Anda di halaman 1dari 14

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
II.1

DEFINISI
Bronkopneumonia adalah peradangan pada paru dimana proses peradangannya
ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan
dapat pula melibatkan bronkiolus terminal.7

Gambar 1. Bronkopneumonia
II.2

EPIDEMIOLOGI
Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan
kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek
umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK)
atau di dalam rumah sakit/ pusat perawatan (bronkopneumonia nosokomial/ PN). 8
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju.
Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat
penyakit

infeksi

di

dunia

adalah

infeksi

saluran

napas

akut

termasuk

bronkopneumonia dan influenza. Insidensi bronkopneumonia komuniti di Amerika


adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama
akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat

bronkopneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika dengan cara invasif pun


penyebab bronkopneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab bronkopneumonia sulit
ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya,
sedangkan bronkopneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati,
maka pada pengobatan awal bronkopneumonia diberikan antibiotika secara empiris.6
II.3

ETIOLOGI
Etiologi bronkopneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus
merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen penyebab
bronkopneumonia pada anak bervariasi tergantung :
a.

Usia

b.

Status imunologis

c.

Status lingkungan

d.

Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)

e.

Status imunisasi

f.

Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi). 4

Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan


bronkopneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan
strategi pengobatan. Etiologi bronkopneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp, atau
Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering disebabkan oleh
Streptococcus bronkopneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus,
sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga
ditemukan infeksi Mycoplasma bronkopneumoniae.
Gambar 2. E.colli

Gambar 3. Pseudomonas sp

Gambar 4. Klebsiella sp

Daftar etiologi bronkopneumonia pada anak


sesuai dengan usia yang bersumber dari data di
Negara maju dapat dilihat di tabel 1.4
Tabel 1. Etiologi Bronkopneumonia
Usia
Lahir - 20 hari

Etiologi yang sering


Bakteri
E.colli
Streptococcus grup B
Listeria monocytogenes

3 minggu 3

Bakteri
Clamydia trachomatis
Streptococcus

Etiologi yang jarang


Bakteri
Bakteri anaerob
Streptococcus grup D
Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonie
Virus
CMV
HMV
Bakteri
Bordetella pertusis
Haemophillus influenza

bronkopneumonia
Virus
Adenovirus
Influenza

tipe B
Moraxella catharalis
Staphylococcus aureus
Virus

bulan

4 bulan 5
tahun

tahun

remaja

Parainfluenza 1,2,3

CMV

Bakteri
Clamydia

Bakteri
Haemophillus

bronkopneumoniae
Mycoplasma

tipe B
Moraxella catharalis

bronkopneumonia
Streptococcus

Staphylococcus aureus

bronkopneumonia
Virus
Adenovirus
Rinovirus
Influenza
Parainfluenza
Bakteri
Clamydia

influenza

Neisseria meningitides
Virus
Varisela Zoster
Bakteri
Haemophillus influenza

bronkopneumoniae
Mycoplasma

Legionella sp

bronkopneumonia
Streptococcus

Staphylococcus aureus

bronkopneumonia
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus
Varisela zoster
Influenza
Parainfluenza

II.4

KLASIFIKASI 4
a. Berdasarkan lokasi lesi di paru
Bronkopneumonia lobaris
Bronkopneumonia lobularis (bronkopneumoni)
Bronkopneumonia interstitialis
b. Berdasarkan asal infeksi
Bronkopneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired
bronkopneumonia = CAP)

Bronkopneumonia

yang

didapat

dari

rumah

sakit

(hospital-based

bronkopneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
Bronkopneumonia bakteri
Bronkopneumonia virus
Bronkopneumonia mikoplasma
Bronkopneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit
Bronkopneumonia tipikal
Bronkopneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit
Bronkopneumonia akut
Bronkopneumonia persisten
Klasifikasi Bronkopneumonia Berdasarkan Lingkungan dan Pejamu
Tabel 2. Klasifikasi Berdasarkan Lingkungan dan Penjamu
Tipe Klinis
Bronkopneumonia Komunitas

Epidemiologi
Sporadis atau endemic; muda atau orang

Bronkopneumonia Nosokomial
Bronkopneumonia Rekurens
Bronkopneumonia Aspirasi
Bronkopneumonia pada

tua
Didahului perawatan di RS
Terdapat dasar penyakt paru kronik
Alkoholik, usia tua
Pada pasien transplantasi, onkologi, AIDS

gangguan imun

II.5

PATOGENESIS
Istilah bronkopneumonia mencangkup setiap keadaan radang paru dimana
beberapa atau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis
bronkopneumonia yang umum adalah bronkopneumonia bakterialis yang paling
sering disebabkan oleh pneumokokus. Penyakit ini dimulai dengan infeksi dalam
alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang sehingga cairan

dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk kedalam
alveoli. Dengan demikian, alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi
dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari
alveolus ke alveolus. 2

Gambar 5. Gambaran Alveoli pada Bronkopneumonia


Pada keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring sampai
parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril oleh
mekanisme pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk.
Mekanisme pertahanan imunologik yang membatasi invasi mikroorganisme patogen
adalah makrofag yang terdapat di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan
imunoglobulin lain. 4
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui
saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru
yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit,
cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium
hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan
leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut
stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel
akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium
ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena
akan tetap normal.4
Bronkopneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang
jalan napas atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius, menyebabkan

obstruksi jalan napas akibat bengkak, sekresi abnormal, dan debris seluler. Diameter
jalan napas yang kecil pada bayi menyebabkan bayi rentan terhadap infeksi berat.
Atelektasis, edema interstisial, dan ventilation-perfusion mismatch menyebabkan
hipoksemia yang sering disertai obstruksi jalan napas. Infeksi viral pada traktus
respiratorius juga dapat meningkatkan risiko terhadap infeksi bakteri sekunder dengan
mengganggu mekanisme pertahanan normal pejamu, mengubah sekresi normal, dan
memodifikasi flora bakterial.4
Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik bervariasi
tergantung organisme yang menginvasi. M. bronkopneumoniae menempel pada epitel
respiratorius, menghambat kerja silier, dan menyebabkan destruksi seluler dan
memicu respons inflamasi di submukosa. Ketika infeksi berlanjut, debris seluler yang
terlepas, sel-sel inflamasi, dan mukus menyebabkan obstruksi jalan napas, dengan
penyebaran infeksi terjadi di sepanjang cabang-cabang bronkial, seperti pada
bronkopneumonia viral. S. bronkopneumoniae menyebabkan edema lokal yang
membantu proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke bagian paru lain,
biasanya menghasilkan karakteristik sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di
seluruh lapangan paru.5,6
Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan infeksi
yang lebih difus dengan bronkopneumonia interstisial. Bronkopneumonia lobar tidak
lazim. Lesi terdiri atas nekrosis mukosa trakeobronkial dengan pembentukan ulkus
yang compang-camping dan sejumlah besar eksudat, edema, dan perdarahan
terlokalisasi. Proses ini dapat meluas ke sekat interalveolar dan melibatkan fasa
limfatika. Bronkopneumonia yang disebabkan S.aureus adalah berat dan infeksi
dengan cepat menjelek yang disertai dengan morbiditas yang lama dan mortalitas
yang tinggi, kecuali bila diobati lebih awal. Stafilokokus menyebabkan penggabungan
bronkopneumoni yang sering unilateral atau lebih mencolok pada satu sisi ditandai
adanya daerah nekrosis perdarahan yang luas dan kaverna tidak teratur.1
II.6

GEJALA KLINIS
Riwayat klasik dingin menggigil yang disertai dengan demam tinggi, batuk
dan nyeri dada. Anak sangat gelisah, dispnu, pernapasan cepat dan dangkal disertai
pernapasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut. Kadang-kadang
disertai muntah dan diare. Batuk biasanya tidak ditemukan pada permulaan penyakit,

mungkin terdapat batuk setelah beberapa hari mula-mula kering kemudian menjadi
produktif. Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan fisik,
tetapi dengan adanya nafas cepat dan dangkal, pernafasan cuping hidung dan sianosis
sekitar mulut dan hidung baru dipikirkan kemungkinan bronkopneumonia. Penyakit
ini sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan
laringitis. Anak besar dengan bronkopneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang
sakit dengan lutut tertekuk dengan nyeri dada.1,3,4,8
II.7

PEMERIKSAAN FISIK
Dalam pemeriksaan fisik ditemukan hal-hal sebagai berikut :

Suhu tubuh 38,5o C

Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.

Takipneu berdasarkan WHO:


Usia < 2 bulan

60 x/menit

Usia 2-12 bulan

50 x/menit

Usia 1-5 tahun

40 x/menit

Usia 6-12 tahun

28 x/menit

Pada palpasi ditemukan fremitus vokal menurun.

Pada perkusi lapangan paru redup pada daerah paru yang terkena.

Pada auskultasi dapat terdengar suara pernafasan menurun. Fine crackles


(ronki basah halus) yang khas pada anak besar bisa tidak ditemukan pada bayi.
Dan kadang terdengar juga suara bronkial.4

II.8

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada bronkopneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas
normal. Pada bronkopneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara
15.000 40.000/mm3 dengan predominan PMN. Kadang-kadang terdapat anemia
ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan

darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan
bakteri secara pasti.1,4
2. C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri
superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan
infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan
untuk evaluasi respons terhadap terapi antibiotik.1,4
Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang pemeriksaan
radiologi untuk mengetahui spesifikasi bronkopneumonia karena pneumokokus
dengan nilai CRP 120 mg/l dan prokalsitonin 5 ng/ml. 6
3. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis bronkopneumonia anak tidak
rutin dilakukan kecuali pada bronkopneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil yang
positif. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap
tenggorok, sekret nasofaring tidak memiliki nilai yang berarti. Diagnosis dikatakan
definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru.4
4. Pemeriksaan serologis
Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi
Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti
antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Uji serologik IgM dan IgG antara
fase akut dan konvalesen pada anak dengan infeksi bronkopneumonia oleh Chlamydia
bronkopneumonia

dan

Mycoplasma

bronkopneumonia

memiliki

hasil yang

memuaskan tetapi tidak bermakna pada keadaan bronkopneumonia berat yang


memerlukan penanganan yang cepat.4,6
5. Pemeriksaan Roentgenografi
Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar diagnosis
utama bronkopneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada bronkopneumonia ringan,
hanya direkomendasikan pada bronkopneumonia berat yang dirawat dan timbul gejala

klinis berupa takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara pernafasan. Kelainan foto
rontgen toraks pada bronkopneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran
klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis
bronkopneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa
tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas penegakkan diagnosis.1,4,6
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:

Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,


peribronchial cuffing dan overaeriation. Bila berat terjadi pachy consolidation
karena atelektasis.

Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.


Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan bronkopneumonia
lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk
sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru
disebut sebagai round bronkopneumonia

Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru


berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri, atipik, atau virus.

Tetapi gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan


etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung
terlihat pada bronkopneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen
atau lobar, bronkopneumoni dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh
bakteri. 4

II.9

DIAGNOSIS
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau serologis
merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri penyebab tidak
selalu mudah karena memerlukan laboratorium penunjang yang memadai. Tidak ada
gejala distress pernafasan, takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara pernafasan

dapat menyingkirkan dugaan bronkopneumonia. Terdapatnya retraksi epigastrik,


interkostal,

dan

suprasternal

merupakan

indikasi

tingkat

keparahan.

Pada

bronkopneumoni, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto
rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis,
abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear
juga dapat dijumpai. Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas
yang normal. Kadar hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.4,6
Tingginya angka morbiditas dan mortalitas bronkopneumonia pada balita,
upaya

penanggulangannya

WHO

mengembangkan

pedoman

diagnosis

dan

tatalaksana yang sederhana. Tujuannya ialah menyederhanakan kriteria diagnosis


berdasarkan gejala klinis yang dapat dideteksi, menetapkan klasifikasi penyakit, dan
menentukan penatalaksanaan. Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan-5 tahun adalah
tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, demam, atau
menggigil. 4
Klasifikasi bronkopneumonia berdasarkan pedoman tersebut.
Bayi dan anak berusia 2 bulan 5 tahun :

Bronkopneumonia berat
-

Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan 50 x/menit, Usia 1-5
tahun 40 x/menit

Adanya retraksi

Sianosis

Anak tidak mau minum

Tingkat kesadaran yang menurun dan merintih (pada bayi)

Anak harus dirawat dan di terapi dengan antibiotik

Bronkopneumonia
-

Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan 50 x/menit, Usia 1-5
tahun 40 x/menit

Adanya retraksi

Anak perlu di rawat dan berikan terapi antibiotik

Bayi berusia di bawah 2 bulan


Pada bayi berusia dibawah 2 bulan, perjalanan penyakit lebih bervariasi.
Klasifikasi bronkopneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut :

Bronkopneumonia
-

Bila ada nafas cepat 60 x/menit atau sesak nafas

Harus dirawat dan diberikan antibiotik

Bukan bronkopneumonia
-

Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas

Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatik

II.10 PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan antibiotika
Pemberian antibiotika berdasarkan derajat penyakit

Bronkopneumonia ringan
-

Amoksisilin 25 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis sehari selama 3 hari.


Diwilayah resistensi penisilin yang tinggi dosis dapat dinaikan sampai 8090 mg/kgBB.

Kotrimoksazol (trimetoprim 4 mg/kgBB sulfametoksazol 20 mg/kgBB)


dibagi dalam 2 dosis sehari selama 5 hari

Bronkopneumonia berat
-

Kloramfenikol 25 mg/kgBB setiap 8 jam

Seftriakson 50 mg/kgBB i.v setiap 12 jam

Ampisilin 50 mg/kgBB i.m sehari empat kali, dan gentamisin 7,5


mg/kgBB sehari sekali

Benzilpenisilin 50.000 U/kgBB setiap 6 jam, dan gentamisin 7,5 mg/kgBB


sehari sekali

Pemberian antibiotik diberikan selama 10 hari pada bronkopneumonia


tanpa komplikasi, sampai saat ini tidak ada studi kontrol mengenai lama
terapi antibiotik yang optimal

Pemberian antibiotik berdasarkan umur

Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :


-

ampicillin + aminoglikosid

amoksisillin-asam klavulanat

amoksisillin + aminoglikosid

sefalosporin generasi ke-3

Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)


-

beta laktam amoksisillin

amoksisillin-amoksisillin klavulanat

golongan sefalosporin

kotrimoksazol

makrolid (eritromisin)

Anak usia sekolah (> 5 thn)


-

amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

2. Penatalaksaan suportif
-

Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak


nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah 60 torr

Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena


dengan dosis awal 0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (kg). Selanjutnya periksa
ulang analisis gas darah setiap 4-6 jam. Bila analisis gas darah tidak bisa
dilakukan maka dosis awal bikarbonat 0,5 x 2-3 mEq x BB (kg).

Obat penurun panas dan pereda batuk sebaiknya tidak


diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi
reaksi antibiotik awal. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita
dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung.
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang

nyata dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai
dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada
tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah
antibiotik tidak efektif).5
3. Penatalaksanaan bedah
Pada umumnya tidak ada tindakan bedah kecuali bila terjadi komplikasi
pneumotoraks atau pneumomediastinum.7

II.11

PROGNOSIS
Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat
diturunkan sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein
dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi.1

DAFTAR PUSTAKA

1.

Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Ilmu Kesehatan


Anak. Bagian II. Edisi 15. EGC, Jakarta: 2000. hal: 883-889.

2.

Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 2.


EGC, Jakarta: 2006. hal 554.

3.

Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Media


Aesculapius Fakultas Kedokteran UI, Jakarta: 2000. hal 465.

4.

Pedoman Diagnosis dan Terapi Kesehatan Anak,


UNPAD, Bandung: 2005.

5.

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Bandung: 2005.

6.

Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak


Indonesia. Jakarta: 2010.

7.

Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis


Proses-proses Penyakit, Edisi 6, Penerbit EGC, Jakarta: 2005, hal: 804.

8.

Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.


Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 1999. hal: 695-705.

Anda mungkin juga menyukai