Anda di halaman 1dari 1

Dengan berdasarkan atas keresahan kami terhadap birokrasi Universitas,khususnya Universitas

Negeri Semarang. Yang menerapkan sistem otoritarian dalam pengambilan setiap keputusan,dan
tanpa melibatkan mahasiswa dalam proses penggodokanya. Kami dari Human Rights Institute
menyatakan bahwa semua itu merupakan sebuah tindakan tak manusiawi. Bahkan lebih dari itu
merupakan sebuah kebijakan yang inkonstitusional.
Oleh karena itu kami, berdasarkan sebuah diskusi yang panjang dan melibatkan segenap
kesadaran. Kami memutuskan untuk membuat sebuah Kampanye Intelektual, yang akan di
selenggarakan pada hari Rabu, 30 November 2016, yang akan di isi dengan pembacaan 25 lebih
puisi dan monolog, dan di akhiri dengan orasi intelektual yang di antaranya akan
memperlihatkan kesewenang-wenangan birokrat dalam menetapkan Uang Kuliah Tunggal
(UKT) yang tak ber-peri kemanusian.
Konsep pendidikan untuk kaum tertindas yang menjadi tujuan revolusi tak pernah terlihat secara
nyata selama ini hanya menjadi retorika belaka dan tak terlihat implementasinya. Harapan
pendidikan untuk melepaskan kaum-kaum tertindas dari kebodahan dan kesewenang-wenangan
penguasa tak pernah tercapai, pendidikan malahan hanya tempat meraup untung sebanyakbanyaknya. Yah, mungin inilah yang kita kenal bersama dengan kapitalisme pendidikan yang
nyata. Semoga saja gagasan Paulo Freire dan Y.B. Mangun Wijaya bukan hanya menjadi katakata yang cukup di eja saja, tapi lebih dari itu digunakan untuk mengontrol realitas-realitas social
pendidikan yang ada.
Ditambah lagi, perguruan tinggi memanglah hanya tempat untuk melestarikan ideology dan
moralitas-moralitas usang penguasa yang takut tak lagi berkuasa. Begitu banyak kebijakan di
ciptakan dan di bentuk tanpa sebuah standar moralitas yang jelas,kalau boleh dengan kasar kami
menyebutnya, perguruan tinggi tak benar-benar ber mimpi menciptakan intelektual-intelektual
sejati dengan segenap agenda perbahan yang di simpan,melainkan hanya ber cita-cita
membentuk para intelektual-intelektual pekerja yang buta akan wawasan kebangsaan.ketakutanketakuatan dalam pendidikan seakan-akan selalu di ikut sertakan.
Mungkin memang salah harapanku waktu itu,pernah ku bayangkan kampus rakyatku sebagai
surga pengetahuan. Tapi realitas yang ada malah semakin lama malah melukai persasaanku,
pengamanan-pengamanan bersifat represif dari penguasa tak cukup waktu bagi kami untuk
menghitungnya.
Pengetahuan dan paham-paham di pilih secara selektif dan di tentukan oleh mereka, kami hanya
boleh mempelajari pengetahuan yang sejalan dengan pemikiran mereka. Paham-paham baru
yang di khawatirkan menciptakan manusia-manusia kritis tentu saja akan di tentang. Sehingga
kami rasa memang sudah saatnya bagi mahasiswa untuk menggugat.

Anda mungkin juga menyukai