Di RSUD AMBARAWA
Diajukan Oleh :
H2A012022
2016
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Di RSUD AMBARAWA
Diajukan Oleh :
H2A012022
Mengetahui,
NIP : 197308042009091001
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini selesai pada
waktunya. Laporan kasus ini diajukkan untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Kepaniteraan Klinik Kulit dan Kelamin.
Penyusunan laporan kasus ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak
yang turut membantu. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Hiendarto, Sp.KK selaku
pembimbing serta kepada teman-teman di kepaniteraan klinik Kulit dan Kelamin
atas kerjasamanya selama penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca
maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
normal dari kulit menjadi berlebihan. Striae membentuk pola selang-seling dan
diantaranya pola kubus yang rata, terang, halus terbentuk ini dinamakan
likenifikasi. Proses likenifikasi sering dijumpai pada individu dengan riwayat
atopi karena kelompok tersebut mempunyai ambang rasa gatal yang relatif lebih
rendah. 1-4
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
NEURODERMATITIS
A. DEFINISI
Neurodermatitis (Lichen Simplex Chronicus) adalah peradangan kulit
kronis, yang ditandai dengan kulit tebal dan garis kulit tampak menonjol
(likenifikasi) menyerupai batang kayu. Neurodermatitis terjadi akibat gosokan
atau garukan yang berlebihan dan yang dilakukan secara terus menerus dalam
waktu yang lama. 1-4
B. EPIDEMIOLOGI
1. Sex
2. Neurodermatitis lebih sering terjadi pada wanita daripada pria.
Neurodermatitis berbentuk lichen simplex yang sering terjadi di bagian
tengah dari leher bagian belakang.5
3. Kematian/morbiditas
Neurodermatitis tidak mengakibatkan kematian pada penderitanya, karena
secara keseluruhan gatal yang di derita memiliki ratio ringan sampai
sedang. Gatal yang di derita biasanya akan dirasakan lebih buruk pada saat
tidak melakukan kegiatan contohnya waktu sedang tidur. Stres dan cemas
juga dapat memicu timbulnya gatal.5
Lesi menyebabkan sedikit sifat mudah merasa sakit. Penderita kadang
mengeluhkan kalau waktu tidur menjadi berkurang atau merasa terganggu
pada saat tidur, yang dapat mempengaruhi fungsi dan motor dari otak.1,5
Neurodermatitis dapat terlihat sehingga menyebabkan penderita
mengunjungi dokter.5
Neurodermatitis dapat menjadi infeksi sekunder apabila terjadi
pengelupasan kulit.5
4. Usia
Neurodermatitis biasa terjadi pada usia 30-50 tahun.5
6
C. ETIOLOGI
Tempat yang sering gatal adalah bagian belakang siku. Bisa juga muncul
pada bagian belakang leher. Vulva, scrotum, dan anal dapat berkembang menjadi
neurodermatitis, namun daerah genital dan anal jarang terlibat secara bersamaan.
Dapat juga terjadi pada bagian atas dari kelopak mata, orifisium dari kedua
telinga. Faktor lingkungan dapat menyebabkan gatal seperti panas, keringat dan
iritasi yang dihubungkan dengan anogenital lichen simplex chronicus. Emosional
atau psikologis juga dapat menyebabkan munculnya rasa gatal. Masih belum
diketahui apakah emosional terjadi karena rasa gatal pada kulit atau faktor
emosional menyebabkan gatal.2,3,6
D. PATOGENESIS
Pruritus memainkan peranan sentral dalam timbulnya pola reaksi kulit
berupa likenifikasi dan prurigo nodularis. Liken simpleks kronis ditemukan pada
regio yang mudah dijangkau tangan untuk menggaruk. Sensasi gatal memicu
keinginan untuk menggaruk atau menggosok yang dapat mengakibatkan lesi yang
bernilai klinis, namun patofisiologi yang mendasarinya masih belum diketahui.
Hipotesis mengenai pruritus dapat oleh karena adanya penyakit yang mendasari,
misalnya gagal ginjal kronis, obstruksi saluran empedu, limfoma Hodgkin,
hipertiroidi, penyakit kulit seperti dermatitis atopik, gigitan serangga, dan aspek
psikologik dengan tekanan emosi.1,2,3
Beberapa jenis kulit lebih rentan mengalami likenifikasi, contohnya kulit
yang cenderung eksematosa seperti dermatitis atopi dan diathesis atopi. Terdapat
hubungan antara jaringan saraf perifer dan sentral dengan sel-sel inflamasi dan
produknya dalam persepsi gatal dan perubahan yang terjadi pada liken simpleks
kronis. Hubungan ini terutama dalam hal lesi primer, faktor fisik, dan intensitas
gatal.2,3,6
E. MANIFESTASI KLINIS
Keluhan utama yang dirasakan pasien dapat berupa gatal dan sangat
menggangu. Lesi kulit yang mengalami likenifikasi umumnya akan dirasakan
sangat nyaman bila digaruk sehingga terkadang pasien secara refleks menggaruk
dan menjadi kebiasaan yang tidak disadari.1,2,6
7
Predileksi neurodermatitis berada di tengkuk, sisi leher, tungkai bawah,
pergelangan kaki dan punggung kaki, skalp, paha bagian medial, lengan bagian
ekstensor, skrotum dan vulva.1,7
Pada stadium awal kelainan kulit yang terjadi dapat berupa eritem dan
edema atau kelompok papul, selanjutnya karena garukan berulang, bagian tengah
menebal, kering dan berskuama serta pinggirnya hiperpigmentasi. Ukuran lesi
lentikular sampai plakat, bentuk umum lonjong atau tidak beraturan. Kemudian
lesi juga dapat berupa plak solid dengan likenifikasi, seringkali disertai papul
kecil di tepi lesi, dan berskuama tipis. Kulit yang mengalami likenifikasi teraba
menebal, dengan garis-garis kulit yang tegas dan meninggi, serta dapat pula
disertai eskoriasis. Warna lesi biasanya merah tua, kemudian menjadi coklat atau
hiperpigmentasi hitam. Distribusi lesi biasanya tunggal.1,2,8
Khusus pada pasien dengan etnis kulit hitam, likenifikasi dapat
diasumsikan dengan tipe pola yang khusus, tidak ada plak solid, namun
likenifikasinya terdiri atas papul-papul likenifikasi kecil dengan variasi ukuran 2
sampai dengan 3 mm.1,2,8
8
F. DIAGNOSIS
Diagnosis neurodermatitis didasarkan dari anamnesis dan pemeriksaan
fisis. Dari anamnesis didapatkan keluhan sangat gatal apabila pasien dalam
keadaan istirahat. Dari pemeriksaan fisis didapatkan eritema, likenifikasi, skuama,
dan hiperpigmentasi. Predileksi tersering terdapat pada scalp, tengkuk, aspek
dorsal-ekstensor dari ekstremitas, dan area anogenital. Untuk membedakan
keluhan gatal dan likenifikasi dengan penyakit lain maka dilakukan pemeriksaan
penunjang.2,4,7
G. DIAGNOSA BANDING
9
Gambar 5: Lesi dermatitis kontak alergi.7
2. Liken Planus
Liken planus ditandai dengan timbulnya papul-papul yang berwarna
merah-biru, berskuama, dan berbentuk siku-siku. Biasanya lesi ini timbul di
ekstremitas sisi fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Pasien biasanya merasa
sangat gatal, dan gejala ini bisa menetap hingga waktu 1-2 tahun. Selain itu,
terdapat pula lesi patognomonik di mukosa, yaitu papul polygonal, datar dan
berkilat, serta kadang ditemukan cekungan di sentral (delle).1,9
10
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kebutuhan untuk dilakukannya pemeriksaan tambahan sangat bergantung
pada kondisi masing-masing pasien berdasarkan riwayat perjalanan penyakitnya,
penyakit penyerta, dan komplikasi yang mungkin berkaitan. Misalnya
pemeriksaan darah rutin, urin rutin, dan pemeriksaan fungsi-fungsi organ viseral.
Pemeriksaan rontgen dada mungkin dapat dibutuhkan pada beberapa kasus yang
memberikan indikasi untuk dilakukan pemeriksaan.2
Tes laboratorium berupa serum Immunoglobulin E didapatkan meningkat
jika terdapat diathesis atopi. Tes Potasium Hidroxida dan kultur jamur dapat
dilakukan untuk menyingkirkan tinea kruris atau kandidiasis pada pasien
neurodermatitis pada daerah genital. Pacth Test dapat berguna untuk
menyingkirkan dermatitis kontak alergi. Biopsi kulit dapat dilakukan untuk
menyingkirkan cutaneus T-cell limfoma pada pasien usia lanjut.2,4,6
Namun pemeriksaan yang paling bermakna pada dermatitis sirkumskripta
adalah pemeriksaan dermatopatologi. Pemeriksaan ini dapat memberikan
gambaran yang bervariasi mengenai derajat hiperkeratosis, serta psoriasiform
epidermal hiperplasia. Pada dermis ditemukan infiltrat inflamasi yang kronik.
Biopsi mungkin dapat bermanfaat dalam menemukan gangguan pruritus primer
yang telah menyebabkan timbulnya likenifikasi sekunder yang terjadi, seperti
psoriasis.2,5,6,8
I. PENATALAKSANAAN
11
Anti-depresan atau anti-anxiety sangat membantu pada sebagian orang dan
perlu pertimbangan untuk pemberiannya. Jika terdapat suatu infeksi sekunder
dapat diberikan antibiotik topical ataupun oral. Perlu diberikan nasehat untuk
mengatur emosi dan perilaku yang dapat mencegah gatal dan garukan.
Macam-Macam Obat
a. Corticosteroids
Memiliki kegunaan sebagai anti-inflamasi, yang berguna mengurangi pruritus,
menipiskan liken, dan mengurangi reaksi inflamasi.
1. Clobetasol (Temovate)
Termasuk dalam superpotent steroid topical : suppresses mitosis dan
meningkatkan sintesis protein sehingga mengurangi inflamasi dan
menyebabkan vasokontriksi.
2. Fluocinolon 0,01% atau 0,025% cream (Synalar, Fluonid)
Merupakan topical steroid yang medium potent yang menhambat
proliferasi sel, juga sebagai imunosuprosor, anti-proliferasi, dan anti-
inflamasi.
3. Hydrocortisone Valerate cream 0,02% (Westcort)
Salah satu derifat dari adrenokortikosteroid sesuai untuk penggunaan pada
kulit atau selaput lendir eksternal.
4. Fluocinonide cream 0,1% atau 0,05% (Lidex)
Merupakan topical corticosteroid yang menghambat proliferasi sel.
b. Anti-pruritic
Memberikan efek pengendalian terhadap pelepasan histamine secara endogen.
Sehingga dapat, mengurangi efek gatal, efek sedasi dan menyebabkan kantuk.
Obat ini bekerja menstabilkan membrane saraf dan mencegah transmisi dan
inisiasi dari impuls saraf, dan menghasilkan anastesi local.
1. Diphenhydramine (Benadryl, Benylin, Diphen, Allermax)
Mengurangi rasa gatal yang disebabkan oleh pelepasan histamine.
2. Chlorpheniramine (Chlor-Trimeton)
Penghambat histamine atau H1-Reseptor pada sel efektor di pembuluh
darah dan traktus respiratori.
12
3. Hydroxyne (Atarax, Vistaril)
Antagonis H1-Reseptor pada bagian luar, dan menekan aktifitas dari
histamine.
4. Doxepin (Sinequan, Zonaton)
Penghambat aktifitas histamine dan asetilkolon. Penggunaannya dapat
memberikan efek sedasi, dan penyerapannya tinggi pada pemberian secara
topical.
Edukasi Pasien
Anjurkan agar pasien tidak menggaruk lagi, karena penyakit ini akan
bertambah berat jika terus digaruk oleh pasien.
Mendiskusikan tentang bagaimana merubah kebiasaan menggaruk.
Memilih sabun yang lembut.
Menggunakan pakaian yang berbahan cotton sehingga mengurangi iritasi.
Dapat ditutup dengan kasa basah, untuk mencegah penggarukan.
Manajemen stress yang baik.1-4
J. KOMPLIKASI
Komplikasi dari neurodermatitis dapat terjadi bila tidak adanya control
dari kebiasaan menggaruk untuk keluhan gatalnya. Komplikasinya bisa berupa
perubahan warna pada kulit yang permanen, terdapatnya bekas luka akibat
garukan sampai terjadinya ulkus karena seringnya pasien menggaruk2.
K. PROGNOSIS
Prognosis untuk penyakit liken simpleks kronis adalah :
Rasa gatal dapat diatasi, likenifikasi yang ringan dan perubahan
pigmentasi dapat diatasi setelah dilakukan pengobatan.
Relaps dapat terjadi, apabila dalam masa stress atau tekanan emosional
yang meningkat.
Pengobatan untuk pencegahan pada stadium-stadium awal dapat
membantu untuk mengurangi proses likenifikasi.
Biasanya prognosis berbeda-beda, tergantung dari kondisi pasien, apabila
ada gangguan psikologis dan apabila ada penyakit lain yang menyertai.
13
Pengobatan yang teratur dapat meringankan kondisi pasien. Penyebab utama dari
gatal dapat hilang, atau dapat muncul kembali. Pencegahan pada tahap awal dapat
menghambat proses penyakit ini.1,2
TINEA KRURIS
A. DEFINISI
Tinea kruris adalah infeksi jamur dermatofita pada daeraah kruris dan
sekitarnya. Tinea kruris adalah jenis kedua dari dermatofitosis yang paling umum
di seluruh dunia, namun lebih sering terjadi pada zona tropis, seperti
Indonesia.2,4,5
B. ETIOPATOGENESIS
Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita.
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Menurut
Budimulja tahun 2010, dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi
dalam tiga genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton,
mempunyai sifat mencerna keratin.1 Penyebab tersering tinea kruris adalah
Epidermophyton floccosum, diikuti Tricophyton rubrum dan Tricophyton
mentagrophytes.2,4
Infeksi dermatofita melalui tiga proses, yaitu perlekatan ke keratinosit,
penetrasi melewati dan di antara sel, dan perkembangan respon pejamu.5 Pertama
adalah berhasil melekatnya artrokonidia, spora aseksual yang dibentuk dari hasil
fragmentasi hifa, ke permukaan jaringan berkeratin setelah melewati beberapa
pertahanan pejamu, antara lain asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea
yang bersifat fungistatik dan kompetisi dengan flora normal.2 Dalam beberapa
jam, secara in vitro 2 jam setelah terjadinya kontak, pertumbuhan dan invasi spora
mulai berlangsung.2,4
Proses kedua adalah invasi spora ke lapisan yang lebih dalam. Tahap ini
dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim musinolitik, yang menjadi
nutrisi bagi jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke
keratinosit. Selain itu, manans, suatu zat yang terkandung dalam dinding sel
14
dermatofita ini, dapat menghalangi proliferasi dari keratinosit dan respon imunitas
seluler yang memperlambat penyembuhan epidermis.2,8
Proses ketiga adalah perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di
pengaruhi oleh status imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi
hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memegang
peranan yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Respon inflamasi dari
reaksi hipersensitivitas ini berkaitan dengan penyembuhan pasien. Respon
imunitas seluler yang rusak akan mengakibatkan proses penyakit yang kronis dan
berulang. Pengaruh adanya atopi dan kadar IgE yang tinggi juga diduga
berpengaruh terhadap kronisitas.2,3
Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh
sel Langerhans epidermis dan dipresentasikan dalam limfosit T di nodus limfe.
Sel Langerhans bekerja sebagai Antigen Presenting Cell (APC) yang mampu
melakukan fungsi fagosit, memproduksi IL-1, mengekspresikan antigen, reseptor
Fe dan reseptor C3. Sel Langerhans berkumpul di dalam kulit membawa antigen
ke dalam pembuluh getah bening dan mempertemukannya dengan limfosit yang
spesifik. Selain oleh sel Langerhans, peran serupa dilakukan pula oleh sel endotel
pembuluh darah, fibroblast, dan keratinosit. Limfosit T yang telah aktif ini
kemudian menginfiltrasi tempat infeksi dan melepaskan limfokin. Limfokin inilah
yang mengaktifkan makrofag sehingga mampu membunuh jamur patogen.5,9
Faktor host yang berperan pada dermatofitosis yaitu genetik, jenis
kelamin, usia, obesitas, penggunaan kortikosteroid dan obat-obat imunosupresif.
Kulit di lipat paha yang basah dan tertutup menyebabkan terjadinya peningkatan
suhu dan kelembaban kulit sehingga memudahkan infeksi. Penjalaran infeksi dari
bagian tubuh lain juga dapat menyebabkan terjadinya tinea kruris, misalnya tinea
pedis pada daerah kaki. Faktor lingkungan, berupa higiene sanitasi dan lokasi
geografis beriklim tropis, merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit
jamur.2,4
C. GAMBARAN KLINIS
15
Efloresensi terdiri atas mekula eritematosa nummular sampai geografis,
berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papul dan pustule. Jika kronik
macula bisa terjadi hiperpigmentasi dengan skuamosa diatasnya.1 Tinea kruris
mempunyai lesi yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas meluas dari
lipat paha hingga ke paha bagian dalam dan seringkali bilateral (Gambar 1).
Lokasiya pada region inguinalis blateral, simetris. Meluas ke perineum, sekitar
anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke suprapubis dan
abdomen bagian bawah. Lesi disertai skuama selapis dengan tepi yang meninggi.2
Gambar 1. Plak eritematosa dan skuama pada regio inguinal yang meluas ke
regio pubis 2
Apapun penyebab tinea kruris, keluhan gatal merupakan salah satu gejala
umum yang menonjol. Nyeri juga sering dirasakan pada daerah yang terjadi
maserasi dan infeksi sekunder.2,5 Peradangan di bagian tepi lesi lebih terlihat
dengan bagian tengah tampak seperti menyembuh (central clearing). Pada tepi
lesi dapat disertai vesikel, pustul, dan papul, terkadang terlihat erosi disertai
keluarnya serum akibat garukan. Pada lesi kronis dapat ditemukan adanya
likenifikasi disertai skuama dan hiperpigmentasi (Gambar 2).1,3,10
16
Gambar 2. Gambaran klinis tinea kruris disertai hiperpigmentasi12
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk menegakkan diagnosis tinea kruris dibutuhkan uji diagnostik untuk
mengisolasi dan mengidentifikasi jamur. Gambaran klinis tinea kruris berupa
kelainan kulit yang berbatas tegas disertai peradangan dengan bagian tepi lebih
nyata daripada bagian tengah.
1. Pemeriksaan elemen jamur
Spesimen kerokan kulit diambil dari daerah pinggir lesi yang meninggi
atau aktif. Hasil pemeriksaan mikroskopik secara langsung dengan KOH
10-20% didapatkan hifa (dua garis lurus sejajar transparan, bercabang
dua/dikotom dan bersepta) dengan atau tanpa artrospora (deretan spora di
ujung hifa) yang khas pada infeksi dermatofita (Gambar 3). Pemeriksaan
mikroskopik langsung untuk mengidentifikasi struktur jamur merupakan
teknik yang cepat, sederhana, terjangkau, dan telah digunakan secara luas
sebagai teknik skrining awal. Teknik ini hanya memiliki sensitivitas
hingga 40% dan spesifisitas hingga 70%. Hasil negatif palsu dapat terjadi
hingga pada l5% kasus, bahkan bila secara klinis sangat khas untuk
dermatofitosis.9,12
17
Gambar 3. Gambaran hifa (tanda panah biru) disertai spora (tanda panah
merah) 3
2. Pemeriksaan kultur
Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun
membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang
rendah, harga yang lebih mahal Pemeriksaan kultur tidak rutin dilakukan
pada diagnosis dermatofitosis. Biasanya digunakan hanya pada kasus yang
berat dan tidak berespon pada pengobatan sistemik. Kultur dilakukan
untuk mengetahui golongan ataupun spesies dari jamur penyebab tinea
kruris. Kultur perlu dilakukan untuk menentukan spesiesnya karena semua
spesies dermatofita tampak identik pada sediaan langsung. Media biakan
yang digunakan adalah agar dekstrosa Sabourraud yang ditambah
antibiotik, contohnya kloramfenikol, dan sikloheksimid untuk menekan
pertumbuhan jamur kontaminan/ saprofit (contohnya jamur non-Candida
albicans, Cryptococcus, Prototheca sp., P.werneckii, Scytalidium sp.,
Ochroconis gallopava), disimpan pada suhu kamar 25-30oC selama tujuh
hari, maksimal selama empat pekan dan dibuang jika tidak ada
pertumbuhan.9,12
18
Tabel 1. Morfologi dan gambaran mikroskopis jamur penyebab tersering tinea
kruris 2
Morfologi Koloni Gambaran Keterangan
Mikroskopis
T. rubrum
Beberapa mikrokonidia berbentuk
air mata, makrokonidia jarang
berbentuk pensil.
E. floccosum
T. interdigitale
19
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi tidak dilakukan pada gambaran lesi
yang khas. Biopsi dilakukan untuk penegakan diagnosis yang memerlukan
terapi sistemik pada lesi yang luas. Dengan pewarnaan hematoksilin dan
eosin, hifa akan terlihat pada stratum korneum. Pewarnaan yang paling
sering digunakan adalah dengan periodic acid-Schiff (PAS), jamur akan
tampak merah muda dan methenamine silver stains, jamur akan tampak
coklat atau hitam.2,12
E. DIAGNOSIS BANDING
Gambaran klinis tinea kruris dapat menyerupai infeksi oleh Candida
albicans. Namun, pada kandidosis, lebih sering ditemukan pada wanita dan lesi
yang ditemukan lebih meradang dan lembab disertai sejumlah lesi satelit (makula
dan pustul putih) yang berukuran kecil dan banyak.3,5
Lokasi di lipat paha, tinea kruris dapat didiagnosis banding dengan
eritrasma, dermatitis seboroik, pemfigus vegetans, dan psoriasis intertriginosa.
Eritrasma dapat dibedakan dari pemeriksaan penunjang menggunakan lampu
Wood yang akan memberikan warna merah bata yang dihasilkan oleh bakteri
Corynebacterium minutissimum. Sedangkan, pada infeksi jamur golongan
dermatofita, biasanya tidak menampakkan floresensi pada pemeriksaan lampu
Wood.3,10,13 Dermatitis seboroik bisa mengenai lipat paha, dan terkadang meluas
hingga ke daerah lain yang banyak mengandung kelenjar sebasea, seperti dada
dan ketiak. Pada pemfigus vegetans, lesi disertai maserasi dan erosi. Psoriasis
intertriginosa menunjukkan gambaran skuama dan pustul pada tepi lesi. Namun,
pada psoriasi intertriginosa, lesi yang khas juga dapat ditemukan di bagian tubuh
lain. Biopsi dapat dilakukan untuk psoriasis dengan lesi yang kurang khas.3,5
Eritema intertrigo dan dermatitis kontak juga dapat terjadi di lipat paha.
Eritema intertrigo disebabkan oleh kolonisasi bakteri di lipat paha. Biasanya
ditemukan pada pasien dengan obesitas, baik perempuan maupun laki-laki. Lesi
berbatas tegas dengan maserasi di bagian tengah lesi. Dermatitis kontak
(alergi/iritan) yang muncul di lipat paha mungkin dapat disebabkan oleh bahan
pakaian dan juga akibat pemakaian deodaran.5,11
20
F. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis tinea kruris ditegakkan berdasarkan anamnesis,
gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, tinea kruris umumnya
ditandai dengan adanya keluhan gatal. Sifat keluhan dapat terjadi secara akut,
namun umumnya subakut atau kronis, bahkan dapat merupakan penyakit yang
berlangsung seumur hidup.
Gejala klinis tinea kruris yang khas adalah gatal yang meningkat saat
berkeringat, dengan bentuk lesi polisiklik/bulat berbatas tegas, efloresensi
polimorfik, dan tepi lebih aktif. Dari pemeriksaan penunjang, terdapatnya hifa
pada sediaan mikroskopis pemeriksaan elemen jamur dengan KOH. Dan
pemeriksaan metode kuktur jamur dapat dilakukan, namun membutuhkan waktu
yang lama.
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tinea kruris dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana umum
dan khusus. Tatalaksana khusus tinea kruris juga dibagi menjadi dua, yaitu
tatalaksana topikal dan sistemik.
Tatalaksana Umum
Secara umum, tatalaksana tinea kruris berupa edukasi untuk mencegah
infeksi berulang. Daerah yang terinfeksi dijaga agar tetap kering dan terhindar
dari sumber infeksi serta mencegah pemakaian peralatan mandi bersama.4,5,10
Pengurangan keringat dan penguapan dari daerah lipat paha, seperti penggunaan
pakaian yang menyerap keringat dan longgar juga penting dalam pencegahan agar
daerah lipat paha tetap kering. Daerah lipat paha harus benar-benar dikeringkan
setelah mandi dan diberikan bedak. Pencucian rutin pakaian, sprei, handuk yang
terkontaminasi dan penurunan berat badan pada seorang dengan obesitas juga
dapat dilakukan. Infeksi berulang pada tinea kruris dapat terjadi melalui proses
autoinokulasi reservoir lain yang mungkin ada di tangan dan kaki (tinea pedis,
tinea unguium) sehingga penting untuk dilakukan eradikasi.4,11
Tatalaksana Khusus
21
Untuk lesi yang ringan dan tidak luas cukup diberikan terapi topikal saja.
Terapi sistemik diberikan untuk lesi yang lebih luas dan meradang, sering kambuh
dan tidak sembuh dengan obat topikal yang sudah adekuat.9,10 Beberapa pilihan
obat antijamur topikal dapat dilihat pada Tabel 2.
22
Tabel 2. Pilihan obat antijamur sistemik1,10,11
Golongan Sediaan dan dosis
Alilamin
- terbinafin - Bersifat fungisidal, paling efektif untuk infeksi
jamur dematofita
- Sediaan: Tablet 250 mg
- Dosis: 250 mg/hari selama 2 pekan (Dewasa)
- Dosis: 3-6 mg/kgBB/hari selama 2 pekan
Imidazol (Anak)
- itrakonazol
- Bersifat fungistatik
- Interaksi dengan obat lain cukup banyak
- Sediaan: Kapsul 100 mg, solusio oral 10mg/ml
- Dosis: 100 mg/hari selama 2 pekan (Dewasa)
- Dosis: 5 mg/kgBB/hari selama 1 pekan (Anak)
- ketokonazol
- Bersifat fungistatik
- Bersifat hepatotoksik
- Sediaan: Tablet 200 mg
- Dosis: 200 mg/hari selama 10-14 hari
23
fotosensitivitas
- Sediaan:
- Micronized: Tabel 250 dan 500 mg, oral
suspensi 125mg/ sendok teh
- Ultramicronized: Tablet 165 dan 330 mg
- Dosis: 500 mg/hari selama 2-6 pekan
(Dewasa)
- Dosis: 10-20 mg (ultramicronized)/kgBB/hari
selama 6 pekan (Anak)
H. KESIMPULAN
Tinea kruris merupakan jamur dermatofit yang mengenai daerah
inguinal, paha bagian atas, bokong, pubis, genital, dan perianal. Tinea kruris
terutama disebabkan oleh E. floccosum, diikuti T. rubrum dan T. mentagrophytes.
Diagnosis tinea kruris ditegakkan berdasarkan karakteistik gambaran klinis yang
khas yaitu gambaran polisiklik, bagian tepi lesi tampak lebih aktif dibanding
bagian tengah yang tampak seperti menyembuh (central healing) dan
dikonfirmasi dengan pemeriksaan elemen jamur dengan penambahan larutan
KOH 10%, tampak hifa panjang, bereskat, dan bercabang, atau dengan
pemeriksaan kultur. Tinea kruris dapat didiagnosis banding dengan kandidosis,
eritrasma, pemfigus vegetans, dermatitis seboroik, psoriasis intertriginosa, eritema
intertrigo, dermatitis kontak alergi, dan iritan. Penatalaksanaan tinea kruris dibagi
menjadi dua, yaitu umum dan khusus. Terapi umum berupa edukasi kepada pasien
untuk mejaga menjaga kebersihan area lesi dan tidak lembab. Penatalalaksanaan
khusus tinea kruris dibagi menjadi topikal dan sistemik. Terapi topikal dapat
diberikan dengan Alilamin, Imidasol, Naftionat, ataupun golongan lain. Terapi
antifungal sistemik dapat diberikan dengan pemberian griseofulvin, terbinafin,
itrakonasol, ketokonasol ataupun flukonasol.
24
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. S
Usia : 39 tahun
Nomor RM : 112738-2016
Pekerjaan : Swasta
3.2. ANAMNESIS
25
Riwayat Alergi : disangkal
1. Tanda Vital
Tekanan Darah : Tidak diukur
Nadi : 60 x/menit
Suhu : 36,5C
Pernapasan : 19x/menit
2. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Status gizi : Baik
Kepala : dalam batas normal
Leher : dalam batas normal
Thorax : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Extremitas : dalam batas normal
3. Status Dermatologis
26
Lokasi I : Tengkuk
UKK : papul eritem, dengan likenifikasi terdapat skuama dengan
diameter kurang lebih 3 cm.
4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan lampu wood didapatkan hasil negative, tidak ada perubahan
warna. Hanya didapatkan warna putih pada pemeriksaan bagian tengkuk.
3.4. RESUME
27
tidak ada yang mengalami keluhan yang sama. Kulit sudah diobati namun
belum ada perbaikan.
Neurodermatitis
Dermatitis atopi disertai likenifikasi
Tinea kruris
3.6. DIAGNOSIS KERJA
I. Neurodermatitis
II. Tinea Kruris
Medikamentosa
1. Lusanoc crim digunakan 2x sehari pagi sore, selama 7 hari
2. Kloderma + As. Salisilat digunakan 2x sehari pagi sore selama 7 hari
3. Tiriz tab 1x sehari digunakan selama 7 hari
Non-Medikamentosa
Edukasi:
1. Penyebab dan pola penyebaran penyakit.
2. Konsumsi obat harus teratur
3. Pemakaian obat dilakukan setelah mandi, digunakan obat untuk bagian
selangkangan dulu, kemudian menggunakan obat untuk tengkuk.
4. Kontrol kembali ke dokter dalam waktu 7 hari
3.8. PROGNOSA
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad cosmeticam : bonam
28
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Neurodermatitis
Neurodermatitis (Lichen Simplex Chronicus) adalah peradangan kulit
kronis, yang ditandai dengan kulit tebal dan garis kulit tampak menonjol
(likenifikasi) menyerupai batang kayu. Neurodermatitis terjadi akibat gosokan
atau garukan yang berlebihan dan yang dilakukan secara terus menerus dalam
waktu yang lama.
Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan melalui hasil anamnesis,
gambaran klinis dan juga pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini pasien
mengeluhkan gatal pada bagian tengkuk/ leher bagian belakang sejak 1
minggu SMRS, kemudian pada bagian yang gatal timbul sisik halus dan
bagian yang gatal semakin menebal. Gatal dirasakan terus menerus, tidak daa
waktu tertentu. Dari hasil anamnesis mengarah ke diagnosis neurodermatitis,
dimana predileksi penyakit ini biasanya terjadi pada daerah punggung, leher
serta ekstremitas, pada pasien ini terjadi pada daerah leher bagian belakang.
Kemudian penyakit ini biasanya timbul akbat garukan yang lama akan
menyebabkan penonjolan kulit, hal ini juga terjadi pada pasien.
Melalui pemeriksaan fisik pasien didapatkan status dermatologis sebagai
berikut, lokasi tengkuk dan efloresensi gambaran papul eritem dengan
likenifikasi terdapat skuama dengan diameter kurang lebih 3 cm. Pemeriksaan
fisik yang dilakukan pada pasien juga mengarah pada diagnosis
neurodermatitis, dimana lokasinya biasa terdapat pada punggung, leher
maupun ekstremitas, pada pasien ini terdapat di tengguk atau leher bagian
belakang. Sedangkan dari efloresensinya biasanya didapatkan papul miliar,
likenifikasi dan hiperpigmentasi, skuama terkadang ada ekskoriasi akibat
garukan. Pada pasien ini juga didapatkan adanya papul miliar eritem,
likenifikasi, serta terdapat skuama.
Diagnosis banding dari neurodermatitis antara lain, dermatitis kontak
alergika dibedakan dimana penderita umumnya mengeluh gatal pada area
yang terpajan/kontak dengan sensitizer/alergen. Pada tipe akut lesi dimulai
29
dari bercak eritematosa yang berbatas tegas (sirkumskripta), kemudian diikuti
oleh edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Kemudian liken planus,
dibedakan menurut lokasinya dimana liken palnus biasanya terjadi pada
ekstremitas sisi fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Kemudian bisa juga
dibedakan dengan psoriasis dimana psoriasis biasanya berupa eritema berbatas
tegas, skuamanya mengkilat dan berlapis lapis. Ataupun prurigo nodularis,
namun pada prurigo nodularis kelainan kulit didapatkan berbatas tegas,
dimana bagian tepinya aktif sedangkan bagian tengahnya relative tenang.
Kemudian untuk terapi pada neurodermatitis diberikan terapi sistemik
berupa antihistamin, pada pasien ini diberikan cetirizine tab 10 mg yang
merupakan antihistamin golongan 2 dimana bermanfaat untuk mengurangi
gatal dan tidak menimbulkan kantuk. Kemudian pasien diberikan obat topical
berupa salep kortikosteroid, pada pasien ini diberikan kloderma dimana
kadungannya adalah klobetasol propionate yang merupakan kortikoseteroid
kuat.
B. Tinea Kruris
Tinea kruris adalah infeksi jamur dermatofita pada daeraah kruris dan
sekitarnya. Tinea kruris adalah jenis kedua dari dermatofitosis yang paling
umum di seluruh dunia, namun lebih sering terjadi pada zona tropis, seperti
Indonesia.
Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan melalui hasil
anamnesis, gambaran klinis dan juga pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini
pasien merasakan gatal pada bagian selangkangan, pasien merasakan gatal
bersamaan dengan tengkuk, gatal dirasakan terus menerus. Semakin gatal
pada saat lembab atau berkeringat. Keluhan gatal dirasakan bersamaan dengan
gatal pada tengkuk. Dari hasil anamnesis mengarah ke diagnosis tinea kruris,
dimana predileksi penyakit ini terjadi pada daerah region inguinalis bilateral,
simetris. Dapat meluas pada bagian perineum, sekitar anus, intergluteal
sampai ke gluteus. Hal ini juga terjadi pada pasien, dimana pasien merasakan
gatal pada bagian inguinal kanan dan kiri.
30
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien juga mengarah pada
diagnosis tinea kruris, dimana lokasinya terjadi pada region inguinalis
bilateral. Sedangkan dari efloresensinya biasanya didapatkan macula
eritematosa nummular sampai geografis berbatas tegas dengan tepi aktif
terdiri dari pustule dan pada kondisi kronik macula menjadi hiperpigmentasi.
Pada pasien ini juga didapatkan adanya makula eritema hiperpigmentasi
ukurannya geografis dengan tepi lesi aktif berupa papul papul kecil.
Diagnosis banding Gambaran klinis tinea kruris dapat menyerupai
infeksi oleh Candida albicans. Namun, pada kandidosis, lebih sering
ditemukan pada wanita dan lesi yang ditemukan lebih meradang dan lembab
disertai sejumlah lesi satelit (makula dan pustul putih) yang berukuran kecil
dan banyak.Lokasi di lipat paha, tinea kruris dapat didiagnosis banding
dengan eritrasma, dermatitis seboroik, pemfigus vegetans, dan psoriasis
intertriginosa. Eritrasma dapat dibedakan dari pemeriksaan penunjang
menggunakan lampu Wood yang akan memberikan warna merah bata yang
dihasilkan oleh bakteri Corynebacterium minutissimum. Sedangkan, pada
infeksi jamur golongan dermatofita, biasanya tidak menampakkan floresensi
pada pemeriksaan lampu Wood. Dermatitis seboroik bisa mengenai lipat paha,
dan terkadang meluas hingga ke daerah lain yang banyak mengandung
kelenjar sebasea, seperti dada dan ketiak.
Kemudian untuk terapi pada tinea kruris ketokenazol jika lesi meluas.
Pada pasien ini tidak diberikan etrapi topical antijamur karena sudah diberikan
cetirizine untuk mengurangi rasa gatal. Kemudian pasien diberikan obat
topical berupa salep antimikotik, pada pasien ini diberikan lusanoc crim
dimana kadungannya adalah ktokenazol 20 mg yang merupakan obat
antijamur.
31
DAFTAR PUSTAKA
2. Schieke SM, Garg A. Fungal disease: superficial fungal infection. In: Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 8th Ed: Volume 2. New York: McGraw-Hill;
2012. p.2277-97
3. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews Disease of the Skin, Clinical
Dermatology. 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.
4. Sobera JO, Elewski BE. Infections, investations, and bites: fungal disease. In:
Bolognia, Jean L, Jorizzo JL, Rapini RP. eds. Dermatology. 2nd Ed: Volume 1.
Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier. p.1135-62
5. Hay JR, Ashbee HR. Mycology: superficial mycoses. Burns T, Breathnach S, Cox
N, Griffiths C, eds. In: Rooks Textbook of Dermatology. 8th Ed: Volume 2.
Australia: Blackwell Publishing. p 36.20-34
32
10.Wolff K, Johnson RA. Fungal infection of the skin and hair. In: Fitzpatricks
Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th Ed. New York: McGraw
Hill; 2009.
11.Siswati AS, Ervianti E. Tinea korporis dan tinea kruris. Dalam. Bramono,
Kusmarinah, dkk. (Editor). Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. Hal. 58-74
13.Kelly BP, Superficial fungal infections. Pediatrics in Review, 33(4): 2012. p.22-
37
33