Anda di halaman 1dari 31

PENGARUH STERILISASI DAN MEDIUM

PADA IKAN KALENG TERHADAP


KANDUNGAN EPA DAN DHA

SEMINAR
(PIT 4085)

OLEH :
ASTERINA WULAN SARI
12/335195/PN/13030

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


JURUSAN PERIKANAN

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

I.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Angka kematian akibat penyakit kardiovaskuler pada tahun 2008
diperkirakan sebanyak 17,3 juta dan lebih dari 3 juta kematian terjadi sebelum
usia 60 tahun. Kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler di dunia
akan terus meningkat mancapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030. Diagnosis
dokter tentang prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2013
sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang sedangkan diagnosis gejala
sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar 2.650.340 (KEMENKES, 2014). Resiko
kematian mendadak akibat penyakit jantung koroner dapat diturunkan hingga
45% dengan mengkonsumsi elcosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic
acid (DHA) (Haris, 2004).
Lemak ikan memiliki kandungan polyunsaturated fatty acids (PUFA)
yang tinggi dan antioksidan alami yang rendah sehingga autooksidasi dapat
berjalan cepat dibandingkan jenis lemak lainnya (Zdzizlaw et al., 2011). EPA dan
DHA termasuk PUFA, yaitu asam lemak yang memiliki banyak ikatan rangkap
sehingga mudah mengalami oksidasi menjadi senyawa lain dan berakibat
rusaknya kedua asam lemak tersebut. Reaksi oksidasi akan dipercepat oleh
pemanasan yang umumnya merupakan bagian dari prosedur pengolahan ikan
sebelum dikonsumsi. Menurut Mesias et al. (2015), PUFA yang teroksidasi pada
suhu tinggi dapat mengalami penurunan kualitas pada produk akhir.
Perlakuan pemasakan suhu tinggi dan penyimpanan yang kurang tepat
dapat menyebabkan perubahan fisik maupun komposisi kimia seperti degradasi
asam lemak omega 3 terutama EPA dan DHA (Khamidinal et al., 2007).
Sterilisasi pada proses pengalengan ikan dapat menurunkan kandungan EPA dan
DHA. Menurut Khusnayaini (2011), kombinasi waktu dan suhu proses sterilisasi
yang tepat pada pengalengan ikan diperlukan untuk meminimalisir kerusakan
mutu yang terjadi. Selain penggunaan suhu tinggi pada sterilisasi pengalengan
ikan, Tarley et al. (2004) memaparkan bahwa kandungan EPA dan DHA pada
ikan kaleng dapat dipengaruhi oleh jenis dan jumlah minyak yang ditambahkan
sebagai medium. Informasi tentang kandungan EPA dan DHA pada ikan kaleng
akibat proses sterilisasi pada proses pengalengan dan jenis medium yang

digunakan pada pengalengan ikan perlu diketahui sehingga oksidasi EPA dan
DHA dapat diminimalisir.

2. Tujuan
1. Mengetahui manfaat EPA dan DHA bagi manusia.
2. Mengetahui pengaruh sterilisasi dan jenis medium terhadap kandungan EPA
dan DHA pada ikan kaleng.
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan EPA dan DHA
pada ikan kaleng.

3. Manfaat
Seminar ini diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi tentang
pengaruh sterilisasi dan jenis medium terhadap kandungan EPA dan DHA pada
ikan kaleng, sehingga sebagai konsumen dapat memiilih jenis ikan kaleng yang
memiliki kandungan EPA dan DHA yang tinggi.

II.

PEMBAHASAN

1. Pengalengan
Pengalengan makanan merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan
yang dikemas secara hermetis dan kemudian disterilkan. Metode pengawetan
tersebut ditemukan oleh Nicolas Appert tahun 1809, seorang ilmuwan Prancis
(Winarno, 1997). Di dalam pengalengan makanan, bahan pangan dikemas secara
hermetis dalam suatu wadah, baik kaleng, gelas atau alumunium. Pengemasan
secara hermetis dapat diartikan bahwa penutupan dilakukan sangat rapat, sehingga
tidak dapat ditembus oleh udara, air, kerusakan akibat oksidasi ataupun perubahan
cita rasa (Adawyah, 2007).
Pengalengan ikan adalah cara pengawetan ikan dengan sterilisasi dalam
kaleng. Ikan dimasukkan dalam kaleng, kemudian disterilkan dengan panas
(Murniyati & Sunarman, 2000). Anonim (2008) mengartikan pengalengan ikan
sebagai cara mengolah dan mengawetan ikan dengan dikemas dalam kaleng
kemudian disterilkan. Dasar dari pengalengan adalah ikan di dalam kaleng ditutup
rapat dan disterilkan pada suhu dan waktu tertentu. Tujuannya agar
mikroorganisme yang tidak menguntungkan, seperti jamur, ragi, bakteri mati
sehingga tidak menimbulkan proses pembusukan.
Sterilisasi adalah operasi yang paling penting dalam pengalengan
makanan. Sterilisasi tidak hanya bertujuan untuk mematikan mikroba pembusuk
dan patogen, tetapi juga berguna untuk membuat produk menjadi masak, yaitu
dilihat dari penampilan, tekstur dan citarasa sesuai yang diinginkan. Oleh karena
itu, proses pemanasan ini harus dilakukan pada suhu yang tinggi untuk
menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu tinggi sehingga membuat
produk menjadi terlalu masak (Muchtadi, 1995).
Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan periuk bertekanan tinggi,
disebut retort, auotoclave atau pressure cooker. Retort ada dua macam, yaitu
retort vertical dan retort horizontal. Suhu yang dipakai adalah 115-120oC dengan
waktu 1-1 jam, tergantung pada jenis ikan dan ukuran kaleng (Murniyati &
Sunarman, 2000). Beberapa faktor yang mempengaruhi proses sterilisasi adalah :
1) jenis mikroba yang akan dihancurkan, 2) kecepatan perambatan panas ke titik
tengah, 3) suhu awal bahan pangan di dalam wadah, 4) ukuran dan jenis wadah

yang digunakan, 5) suhu dan tekanan yang digunakan untuk proses sterilisasi, dan
6) keasaman atau pH produk yang dikalengkan (Muchtadi, 1995).
Kecukupan proses pada pengalengan sangat dipengaruhi oleh tingkat
sterilitas (Fo) yang diterima oleh bahan yang dikalengkan. Nilai Fo didefinisikan
sebagai waktu (menit) yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba target sampai
mencapai level tertentu pada suhu tertentu. Nilai Fo tidak berlaku secara umum,
namun bergantung pada formulasi produk, jenis dan ukuran kaleng, sistem retort
dan faktor lainnya. Kombinasi waktu dan suhu proses sterilisasi yang tepat
diperlukan untuk memperoleh kualitas yang diinginkan, memenuhi kriteria
keamanan pangan dan meminimalisir kerusakan mutu yang terjadi (Khusnayaini,
2011).
Pemusnahan C. botulinum menggunakan konsep 12 siklus logaritma yang
berarti proses termal yang dilakukan dapat mengurangi mikroba sebesar 12 siklus
logaritma atau F = 12D (Hariyadi et al., 2006). Nilai D untuk C. botulinum
diperkirakan sebesar 0,21 menit pada suhu 121,1oC dengan nilai z sebesar 10C,
berarti aplikasi 12D ekuivalen dengan waktu pemanasan 12x0,21 menit = 2,52
menit pada suhu 121,1oC, yang dikenal dengan proses letalitas minimum (Fo)
(Ahmed & Shivhare cit. Khusnayaini, 2011).
Naruki & Kanoni (1992) melaporkan bahwa peranan panas pada
pengolahan ikan dapat menginaktifkan enzim proteolitik dan mencegah
berkembangnya off flavor yang berasal dari komponen ikan terutama protein dan
lemak. Suksmadji (1987) menyatakan bahwa ikan telah diketahui mengandung
sejumlah asam lemak yang sangat mudah teroksidasi. Pengaruh termal dapat
dapat menyebabkan kerusakan dan dekomposisi menghasilkan senyawa yang
sederhana. Pemanasan pada lemak dapat mengakibatkan proses oksidasi pada
asam lemak sehingga jumlah dan komposisinya akan berubah.

2. EPA dan DHA


2.1 EPA dan DHA pada Ikan
Menurut Ketaren (1986), lemak dan minyak adalah senyawa lipida yang
paling banyak di alam. Perbedaan antara keduanya adalah perbedaan
konsistensi / sifat fisik pada suhu kamar, yaitu lemak berbentuk padat
sedangkan minyak berbentuk cair. Perbedaan titik cair dari lemak disebabkan
karena perbedaan jumlah ikatan rangkap, panjang rantai karbon, bentuk cis
atau trans yang terkandung di dalam asam lemak tidak jenuh.
Komponen dasar lemak adalah asam lemak dan gliserol yang diperoleh
dari hasil hidrolisis lemak, minyak maupun senyawa lipid lainnya. Asam
lemak pembentuk lemak dapat dibedakan berdasarkan jumlah atom C
(karbon), ada atau tidaknya ikatan rangkap, jumlah ikatan rangkap serta letak
ikatan rangkap. Berdasarkan struktur kimianya, asam lemak dibedakan
menjadi asam lemak jenuh (saturated fatty acid / SFA) yaitu asam lemak yang
tidak memiliki ikatan rangkap, sedangkan asam lemak yang memiliki ikatan
rangkap adalah asam lemak tidak jenuh (unsaturated fatty acid). Asam lemak
tidak jenuh dibedakan menjadi monounsaturated fatty acid (MUFA) yang
memiliki satu ikatan rangkap dan polyunsaturated fatty acid (PUFA) dengan
lebih dari satu ikatan rangkap (Ketaren, 1986).
Asam lemak omega 3 yaitu asam lemak yang posisi ikatan rangkap
pertamanya terletak pada atom karbon nomor tiga dari ujung gugus metilnya.
Turunan asam lemak omega 3 yaitu elcosapentaenoic acid (EPA, C20:5) dan
docosahexaenoic acid (DHA, C22:6) yang banyak terdapat pada produkproduk ikan dan minyak ikan (Wildan, 2000). Gambar rantai omega 6 dan
omega 3 dapat dilihat pada Gambar 2.1. Kedua jenis asam lemak tersebut
termasuk asam lemak poli tidak jenuh rantai panjang atau PUFA yang sampai
saat ini jalur sistesismya di dalam tubuh belum sepenuhnya diketahui
(Hadipranoto, 2005).

Gambar 2.1 rantai omega 3 dan omega 6


Sumber : Haris (2004)
EPA dan DHA tidak disintesis oleh ikan secara langsung namun disintesis
oleh alga dan tumbuhan laut yang umumnya ada di perairan. Alga tersebut
dimakan oleh zooplankton dan kemudian dimakan oleh ikan yang ada dalam
rantai makanan tersebut. Semua ikan mengandung EPA dan DHA, namun
jumlahnya berbeda tergantung spesies dan antar spesies seperti faktor
makanan serta perlakuan dibudidayakan atau tidak. Ikan berlemak (fatty fish)
seperti makarel, salmon, herring, sarden dan trout lemaknya disimpan di
dalam otot yang mengandung lebih banyak EPA dan DHA dibandingkan ikan
berdaging putih (white fish) seperti cod, hake dan haddock yang lemaknya
disimpan di dalam hati (IFFO, 2008).
Tabel kandungan asam lemak pada beberapa ikan segar dapat dilihat pada
Tabel 2.1. Kandungan omega 3 pada makarel lebih tinggi dibandingkan trout
dan diikuti oleh sarden. Cod memiliki omega 3 yang lebih rendah karena
termasuk dalam kelompok white fish karena lemaknya disimpan di dalam hati.
Makarel dan sarden memiliki EPA dan DHA tinggi dibandingkan tuna, cod,
trout, haddock dan salmon, sesuai dengan IFFO (2008) yang menyatakan
bahwa fatty fish lebih banyak memiliki EPA dan DHA.

Tabel 2.1 Kandungan asam lemak pada beberapa ikan segar


Asam Lemak
(g/100g)
SFA
MUFA
omega 3
omega 6
PUFA
EPA dan
DHA*
EPA dan
DHA**

Tuna

Makarel

Sarden

Trout

Cod

Haddock

Salmon

0,21
0,19
0,09
0,04
0,13

3,85
6,68
4,05
0,41
4,46

1,83
1,8
1,32
0,24
1,56

1,21
1,44
1,41
0,40
1,80

0,16
0,14
0,08
0,03
0,11

0,09
0,08
0,09
0,01
0,10

1,81

1,71

0,97

0,24

0,15

1,41

0,281,51

0,41,85

1,152,00

1,15

0,28

0,24

1,282,15

Sumber

: Roe et al., 2013, McEvoy et al., 2012, Din et al.; Kris-Etherton


et al. cit. Hanafiah et al., 2007**
Keterangan : SFA: saturated fatty acids, MUFA: mono unsaturated fatty
acid, EPA: elcosapentaenoic acid, DHA: docosahexaenoic acid
2.2 Kerusakan EPA dan DHA
Mesias et al. (2015) menyatakan bahwa salah satu nutrisi yang rentan
terhadap panas adalah PUFA yang mudah teroksidasi pada suhu tinggi
sehingga dapat mengalami penurunan kualitas pada produk akhir. Daging
merah selain lebih banyak memiliki kandungan PUFA dibandingkan daging
putih, namun diketahui memiliki kandungan prooksidan seperti Fe dan heme
protein lebih tinggi (Hultin cit. Yagiz et al., 2009). Menurut Little et al. cit.
Sioen et al. (2006), organisme yang memiliki kandungan PUFA yang tinggi
mengandung antioksidan alami yaitu vitamin E.
Pemanasan dapat menyebabkan hidrolisa lemak berjalan lebih cepat
dibandingkan pada suhu rendah. Hidrolisa lemak dilakukan oleh enzim
lipolitik yang dapat membebaskan asam-asam lemak dari trigliserida serta
meninggalkan mono atau digliserida atau gliserol bebas. Hidrolisa oleh enzim
lipase dapat menghasilkan asam-asam lemak berantai pendek, misalnya
butirat (C4), asam kaproat (C6), asam kaprilat (C8) dan asam kaprat (C10) yang
dapat menyebabkan bau tengik (Nugraheni, 2013).
EPA dan DHA memiliki banyak ikatan rangkap sehingga mudah
mengalami oksidasi dan berakibat rusaknya kedua asam lemak ini. Reaksi
oksidasi akan dipercepat oleh pemanasan yang umumnya merupakan bagian
dari prosedur pengolahan ikan sebelum dikonsumsi. Penurunan EPA dan
DHA dapat disebabkan oleh adanya reaksi oksidasi terhadap kedua senyawa

tersebut, karena EPA dan DHA merupakan asam lemak tidak jenuh sehingga
mudah mengalami oksidasi menjadi senyawa lain. Reaksi oksidasi terjadi
dengan adanya inisiator berupa suhu tinggi karena pemanasan dan juga
dikatalisis oleh adanya ion-ion logam runut Fe dan Cu yang berasal dari
dekomposisi jaringan tubuh ikan (Hadipranoto, 2005).
2.3 Manfaat EPA dan DHA
EPA dapat mencegah penyakit kardiovaskular dengan mengatur aktivitas
metabolisme plasma lemak, agregasi platelet dan proses koagulasi darah.
DHA berperan penting dalam fungsi syaraf dan meningkatkan penerimaan
dalam penghubung balik yang relatif beresiko penyakit alzheimers (Haris,
2004). EPA dan DHA yang berasal dari minyak ikan dan ikan telah diketahui
dapat mencegah beberapa penyakit seperti aterossklerosis, kanker, austisme
dan kematian mendadak (Lee et al.; Mori cit. Atnip, 2011). Cancer Council
Australian (2009) memaparkan bahwa EPA dan DHA dapat menghambat
kanker payudara, kolorektum dan prostat. Menurut Pak et al. (2005), PUFA
dalam pencegahan kanker berperan memodifikasi fosfolipid membran sel dan
fungsi sel yang dapat mengurangi tumor motil atau potensi invasif, secara
langsung sebagai toksik untuk sel-sel tumor, memodifikasi sensitivitas tumor
terhadap kemoterapi dan radiasi serta melindungi jaringan normal.
Menurut IFFO (2008), EPA dan DHA dapat mengurangi penyakit
kardiovaskular dan kematian akibat masalah jantung, mengurangi obesitas
dan terkait dengan diabetes serta meningkatkan perkembangan otak anak dan
menjaga kesehatan mental yang baik. DHA merupakan asam lemak yang
digunakan untuk konstruksi dan fungsional semua membran dalam tubuh,
terutama di jaringan yang sangat aktif seperti syaraf dan otot aktif. Otak
manusia terdiri dari 60% lipid dengan 33% adalah asam lemak omega 3
(Bourre & Dumont cit. Lee et al. cit Murillo et al., 2014). Atnip (2001)
memaparkan bahwa DHA banyak ditemukan di dalam fosfolipid pada otak
dan retina sehingga menunjukkan peran penting dalam perkembangannya.
EPA dan DHA merupakan dua asam lemak omega 3 bersifat esensial
terutama untuk ibu-ibu pada masa kehamilan dan balita pada masa
pertumbuhan (Hadipranoto, 2005). Menurut FAO (2010), rekomendasi

asupan EPA dan DHA untuk laki-laki dan perempuan tidak hamil atau
menyusui adalah 0,25 g / hari sedangkan untuk perempuan yang hamil dan
menyusui minimal 0,3 g / hari dengan sedikitnya 0,2 g / hari untuk DHA.
Menurut The American Heart Association (AHA) cit. McEvoy et al. (2012),
anjuran asupan EPA dan DHA untuk yang terkena penyakit jantung koroner
disarankan 1 g/ hari, sedangkan untuk penyakit hypertriglyceridemia adalah 2
4 g / hari.

3. Kandungan EPA dan DHA pada Ikan Kaleng dengan Sterilisasi Berbeda
Pada industri makanan, sterilisasi umumnya menggunakan retort yang
merupakan cara konvensional dengan menggunakan suhu tinggi dalam lama
waktu tertentu. High Pressure Thermal Sterilization (HPTS) adalah kombinasi
aplikasi dari tekanan tinggi yaitu 600 MPa atau lebih dan suhu rerata 90-121oC.
HPTS memiliki keunggulan dengan kecepatannya dapat menyeragamkan panas
pada proses sterilisasi sehingga waktu yang dibutuhkah lebih cepat dibandingkan
sterilisasi menggunakan retort. Grafik tentang perbedaan sterilisasi menggunakan
retort dan HPTS dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Perbedaan sterilisasi menggunakan retort dan HPTS


Sumber : Matser et al. cit Barbosa (2015)

Tabel 2.2 Kandungan EPA dan DHA ikan kaleng dengan sterilisasi
berbeda
jenis
ikan
tuna
tuna
sarden
tuna
tuna
sarden
tuna
tuna
tuna

medium

perlakuan sterilisasi

larutan garam
minyak bunga
matahari
minyak zaitun
larutan garam
minyak bunga
matahari
minyak zaitun
minyak bunga
matahari
minyak bunga
matahari
minyak bunga
matahari

retort 116oC, 60 menit


o

EPA dan
DHA
(%FAME)
26,5

retort 116 C, 60 menit


retort 116oC, 60 menit
HPTS 115oC, 28 menit, 600 Mpa

0,8
6,4
26,2

HPTS 115oC, 28 menit, 600 Mpa


HPTS 115oC, 28 menit, 600 Mpa

0,6
3,3

retort 110oC, 90 menit

0,97

retort 115oC, 70 menit

0,26

retort 121oC, 40 menit

0.00

sumber

Mesias et
al., 2015

Stephen
et al.,
2009

Tuna kaleng dalam minyak bunga matahari dengan sterilisasi menggunakan


retort memiliki kandungan EPA dan DHA lebih tinggi dibandingkan dengan
sterilisasi HPTS, begitu pula dengan tuna kaleng dalam larutan garam. Kandungan
PUFA pada EPA dan DHA sarden kaleng dalam minyak zaitun berbeda signifikan
pada perlakuan sterilisasi menggunakan retort. Mineral dalam sarden kaleng
cukup tinggi dibandingkan dengan tuna kaleng sehingga dapat dimungkinkan
adanya pengaruh prooksidan lemak akibat HPTS sehingga kandungan EPA dan
DHA lebih rendah (Mesias et al., 2015).
Penggunaan HPTS dan retort dalam sterilisasi tidak memberikan pengaruh
signifikan pada profil asam lemak pada tuna kaleng dalam larutan garam. Minyak
zaitun memiliki kandungan asam oleat yang tinggi yaitu 69% kemudian diikuti
kandungan C16:0 (12%) dan C18:2 (10%) (Moreiras et al. cit. Mesias et al. 2015).
Hal ini sesuai dengan kandungan asam oleat pada sarden kaleng dalam minyak
zaitun dengan perlakuan sterilisasi menggunakan retort yaitu 60% sedangkan
dengan HPTS kandungan lebih tinggi yaitu 65,8% pada Lampiran 2.
Minyak bunga matahari telah diketahui memiliki komponen asam lemak yang
dominan dari asam linoleat (62%) dan asam oleat (25%) (Moreiras et al. cit.

10

Mesias et al. 2015). Komponen tertinggi pada tuna dalam minyak bunga matahari
adalah asam oleat yaitu 55,9% dan 59,9% pada sampel tuna dalam minyak zaitun
dengan perlakuan dengan retort dan HPTS yang dipengaruhi oleh kandungan
minyak bunga matahari dan lemak tuna (Lampiran 2 ). Kandungan EPA dan DHA
pada tuna dalam minyak bunga matahari lebih rendah dibandingkan dengan tuna
dalam larutan garam. Tidak ada perbedaan signifikan pada profil asam lemak
antar sampel tuna dalam minyak bunga matahari dengan perlakuan sterilisasi
menggunakan retort atau HPTS.
Stephen et al. (2010) telah melakukan penelitian pengaruh panas terhadap
perubahan kimia pada tuna dengan perebusan, penggorengan, pengalengan dan
menggunakan microwave. Perlakuan pengalengan menggunakan 110, 115 dan
121oC dengan waktu 90, 70 dan 40 menit dalam medium minyak bunga matahari.
Pada Lampiran 3 dapat diketahui adanya peningkatan asam oleat (C18:1) yang
diketahui dari medium yang digunakan yaitu minyak bunga matahari.
Pengalengan merusak keseluruhan asam lemak, sedangkan penggorengan dapat
menghilangkan 70% EPA dan 85% DHA sedangkan pemanasan menggunakan
microwave menghilangkan 25% EPA dan 55% DHA. Peningkatan suhu sterilisasi
pada proses pengalengan dapat menurunkan kandungan EPA (C20:5) dan DHA
(C22:6) dan menghilangkan kandungan asam lemak penting tersebut, terlihat pada
Gambar 2.3.
Penurunan kadar asam lemak secara umum dapat terjadi setelah pengolahan.
Asam lemak mengalami hidrolisa dan akan pecah menjadi fragmen rantai pendek
(Purwaningsih et al., 2014). Perubahan jumlah EPA dan DHA dapat disebabkan
oleh perubahan jumlah air dan lemak daripada perlakuan pemanasan. Perubahan
dalam kemudahan lemak untuk diekstrak juga berpengaruh pada jumlah EPA dan
DHA karena dipengaruhi persentase dan komposisi asam lemak (Domiszewski et
al., 2011).

11

Kandungan EPA dan DHA dengan sterilisasi


berbeda
60

EPA + DHA (% FAME)

50

40

E**

30

D**
C**
B*

20

A*
10

0
tuna dalam
larutan garam

tuna dalam
minyak bunga
matahari

sarden dalam
minyak zaitun

sarden dalam
minyak bunga
matahari

jenis ikan dan medium

Gambar 2.3 Kandungan EPA dan DHA dengan sterilisasi berbeda


Sumber
: Mesias et al. (2015)*; Stephen et al. (2010)**
Keterangan : A : sterilisasi dengan retort 116oC selama 60 menit, B : sterilisasi
dengan High Pressure Thermal Sterilization115oC selama 28
menit, 600 Mpa C : sterilisasi dengan retort 110oC selama 90
menit, D : sterilisasi dengan retort 115oC selama 70 menit, E :
sterilisasi dengan retort 121oC selama 40 menit
Zunin et al. (2001) memaparkan bahwa penggunaan jenis teknologi yang
berbeda pada proses pengalengan berpengaruh terhadap kandungan PUFA.
Sterilisasi menggunakan HPTS dapat menjadikan promote lipid oxidation
pada asam lemak di ikan kaleng (Mesias et al., 2015). Tekanan tinggi pada
HPTS dapat menyebabkan denaturasi heme protein dalam otot sehingga
mengkatalis oksidasi dan melepaskan ion besi ke medium (Wada et al.; Akoh
et al. cit. Mesias et al., 2015). Menurut Nasirullah cit. Manral et al. (2008),
12

oksidasi dan degradasi termal menyebabkan PUFA memproduksi asam lemak


bebas.

4. Kandungan EPA dan DHA pada Ikan Kaleng di Beberapa Negara


Kandungan lemak pada Sardinella aurita yang dikalengkan dalam minyak
zaitun memiliki kandungan EPA dan DHA lebih tinggi dibandingkan pada
Sardina pilchardus yang dikalengkan dalam saus tomat (Tabel 2.3). Hasil uji
profil asam lemak pada kedua spesies, segar dan sesudah dikalengkan dapat
dilihat pada Lampiran 4. Lemak Sardinella aurita yang dikalengkan dalam
minyak kedelai meningkat mencapai 8,62g/100g, menurut Selmi & Sado (2007)
peningkatan tersebut dikarenakan masuknya medium minyak ke dalam daging.
Hal ini berbeda dengan kandungan lemak pada sarden kaleng dalam saus tomat
tidak berbeda signifikan terhadap sarden segar. Menurut Selmi & Sadok (2007),
kandungan EPA dan DHA sarden kaleng dalam kedua medium meskipun
mengalami sedikit penurunan dari sarden segar, secara statistik perlakuan
sterilisasi dan penambahan medium memberikan efek berbeda nyata.
Sarden kaleng dalam minyak kedelai cenderung lebih tinggi kandungan EPA
dan DHAnya dibandingan sarden kaleng dalam medium saus tomat. Kandungan
EPA pada sarden kaleng dari Brazil dalam medium minyak kedelai menunjukkan
lebih tinggi dibandingkan kandungan DHA pada semua brand, begitu pula dengan
sarden kaleng dalam saus tomat (Lampiran 5 dan 6). Menurut Estiasih (2008),
DHA memiliki sifat ketidakjenuhan lebih tinggi sehingga mudah teroksidasi
dibandingkan EPA. Penelitian Kolakowska et al. cit. Larsen et al. (2010)
memaparkan bahwa DHA berkurang 20% setelah 1 jam pemanasan pada suhu
100oC, berkurang 45% setelah 15 menit pada 160oC dan 70% setelah 1 jam pada
suhu yang sama. EPA dalam perlakuan yang sama hanya berkurang kurang dari
20%.
Penelitian yang dilakukan oleh Tenore et al. (2014) tentang kandungan asam
lemak ikan kaleng dari Italia memaparkan bahwa kandungan EPA pada tuna
kaleng dalam larutan garam dari jenis bluefin tuna lebih tinggi dibandingkan
albacore tuna dan yellow fin tuna. Salmon kaleng dalam medium larutan garam
dari Italia memiliki kandungan DHA lebih tinggi dan EPA dan DHA lebih rendah
13

dibandingkan salmon kaleng dari India. Makarel kaleng dalam medium larutan
garam lebih kaya akan EPA dan DHA dibandingkan dengan makarel kaleng dari
India. Menurut Raharjo (2006), larutan garam dapat sebagai antioksidan, semakin
tinggi kadar garam maka akan mempercepat antioksidasi, namun dalam bentuk
kristal dapat mempercepat oksidasi.
Tabel 2.3 Kandungan EPA dan DHA ikan kaleng
Asal

Jenis ikan

Medium

EPA dan
DHA
(g/100g)

Sumber

Sarden
Selmi & Sadok,
(Sardinella minyak zaitun
0,64**
2007
Tunisia
aurita)
Sarden
(Sardina
saus tomat
0,31**
Tunisia pilchardus)
Brazil
sarden
minyak kedelai
0,86**
Tarley et al.,
Brazil
sarden
minyak kedelai
1,70**
2004
Brazil
sarden
minyak kedelai
1,40**
Brazil
sarden
minyak kedelai
1,37**
Brazil
sarden
saus tomat
1.00**
Brazil
sarden
saus tomat
1,27**
Brazil
sarden
saus tomat
1,82**
Italia
white tuna larutan garam
1,25
Tenore et al.,
Italia
light tuna
larutan garam
1,86
2014
Italia
salmon
larutan garam
1,57
Italia
makarel
larutan garam
1,09
Italia
sarden
larutan garam
1,43
India
light tuna
air
0,28
Shim et al., 2004
India
light tuna
minyak sayur
0,18
India
light tuna minyak kedelai
0,14
India
white tuna
minyak sayur
0,93
India
white tuna minyak kedelai
0,88
India
salmon
1,62
India
makarel
0,85
Australia
sarden
2,8-4,040* Sinclair et al., cit.
Australia
makarel
1,41-1,57* Cancer Counsil
Australia
salmon
0,49-2,74* Australian, 2009
Australia
tuna
0,17-0,37*
Keterangan : * : kandungan omega 3, ** : konversi FAME menjadi g/100g
berdasarkan FAO (2012)

14

Hasil penelitian Shim et al., (2004) menunjukkan bahwa white / albacore tuna
kaleng cenderung memiliki kandungan EPA lebih tinggi dibandingkan light tuna
kaleng. Hal ini sesuai dengan penelitian Karunarathna & Attygalle (2009) yang
memaparkan bahwa kandungan yellowfin tuna dari kelompok white / albacore
tuna lebih tinggi dibandingkan spesies tuna lainnya. Kandungan EPA dan DHA
dalam salmon kaleng (1,62g/100 g) lebih tinggi dibandingkan tuna dan makarel
kaleng. Menurut Anonim (2015), yellowfin tuna termasuk jenis light tuna,
memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan albacore dan daging yang
berwarna merah muda pucat seperti cahaya (light) dengan rasa sedikit lebih kuat
dibandingkan albacore. Tuna jenis albacore disebut white tuna karena memiliki
daging yang lembut, berwarna putih dengan sedikit merah muda sehingga harga
jenis white tuna lebih mahal.
Sinclair et al. cit. Cancer Counsil Australian (2009) memaparkan bahwa
sarden kaleng di Australian memiliki kandungan omega 3 lebih tinggi dan tuna
kaleng lebih rendah dibandingkan makarel dan salmon kaleng. Kandungan asam
lemak dalam omega 3 tidak hanya EPA dan DHA, sehingga data kandungan asam
lemak pada ikan kaleng dari Australia yang disajikan ini belum spesifik
menggambarkan jumlah kandungan EPA dan DHA. Menurut Tehrany et al.
(2012), selain EPA dan DHA, kandungan omega 3 termasuk asam linolenat dan
docosapentaenoic acid (DPA).
Tuna kaleng dalam larutan garam di pasaran Italia dari jenis bluefin tuna
memiliki kandungan EPA dan DHA lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kaleng
lainnya (Gambar 2.4). Menurut Chung (2008), bluefin tuna segar memiliki
kandungan n-3 PUFA lebih tinggi (1,3 g/100g) dibandingkan yellowfin tuna dari
kelompok white / albacore tuna (0,2 g/100 g). Jenis salmon akan mempengaruhi
kandungan EPA dan DHA, termasuk salmon yang hidup di alam dan
dibudidayakan berbeda. Makarel kaleng dalam larutan garam dari Italia lebih
banyak kandungan EPA dan DHA dibandingkan India sedangkan sarden kaleng
dalam larutan garam (1,43 g/100g) dan minyak zaitun (0,75 dan 1,31 g/100g).

15

Kandungan EPA dan DHA pada Ikan Kaleng


di India dan Italia
EPA + DHA (g/100g)

8
7

sarden Italia*

makarel Italia*

salmon Italia*

light tuna Italia*

makarel India**

salmon India**

white tuna India**

0
larutan
garam

minyak
sayur

minyak
kedelai

medium

tidak
diketahui

air

light tuna India**


white tuna Italia*

Gambar 2.4 Kandungan EPA dan DHA pada ikan kaleng


di India dan Italia
Sumber : Tenore et al. (2014)*; Shim et al. (2004)**
Penelitian yang dilakukan oleh Karunarathna & Attygalle (2009) memaparkan
bahwa selain jenis tuna yang digunakan, jenis daging yang diolah terutama
berpengaruh terhadap kandungan asam lemak. Daging merah, daging putih dan
kulit memiliki kandungan SFA, MUFA dan PUFA yang bervariasi, begitu pula
dengan kandungan EPA dan DHAnya. Pada ikan berdaging putih memiliki pH
lebih tinggi dibandingkan pada daging merah (Shimizu et al. cit. Decker et al.
2010). Peningkatan pH akan menurunkan reaktivitas Hb dan Mb yang dapat
menyebabkan oksidasi pada lemak (Decker et al. 2010). Hutlin cit. Yagiz et al.
(2009) menambahkan bahwa daging merah tidak hanya mengandung banyak
PUFA dibandingkan daging putih, namun tinggi pula prooksidan seperti Fe dan
heme protein.

16

Kandungan EPA dan DHA pada Sarden Kaleng

EPA dan DHA (g/100g)

1.5
Brazil (Sardinella brasiliensis )***
1

Tunisia (Sardina pilchardus)**

0.5

Tunisia (Sardinella aurita)**


Italia*

0
larutan saos tomat minyak
garam
kedelai

minyak
zaitun

medium

Gambar 2.5 Kandungan EPA dan DHA pada sarden kaleng


Sumber : Tenore et al. (2014)*, Tarley et al. (2004)**,
Selmi &Sadok (2007)***

Shim et al. (2004), selain jenis ikan, kandungan EPA dan DHA dapat
dipengaruhi oleh medium yang digunakan dalam ikan kaleng. Sarden dalam
larutan garam memiliki kandungan EPA dan DHA lebih tinggi dibandingkan
dalam medium saus tomat, minyak kedelai dan minyak zaitun (Gambar 2.5).
Sardina pilchardus dalam saus tomat dari Tunisia memiliki kandungan lebih
rendah dibandingkan lainnya, hal ini dapat dikarenakan kandungan EPA dan
DHA Sardina pilchardus segar lebih rendah dibandingkan dengan Sardinella
aurita yang digunakan pada sarden kaleng dalam minyak zaitun (Lampiran 4).
Sarden kaleng dalam larutan garam memiliki kandungan EPA dan DHA lebih
tinggi dibandingkan dalam medium lainnya. Menurut Raharjo (2006), garam tidak
selalu bersifat sebagai prooksidan, karena kondisi tertentu justru bisa menghambat
oksidasi lemak. Oksidasi dapat diinduksi oleh ketidakmurnian garam karena
tercampur oleh unsur logam. Efek prooksidatif dari garam dapat ditekan
menggunakan bahan tambahan lain, misalnya penggunaan nitrit pada daging yang
dilakukan curing. Menurut Tenore et al. (2014), ikan kaleng dalam medium
larutan garam memiliki kandungan lemak yang hampir sama dengan dengan ikan
segar.

17

Saus tomat dapat menekan penurunan EPA dan DHA, penelitian yang
dilakukan oleh Shobana & Naidu; Nagababu & Lakshmaiah cit. Liputo et al.
(2010) mendapatkan bahwa rempah dan bumbu yang dipakai dalam makanan
menghambat oksidasi minyak dan lemak serta mencegah peroksidasi lipid
sehingga menurunkan penyakit kardiovakuler. Ketaren (1996) memaparkan
bahwa minyak kedelai kaya akan asam linoleat (15-64%) dan asam oleat (1160%) sedangkan karakteristik minyak zaitun adalah kandungan asam oleat yang
tinggi yaitu 69% kemudian diikuti kandungan C16:0 (12%) dan C18:2 (10%)
(Moreiras et al. cit. Mesias et al. 2015).
Terbentuknya hidroperoksida akan diikuti dengan terbentuknya ikatan baru
dan selanjutnya akan menghasilkan senyawa aldehid dan keton senyak hasil
oksidasi sekunder yang dapat dinyatakan dengan bilangan anisidin (Siahaan et al.,
2004). Oksidasi sekunder dapat dilihat dari peningkatan bilangan anisidin (Pak,
2005), bilangan anisidin pada minyak bunga matahari 18,8 sedangkan minyak
ikan 19,8 (Suja et al. cit. Pak, 2005) sehingga dapat diketahui penggunaan minyak
bunga matahari sebagai medium dapat meningkatkan oksidasi. Minyak zaitun
memiliki nilai anisidin 5,1 (Guillen & Cabo cit. Pak, 2005), jauh lebih rendah
dibandingkan nilai anisidin pada minyak bunga matahari dan minyak ikan.
Menurut Mesias et al. (2015) menyatakan bahwa kandungan lemak
dipengaruhi oleh periode bertelur (spawning) atau migrasi ikan. Menurut Raharjo
(2006), kandungan asam lemak bervariasi tergantung spesies, jenis makanan, jenis
kelamin, umur, kondisi lingkungan dan lokasi timbunan lemak pada tubuh ikan.
Menurut Richard et al. cit. Decker (2010), lemak dalam daging ikan yang hidup
di air dingin memiliki kandungan PUFA tinggi termasuk EPA dan DHA.
Kandungan omega 3 PUFA pada ikan pelagis lebih tinggi dibandingkan ikan
demersal atau ikan karang Murillo et al. (2014). Menurut Dunstan et al. cit.
Murillo et al. (2014), hal ini dapat dijelakan adanya fakta bahwa ikan pelagis lebih
dominan memakan fitoplankton sebagai sumber makanannya yang kaya akan
omega 3.

18

III.

PENUTUP

1. Kesimpulan
1. EPA dapat mencegah penyakit kardiovaskuler dengan mengatur aktivitas
metabolisme plasma lemak, agregasi platelet dan proses koagulasi darah.
DHA berperan penting dalam fungsi syaraf dan meningkatkan penerimaan
dalam penghubung balik yang relatif beresiko penyakit alzheimers. Selain
itu, EPA dan DHA dapat menghambat kanker payudara, kolorektum dan
prostat.
2. Penurunan kandungan EPA dan DHA sebanding dengan peningkatan suhu
dan tekanan yang digunakan pada proses sterilisasi pengalengan ikan.
HPTS kurang tepat apabila digunakan untuk ikan dengan kandungan
mineral yang tinggi, karena dapat mengkatalis prooksidan yaitu pada ikan
kaleng. Jenis medium air, saus tomat dan larutan garam pada ikan kaleng
cenderung mempertahankan kandungan EPA dan DHA.
3. Faktor yang mempengaruhi kandungan EPA dan DHA pada ikan kaleng
selain sterilisasi dan medium yang digunakan adalah jenis ikan, bagian
ikan yang dikalengkan, waktu penangkapan ikan dan faktor lingkungan
hidup ikan.
2. Saran
Diperlukan informasi tentang kandungan EPA dan DHA pada ikan kaleng di
Indonesia terutama dari jenis ikan yang ada di Indonesia seperti lemuru dan
tuna dengan medium bervariasi seperti aneka saus dan bumbu tradisional
Indonesia sehingga masyarakat dapat mengetahui kandungan EPA dan DHA
dan meningkatkan konsumsinya. Penambahan informasi gizi kandungan
omega 3 pada label ikan kaleng sangat disarankan.

19

DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara, Jakarta.
Anonim. 2008. Agribisnis Perikanan Edisi Revisi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Anonim. 2015. Healthy Tuna. <www.healthytuna.com/glossary>. Diakses 17 November
2015.
Atnip, A. 2011. Effect of Processing on the Oxidative Stability of Docosahexaenoic Acid
Oil.
<https://kb.osu.edu/dspace/bitstream/handle/1811/49064/hayespaperpdf.
pdf? sequence=1.>. Diunduh 28 September 2015.
Barbosa-Canovas, G. V. and P. Juliano. 2015. <http://www.springer.com/cda/content/
document/cdadownloaddocument/9780387754291-c1.pdf?SGWID=0-0-45512104-p173797705>. Diunduh 10 November 2015.
Cancer Council Australian. 2009. Position Statement : Omega 3 Fatty Acids, Fish and
Cancer
Prevention.
<http://www.cancercouncil.com.au/wpcontent/uploads/2010/09/Fish-Omega3-Fatty-Acids-and-Cancer-PositionStatement.pdf>. Diunduh 4 November 2015.
Chung, M. K. 2008. Omega-3 fatty acid supplementation for the prevention of
arrhythmias. Current Treatment Option in Cardiovascular Medicine 10 : 398
407.
Decker, E. A., R. J. Elias and D. J. McClement. 2010. Oxidation in Food and Beverages
and Antioxidant Applications. Woodhead Publishing, New Delhi.
Desrosier, N. W. 1988. The Technology of Food Preservation (Teknologi Pengawetan
Pangan, alih Bahasa : Muchi Muljohardjo). UI Press, Jakarta.
Domiszewski, Z., G. Bienkiewicz and D. Plust. 2011. Effect different heat treatments on
lipid quality of striped catfish (Pangasius hypophthalmus). Technologia
Alimentaria 10 : 359-373.
Estiasih, T. K. Ahmadi dan F. C. Nisa. 2008. Karakteristik mikrokapsul minyak kaya
asam lemak omega 3 dari hasil samping penepungan lemuru. Teknologi dan
Industri Pangan 19 : 121 130.
FAO. 2010. Fats and Fatty Acids in Human Nutrition : Report of An Expert Consultation.
Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome.
FAO. 2012. Guidelines for Converting Units, Denominators and Expressions, version 1.0.
Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome.
Haris, W. S. 2004. Review : fish oi supplementation : evidence for health benefits.
Medicine 71 : 208 219.
Hadipranoto, N. 2005. Kajian stabilitas termal EPA dan DHA dalam minyak ikan mujahir
(Oreochromis mossambicus). Kimia Indonesia 5 : 152-155.
Hanafiah, A., D. Karyadi, W. Lukito, Muhilal dan F. Supari. 2007. Desirable intake of
polyunsaturated fatty acids in Indonesia adults. Asia Pacific Clinic Nutrition 16 :
632-640.
IFFO. 2008. The Healthiest Omega-3s EPA and DHA are Found Mainly in Fish Oil and
Fishmeal. <www.iffo.net/system/files/77_0.pdf >. Diunduh 14 September 2015.
Karunarathna, K. A. A. U. dan M. V. E. Attygalle. 2009. Nutritional evaluation in five
spesies of tuna. Scient 15 : 7-16.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. <http://www.depkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-jantung.pdf.>.Diunduh 27 November
2015.

20

Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta.


Khamadinal, N. Hadipranoto dan Mudasir. 2007. Pengaruh Antioksidan terhadap
kerusakan asam lemak omega-3 pada proses pengolahan ikan tongkol. Sains dan
Teknologi 3 : 119-138.
Khusnayaini, A. A. 2011. Pengaruh Tingkat Sterilisasi pada Proses Pengalengan
terhadapa Sifat Fisik Gudeg yang Dihasilkan. Fakultas Teknologi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
Kris-Etherton, P. M., W. S. Haris and L. J. Appel. 2003. Omega-3 fatty acids and
cardiovascular disease : new recommendation from the American Heart
Association. Arterioscles Thromb Vasc Biol 23 : 151-152.
Larsen, D., S. Y. Quek and L. Eyres. 2010. Effect of cooking method on the fatty acid
profile of New Zealand King Salmon (Oncorhynchus tshawytscha). Food
Chemistry : 785-790.
Lestari, R. F. 2014. Mikroemulsi Asam Askorbat sebagai Penghambatan Kerusakan
Minyak Ikan Akibat Fotooksidasi. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada.
Skripsi.
Liputo, N. I., D. P. Putra, I. Ramadhani. 2010. Konsumsi bumbu dan makanan
mengandung antioksidan dan hubungannya dengan risiko penyakit
kardiovaskular.
<
http://repository.unand.ac.id/25/1/konsumsi_rempahcvd
_risk.pdf> . Diunduh 18 November 2015.
Manral, M., M. C. Pandey, K. Jayathilakan, K. Radhakrishna and A. S. Bawa. 2008.
Effect of fisg (Catla catla) frying on the quality characteristics of sunflower oil.
Food Chemistry 106 : 634 639.
Mantulangi, R. O. 2014. Efektivitas Mikroemulsi Asam Galat untuk Menghambat
Kerusakan Minyak Ikan Pasa Suhu Kamar. Fakultas Pertanian. Universitas
Gadjah Mada. Skripsi.
McEvoy, C., I. S. Young and J. V. Woodside. 2012. Fish, n-3 polyunsaturated fatty acid
and cardiovascular disease. <http://link.springer.com.ezproxy.ugm.ac.id/chapter/
10.1007/978-1-61779-894-8_10>. Diunduh 14 September 2015.
Mesias, M., F. Holgado, R. Sevenich, J. C. Briand, G. Marquez-ruiz and F. J. Morales.
2015. Fatty acids profile in canned tuna and sardine after retort sterilization and
high pressure thermal sterilization treatment. Food and Nutrition Research 54 :
171-178.
Muchtadi D. 1995. Teknologi dan Mutu Makanan Kaleng. Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Murillo, E., K. S. Rao and A. A. Durant. 2014. The lipid content and fatty acid
composition of four eastern central Pacific native fish species. Food Composition
and Analysis 33 : 1 5.
Murniyati dan Sunarman. 2000. Pendinginan Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Kanisius,
Yogyakarta.
Naruki, S. dan S. Kanoni. 1992. Kimia dan Teknlogi Pengolahan Hasil Ternak I. PAU
UGM, Yogyakarta.
Nugraheni, M. 2013. Pengetahuan Bahan Pangan Hewani. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Pak, C. S. 2005. Stability and Quality of Fish Oil During Typical Domestic Application.
Fishery
Training
Progamme.
<http://www.unuftp.is/static/
fellows/document/pak05prf.pdf>. Diunduh 3 November 2015.

21

Purwaningsih, S., E. Salamah dan R. Dewantoro. 2014. Komposisi kimia dan asam lemak
ikan glodok akibat pengolahan suhu tinggi. Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia
17 : 165-174.
Raharjo, S. 2006. Kerusakan Oksidatif pada Makanan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Roe, M., S. Churchs, H. Pinchen and P. Finglas. 2013. Nutrient analysis of fish and fish
product. Institute of Food Research. Norwich Rearch Park, Norwich.
Ruanda, F. O. 2015. Efektivitas Mikroemulsi Asam Askorbat dalam Menghambat
Kerusakan Minyak Ikan selama Penyimpanan Suhu Kamar. Fakultas Pertanian.
Universitas Gadjah Mada. Skripsi.
Selmi, S. and S. Sadok. 2007. Change in lipid quality ang fatty acids profile of two small
pelagic fish : Sardinella aurita and Sardina pilchardus during canning process in
olive oil and tomato sauce respectively. Science Technology. 34 : 91-97.
Shim S. M., L. E. Dorworth, J. A. Lasrado and C. R. Santerre. 2004. Mercury and fatty
acids in canned tuna, salmon and mackerel. Food Science 69 : 691-684.
Siahaan, D., S. Silalahi dan M. E. Siregar. 2004. Studi awal kualitas minyak goreng
kelapa sawit pada penggorengan berulang produk tertentu. Penelitian Kelapa
Sawit 12 : 115 131.
Sioen, I., L. Haak, K. Raes, C. Hermans, S. De Henauw, S. De Smet and J. Van Camp.
2006. Effect of pan frying in margarine and olive oil on the fatty acid composition
of cod and salmon. Food Chemistry 98 : 609 617.
Stephen, N. M., R. J. Syakila, G. Jeyasekaran and D. Sukumar. 2010. Effect of different
types of heat processing on chemical changes in tuna. Food Scient Technology 47
: 174 181.
Suksmadji, B. 1988. Pengalengan Bahan Makanan. PAU UGM, Yogyakarta.
Tarley, C. R. T., J. V. Visentainer, M. Matsushita and N. E de Souza. 2004. Proximate
composition, cholesterol and fatty acids profile of canned sardines (Sardinella
brasiliensis) in soybean oil and tomato sauce. Food Chemistry 88 : 1 6.
Tehrani, E. A., M. Jacquot, C. Gaiani, M. Imran, S. Desobry and M. Linder. 2012.
Beneficial effect and oxidative stability of omega 3 long chain polyunsaturated
fatty acids. Food Science and Technology 25 : 24-33.
Tenore, G. C., G. Calabrese, A. Ritieni, P. Campiglia, D. Giannetti and Ettore Novellino.
2014. Canned bluefin tuna, an in vitro cardioprotective functional food potentially
safer than commercial fish oil based pharmaceutical formulations. Food and
Chemical Toxicology 71 : 231-235.
Wildan, F. 2000. Perbandingan kandungan omega-3 dan omega-6 dalam minyak ikan
lemuru dengan teknik kromatografi. Temu Teknik Fungsional non Peneliti. 204209.
Winarno, F. G. 1997. Kemanan Pangan. Istitut Pertanian Bogor, Bogor.
Yagiz, Y., H. G. Kristinsson, M. O. Balaban, B. A. Welt, M. Ralat and M. R. Marshall.
2009. Effect of high pressure processing and cooking treatment on the quality of
Atlantic salmon. Food Chemistry 116 : 828 835.
Zunin, P., R. Boggia and F. Evangelisti. 2001. Identification and Quantification of
Cholestrol Oxidation Product in Canned Tuna. American Oil Chemists Society 78
: 1037 1040.

22

LAMPIRAN
Lampiran 1
Tabel 1. Nama asam lemak
Asam lemak
C14:0
C16:0
C18:0
C20:0
C22:0
C16:1
C18:1 n9c
C24:1
C18:2
C20:4
C20:5
C17:0
C18:3
C22:6
C12:0
C15:0
C21:0
C14:1
C18:1 n9t

nama asam lemak


Asam miristat
Asam palmitat
Asam stearat
Asam arakhidat
Asam bhenat
Asam palmitoleat
Asam oleat
Asam nervoat
Asam linoleat
Asam arakhidonat
EPA
Asam margarat
Asam linolenat
DHA
asam laurat
asam pentadekanoat
asam heneikosanat
asam miristolear
asam elaidat

Sumber

Pratama et al. cit.


Lestari, 2014

Sahena et al. cit


Mantulangi, 2014

Yulistiani cit. Ruanda,


2015

23

Lampiran 2
Tabel 2. Profil asam lemak dengan sterilisasi berbeda
FAME (%)
C14:0

Tuna dalam larutan


garam

Tuna dalam minyak


bunga matahari

Sarden dalam minyak


zaitun

Retort

HPTS

Retort

HPTS

Retort

HPTS

1,4 0,4

1,5 0,1

0,1 00

0,1 0,0

1,5 0,2

1,4 0,0

C15:0

0,7 0,2

0,5 0,0

0,0 0,0

0,1 0,0

0,1 0,0

0,1 0,0

C16:0

16,9 2,9

15,9 0,2

4,8 0,2

5,1 0,4

13,4 0,3

13,2 0,0

C16:1, n-7

3,2 1,1

2,9 0,5

0,1 0,0

0,2 0,1

2,3 0,4

1,9 0,0

C17:0

1,1 0,2

1,3 0,2

0,0 0,0

0,0 0,0

0,2 0,1

0,2 0,0

C17:1, n-9

0,7 0,2

0,7 0,0

0,0 0,0

0,1 0,0

0,2 0,0

0,2 0,0

C18:0

8,5 2,3

5,9 0,1

3,7 0,0

2,1 2,3

3,5 0,2

3,4 0,0

C18:1, n-9

23,9 6,1

28,9 0,2

55,9 2,0

59,9 2,5

60,6 1,4

65,8 0,1

C18:2, n-6

4,1 4,0

4,4 0,3

33,8 1,8

30,9 1,3

4,8 0,8

5,6 0,0

C18:3, n-3

0,3 0,0

0,3 0,0

0,2 0,0

0,1 0,0

0,7 0,2

0,8 0,0

C18:4, n-3

0,5 0,0

nd

C20:1, n-9

1,3 1,1

2,8 0,0

0,2 0,0

0,3 0,1

1,5 0,1

1,4 0,0

C22:1, n-11

0,7 0,0

nd

nd

0,1 0,1

nd

1,5 0,0

C20:4, n-6

2,3 0,3

nd

0,2 0,0

nd

C20:5, n-3

3,7 1,6

4,5 0,1

0,6 0,3

0,1 0,1

2,6 0,5

1,7 0,0

C22:5, n-3

1,4 0,4

nd

0,3 0,1

nd

0,4 0,2

nd

C22:6. n-3

22,8 7,3

21,7 0,1

0,2 0,0

0,5 0,1

3,8 0,6

1,6 0,0

Sumber : Mesias et al. (2015)


Keterangan : ND : tidak terdeteksi

24

Lampiran 3
Tabel 3 Kandungan asam lemak pada tuna kaleng dalam minyak bunga matahari yang
disterilisasi dengan suhu dan waktu dan berbeda
Asam
segar
C
D
E
lemak
C14:0
0,900,11
0,540,04
0,280,10
0,200,13
C15:0
0,250,18
0,110,01
0,070,01
0,040,01
C16:0
7,831,21
8,631,12
5,301,01
5,150,67
C17:0
0,310,11
0,220,07
0,170,05
0,130,04
C18:0
2,940,34
3,310,12
2,630,38
2,610,30
C20:0
C22:0
3,240,33
1,510,17
1,410,21
1,310,19
Total SFA
15,51,06
14,30,36
9,90,43
9,40,32
C14:1
3,940,16
1,420,20
0,500,12
0,460,08
C15:1
1,010,05
C16:1
0,400,15
C17:1
0,210,02
C18:1
1,380,14
7,750,22
9,580,21 9,330,07
C20:1
0,270,03
0,480,10
1,550,06
4,210,20
C22:1
0,130,02
C24:1
10,941,23 2,170,15
1,510,05
0,390,02
Total
18,30,13
11,80,17
13,10,11
14,40,10
MUFA
C16:3
29,301,16 23,261,20 9,332,13 10,031,22
C16:4
3,420,02
0,210,01
0,290,05
0,230,03
C18:2
10,692,32 14,120,34 14,971,53 6,080,34
C18:3
5,870,12
9,850,06 15,080,14 14,791,13
C18:3
1,110,05 17,830,82 19,780,27 10,650,48
C20:2
1,740,22
1,820,01
1,750,32
8,780,12
C20:3
0,360,03
C20:4
0,430,10
0,690,08
1,730,03 10,560,93
C20:5
1,670,21
0,970,13
0,260,12
C22:2
0,810,06
0,640,12
1,910,02
4,110,12
C22:6
2,500,10
Total PUFA 57,90,39
69,40,35
65,10,57
65,22,46
n-3
5,28
18,80
20,4
10,65
n-6
19,09
26,48
33,53
40,21
n-3/n-6
0,28
0,92
0,60
0,26
ratio
P : S ratio
3,74
4,84
6,60
6,91
Sumber : Stephen et al. (2010)
Keterangan : C : sterilisasi dengan retort 110oC selama 90 menit, D : sterilisasi dengan
retort 115oC selama 70 menit, E : sterilisasi dengan retort 121oC selama 40 menit

25

Lampiran 4
Tabel 4. Profil asam lemak pada sarden kaleng di Tunisia

C14:0

11,710,84a

7,340,13b

Sardina pilchardus
Dalam saus tomat
Sarden
Sarden
segar
kaleng
4,500,19a
1,460,11b

C14:1

0,560,09a

0,590,20a

0,200,01ab

0,060,01a

C15:0

2,040,10a

1,280,02b

1,050,05a

0,470,03b

C15:1

0,270,04a

0,110,01b

0,340,03a

0,100,01b

C16:0

36,270,36a

33,960,54c

25,510,94a

20,340,09b

C16:1 7

7,030,33a

5,420,19b

2,000,06a

1,370,03c

C16:2 4

0,430,04a

0,160,01b

0,230,02a

0,100,00c

C17:0

0,450,04a

0,460,04a

0,580,07a

0,720,03a

C17:1

0,220,04a

0,170,02a

C18:0

Asam
Lemak

C18:1 9

Sardinella aurita
dalam minyak zaitun
Sarden
Sarden segar
kaleng

2,970,07

14,621,75

3,240,30

24,300,38c

5,010,16a

4,220,05b

6,960,22a

19,570,07c

1,950,00a

C18:1 7

1,580,11a

0,090,05b

1,850,06

C18:2 6

4,160,69a

7,940,06c

1,460,05a

10,540,03b

C18:3 3

1,480,06a

1,230,07b

1,090,04ab

1,470,01a

C20:0

0,130,01a

0,130,00a

0,370,04

0,360,03a

C20:2

0,120,04a

0,030,01b

C20:3

0,370,02a

0,040,02b

0,890,00c

6,240,19a

4,150,08c

33,611,01a

24,791,79c

1,390,02

C20:4 3
EPA C20:5
3

0,490,05a

0,410,01c

3,920,25a

3,000,15b

C22:5 3
DHA
C22:6 3

0,490,05a

1,170,22b

6,090,18a

5,120,04c

SFA

53,571,24a

46,400,43c

37,000,97a

27,580,07c

PUFA

24,271,31ab

30,670,51c

11,340,27a

23,050,11c

MUFA

24,271,31a

19,090,35b

44,030,92a

41,921,48a

EPA/DHA

0,640,02a

0,590,03a

0,190,00a

0,170,01a

PUFA/SFA

0,330,01a

0,410,00c

1,190,01a

1,520,05b

1,160,16a
1,280,15a
Lemak (%)
6,280,57a
8,620,40b
Sumber : Selmi & Sadok (2007)
Keterangan : SAFA : saturated fatty acids, MUFA : monounsaturated fatty acids, PUFA :
polyunsaturated fatty acids

26

Lampiran 5
Tabel 5. Profil asam lemak pada Sardinella brasiliensis kaleng dalam minyak kedelai
asam lemak

Brand
B

5,020.57

5,691,20

6,892,49

2,920,68

iC16:0

0,380,07

0,370,05

0,440,08

0,330,04

C16:0

17,450,92

18,40,46

18,41,12

17,142,15

C14:0

C16:1n-7

5,880,65

6,560,97

7,182,38

3,931,02

C16:1n-5

0,170,03

0,160,03

0,260,14

0,110,02

iC17:0

0,280,05

0,400,05

0,350,09

0,210,03

C16:2n-4

0,650,16

0,700,13

0,720,22

0,410,06

C16:3n-6

0,160,04

0,200,09

0,230,08

0,140,01

C17:0

0,470,05

0,380,08

0,490,07

0,290,02

C17:1n-11

0,950,28

0,990,26

1,020,36

0,540,16

C16:4n-3

0,640,28

1,430,48

0,920,30

0,310,07

C18:0

4,270,22

4,220,40

4,070,54

4,100,16

C18:1n-9

12,422,00

12,01,19

10,81,95

16,81,14

C18:1n-7

2,670,19

3,170,25

3,140,57

2,270,43

C18:2n-6

26,24,60

16,33,66

1,965,03

32,94,89

C18:2n-4

0,190,06

0,310,09

0,200,02

0,120,01

C18:3n-6

0,240,04

0,290,02

0,350,12

0,130,02

C18:3n-3

2,950,50

2,100,44

2,440,78

4,100,65

C18:4n-3

1,080,26

1,640,41

1,340,36

0,840,34

C20:1n-11

0,570,08

0,460,05

0,560,05

0,460,05

C20:1n-9

0,170,04

1,120,52

0,450,31

0,260,07

C20:4n-6

1,070,14

1,210,18

1,300,19

0,550,06

C20:4n-3

0,300,04

0,530,11

0,360,02

0,240,06

C20:5n-3

8,252,06

10,91,96

9,481,59

5,391,04

C22:1n-11

0,300,03

1,550,87

0,460,39

0,380,09

C21:5n-3

0,340,10

0,470,12

0,420,07

0,210,04

C22:4n-6

0,300,14

0,280,08

0,380,14

0,230,04

C22:5n-3

0,740,64

1,210,23

0,850,11

0,700,16

C22:6n-3

5,721,15

6,641,37

6,642,11

3,890,53

C24:1n-9

0,200,05

0,390,03

0,280,12

0,190,06

SFA

27,91,10

29,51,35

30,62,79

2,502,26

MUFA

2,322,13

25,31,97

23,73,20

24,71,61

PUFA

48,85,22

44,24,46

45,25,76

50,15,08

n-3

20,02,45

24,92,53

22,52,80

15,71,40

n-6

27,94,60

18,23,67

21,85,03

34,004,89

P/S

1,750,20

1,500,17

1,480,23

2,000,27

n-6/n-3

1,390.29

0,730,16

0,970,25

2,170,37

Sumber : Tarley et al. (2004)


Keterangan : SFA : saturated fatty acids, MUFA : monounsaturated fatty acids, PUFA :
polyunsaturated fatty acids

27

Lampiran 6
Tabel 6. Profil asam lemak pada Sardinella brasiliensis kaleng dalam minyak kedelai
asam lemak

Brand
BT

CT

GT

C14:0

9,171,26

8,511,04

9,92,32

iC16:0

0,480,05

0,470,03

0,530,08

C16:0

21,00,24

20,01,44

21,30,89

C16:1n-7

9,301,07

8,680,79

10,51,99

C16:1n-5

0,240,02

0,200,02

0,250,05

iC17:0

0,370,04

0,390,03

0,440,04

C16:2n-4

0,850,14

0,900,05

1,120,15

C16:3n-6

0,170,02

0,190,02

0,260,06

C17:0

0,660,08

0,530,07

0,580,09

C17:1n-11

1,180,28

1,300,13

1,590,23

C16:4n-3

0,740,20

1,130,26

1,530,28

C18:0

4,370,16

4,200,18

4,190,43

C18:1n-9

7,220,56

8,910,23

6,171,10

C18:1n-7

3,710,19

3,590,18

3,720,31

C18:2n-6

9,782,80

11,43,12

2,420,31

C18:2n-4

0,260,04

0,280,02

0,340,04

C18:3n-6

0,360,08

0,360,05

0,430,12

C18:3n-3

1,050,24

1,520,37

0,570,10

C18:4n-3

1,370,43

1,830,13

1,970,25

C20:1n-11

0,560,08

0,450,01

0,570,15

C20:1n-9

0,180,02

0,400,33

1,331,28

C20:4n-6

2,310,31

1,680,13

1,810,28

C20:4n-3

0,450,08

0,470,05

0,550,14

C20:5n-3

12,31,42

11,90,50

15,10,73

C22:1n-11

0,220,02

0,560,35

1,741,32

C21:5n-3

0,410,06

0,450,03

0,620,05

C22:4n-6

0,260,19

0,440,08

0,450,12

C22:5n-3

1,210,06

1,040,13

1,530,51

C22:6n-3

9,511,65

7,920,58

8,111,05

C24:1n-9

0,360,07

0,380,06

0,350,20

SFA

36,01,30

34,11,79

37,02,53

MUFA

22,812,6

24,10,98

24,92,96

PUFA

41,03,66

41,53,26

36,81,51

n-3

27,02,2

26,240,91

30,01,44

n-6

12,92,89

14,13,13

5,380,45

P/S

1,140,11

1,220,12

1,000,08

n-6/n-3

0,480,11

0,540,12

0,180,02

Sumber : Tarley et al. (2004)


Keterangan : SFA : saturated fatty acids, MUFA : monounsaturated fatty acids,
PUFA : polyunsaturated fatty acids

28

Lampiran 7
Tabel 7 Kandungan asam lemak pada ikan kaleng dalam larutan garam di Italia
Jenis
Ikan

Lemak
Total
(g/100 g)

asam lemak (g/100g)


SAFA

MUFA

PUFA

n-6 PUFA

n-3
PUFA

EPA

DHA

Bluefin
5,64 0,44 1,550,24 1,510,37 2,570,10
0,250,04
2,320,17 0,790,10
tuna
Yellowfin
3,74 0,52 1,410,12 0,700,11 1,610,32
0,110,02
1,490,39 0,140,03
tuna
Albacore 4,70 0,31 1,750,22 1,510,29 1,430,28
0,140,03
1,280,22 0,220,04
Atlantic
5,73 0,47 1,920,41 2,310,40 1,480,19
0,370,07
1,100,13 0,240,04
mackerel
Anchovy 4,04 0,20 1,280,34 1,180,14 1,540,16 0,0740,006 1,460,31 0,540,08
Sarden
4,63 0,19 1,640,18 1,270,33 1,710,13
0,260,04
1,440,11 0,510,07
Swordfish 4,58 0,36 1,600,13 2,970,26 0,850,21 0,0710,004 0,770,25 0,110,02
Salmon
6,460,71 1,960,23 2,080,73 2,410,39
0,820,11
1,580,26 0,380,06
Sumber : Tenore et al. (2014)
Keterangan : SAFA : saturated fatty acids, MUFA : monounsaturated fatty acids, PUFA :
polyunsaturated fatty acids, EPA : elcosapentaenoic acid, DHA : docosahexaenoic acid\

1,520,25
1,280,22
1,040,13
0,850,10
0,910,10
0,920,10
0,650,14
1,190,22

Tabel 8. Kandungan asam lemak pada ikan kaleng di India


Jenis Ikan

Medium

Lemak
total
(%)
6,3
6,4
7,6

Asam lemak (mg/100 g berat basah)


LA

ARA

SDA

ALA

DPA

EPA

DHA

air
9
20
3
4
10
32
air
6
38
2
6
22
36
air
7
43
3
5
14
39
minyak
Light
6,8
3614
2
TT
28
2
99
sayur
tuna
minyak
7,0
3047
2
TT
40
6
36
sayur
minyak
7,9
2625
2
TT
50
8
43
kedelai
air
6,0
67
59
74
64
14
190
White /
air
5,1
66
24
54
59
18
289
albacore
air
5,3
27
43
43
36
21
333
tuna
minyak
5,0
3228
21
19
136
7
58
kedelai
5,3
20
35
204
54
55
884
Salmon
4,7
70
78
398
122
10
925
4,9
61
50
64
48
40
553
Makarel
4,3
50
20
41
27
20
218
Sumber : Shim et al. (2004)
Keterangan : LA : linoleic acid, ARA : arachidonic acid, SDA : stearidonic acid, ALA :
linolenic acid, DPA : docosapentaenoic, EPA : elcosapentaenoic acid, DHA : docosahexaenoic
acid

181
277
300
91
138
96
741
597
555
181
874
564
649
282

29

Lampiran 8
Tabel 9. Kandungan EPA dan DHA ikan kaleng di Australia
Jenis Ikan
Omega 3 (g/100g)
Sarden
2,8 4,04
Makarel
1,41 1,57
Salmon
0,49 2,74
Tuna
0,17 - 0,37
Sumber : Sinclair et al. cit. Cancer Counsil Australian (2009)

30

Anda mungkin juga menyukai