Anda di halaman 1dari 27

ANALISIS MITIGASI DAN KESIAPSIAGAAN BANJIR JAKARTA

A.

ANALISIS MITIGASI BANJIR JAKARTA

Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Mitigasi didefinisikan


sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Berdasarkan
definisi tersebut maka mitigasi dibagi menjadi dua jenis, yaitu mitigasi structural yang berupa
pembangunan secara fisik dalam rangka mengurangi risiko bencana. Dan mitigasi non
struktural yang meliputi penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi bencana.
Menurut Lane dan Liin dalam Ilyas (2006) terdapat 7 langkah yang perlu dilakukan dalam
proses mitigasi yang dijelaskan dalam diagram mitigation planning process. Dimulai dari
pengukuran risiko bencana sampai dengan penyediaan dana untuk pembangunannya. Mitigasi
pada langkah keempat dihentikan jika risiko dapat diterima atau ditolerir. Jika tidak, rencana
dilanjutkan hingga langkah ketujuh yang merupakan prioritas dari proyek mitigasi yang
diperlukan yaitu menyediakan pendanaan untuk mewujudkan.

Gambar: Mitigation Planning Process (sumber: Lane and Liin dalam Ilyas, 2006)

Pada banjir Jakarta yang melanda setiap tahun dan banjir besar dengan siklus 5 tahunan
sebenarnya telah diupayakan berbagai kegiatan mitigasi. Bahkan kegiatan mitigasi telah
dimulai semenjak zaman VOC yaitu dengan mengeruk sungai dan membuat banyak kanal,
pemerintah juga membangun pintu-pintu air. Selain itu, dibangun pula bendungan dan situ
untuk menampung dan mengendalikan air di hulu-hulu sungai. Sedangkan untuk mengatasi
banjir akibat luapan sungai Ciliwung pemerintah VOC pada tahun 1920 membuat kanal banjir
dengan pintu air di daerah Manggarai. Air Ciliwung yang tadinya mengalir melalui daerah
Cikini, Gondangdia, lalu ke daerah Gambir, langsung digelontorkan ke kanal banjir barat
melalui Pasar Rumput, Karet, Tanah Abang, Tomang, Jembatan Lima, Pluit, lalu ke laut.
Belanda sudah merencanakan membuat dua kanal untuk memecah aliran sungai Ciliwung ini.
Sayangnya, kanal banjir timur belum sempat dibuat oleh Belanda. Baru pada tahun 2003,
pemerintah membuat kanal banjir timur untuk mengurangi banjir di Jakarta.
Untuk periode sebelum tahun 2013, saat gubernur DKI dijabat oleh Fauzi Bowo telah
merencanakan pengurangan banjir sebesar 40% pada tahun 2011, dan 75% pada tahun 2016.
Pengurangan 40 % lokasi banjir dilakukan melalui program pengerukan 13 sungai dan 56
saluran serta Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat. Sedangkan target 35 persen untuk
tahun 2016 diharapkan akan tercapai melalui program pembangunan saluran terowongan
penghubung Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur, rehabilitasi waduk dan situ yang ada
serta pembangunan Waduk Pluit. Selain itu, pemerintah provinsi DKI Jakarta saat itu,
mengklaim bahwa sarana dan prasarana pengendalian banjir di DKI Jakarta sudah sangat baik
dan jumlahnya telah mencukupi. Jumlah pompa air mencapai 303 unit dengan kecepatan
menghisap air keluar yang cukup cepat. Juga ada 19 waduk pengendali banjir yang tersebar di
beberapa wilayah yang mencakup daerah seluas 196,26 hektar, serta 26 situ yang mencakup
daerah seluas 121,4 hektar. Selain perangkat kerasnya, Pemerintah Daerah DKI Jakarta juga
telah menyiapkan personel sejumlah 931 orang yang siap turun kapan saja bila diperlukan dan
juga 51 posko piket banjir.
Namun sayangnya pada periode tersebut segala bentuk rencana dan kegiatan tersebut belum
teruji, karena banjir besar baru datang pada tahun 2013 dimana baru saja terjadi pergantian
pemerintahan. Fakta banjir pada tahun 2013 lalu menunjukkan kegagalan berbagai bentuk

kegiatan dan rencana yang telah dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta. Hal ini terjadi karena
pemerintah belum sepenuhnya menggariskan kebijakan bersifat mitigasi, baik structural
maupun non structural. Terbukti dengan lemahnya peraturan tentang IMB, dimana kegiatan
pembangunan masih marak terjadi di wilayah resapan air. Selain itu pemerintah masih
menerapkan pendekatan adaptif, dimana warga seakan diminta untuk membiasakan diri dengan
banjir. Akibatnya pemerintah tidak maksimal dalam melaksnakan kegiatan mitigasi.

Untuk itu, dalam melaksanakan mitigasi khususnya mengenai banjir Jakarta seharusnya yang
dilakukan saat ini adalah memperbanyak porsi untuk kegiatan mitigasi non-struktural dengan
mengedepankan partisipasi masyarakat secara aktif. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi
berbagai upaya mitigasi structural yang telah dilakukan dan yang sedang direncanakan
pemerintah saat ini. Sehingga mitigasi structural tidak sia-sia.
Adapaun berbagai mitigasi non-struktural yang dapat dilakukan antara lain:
1.

Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam upaya pencegahan banjir dengan cara


melakukan pendidikan formal maupun non-formal atau berupa kampanye-kampanye
intensif. Kegiatan penyadaran tersebut meliputi, kedisiplinan warga dalam menjaga saluran
air maupun bantaran sungai dengan tidak membangun bangunan di bantaran sungai,
pembuangan limbah dan sampah di saluran air, dan sungai, dll.

2.

Memperketat regulasi dalam hal tata ruang dan IMB yang mana selama ini sering
dilanggar.

3.

Mengintregasikan pengelolaan banjir antara hulu dan hilir, dalam hal ini yang menjadi
wilauyah hulu adalah Bogor dan hilirnya adalah DKI Jakarta sendiri. Sehingga kedua
pemerintah harus memeliki komitmen untuk sama-sama terlibat dalam pengendalaian
banjir.

4.

Menggali

kearifan-kearifan

mengintregasikan
masyarakat.

program

local

yang

pemerintah

dapat

dengan local

dimanfaatkan

untuk

knowledge yang

kegiatan

terdapat

di

5.

Menekan pertumbuhan penduduk untuk menanggulangi banjir secara tidak langsung.

6.

Pembuatan rencana darurat banjir pada tingkat kelurahan.

Selain itu, terdapat pula tindakan-tindakan berupa rancangan dan pengelolaan perkotaan yang
dapat diimplementasi dengan lebih cepat, seperti operasional dan pemeliharaan infrastruktur;
penghijauan di wilayah perkotaan; perbaikan drainase dan pengelolaan limbah/sampah; dan
rancangan gedung yang lebih baik dan perlindungan yang tinggal pasang-bongkar. Hal ini
memungkinkan wilayah-wilayah yang memiliki risiko banjir dapat ditinggali, sambil
mengurangi dampak bila terjadi banjir. Dan yang terpenting lainnya adalah pembuatan jalurjalur evakuasi yang memadai, mengingat kejadian banjir 2013 menyebabkan berbagai jalan
penghubung terputus, sehingga warga kesulitan untuk melakukan evakuasi, selain itu sarana
dan alat evakuasi harus memadai seperti perahu karet, dll.

B.

ANALISIS KESIAPSIAGAAN BANJIR JAKARTA

BNPB (2007) menyebutkan bahwa kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah serangkaian


kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui
langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiapsiagaan mengantisipasi banjir diperlukan
untuk meminimalisasi jumlah korban jiwa, jumlah kerusakan dan kerugian harta benda,
mengurangi penderitaan, dan mempercepat rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana banjir.
Mengadaptasi dari berbagai factor kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana, untuk bencana
banjir dapat dikategorikan dalam beberapa factor yaitu (1) pengkajian risiko banjir; (2) tata
laksana koordinasi; (3) pendidikan, pelatihan, dan gladi; (5) mekanisme tanggap darurat; (6)
tata laksana informasi; (7) keterkaitan antara rencana dan sistem di suatu kawasan; (8) sistem
peringatan dini; dan (9) mobilisasi sumberdaya.

Jika dinilai berdasarkan factor tersebut, maka pelaksanaan kesiapsiaagan banjir di DKI Jakarta
masih sangat kurang. Meskipun beberapa factor yang telah diupayakan pemerintah DKI Jakarta
selama ini khususnya sebelum tahun 2013 telah dilakukan dalam rangka mambangun
kesiapsiagaan. Beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah antara lain dengan

membangun sistem peringatan dini. Sistem peringatan dini tersebut telah dikoordinasikan
dengan sumber informasi seperti Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang
memantau terus pola dan kondisi cuaca di Jakarta. Koordinasi juga dilakukan dengan pakar
meteorologi, Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, petugas pemantau ketinggian air di hulu di
tujuh lokasi titik pantau dan partisipasi masyarakat yang bersangkutan. Salah satu faktor yang
penting dalam sistem peringatan dini tersebutadalah informasi dari petugas pemantau
ketinggian air di hulu Jakarta, karena curah hujan di hulu ini merupakan salah satu dari tiga
faktor penentu terjadi tidaknya banjir di Jakarta. Kedua faktor lainnya adalah curah hujan di
Jakarta dan tingginya gelombang pasang di laut. Bila di hulu sudah terjadi luapan air, luapan ini
akan menjadi banjir kiriman ke kawasan DKI Jakarta. Namun pada kenyataannya peringatan
dini tidak difungsikan, sehingga masyarakat yang terdampak banjir secara langusng tetap
tinggi, bahkan telah menelan korban jiwa hingga 40 jiwa.
Untuk itu perlu adanya peningkatan kesiapsiagaan secara dini untuk mengantisipasi kejadian
banjir yang akan dating, kegiatan kesiapsiagaan dalam mengantisipasi banjir dapat merujuk
berbagai kota di berbagai Negara di antaranya:
1.

Perencanaan dan pengelolaan keadaan gawat darurat, termasuk peringatan dini dan

evakuasi, sebagai contoh sistem pemberitahuan banjir di Filipina dan Lai Nullah Basin,
Pakistan.
2.

Meningkatnya kesiagaan melalui kampanye kesadaran sebagaimana didemonstrasikan di

Mozambik dan Afghanistan. Kesiapsiagaan termasuk prosedur pengelolaan penurunan risiko


banjir perkotaan seperti usaha untuk memelihara drainase tetap lancar melalui pengelolaan
limbah yang lebih baik.
3.

Menghindari banjir dengan perencanaan penggunaan lahan seperti yang terdapat pada

German Flood Act dan regulasi-regulasi perencanaan di Inggris dan Wales. Perencanaan tata
guna lahan memberi kontribusi dalam mengatasi dan mengadaptasi terhadap banjir perkotaan.
4.

Mempercepat pemulihan dan menggunakan proses pemulihan untuk meningkatkan

ketahanan melalui perbaikan disain bangunan dan konstruksi yang dikenal sebagai
membangun dengan lebih baik.

5.

Merencanakan ketahanan rekonstruksi dari sebuah desa dapat dilihat pada desa yang

terkena dampak tsunami di Xaafuun, Somalia.Pembiayaan risiko yang sepadan bila tersedia,
atau menggunakan sumber-sumber donor dan pemerintah, dapat membantu pemulihan yang
lebih cepat.
PERBEDAAN BANJIR 2007,2013,2014,2015
Apa beda banjir pada 2007, 2013, 2014, dan 2015?
Banjir 2007
Luas genangan: 454,8 km2 di Jakarta di 89 kelurahan
Debit air:
Katulampa 250 cm (Siaga I)
Manggarai 1.090 cm (Siaga I)
Curah hujan:
Jakarta 340 mm per hari
Bogor 100 mm per hari
Kerugian
Materi: Rp 5,2 triliun (dampak tidak langsung Rp 3,6 triliun)
Korban: 80 tewas
Pengungsi: 320 ribu orang

Banjir 2013
Luas genangan: 41 km2 di Jakarta, 124 kelurahan
Debit air:
Katulampa 210 cm (Siaga I)
Manggarai 1.030 cm (Siaga I)
Curah hujan:

Jakarta 100 mm per hari


Bogor 22-75 mm per hari
Kerugian
Materi: Rp 15 triliun
Korban: 12 tewas
Pengungsi: 33.500 orang

Banjir 2014
Luas genangan: 31 kelurahan
Debit air:
Katulampa 140 cm (Siaga III)
Manggarai 910 cm (siaga II)
Curah hujan:
Jakarta 16-104 mm per hari
Bogor 102 mm per hari
Kerugian materi : Rp 5 triliun.
Korban: 2 tewas tersengat listrik
Pengungsi: 2.000 orang (hingga 17 Januari 2014)\

Banjir 2015
Luas genangan: 12 kelurahan dengan 53 RW
Titik banjir : 107 titik (tertinggi)
Debit air : Sampai pukul 12:00 10 Februari 2015
Katulampa : 50 cm (Siaga IV)

Depok : 135 cm (Siaga IV)


Karet : 610 cm (Siaga 1)
Sunter Selatan : 270 cm (Siaga 1)
Waduk Pluit : 145 cm (Siaga 1)
Curah hujan : Pukul 07.00 8 Februari 2015 sampai pukul 07.00 9 Februari 2015 (titik terbesar)
- Bogor : intensitas ringan 0,1-5 mm/jam
- Depok : intensitas sedang 5-10 mm/jam
- Ciganjur : intensitas lebat 10-20 mm/jam
- Kebayoran Baru : intensitas lebat 10-20 mm/jam
- Kelapa Gading : intensitas lebat 10-20 mm/jam
- Tomang, Kemayoran, Pulomas, Manggarai : : intensitas sangat lebat
Kerugian materi :
Korban: 1 tewas
Pengungsi: 14.163 (sampai 10 Februari 2015)

PENYEBAB BANJIR JAKARTA


3 Faktor Utama Penyebab Banjir Di Jakarta
Penyebab banjir di Jakarta terdiri dari 3 faktor utama. Seperti kemacetan, banjir ini juga
merupakan masalah lama yang harus diatasi secepat mungkin tak peduli siapa pun yang menjadi
Gubernur

Jakarta.

Apalagi

Jakarta

sebagai

pusat

ibukota.

Warga di komplek IKPN, Bintaro, Jakarta Selatan dievakuasi Selasa (3/4).


Warga di komplek IKPN, Bintaro, Jakarta Selatan dievakuasi Selasa (3/4).
3 faktor yang menjadi penyebab banjir di Jakarta ialah:
1. Penyempitan sungai/kali
Ery Basworo yang menjabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum di Pemprov DKI Jakarta
menyatakan bahwa penyebab banjir di Jakarta catchment area (area tangkapan) sungai sudah
semakin berkurang. Khususnya di Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat.
Contohnya bisa dilihat di Kali Krukut yang lebarnya rata-rata hanya lima meter. Padahal lebar
normalnya seharusnya sepuluh meter.
Di Jakarta, lebar sungai kebanyakan hanya sekitar lima meter. Padahal agar berfungsi sebagai
area tangkapan yang normal, setidaknya dibutuhkan lebar sepanjang 20 meter.
Lalu apa penyebab kali tersebut jadi sempit? Banyak bangunan di samping kali yang membuat
lebar kali dipangkas jadi lima meter saja. Serta banyaknya sampah yang dibuang di kali juga ikut
berperan serta sebagai penyebab utama Jakarta kebanjiran. Sampah-sampah itu selain
mengurangi daya tampung kali, juga menghambat aliran air.
2. Kali meluap

Kali Angke, Kali Ciliwung, Kali Krukut dan Kali Pesanggrahan meluap sehingga beberapa
wilayah Jakarta dan Tangerang terendam air.
Selain karena penyempitan yang disengaja, penyempitan karena sampah dan faktor kedalaman
sungai yang dihemat membuat semuanya masuk akal bila kali-kali di Jakarta meluap dengan
mudahnya. Apalagi di musim hujan, meski intensitas curah hujan tak begitu besar, meluapnya
beberapa kali sudah cukup untuk membuat banjir kiriman.
Dalam hal ini berarti curah hujan tak bisa disalahkan.
3. Daerah hulu terpisah
Menurut Alex Noerdin, daerah hulu seperti Bogor dan Cianjur harus digandeng. Selain itu,
beberapa wilayah seperti Tangerang, Bekasi dan Depok juga perlu digandeng agar banjir tak lagi
menyerang Jakarta. Wilayah Jakarta itu sendiri juga harus dibenahi.
Bisa disimpulkan, banjir di Jakarta disebabkan karena kelalaian sendiri. Sungai yang seharusnya
bisa menampung air hujan malah berfungsi tidak sebagaimana mestinya. Serta pengaturan tata
letak kota yang seharusnya bisa mengantisipasi banjir, apalagi sekelas ibukota. Tentunya pihak
pemerintah menjadi sorotan utama dalam kasus ini.
Jakarta dilanda banjir pada beberapa wilayah seperti kawasan Lebak Bulus, Kemang, Pondok
Labu, Jalan Ciledug Raya, Pesanggrahan, Jatinegara, Kebon Jeruk dan Kampung Melaya.
Parahnya, ketinggian air mencapai satu hingga dua meter.
Banjir yang disebabkan guyuran hujan mulai Senin (2/4) tersebut membuat banyak warga yang
memilih mengungsi. Pemerintah diharapkan segera mengantisipasi dan menyediakan berbagai
kebutuhan masyarakat, terutama bantuan akan pencegahan penyakit yang disebabkan banjir.

Sejarah Banjir

Sejak saat itu, tercatat beberapa banjir besar pernah terjadi di Jakarta, antara lain pada tahun
1621, 1654, 1872, 1893, 1909, sampai banjir besar yang terjadi pada tahun 2002, 2007, 2013,
2014 dan 2015.

PENGENDALIAN BANJIR DAN PERBAIKAN


SUNGAI CILIWUNG CISADANE (PBPS CC)
Download file: sekapur-sirih-ciliwung-pak-teguh
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengendalian Banjir dan Perbaikan Sungai Ciliwung Cisadane dari sejak dibentuknya pada tahun 1965
sampai sekarang tahun 2007 yang telah beberapa kali mengalami perubahaan nama; Pada awalnya
pengendalian banjir di Wilayah Jakarta berdasarkan keputusn Presiden RI No.: 29/1965 tanggal 11
Februari 1965 terbentuk suatu institusi dengan nama KOMANDO PROYEK PENGENDALIAN BANJIR
JAKARTA RAYA (Koppro Banjir), yang bertugas mengendalikan banjir di wilayah Jakarta dengan 13
sungai yang melitas kota Jakarta, dengan program penanganan jangka pendek dan menyusun
Perencanaan Sistem Drainase jangka panjang; dari hasil kerja terbitlah Buku Pola Induk Tata
Pengaturan DCI Jakarta Raya, 1965-1985, dengan rekomendari antara lain : Pembangunan waduk Pluit,
Setiabudi, Melati dan Tomang Barat; Pembangunan Koker di Jalan Sudirman (K. Krukut); Pembangunan
sodetan K. Grogol (Pd. Pinang) ke K. Pesanggrahan (Bintaro).
Pada tahun 1972 persetujuan bantuan teknik dari Pemerintah Belanda, untuk menyusun Masterplan for
Drainage and Flood Control of Jakarta yang ditandatangani oleh Ir. Sutami (Menteri PUTL) dan Mr. H.
Scheltema (Duta Besar Belanda) pada tanggal 2 Agustus 1972 dengan pelaksananya Directorate of

International Technical Assistence of NEDECO dengan Project Supervisor Prof. H.J. Schoemaker; Tim
koordinasi penyusunan Masterpan ditetapkan dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengairan No.:
19 tanggal 22 Mei 1972, dengan susunan antara lain Pemimpin Proyek Banjir Jakarta Raya, Kepala Dinas
PU DKI, Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Direktur Teknik
Penyehatan Ditjen Cipta Karya Dep.PU dll.
Pada tahun 1992 institusi berubah menjadi Proyek Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane,
yang merupakan pengembangan dari Proyek Pengendalian Banjir yang semula wilayah kerja hanya
meliputi wilayah DKI Jakarta, dengan luas wilayah + 635 km2, wilayah kerja yang sekarang mencakup
Jabodetabek dengan luas wilayah kerja menjadi + 6.070 km2.
Pada tahun 1997 Pemerintah Jepang (JICA) dan Pemerintah Indonesia (Ditjen Pengairan, Dep.PU)
menyusun Masterplan for Comprehensive River Water Management Plan in Jabodetabek dengan
fookus utama Pengendalian banjir tahun 1995-1997, kemudian disebut Masterplan 1997; Tim ini
didampingi oleh tim Koordinasi yang dibentuk olelh Direktur Jenderal Pengairan No.: 136/Kpts/A/1995.
Pada tahun 2007, sesuai dengan peraturan Menteri PU No.: 26/PRT/M/2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.: 12/PRT/M/2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
BBWS dan Permen PU No.: 13/PRT/M/2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Balai Wilayah
Sungai, Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung Cisadane pada Proyek Induk
Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, dengan kebijakan baru berubah menjadi Balai Besar
Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, dengan binaannya Satuan Kerja Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung
Cisadane; dan Proyek Pengendaliian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung Cisadane berubah menjadi
Pengendalian Banjir dan Perbaikan Sungai Ciliwung Cisadane pada Satuan Kerja Balai Besar Ciliwung
Cisadane, dengan wilayah kerja Jabodetabek, dengan batas sebelah Barat K. Cimanceri dan sebelah
Timur K. Cilemahabang, Sebelah Selatan Kab. Cianjur dan sebelah utara Laut Jawa/Kepulauan Seribu
Tugas dari Pengendalian Banjir dan Perbaikan Sungai Ciliwung Cisadane adalah melakukan perencanaan,
pelaksanaan konstruksi, monitoring, operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana pengendali banjir
yang ada diwilayah kerja terutama untuk sungai-sungai yang melewati dua provinsi/lintas provinsi,
untuk lintas Kabupaten/Kota diserahkan kewenangannya kepada Provinsi, sedang yang berada di
Kabupaten/Kota kewena-ngannya berada di Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Sarana pengendali banjir yang telah dilaksanakan oleh Satuan Kerja Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung
Cisadane, Pengendalian Banjir dan Perbaikan Sungai Ciliwung Cisadane meliputi :
a) Wilayah Barat :

Sodetan Grogol Pesanggrahan

Waduk Tomang Barat Jakarta Barat

Waduk Hamkam Slipi Jakarta Barat

Gd. Pompa Muara Karang

Normalisasi K. Grogol Bawah (Palmerah s/d Citraland)

Cengkareng Drain pengganti Extension

Sodetan Grogol Sekretaris Banjir Kanal Barat

b) Wilayah Tengah :

Waduk Setiabudi Barat & Timur

Waduk Melati

Waduk Rawa Kepah

Waduk Grogol

Pompa Pondok Bandung

Gd. Pompa Siantar

Normalisasi K. Cideng Bawah

Normalisasi K. Ciliwung Bawah (lama)

Saluran by-pass sekeliling Waduk Pluit

Peningkatan sistem drainase Taman Sari

By-pass Duri Drain ke sistem drainase Wd. Pluit

Peningkatan kapasitas Banjir Kanal Barat (sebagian), dan penanganan untuk keseluruhannya
diprogramkan dengan multiyears 2007-2009.

c) Wilayah Timur :

Normalisasi K. Sunter (Jl. Ngurahrai s/d muara)

Normalisasi K. Buaran (Jl. Inspeksi Sal. Tarum Barat s/d Jl. Radin Inten)

Cakung Drain (Eastern Main Drain)

Pembangunan Saluan Sunter Barat)

Pembangunan Waduk Sunter Barat

Pembangunan Waduk Sunter Timur I (Rawabadak

Pembangunan Waduk Sunter Timur II

Pembangunan Banjir Kanal Timur (2002 s/d 2009)

Masih banyak ropgram masterplan yang belum terealisir sampai saat ini terutama pada daerah
midle/tengah dan hulu , untuk program selanjutnya akan diprogramkan sesuai dengan skala prioritas
guna penanganan pengendalian banjir diwilayah Jabodetabek.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari PBPS Ciliwung Cisadane pada Satuan Kerja Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung
Cisadane adalah melaksanakan pengelolaan sumber daya air, pengembangan sumber daya air,
pendayagunaan
sumber
daya
air
dan
pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai Ciliwung Cisadane.
1.3. Sasaran dan Manfaat
Sasaran dan manfaat kegiatan PBPS Ciliwung Cisadane pada Satuan Kerja Balai Besar Wilayah Sungai
Ciliwung Cisadane adalah melakukan pengelolaan sumber daya air perhadap pengendalian daya rusak
air,
guna
mengendalikan
daya
rusak
yang diakibatkan oleh air banjir, sehingga masyarakat yang ada diwilayah kerja PBPS Ciliwung Cisadane
bisa menerima manfaat dari semua kegiatan yang dilaksanakan.
II. KEWENANGAN PBPS CILIWUNG CISADANE
2.1. Wilayah Kerja PBPS Ciliwung Cisadane
Wilayah kerja PBPS Ciliwung Cisadane pada Satuan Kerja Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane
meliputi satuan wilayah sungai yang berada pada 3 (tiga) provinsi yaitu Provinsi DKI Jakarta, Provinsi
Jawa Barat dan Provinsi Banten, dengan batas-batas sebelah Barat Sungai Cimanceri di Kabupaten
Tangerang, sebelah Selatan Puncak Kabupaten Cianjur, sebelah Timur Sungai Lemahabang Kabupaten
Bekasi dan sebelah Utara Kepulauan Seribu Kab. Kepulauan Seribu, luas wilayah kerja 6.070,00 km2,
dengan 20 sungai yang mengalir dari hulu dan bermuara di Pantai Utara Pulau Jawa.

Dari 20 sungai yang mengalir ini dikelompokkan menjadi 7


sub satuan wilayah sungai (SSWS), yaitu : SSWS Cimanceri, Cirarab (bogor-Tangerang), Cisadane, Sistem
Cengkareng
Drain,
Banjir
Kanal
Barat,
Banjir
Kanal
Timur
(Bogor-DKI
Jakarta), dan CBL Floodway (Bogor-Bekasi)
Untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta dilewati oleh 13 sungai yang mengalir dari arah Bogor dan bermuara
dipantai utara Jakarta, sungai-sungai tersebut dapat dilihat dalam peta sebagai berikut:
Sungai-sungai tersebut dari barat ke timur : Mokervart, Angke, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Kali Baru
Barat, Ciliwung, Kali Baru Timur, Cipinang, Sunter, Buaran, Jati

2.2. Kesepakatan Bersama


Kesepakatan bersama antara Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum dan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 1992, yaitu tentang pembagian wilayah kerja dimana
Departemen Pekerjaan Umum/Pemerintah Pusat untuk wilayah sungai yang melintasi dua provinsi, atau
yang dianggap strategis (Sisitem macro drainage), sedang untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada

sungai yang ada di wilayah DKI Jakarta atau sungai dihilir saluran pengendali banjir/ Banjir Kanal, lebih
rinci seperti skema dibawah ini

III. DATA TEKNIS


3.1. Data Teknis Sungai di SWS Ciliwung Cisadane
Data teknis untuk sungai-sungai diwilayah kerja PBPS Ciliwung Cisadane, yang meliputi 7 sub wilayah
sungai besar dan kecil adalah sebagai berikut :

3.1. Data Teknis Sungai Ciliwung


Sungai Ciliwung salah satu sungai besar yang membelah kota Jakarta, bermata air di Telaga Warna
Puncak Pas di gunung Pangranggo, bermuara di Banjir Kanal Barat dan Drainase Gunung Sahari (Pintu
Air Kapitol).
Panjang Sungai dari hulu sampai dengan Pintu Air Manggarai + 115,00 km, dan daerah pengaliran seluas
+ 337 km2, dengan topografi di hulu daerah pegunungan/berbukit dan dihilirnya merupakan daerah
datar.
Sungai Ciliwung merupakan sungai besar dan pada musim penghujan kelebihan air dan dimusim
kemarau kekurangan air, pemanfaatan air Sungai Ciliwung belum dilakukan penanganan dan
pemanfaaatan yang optimal, sehingga pada musim penghujan pada beberapa lokasi perumahan sering
tergenang/ banjir, disamping itu perumahanperumahan tersebut memang berada pada daerah
genangan/bantaran, lokasi perumahan tersebut antara lain berada di daerah Cililitan Kecil, Gang Arus,
Bidaracina, Kampung Melayu, Kampung Pulo dan daerah Manggarai.
Untuk mengantisipasi banjir telah dibangun suatu unit Telemetri yang bisa memantau secara riil time
ketinggian muka air yang terjadi di alur Sungai Ciliwung ini dan disamping itu pada musim penghujan
dilakukan piket banjir dengan menggunakan Radio Telekomunikasi, stasiun tersebut antara lain di
Stasiun Ranca Bungur merupakan alat pemantau/pencatat ketinggian curah hujan dilengkapi dengan
telemetri, Stasiun Katu Lampa stasiun pengamatan ketinggian muka air, Stasiun Cibinong merupakan
stasiun pemantau/pencatan curah hujan, Stasiun Depok stasiun pemantau ketinggian muka air, Stasiun
MT. Haryono stasiun pencatat/pemantau ketinggian muka air dan Stasiun PA. Manggarai merupakan
stasiun mengamat ketinggian muka air dan curah hujan.
Kondisi exsisting Sungai Ciliwung dari hulu ke hilir sudah cukup kritis, dimana bagian hulu, bagian
tengah dan hilir perubahan tata guna lahan tidak dapat dikendalikan sesuai dengan aturan-aturan yang
telah disepakati baik pemerintah, dunia usaha maupun masyarakan/ stakeholder yang belum mempunyai
kesadaran akan akibat yang ditimbulkan.
Pada tahun 1998-1999 pernah diprogramkan untuk normalisasi alur Sungai Ciliwung di hulu Jembatan
Kampung Melayu sepanjang 850,00 m, dimana trase untuk pelebaran sungai Ciliwung dilokasi ini selebar
60,00 m, dengan lebar jalan inspeksi kanan kiri + 10,00 m dan lebar permukaan basah sungai selebar
40,00 m, mestinya selebar inilah alur Sungai Ciliwung dari PA Manggarai ke arah Hulu, tapi
kenyataannya lebar sungai Ciliwung di Kebon Pala tinggal + 10,00 m dan perumahan ada didaerah banjir
sehingga pada elevasi muka air masih dalam kondisi normal + 700 daerah ini sudah ada genangan.
Disaming perumahan yang berada didaerah bajir/ bantaran budaya membuang sampah masyarakat kita
masih seperti itu, mereka tidak menyadari bahwa membuang sampah akan mengakibatkan banjir
diwilayahnya mereka sendiri.
Seyogyanya masalah banjir merupakan permasalahan kita bersama stakeholder (pemerintah, masyarakat,
dunia usaha dan perguruan tinggi), yang harus kita atasi bersama.

Program penanganan Sungai Ciliwung pada tahun anggaran 2007 telah melakukan normaslisasi dengan
melakukan perkuatan tebing dan pengerukan alur sungai didaerah Hulu Jembatan Kampung Melayu
sepanjang 250,00 m kanan kiri dan akan ditindak lanjuti pelaksanaannya pada tahun anggaran 2008
sepanjang 500,00 m.
Disamping itu program peningkatan kapasitas Banjir Kanal Barat akan segera dilaksanakan dengan
kontrak tahun jamak yang dimulai pada tahun 2007 sampai dengan tahun anggaran 2009, sehingga
banjir yang terjadi dialur sungai Ciliwung bisa dikurangi.

3.2. Stasiun Hidrometri


Stasiun hidrometri di daerah pengaliran Sungai Ciliwung cukup memadai, stasiun pencatat curah hujan
(ARR) 4 stasiun yang terdiri stasiun otomatis 4 dan stasiun yang dilengkapi telemetri 2 stasiun, stasiun
pencatat ketinggian muka air (AWLR) 5 stasiun dan stasiun yang dilengkapi dengan telemetri 4 stasiun.

Stasiun hidrometri ini merupakan alat mencatat ketinggian curah hujan dan ketinggian muka air yang
terjadi disuatu daerah pengaliran sungai, dimana data ini untuk melelakukan suatu evaluasi dan kajian
dimana dari hasil rekaman/pencatatan dari alat AWLR (otomatic water level recording) kita bisa
memprediksi akan kedatangan banjir yang kemungkinan terjadi (perambatan aliran air di alur sungai)
seperti kita memantau ketinggian muka air yang terjadi di Stasiun Katu Lampa kedatangan ketinggian
muka air di stasiun Depok bisa kita pantau 3 s/d 4 jam kemudian (Jarak Stasiun Katu Lampa ke Stasiun
Depok + 67 km), sedang dari Stasiun Depok sampai ke Stasiun Manggarai dapat kita pantau 8 s/d 10 jam
(Jarak Stasiun Depok ke Stasiun Manggarai + 48 km), dan dari selang waktu kedatangan banjir ini
dengan koordinasi piket banjir dengan Pemda DKI/ DPU Provinsi DKI kita menginformasikan akan
kedatangan banjir ini kemasyarakat, sehingga tindakan freventip bisa dilakukan.
3.3. Sasaran dan Manfaat
Sasaran manfaat dari program kerja PBPS Ciliwung Cisadane adalah terkendalinya dan berkurangnya
limpasan banjir yang mungkin terjadi dengan debit kriteria sesuai desain, disepanjang alur sungai di
wilayah kerja PBPS Ciliwung Cisadane.

Mitigasi Banjir Jakarta, Seharusnya Sudah Dari Dulu


Jakarta sebuah kota besar yang tak luput dari masalah banjir ketika hujan datang, penyebabnya
pasti yang selalu di salahkan adalah daerah Bogor, yang menjadi penyebab utama sokongan debit
sungai yang terus bertambah. Mari kita kenali lagi Jakarta dari sudut pandang geologi.

DKI Jakarta (Wikimapia.org)


Berdasarkan gambaran diatas DKI Jakarta ini ternyata sudah penuh sesak dengan pemukiman
tanpa adanya lahan hijau, Jakarta sebagian besar tersusun oleh endapan Aluvium berumur
Holosen (quarter). Endapan aluvium yang belum termasifkan sepenuhnya ini berasal dari
sedimentasi sungai yang berada di sekitar Jakarta seperti Ciliwung, Cisadane, Cideng, dan
lainnya. Sebenarnya Jakarta dahulu memang layak untuk diperhitungkan sebagai kota strategis
sebagai kota pelabuhan. Dahulu Jakarta tidak sepadat seperti ini

Kota Batavia di Tahun 1888 (Sumber Wikipedia)


pada saat itu juga pemerintah Jakarta membuat kanal-kanal untuk mengurangi genangan akibat
limpasan sungai di sekitar Jakarta, ini mitigasi pertama yang dilakukan pemerintah belanda saat
itu yang menyadari banyaknya sisi negatif dari banjir yang melanda Batavia saat itu.
Mitigasi Banjir Pemerintah VOC saat Batavia Terendam
Pada tahun 1619, sungai-sungai pun mulai dikeruk menjadi kanal-kanal seperti di
negeri Belanda.Namun, pada tahun 1621, tidak lama setelah Belanda membuat kota dagang
Batavia, banjir besar merendam seluruh kota. Banjir-banjir besar pun terulang hampir setiap 20
tahun sekali. Untuk mengatasi banjir, selain mengeruk sungai dan membuat banyak kanal,
pemerintah juga membangun pintu-pintu air. Selain itu, dibangun pula bendungan dan situ untuk
menampung dan mengendalikan air di hulu-hulu sungai. Dari 13 sungai yang ada di Jakarta,
sungai Ciliwung merupakan yang terbesar. Hulu sungai Ciliwung berada di dataran tinggi di

sekitar Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan daerah Puncak. Sungai yang panjangnya 120 km
ini melintasi Bogor, Depok, dan Jakarta. Pemukiman warga Jakarta di bantaran Sungai Ciliwung.
Pada saat musim hujan, volume air Ciliwung sangat besar. Selain besar dan deras, air Ciliwung
juga membawa sedimentasi tanah dan sampah, sehingga daerah aliran sungai Ciliwung yang
melintasi Jakarta cepatdangkal.Untuk mengatasi banjir di Ciliwung agar tidak meluap ke tengah
kota Jakarta, pada tahun 1920 pemerintah Hindia Belanda membuat kanal banjir dengan pintu air
di daerah Manggarai.Air Ciliwung yang tadinya mengalir melalui daerah Cikini, Gondangdia,
lalu ke daerah Gambir, langsung digelontorkan ke kanal banjir barat melalui Pasar Rumput,
Karet, Tanah Abang, Tomang, Jembatan Lima, Pluit, lalu ke laut.Belanda sudah merencanakan
membuat dua kanal untuk memecah aliran sungai Ciliwung ini. Sayangnya, kanal banjir timur
belum sempat dibuat oleh Belanda. Baru pada tahun 2003, Indonesia membuat kanal banjir
timur untuk mengurangi banjir di Jakarta.
Jakarta Kota Delta

Peta Geologi Jakarta (Herman Moechtar, 2012)


Peta geologi diatas memperlihatkan bentukan kota jakarta berdasarkan batuannya. Dari peta
tersebut memperlihatkan komposisi utara jakarta tersusun oleh material lepas Alluvium.
Sedangkan di bagian tengah berupa kipas alluvial yang tersusun oleh material lempung sampai

pasiran yang terbawa oleh aliran sedimentasi seperti sungai dan aliran hujan. endapan aluvium
itu berasal dari batuan formasi Gunung Salak dan Formasi Jatiluhur serta beberapa formasi di
daerah tinggian bogor yang mengalami pelapukan kemudian terlarut dan terbawa oleh aliran air
permukaan.
Endapan tersebut menunjukan bahwa Jakarta merupakan kota limpahan sedimentasi yang
terbawa oleh sungai sungai di sekitar Jakarta dimana pengaruh endapan darat lebih kuat daripada
gelombang atau arus laut sehingga menciptakan positif future di sekitar muara sungai. Kanalkanal yang di bangun diharapkan agar endapan dan sedimentasi sungai langsung mengarah ke
laut sehingga mengurangi pasokan volume air di sekitar Kota Jakarta. Tetapi saat itu Jakarta
tidak sepadat saat ini, sehingga mitigasi yang dilakukan pemerintah belanda sudah harus di
perluas.
Jakarta bukanlah seperti kota singapura dan kuala lumpur dimana pasokan sungai utama mereka
tak seperti sungai ciliwung yang membawa volume air lebih banyak. Secara ke geologian Kuala
Lumpur dan singapura bukan sebagai Lingkungan Delta seperti Jakarta sehingga permasalahan
Banjir ke dua kota tersebut tak sekompleks Jakarta.

Data Penduduk Jakarta (1870 2010)


Selain masalah lahan hijau yang mulai berkurang masalah lainnya adalah ledakan penduduk,
sehingga lahan hijau silih berganti menjadi bangunan/pemukiman. Sudah saatnya pemerintah
juga mulai memperhatikan kependudukan Kota Jakarta.
Genangan di Jakarta

Genangan merupakan imbas dari volume sungai yang tak tersalurkan ke daerah yg lebih rendah
atau muara sungai, hal ini bisa di akibatkan oleh berkurangnya fungsi lahan sungai akibat
pemukiman sehingga air tak masuk ke sungai dan menyebar mencari daerah yang lebih rendah.

Peta Genangan Jakarta


Genangan tersebut mungkin baru berdasarkan genangan secara umum belum beberapa genangan
kecil yang berpotensi menjadi daerah rawan banjir. Daerah genangan tersebut sebenarnya dapat
diatasi dengan beberapa hal antara lain memperbaiki irigasi dan pola pengaliran serta
mengurangi volume limpahan yang berada di daerah tinggian. Salah satu caranya adalah dengan
menerapkan pengelolaan lahan yang mampu menyalurkan aliran air permuka ke dalam tanah
seperti membentuk sumur resapan dan Bio pori yang banyak dilakukan saat ini.

Seharusnya dengan melakukan penyeimbangan antara perkembangan kota dan tata kota, banjir
tidak akan terjadi terus menerus di Jakarta, kerjasama beberapa pemerintahan kota dan
kabupaten seperti Depok, Tanggerang, dan Bogor mempunyai nilai lebih untuk menanggulangi
potensi banjir di Ibukota salah satunya dengan penerapan teknolohi pengelolaan hidrologi
permukaan.

Anda mungkin juga menyukai