Merasa terhina oleh kehidupan bukanlah jalan yang nyata baginya, hanya
bisa termenung, menikmati hempasan wewangian yang terlampau jauh
dalam lamunan. Bahkan untuk menyalahkan tuhan sekalipun, seperti si
cerdas itu gemar melakukan. Tak pernah sampai hati, ia menyatakan.
Bukan karena dia seorang shaleh, kiai, ataupun pendeta. Tapi karena
memang tak ada waktu baginya untuk memikirkan. Kau pikir dia cukup
bodoh untuk menukarkan sebungkus nasi dengan pengharapan ?. Karena
satu tembakan tak akan mengenai semua bidikan.
Dunia terus berjalan untuknya, semakin cepat, dan lebih cepat, hingga
menuntunya pada keputus-asaan. Kehidupan asmara yang liar menjadi
satu-satunya jalan, mengintip lembah curam aroma surgawi. Satu malam
dalam kealpaan sudahlah cukup baginya, mencapai titik tertinggi dari
kesucian itulah ujudnya, karena tak ada nista dalam sebuah kenistaan.
Kau pikir itu cukup baginya ? tidak. Sekedar melayang dari bumi yang
menolak dipijaki.
ii