ham,contohnya adalah pasal 28 j ayat 2 yang
masih membatasi ham dengan agama dan moral.
Tentu saja saya tidak berkeberatan apabila agama dan moral disini diartikan sebagai
sebuah hasil dari rasionalisasi akal manusia menuju kehidupan manusia yag
beradab.Tapi yang menjadi persoalan adalah apabila agama dan moral disini diartikan
sebagai sebuah pembatasan daya pikir manusia yang di dasarkan pada hukum langit
yang sebenarnya tidak ada manusia yang mengetahui,kalau memang hukum langit
tersebut benar-benar ada.
Sehingga munculalah aliran fideisme (iman tidak membutuhkan akal),ataupun
moralitas eksklusif yang menutup diri pada masyarakat universal.Padahal kalau kita
menilik lebih jauh lagi,nabi muhammad mendapatkan wahyu al quran dalam keadaan
sedang merenung.Dalam ilmu pengetahuan,hal ini merupakan sebuah proses berfilsafat.
Humanisme sebenarnya mulai di dengung-dengungkan sejak masa yunani kono,dan
dibuktikan dengan penentangan-penentangan para filsuf pada dewa-dewa yang
dianggap tidak rasional tersebut.Namun humanisme modern secara umum merupakan
sebuah anti tesis dari abad pertengahan yang di kenal sebagai masa kegelapan (the
dark ages),sebuah masa dimana ilmu pengetahuan,filsafat dan kebebasan berfikir
begitu di tentang bahkan di kekang.Sebuah masa di saat segala aspek dalam
kehidupan begitu berpaku pada agama yang dalam hal ini berwujud gereja sentris,dan
keadaan demikian di mulai sejak kaisar justinianus mengeluarkan undang-undang
untuk melarang segala ajaran tentang filsafat.
Posisi negara-pun,pada waktu itu kedudukanya hanyalah sebagai perpanjangan
tangan agama.Begitupun dengan ilmu pengetahuan yang hanya menyampaikan halhal yang tidak bertentangan dengan agama,sehingga lahirlah filsuf-filsuf semacam
agustinus maupun thomas aquinas.Namun bukan berarti kita boleh meniadakan peran
mereka,karena banyak juga hal-hal yang dapat kita ambil dan menjadi pelengkap dari
ii

proses panjang mewujudkan sebuah masyarakat yang humanis.Semacam adagium si


enim fallor sum (aku ragu,maka aku ada) yang merupakan salah satu kutipan paling
terkenal dari agustinus maupun sistem tingkatan atau hierarki yang di utarakan
thomas aquinas.
Dan di masa ini juga terjadi sebuah perang yang kita kenal dengan perang salib,yang
menyebabkan perekonomian bangsa romawi merosot dengan sangat tajam.sehingga
gereja mempergunakan otoritasnya untuk memungut sejumlah uang dari masyarakat
dengan imbalanya adalah pengampunan bagi para pendosa.namun kemudian muncul
seseorang bernama martin luther yang menentang hal tersebut dan di dukung
beberapa kelompok yang di sebut evangelist.Dan hal inilah yang akan memicu perang
saudara di eropa selama 30 tahun dan baru berakhir setelah diadakanya perjanjian
westphalia pada tahun 1648.
Setelah masa tersebut,posisi agama di eropa mulai berada dalam keadaan krisis dan
telah banyak orang yang mencoba mempertanyakan dogma-dogma tentang
agama.Sehingga munculah paham humanisme yang di perkenalkan oleh imanuel kant
pada abad ke 18,sebuah paham yang menjadi anti tesis dari abad pertengahan dimana
masyarakat dalam keadaan theosentris menjadi sebuah dunia yang serba
antroposentris.Humanisme disini merupakan sebuah pengukuhan manusia sebagai
sebuah subjek yang bebas untuk menggunakan nalar dan juga akal pemikiranya,dan
yang terpenting humanisme bukanlah sebuah pemberian dari tuhan.
Namun bukan berarti setelah itu humanisme dapat diterima sebagai sebuah paham
baru yang menciptakan masyarakat yang universal tanpa partikular-partikular
sektarian.Namun justru melahirkan jurang yang sangat dalam antara kelompokkelompok yang theosentris dan kelompok masyarakat yang antroposentris.Padahal
hal tersebut sebenarnya bukanlah hal yang bertentangan ataupun bertolak
belakang,karena sesungguhnya tuhan tidak pernah melarang manusia untuk
berfikir.Sehingga kita diberikanya sebuah akal yang tentu saja kegunanya bukanlah
untuk menyimpan sisa makanan bukan ?.
Nyatanya peradaban timur sempat dalam keadaan yang begitu tinggi saat mereka
tidak menciptakan jurang pemisah antara ketuhanan dan kemanusiaan,tepatnya pada
saat eropa mengalami zaman kegelapan.Saat itu mucul flsuf-filsuf macam al
khawarizmi,ibnu khaldun,al jabar,al khindi dan al farabi yang banyak menulis tentang
filsafat aristoteles.Karena sejatinya yang membatasi manusia untuk berfikir adalah
para wakil tuhan di dunia,yang begitu takut akan kehilangan legitimasinya apabila
semua manusia mendapatkan kebebasan untuk berfikir.Dan inilah yang menjadi
landasan bagi nietczhe untuk mengatakan bahwa tuhan telah mati.
Namun ditengah-tengah hegemoni humanisme universal tersebut,pada abad ke 20
munculah sebuah politik identitas.Sebuah langkah politik yang mencoba
mendiferensikan antara satu golongan dengan golongan yang lain tapi masih dalam
wilayah yang bernama masyarakat universal,dan menjadi tonggak awal dari
pluralisme itu sendiri.
Karena humanisme universal yang di gagas oleh imanuel kant tersebut dirasa masih
sangat bersifat euro sentris,ya tentu saja hal ini karena imanuel kant tidak pernah
ii

keluar dari sebuah kota kecil bernama konisberg,dan dari kota itulah ia memikirkan
tentang dunia.sehingga menimbulkan sebuah politik apharteid dimana orang-rang
berkulit hitam selalu di diskrimanasi bahkan dianggap bukan manusia.
Tentu hal yang demikian adalah sebuah pemikiran yang berharga bagi perkembangan
paham humanisme universal tersebut,karena mereka hanya ingin menyatakan bahwa
perbedaan merupakan sebuah keniscayaan dan kita memiliki sebuah esensi yang
sama sebagai seorang manusia.Namun kemudian menjadi masalah saat kelompokkelompok tersebut mencoba menunjukan identitas mereka untuk memaksakanya agar
di terima oleh semua pihak.Karena menurut nietzche kesamaan akan tetap sama dan
ketidak samaan tak akan menjadi sama.Sehingga jangan pernah samakan sesuatu
yang tidak sama.
Kemudian menyatakan bahwa pihak-pihak yang tak sependirian dengan mereka
sebagai musuh dan berhak untuk di tindas kapanpun dan dimanapun.Semacam
fenomena isis sekarang ini.
Sekarang pun politik identitas seakan kembali muncul di permukaan melalui
perjuangan kaum-kaum syiah,ahmadiyah,lgbt yang mencoba lepas dari jurang
diskriminasi dan masuk ke dalam sebuah masyarakat universal.Bukan melakukan
politik identitas untuk menunjukan bahwa merekalah yang paling baik,tapi mencoba
ber-harmoni dalam sebuah keberagaman.
Namun bukan berarti humanisme universal menjadi sebuah faham yang tanpa cela
sedikitpun,hanya saja sampai saat ini masih begitu relevan untuk menciptakan sebuah
masyarakat yang mampu untuk berharmoni antara satu dengan yang lain.
Humanisme universal juga bukanlah sebuah faham yang lepas dari kritik dan seakan
akan menjadi sebuah berhala intelektual.Karena banyak juga faham baru tentang
humanisme yang menjadi anti tesis dari humanisme universal yang dianggap terlalu
vulgar tersebut karena sangat mengesampingkan nilai budaya maupun agama.Seperti
faham humanisme lentur yang di gagas oleh budi hardiman,karena dianggap cukup
relevan untuk diterapkan dalam masyarakat indonesia sekarang ini.Yaitu dengan cara
melakukan sinergi antara humansme dan religiusitas,namun jangan sampai
religiusitas menjadi pengontrol dari humanisme,namun berdiri sesuai bagianya
masing-masing.Sehingga tidak menciptakan sebuah masyarakat absolitisme seperti
ketika abad pertengahan.

ii

Anda mungkin juga menyukai