A.
Gambar: Mitigation Planning Process (sumber: Lane and Liin dalam Ilyas, 2006)
Pada banjir Jakarta yang melanda setiap tahun dan banjir besar dengan siklus 5 tahunan
sebenarnya telah diupayakan berbagai kegiatan mitigasi. Bahkan kegiatan mitigasi telah
dimulai semenjak zaman VOC yaitu dengan mengeruk sungai dan membuat banyak kanal,
pemerintah juga membangun pintu-pintu air. Selain itu, dibangun pula bendungan dan situ
untuk menampung dan mengendalikan air di hulu-hulu sungai. Sedangkan untuk mengatasi
banjir akibat luapan sungai Ciliwung pemerintah VOC pada tahun 1920 membuat kanal banjir
dengan pintu air di daerah Manggarai. Air Ciliwung yang tadinya mengalir melalui daerah
Cikini, Gondangdia, lalu ke daerah Gambir, langsung digelontorkan ke kanal banjir barat
melalui Pasar Rumput, Karet, Tanah Abang, Tomang, Jembatan Lima, Pluit, lalu ke laut.
Belanda sudah merencanakan membuat dua kanal untuk memecah aliran sungai Ciliwung ini.
Sayangnya, kanal banjir timur belum sempat dibuat oleh Belanda. Baru pada tahun 2003,
pemerintah membuat kanal banjir timur untuk mengurangi banjir di Jakarta.
Untuk periode sebelum tahun 2013, saat gubernur DKI dijabat oleh Fauzi Bowo telah
merencanakan pengurangan banjir sebesar 40% pada tahun 2011, dan 75% pada tahun 2016.
Pengurangan 40 % lokasi banjir dilakukan melalui program pengerukan 13 sungai dan 56
saluran serta Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat. Sedangkan target 35 persen untuk
tahun 2016 diharapkan akan tercapai melalui program pembangunan saluran terowongan
penghubung Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur, rehabilitasi waduk dan situ yang ada
serta pembangunan Waduk Pluit. Selain itu, pemerintah provinsi DKI Jakarta saat itu,
mengklaim bahwa sarana dan prasarana pengendalian banjir di DKI Jakarta sudah sangat baik
dan jumlahnya telah mencukupi. Jumlah pompa air mencapai 303 unit dengan kecepatan
menghisap air keluar yang cukup cepat. Juga ada 19 waduk pengendali banjir yang tersebar di
beberapa wilayah yang mencakup daerah seluas 196,26 hektar, serta 26 situ yang mencakup
daerah seluas 121,4 hektar. Selain perangkat kerasnya, Pemerintah Daerah DKI Jakarta juga
telah menyiapkan personel sejumlah 931 orang yang siap turun kapan saja bila diperlukan dan
juga 51 posko piket banjir.
Namun sayangnya pada periode tersebut segala bentuk rencana dan kegiatan tersebut belum
teruji, karena banjir besar baru datang pada tahun 2013 dimana baru saja terjadi pergantian
pemerintahan. Fakta banjir pada tahun 2013 lalu menunjukkan kegagalan berbagai bentuk
kegiatan dan rencana yang telah dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta. Hal ini terjadi karena
pemerintah belum sepenuhnya menggariskan kebijakan bersifat mitigasi, baik structural
maupun non structural. Terbukti dengan lemahnya peraturan tentang IMB, dimana kegiatan
pembangunan masih marak terjadi di wilayah resapan air. Selain itu pemerintah masih
menerapkan pendekatan adaptif, dimana warga seakan diminta untuk membiasakan diri dengan
banjir. Akibatnya pemerintah tidak maksimal dalam melaksnakan kegiatan mitigasi.
Untuk itu, dalam melaksanakan mitigasi khususnya mengenai banjir Jakarta seharusnya yang
dilakukan saat ini adalah memperbanyak porsi untuk kegiatan mitigasi non-struktural dengan
mengedepankan partisipasi masyarakat secara aktif. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi
berbagai upaya mitigasi structural yang telah dilakukan dan yang sedang direncanakan
pemerintah saat ini. Sehingga mitigasi structural tidak sia-sia.
Adapaun berbagai mitigasi non-struktural yang dapat dilakukan antara lain:
1.
2.
Memperketat regulasi dalam hal tata ruang dan IMB yang mana selama ini sering
dilanggar.
3.
Mengintregasikan pengelolaan banjir antara hulu dan hilir, dalam hal ini yang menjadi
wilauyah hulu adalah Bogor dan hilirnya adalah DKI Jakarta sendiri. Sehingga kedua
pemerintah harus memeliki komitmen untuk sama-sama terlibat dalam pengendalaian
banjir.
4.
Menggali
kearifan-kearifan
mengintregasikan
masyarakat.
program
local
yang
pemerintah
dapat
dengan local
dimanfaatkan
untuk
knowledge yang
kegiatan
terdapat
di
5.
6.
Selain itu, terdapat pula tindakan-tindakan berupa rancangan dan pengelolaan perkotaan yang
dapat diimplementasi dengan lebih cepat, seperti operasional dan pemeliharaan infrastruktur;
penghijauan di wilayah perkotaan; perbaikan drainase dan pengelolaan limbah/sampah; dan
rancangan gedung yang lebih baik dan perlindungan yang tinggal pasang-bongkar. Hal ini
memungkinkan wilayah-wilayah yang memiliki risiko banjir dapat ditinggali, sambil
mengurangi dampak bila terjadi banjir. Dan yang terpenting lainnya adalah pembuatan jalurjalur evakuasi yang memadai, mengingat kejadian banjir 2013 menyebabkan berbagai jalan
penghubung terputus, sehingga warga kesulitan untuk melakukan evakuasi, selain itu sarana
dan alat evakuasi harus memadai seperti perahu karet, dll.
B.
Jika dinilai berdasarkan factor tersebut, maka pelaksanaan kesiapsiaagan banjir di DKI Jakarta
masih sangat kurang. Meskipun beberapa factor yang telah diupayakan pemerintah DKI Jakarta
selama ini khususnya sebelum tahun 2013 telah dilakukan dalam rangka mambangun
kesiapsiagaan. Beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah antara lain dengan
membangun sistem peringatan dini. Sistem peringatan dini tersebut telah dikoordinasikan
dengan sumber informasi seperti Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang
memantau terus pola dan kondisi cuaca di Jakarta. Koordinasi juga dilakukan dengan pakar
meteorologi, Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, petugas pemantau ketinggian air di hulu di
tujuh lokasi titik pantau dan partisipasi masyarakat yang bersangkutan. Salah satu faktor yang
penting dalam sistem peringatan dini tersebutadalah informasi dari petugas pemantau
ketinggian air di hulu Jakarta, karena curah hujan di hulu ini merupakan salah satu dari tiga
faktor penentu terjadi tidaknya banjir di Jakarta. Kedua faktor lainnya adalah curah hujan di
Jakarta dan tingginya gelombang pasang di laut. Bila di hulu sudah terjadi luapan air, luapan ini
akan menjadi banjir kiriman ke kawasan DKI Jakarta. Namun pada kenyataannya peringatan
dini tidak difungsikan, sehingga masyarakat yang terdampak banjir secara langusng tetap
tinggi, bahkan telah menelan korban jiwa hingga 40 jiwa.
Untuk itu perlu adanya peningkatan kesiapsiagaan secara dini untuk mengantisipasi kejadian
banjir yang akan dating, kegiatan kesiapsiagaan dalam mengantisipasi banjir dapat merujuk
berbagai kota di berbagai Negara di antaranya:
1.
Perencanaan dan pengelolaan keadaan gawat darurat, termasuk peringatan dini dan
evakuasi, sebagai contoh sistem pemberitahuan banjir di Filipina dan Lai Nullah Basin,
Pakistan.
2.
Menghindari banjir dengan perencanaan penggunaan lahan seperti yang terdapat pada
German Flood Act dan regulasi-regulasi perencanaan di Inggris dan Wales. Perencanaan tata
guna lahan memberi kontribusi dalam mengatasi dan mengadaptasi terhadap banjir perkotaan.
4.
ketahanan melalui perbaikan disain bangunan dan konstruksi yang dikenal sebagai
membangun dengan lebih baik.
5.
Merencanakan ketahanan rekonstruksi dari sebuah desa dapat dilihat pada desa yang
terkena dampak tsunami di Xaafuun, Somalia.Pembiayaan risiko yang sepadan bila tersedia,
atau menggunakan sumber-sumber donor dan pemerintah, dapat membantu pemulihan yang
lebih cepat.
PERBEDAAN BANJIR 2007,2013,2014,2015
Apa beda banjir pada 2007, 2013, 2014, dan 2015?
Banjir 2007
Luas genangan: 454,8 km2 di Jakarta di 89 kelurahan
Debit air:
Katulampa 250 cm (Siaga I)
Manggarai 1.090 cm (Siaga I)
Curah hujan:
Jakarta 340 mm per hari
Bogor 100 mm per hari
Kerugian
Materi: Rp 5,2 triliun (dampak tidak langsung Rp 3,6 triliun)
Korban: 80 tewas
Pengungsi: 320 ribu orang
Banjir 2013
Luas genangan: 41 km2 di Jakarta, 124 kelurahan
Debit air:
Katulampa 210 cm (Siaga I)
Manggarai 1.030 cm (Siaga I)
Curah hujan:
Banjir 2014
Luas genangan: 31 kelurahan
Debit air:
Katulampa 140 cm (Siaga III)
Manggarai 910 cm (siaga II)
Curah hujan:
Jakarta 16-104 mm per hari
Bogor 102 mm per hari
Kerugian materi : Rp 5 triliun.
Korban: 2 tewas tersengat listrik
Pengungsi: 2.000 orang (hingga 17 Januari 2014)\
Banjir 2015
Luas genangan: 12 kelurahan dengan 53 RW
Titik banjir : 107 titik (tertinggi)
Debit air : Sampai pukul 12:00 10 Februari 2015
Katulampa : 50 cm (Siaga IV)
Jakarta.
Apalagi
Jakarta
sebagai
pusat
ibukota.
Kali Angke, Kali Ciliwung, Kali Krukut dan Kali Pesanggrahan meluap sehingga beberapa
wilayah Jakarta dan Tangerang terendam air.
Selain karena penyempitan yang disengaja, penyempitan karena sampah dan faktor kedalaman
sungai yang dihemat membuat semuanya masuk akal bila kali-kali di Jakarta meluap dengan
mudahnya. Apalagi di musim hujan, meski intensitas curah hujan tak begitu besar, meluapnya
beberapa kali sudah cukup untuk membuat banjir kiriman.
Dalam hal ini berarti curah hujan tak bisa disalahkan.
3. Daerah hulu terpisah
Menurut Alex Noerdin, daerah hulu seperti Bogor dan Cianjur harus digandeng. Selain itu,
beberapa wilayah seperti Tangerang, Bekasi dan Depok juga perlu digandeng agar banjir tak lagi
menyerang Jakarta. Wilayah Jakarta itu sendiri juga harus dibenahi.
Bisa disimpulkan, banjir di Jakarta disebabkan karena kelalaian sendiri. Sungai yang seharusnya
bisa menampung air hujan malah berfungsi tidak sebagaimana mestinya. Serta pengaturan tata
letak kota yang seharusnya bisa mengantisipasi banjir, apalagi sekelas ibukota. Tentunya pihak
pemerintah menjadi sorotan utama dalam kasus ini.
Jakarta dilanda banjir pada beberapa wilayah seperti kawasan Lebak Bulus, Kemang, Pondok
Labu, Jalan Ciledug Raya, Pesanggrahan, Jatinegara, Kebon Jeruk dan Kampung Melaya.
Parahnya, ketinggian air mencapai satu hingga dua meter.
Banjir yang disebabkan guyuran hujan mulai Senin (2/4) tersebut membuat banyak warga yang
memilih mengungsi. Pemerintah diharapkan segera mengantisipasi dan menyediakan berbagai
kebutuhan masyarakat, terutama bantuan akan pencegahan penyakit yang disebabkan banjir.
Sejarah Banjir
Sejak saat itu, tercatat beberapa banjir besar pernah terjadi di Jakarta, antara lain pada tahun
1621, 1654, 1872, 1893, 1909, sampai banjir besar yang terjadi pada tahun 2002, 2007, 2013,
2014 dan 2015.
International Technical Assistence of NEDECO dengan Project Supervisor Prof. H.J. Schoemaker; Tim
koordinasi penyusunan Masterpan ditetapkan dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengairan No.:
19 tanggal 22 Mei 1972, dengan susunan antara lain Pemimpin Proyek Banjir Jakarta Raya, Kepala Dinas
PU DKI, Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Direktur Teknik
Penyehatan Ditjen Cipta Karya Dep.PU dll.
Pada tahun 1992 institusi berubah menjadi Proyek Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane,
yang merupakan pengembangan dari Proyek Pengendalian Banjir yang semula wilayah kerja hanya
meliputi wilayah DKI Jakarta, dengan luas wilayah + 635 km2, wilayah kerja yang sekarang mencakup
Jabodetabek dengan luas wilayah kerja menjadi + 6.070 km2.
Pada tahun 1997 Pemerintah Jepang (JICA) dan Pemerintah Indonesia (Ditjen Pengairan, Dep.PU)
menyusun Masterplan for Comprehensive River Water Management Plan in Jabodetabek dengan
fookus utama Pengendalian banjir tahun 1995-1997, kemudian disebut Masterplan 1997; Tim ini
didampingi oleh tim Koordinasi yang dibentuk olelh Direktur Jenderal Pengairan No.: 136/Kpts/A/1995.
Pada tahun 2007, sesuai dengan peraturan Menteri PU No.: 26/PRT/M/2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.: 12/PRT/M/2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
BBWS dan Permen PU No.: 13/PRT/M/2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Balai Wilayah
Sungai, Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung Cisadane pada Proyek Induk
Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, dengan kebijakan baru berubah menjadi Balai Besar
Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, dengan binaannya Satuan Kerja Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung
Cisadane; dan Proyek Pengendaliian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung Cisadane berubah menjadi
Pengendalian Banjir dan Perbaikan Sungai Ciliwung Cisadane pada Satuan Kerja Balai Besar Ciliwung
Cisadane, dengan wilayah kerja Jabodetabek, dengan batas sebelah Barat K. Cimanceri dan sebelah
Timur K. Cilemahabang, Sebelah Selatan Kab. Cianjur dan sebelah utara Laut Jawa/Kepulauan Seribu
Tugas dari Pengendalian Banjir dan Perbaikan Sungai Ciliwung Cisadane adalah melakukan perencanaan,
pelaksanaan konstruksi, monitoring, operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana pengendali banjir
yang ada diwilayah kerja terutama untuk sungai-sungai yang melewati dua provinsi/lintas provinsi,
untuk lintas Kabupaten/Kota diserahkan kewenangannya kepada Provinsi, sedang yang berada di
Kabupaten/Kota kewena-ngannya berada di Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Sarana pengendali banjir yang telah dilaksanakan oleh Satuan Kerja Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung
Cisadane, Pengendalian Banjir dan Perbaikan Sungai Ciliwung Cisadane meliputi :
a) Wilayah Barat :
b) Wilayah Tengah :
Waduk Melati
Waduk Grogol
Peningkatan kapasitas Banjir Kanal Barat (sebagian), dan penanganan untuk keseluruhannya
diprogramkan dengan multiyears 2007-2009.
c) Wilayah Timur :
Normalisasi K. Buaran (Jl. Inspeksi Sal. Tarum Barat s/d Jl. Radin Inten)
Masih banyak ropgram masterplan yang belum terealisir sampai saat ini terutama pada daerah
midle/tengah dan hulu , untuk program selanjutnya akan diprogramkan sesuai dengan skala prioritas
guna penanganan pengendalian banjir diwilayah Jabodetabek.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari PBPS Ciliwung Cisadane pada Satuan Kerja Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung
Cisadane adalah melaksanakan pengelolaan sumber daya air, pengembangan sumber daya air,
pendayagunaan
sumber
daya
air
dan
pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai Ciliwung Cisadane.
1.3. Sasaran dan Manfaat
Sasaran dan manfaat kegiatan PBPS Ciliwung Cisadane pada Satuan Kerja Balai Besar Wilayah Sungai
Ciliwung Cisadane adalah melakukan pengelolaan sumber daya air perhadap pengendalian daya rusak
air,
guna
mengendalikan
daya
rusak
yang diakibatkan oleh air banjir, sehingga masyarakat yang ada diwilayah kerja PBPS Ciliwung Cisadane
bisa menerima manfaat dari semua kegiatan yang dilaksanakan.
II. KEWENANGAN PBPS CILIWUNG CISADANE
2.1. Wilayah Kerja PBPS Ciliwung Cisadane
Wilayah kerja PBPS Ciliwung Cisadane pada Satuan Kerja Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane
meliputi satuan wilayah sungai yang berada pada 3 (tiga) provinsi yaitu Provinsi DKI Jakarta, Provinsi
Jawa Barat dan Provinsi Banten, dengan batas-batas sebelah Barat Sungai Cimanceri di Kabupaten
Tangerang, sebelah Selatan Puncak Kabupaten Cianjur, sebelah Timur Sungai Lemahabang Kabupaten
Bekasi dan sebelah Utara Kepulauan Seribu Kab. Kepulauan Seribu, luas wilayah kerja 6.070,00 km2,
dengan 20 sungai yang mengalir dari hulu dan bermuara di Pantai Utara Pulau Jawa.
sungai yang ada di wilayah DKI Jakarta atau sungai dihilir saluran pengendali banjir/ Banjir Kanal, lebih
rinci seperti skema dibawah ini
Program penanganan Sungai Ciliwung pada tahun anggaran 2007 telah melakukan normaslisasi dengan
melakukan perkuatan tebing dan pengerukan alur sungai didaerah Hulu Jembatan Kampung Melayu
sepanjang 250,00 m kanan kiri dan akan ditindak lanjuti pelaksanaannya pada tahun anggaran 2008
sepanjang 500,00 m.
Disamping itu program peningkatan kapasitas Banjir Kanal Barat akan segera dilaksanakan dengan
kontrak tahun jamak yang dimulai pada tahun 2007 sampai dengan tahun anggaran 2009, sehingga
banjir yang terjadi dialur sungai Ciliwung bisa dikurangi.
Stasiun hidrometri ini merupakan alat mencatat ketinggian curah hujan dan ketinggian muka air yang
terjadi disuatu daerah pengaliran sungai, dimana data ini untuk melelakukan suatu evaluasi dan kajian
dimana dari hasil rekaman/pencatatan dari alat AWLR (otomatic water level recording) kita bisa
memprediksi akan kedatangan banjir yang kemungkinan terjadi (perambatan aliran air di alur sungai)
seperti kita memantau ketinggian muka air yang terjadi di Stasiun Katu Lampa kedatangan ketinggian
muka air di stasiun Depok bisa kita pantau 3 s/d 4 jam kemudian (Jarak Stasiun Katu Lampa ke Stasiun
Depok + 67 km), sedang dari Stasiun Depok sampai ke Stasiun Manggarai dapat kita pantau 8 s/d 10 jam
(Jarak Stasiun Depok ke Stasiun Manggarai + 48 km), dan dari selang waktu kedatangan banjir ini
dengan koordinasi piket banjir dengan Pemda DKI/ DPU Provinsi DKI kita menginformasikan akan
kedatangan banjir ini kemasyarakat, sehingga tindakan freventip bisa dilakukan.
3.3. Sasaran dan Manfaat
Sasaran manfaat dari program kerja PBPS Ciliwung Cisadane adalah terkendalinya dan berkurangnya
limpasan banjir yang mungkin terjadi dengan debit kriteria sesuai desain, disepanjang alur sungai di
wilayah kerja PBPS Ciliwung Cisadane.
sekitar Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan daerah Puncak. Sungai yang panjangnya 120 km
ini melintasi Bogor, Depok, dan Jakarta. Pemukiman warga Jakarta di bantaran Sungai Ciliwung.
Pada saat musim hujan, volume air Ciliwung sangat besar. Selain besar dan deras, air Ciliwung
juga membawa sedimentasi tanah dan sampah, sehingga daerah aliran sungai Ciliwung yang
melintasi Jakarta cepatdangkal.Untuk mengatasi banjir di Ciliwung agar tidak meluap ke tengah
kota Jakarta, pada tahun 1920 pemerintah Hindia Belanda membuat kanal banjir dengan pintu air
di daerah Manggarai.Air Ciliwung yang tadinya mengalir melalui daerah Cikini, Gondangdia,
lalu ke daerah Gambir, langsung digelontorkan ke kanal banjir barat melalui Pasar Rumput,
Karet, Tanah Abang, Tomang, Jembatan Lima, Pluit, lalu ke laut.Belanda sudah merencanakan
membuat dua kanal untuk memecah aliran sungai Ciliwung ini. Sayangnya, kanal banjir timur
belum sempat dibuat oleh Belanda. Baru pada tahun 2003, Indonesia membuat kanal banjir
timur untuk mengurangi banjir di Jakarta.
Jakarta Kota Delta
pasiran yang terbawa oleh aliran sedimentasi seperti sungai dan aliran hujan. endapan aluvium
itu berasal dari batuan formasi Gunung Salak dan Formasi Jatiluhur serta beberapa formasi di
daerah tinggian bogor yang mengalami pelapukan kemudian terlarut dan terbawa oleh aliran air
permukaan.
Endapan tersebut menunjukan bahwa Jakarta merupakan kota limpahan sedimentasi yang
terbawa oleh sungai sungai di sekitar Jakarta dimana pengaruh endapan darat lebih kuat daripada
gelombang atau arus laut sehingga menciptakan positif future di sekitar muara sungai. Kanalkanal yang di bangun diharapkan agar endapan dan sedimentasi sungai langsung mengarah ke
laut sehingga mengurangi pasokan volume air di sekitar Kota Jakarta. Tetapi saat itu Jakarta
tidak sepadat saat ini, sehingga mitigasi yang dilakukan pemerintah belanda sudah harus di
perluas.
Jakarta bukanlah seperti kota singapura dan kuala lumpur dimana pasokan sungai utama mereka
tak seperti sungai ciliwung yang membawa volume air lebih banyak. Secara ke geologian Kuala
Lumpur dan singapura bukan sebagai Lingkungan Delta seperti Jakarta sehingga permasalahan
Banjir ke dua kota tersebut tak sekompleks Jakarta.
Genangan merupakan imbas dari volume sungai yang tak tersalurkan ke daerah yg lebih rendah
atau muara sungai, hal ini bisa di akibatkan oleh berkurangnya fungsi lahan sungai akibat
pemukiman sehingga air tak masuk ke sungai dan menyebar mencari daerah yang lebih rendah.
Seharusnya dengan melakukan penyeimbangan antara perkembangan kota dan tata kota, banjir
tidak akan terjadi terus menerus di Jakarta, kerjasama beberapa pemerintahan kota dan
kabupaten seperti Depok, Tanggerang, dan Bogor mempunyai nilai lebih untuk menanggulangi
potensi banjir di Ibukota salah satunya dengan penerapan teknolohi pengelolaan hidrologi
permukaan.