Anda di halaman 1dari 5

ARTIKEL

KASUS PERMASALAHAN NEGARA


MENGENAI BANJIR DI JAKARTA

Disusun oleh :
1. Muhammad Abdul Mahfud
2. Muhammad Faqsi Wijaya
3. Ahmad Nabil Fikri
4. Eriq Tholkhah
Kelas : XII B

MA SALAFIYAH SYAFI’IYAH HADIRUL ULUM


TAHUN PELAJARAN 2020/2021
Artikel : Banjir besar di Jakarta awal 2020 penyebab dan saatnya mitigasi bencana
secara radikal

Curah hujan pada 1 Januari 2020 di sekitar Jakarta, menurut Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), termasuk yang paling ekstrem dan tertinggi sejak
154 tahun lalu. Banjir yang dipicu hujan besar menenggelamkan sebagian ibukota negara
dan kota-kota penyangga sekitarnya.
Sampai hari ini, lebih dari 50 orang tewas dan lebih dari 170 ribu orang menjadi
pengungsi dadakan karena rumah mereka tersapu air bah.
Sudah banyak penelitian dan kajian untuk menanggulangi banjir Jabodetabek. Baik
pemerintah pusat dan daerah telah memproduksi dokumen perencanaan, tata ruang, master
plan dan program.
Namun hanya sedikit dari rencana-rencana tersebut sedikit yang sudah benar-benar
terlaksana. Implementasi rencana penanggulangan banjir masih parsial, jangka pendek, dan
belum terintegrasi.

 Dapatkan rangkuman berita lingkungan hidup sepekan terakhir.


Dengan semakin bertambah parahnya cuaca ekstrem akibat efek perubahan iklim seluruh
tingkat pemerintahan perlu mengeluarkan kebijakan radikal bekerja sama dengan
masyarakat, swasta, LSM dan lembaga serta masyarakat internasional.

 Penyebab banjir
Eksploitasi air tanah yang berlebihan di Jakarta menyebabkan ibu kota negara ini
terus tenggelam, dengan rata rata-rata laju penurunan tanah sekitar 3-18 cm per tahun .
Kondisi ini bertambah memburuk di Jakarta Utara yang berbatasan dengan laut. Tinggi
permukaan tanah di wilayah ini 1,5 meter lebih rendah dari permukaan air laut sebagai
dampak perubahan iklim. Akibatnya aliran air dari hulu (Bogor dan Depok) pun tidak
dapat terbuang ke laut.
Selain penurunan permukaan tanah, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan
banjir Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Saluran dan tangkapan air (waduk, sungai, kanal banjir, drainase dan ruang terbuka hijau)
yang ada kapasitasnya kurang untuk menampung volume air yang besar akibat curah hujan
yang ekstrem. Aliran dan sempadan sungai menyempit karena sebagian sungai di
Jabodetabek mengalami pendangkalan. Beberapa daerah resapan dan waduk juga kurang
maksimal karena berubah fungsi.
Selain itu saluran-saluran air yang ada tersumbat sampah akibat manajemen
sampah yang buruk. DKI Jakarta memproduksi sampah kurang lebih 7,500 ton per hari
atau 2,7 juta ton per tahun. Jumlah itu belum termasuk 300-400 ton sampah yang dibuang
oleh penduduk ke sungai terutama pada saat musim hujan.
Genangan air juga disebabkan oleh isu lama, yaitu tertutupnya permukaan tanah
yang dilapis beton atau material yang menahan air untuk meresap dalam tanah.
Pertumbuhan penduduk dan ekonomi, pembangunan infrastruktur yang massif serta
urbanisasi menyebabkan okupasi lahan semakin sempit.
Menurut data Badan Pusat Statisik penduduk Jakarta terus tumbuh, pada 2018
mencapai 10,46 juta jiwa. Hal ini menyebabkan lahan Jakarta terus berkurang. Pada 2014,
sekitar 83% dari 674km2 wilayah Jakarta telah terpakai, menurut riset Mathias Garschagen
dan koleganya (2008) . Jadi wajar daya dukung kota terus menurun.

 Kebijakan radikal mitigasi bencana banjir


Untuk mengelola dan mengurangi aliran air yang berlebihan dari hulu (Bogor dan
Depok), maka pemerintah pusat perlu mendukung Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI
Jakarta dalam program-program penanggulangan banjir mereka. Selain revitalisasi hutan
dan pembatasan pendirian bangunan di kawasan Puncak dan Bogor, penyelesaian waduk
Ciawi dan Sukamahi untuk mengurangi air di sungai-sungai besar sangat mendesak.
Dengan tren curah hujan yang terus tinggi, wilayah-wilayah ini perlu memiliki
aliran dan penampungan air yang memadai. Dengan istilah apa pun, entah normalisasi,
naturalisasi, atau revitalisasi pemerintah perlu mengembalikan fungsi sungai. Pemeliharaan
dan pengerukan harus menjadi prioritas dan program wajib dan rutin pemerintah.
Kebijakan yang segera perlu dipercepat adalah realisasi pengelolaan sampah yang
terintegrasi dan modern. Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 3/2013 tentang Pengelolaan
Sampah masih menggunakan konsep lama. Misalnya mulai dari pemilahan dan
pembuangan masih konvensional. Untuk pembuangan, masih mengandalkan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Bantar Gerbang. Padahal kapasitas TPA ini sudah
tidak bisa diandalkan.
Kota sebesar dan sekaya DKI Jakarta mestinya sudah harus memiliki pengolahan
sampah sendiri seperti ITF (Intermediate Treatment Facilities). Meskipun ITF ini juga
sudah dimulai, tak kalah pentingnya mengubah cara berpikir masyarakat dengan
membangun pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang menghasilkan kompos, re-use,
dan produk lainnya. Begitu juga dengan sistem pemilahan dan pengumpulan sampah dari
rumah tangga ke tempat fasilitas pengolahan.
Dengan terus turunnya permukaan tanah dan meningginya permukaan air laut salah
satu caranya adalah dengan membangun dam raksasa di sepanjang wilayah Jakarta Utara.
Proyek National Capital Integrated Coastal Development Masterplan (NCICD) yang sudah
direncanakan tahun 2011 dan sekarang redup karena efek isu reklamasi Jakarta perlu
segera dibahas lagi oleh pemerintah pusat dan daerah. Tentu saja pra-syarat proyek ini
adalah penyusunan rencana yang benar-benar komprehensif, terintegrasi dan objektif serta
benar-benar memperhitungkan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat.
Terakhir, guna mencegah penurunan permukaan tanah DKI Jakarta, harus ada peraturan
daerah pelarangan penggunaan air tanah. Saat ini pemerintah DKI baru menerbitkan
Peraturan Gubernur No. 38/2017 tentang Pungutan Pajak Air Tanah.

 Faktor manusia
Selain kebijakan struktural di atas, untuk mengurangsi risiko banjir adalah perilaku
manusia juga perlu berubah. Komitmen, kedisiplinan, dan keberanian serta terobosan
pengambil kebijakan sangat diperlukan–termasuk keberanian untuk menegakkan hukum
secara konsisten. Saat sidak ke gedung-gedung di Jalan Sudirman Jakarta tahun 2008,
misalnya, pemerintah DKI Jakarta hanya mengirimkan surat teguran kepada salah satu
hotel yang melanggar peraturan daerah tentang sumur resapan, instalasi pengolahan
limbah, dan pemanfaatan air tanah.
Kebijakan dan informasi seperti mitigasi bencana, kesiapsiagaan, peta rawan
bencana, rencana evakuasi, peringatan dini harus disosialisasikan kepada masyarakat
secara terus menerus. Kita perlu membudayakan kesiapsiagaan bencana.
Pendidikan bencana menjadi kunci ketahanan (bukan kepasrahan) masyarakat
menghadapi banjir ke depan. Sikap dan perilaku sadar bencana tidak hanya untuk
kesiapsiagaan. Bencana seperti banjir, memerlukan persepsi, kesadaran, kedisiplinan yang
terus menerus. Misalnya, dengan tidak membuang sampah sembarangan dan budaya
menjaga lingkungan.
Kini kita menunggu keputusan radikal dari pemerintah agar banjir besar seperti
pada 1 Januari lalu tidak berulang.
Tanggapan :
1. Tidak membuang sampah sembarangan
2. Tidak membiarkan air sungai meluap
3. Mengantisipasi longsor di area sekitar sungai
4. Memperkecil volume air hujan

Solusi :
1. Membuat tempat pembuangan sampah (TPS)
2. Penggalian sungai secara rutin setiap setahun sekali
3. Penanaman tumbuhan di area sekitar sungai
4. Pembuatan saluran air disekitar pemukiman
5. Menjaga lingukungan sekitar
6. Hindari membuat rumah di pinggiran sungai
7. Melaksanakan program tebang pilih dan reboisasi
8. Rajin Membersihkan Saluran Air

Anda mungkin juga menyukai