Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Vitamin C
2.1.1 Uraian Bahan (Ditjen POM, 1995)
a. Rumus bangun

Gambar 1. Rumus bangun vitamin C


b. Rumus molekul

: C 6 H8 O6

c. Berat molekul

: 176,13

d. Nama kimia

: L-Asam askorbat

e. Pemerian

: Hablur atau serbuk putih atau agak kuning. Oleh pengaruh


cahaya lambat laun menjadi berwarna gelap. Dalam
keadaan

kering stabil diudara, dalam larutan cepat

teroksidasi.
f. Kelarutan

: Mudah larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol;


tidak larut dalam kloroform, dalam eter dan dalam
benzena.

Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Stabilitas
Asam askorbat merupakan ester siklik. Dalam larutan air mudah
teroksidasi (reaksinya bolak-balik) membentuk asam dehidro-askorbat (Connors,
dkk., 1986).
Asam askorbat bersifat sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh luar
yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, pH, oksigen, enzim, dan katalisator
logam (Andarwulan dan Koswara, 1989).
Asam
membentuk

dehidro-askorbat
produk

degradasi

dapat
yang

mengalami
bereaksi

hidrolisis
tidak

lebih

lanjut

bolak-balik

asam

diketoglukonat dan asam oksalat. Asam askorbat juga gampang mengalami


degradasi di bawah kondisi an- aerob, membentuk furfural dan karbon dioksida.
Profil laju-pH bagi keduanya baik degradasi aerob maupun an-aerob akan
mencapai maksimal pada sekitar pH 4 (Connors, dkk., 1986).
Suatu larutan asam askorbat 5% dalam air memiliki pH 2.1-2.6, pH dari
10% larutan kalsium askorbat dalam air adalah antara 6.8 dan 7.4, dan pH dari
larutan natrium askorbat dalam air antara 7.0 dan 8.0 (Sweetman, 2005). Stabilitas
maksimum terjadi dekat pH 3 dan pH 6. Stabilitas asam askorbat dalam bentuk
sediaan padat cukup baik, asal kelembabannya dikendalikan (Connors, dkk.,
1986).
2.1.3 Fungsi Fisiologis
Beberapa fungsi asam askorbat dipercaya berbuhungan dengan konversi
reaksi reduksi-oksidasinya di dalam jaringan tubuh. Salah satu fungsi vitamin C
adalah sebagai antioksidan. Beberapa zat dalam makanan, didalam tubuh
dihancurkan atau dirusak jika mengalami oksidasi. Sering kali, zat tersebut

Universitas Sumatera Utara

dihindari dari oksidasi dengan menambahkan antioksidan. Suatu antioksidan


adalah zat yang dapat melindungi zat lain dari oksidasi dimana dirinya sendiri
yang

teroksidasi. Vitamin C, karena memiliki daya antioksidan, sering

ditambahkan pada makanan untuk mencegah perubahan oksidatif (William and


Caliendo, 1984). Vitamin C dengan mudah dapat menangkap spesies oksigen dan
nitrogen reaktif, seperti superoksida, radikal hidroperoksil, dan radikal nitrogen
dioksida sehingga mencegah reaksi kerusakan terhadap biomolekul (Silalahi,
2006). Di dalam tubuh, vitamin C dapat melindungi asam lemak tak jenuh rantai
panjang, vitamin E, dan vitamin A dari oksidasi. Ini adalah fungsi yang penting
karena asam lemak tak jenuh rantai panjang dan vitamin E adalah komponen
esensial untuk mempertahankan keutuhan membran sel (William and Caliendo,
1984).

Gambar 2. Reduksi-Oksidasi dari Vitamin C


Vitamin C juga merupakan suatu koantioksidan karena aktif dalam proses
regenerasi vitamin E dari bentuk radikal -tokoperoksil hasil oksidasi oleh radikal
yang larut dalam minyak (Silalahi, 2006). Asam askorbat dan asam dehidroaskorbat berada dalam keseimbangan yang reversibel dalam sistem biologi dan
keduanya memiliki aktivitas biologi yang sama (Gennaro, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Fungsi terpenting dari vitamin C berkaitan dengan sintesis kolagen, suatu


protein yang terdapat dalam jaringan penghubung. Jaringan ini terdiri dari serat
kolagen yang tidak larut yang disimpan dalam matriks yang disebut dengan
substansi dasar. Jaringan ini ditemukan di dalam kulit, kartilago, tendon, ligamen,
tulang, dan pembuluh darah. Jaringan yang baru luka diperbaiki dengan jumlah
kolagen yang tinggi. Kolagen, seperti protein lainnya, dibentuk dari asam amino
yang digabung bersama dalam suatu jalur yang spesifik. Protein ini adalah satusatunya protein di dalam tubuh yang mengandung banyak molekul asam amino
hidroksiprolin dan hidroksilisin. Prolin dan lisin berada dalam rantai polipeptida,
kemudian enzim yang spesifik menambahkan hidroksil (-OH) pada masingmasing prolin, atau pada lisin, sehingga memebntuk hidroksiprolin dan
hidroksilisin. Vitamin C berperan dalam proses hidroksilasi ini. Peranan vitamin
C dalam proses ini berkaitan dengan mineral besi. Besi (Fe) berada dalam dua
bentuk ion yaitu ion fero (Fe2+), dan feri (Fe3+). Enzim yang menghidroksilasi
prolin selama proses pembentukan kolagen membutuhkan vitamin C untuk
mempertahankan besi dalam bentuk ferro sehingga dapat mengaktifkan enzim
tersebut. Hidroksilasi lisin menjadi hidroksilisin dalam kolagen terjadi dengan
proses yang sama (William and Caliendo, 1984).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. Peranan Vitamin C dalam Sintesis Kolagen


Vitamin C dibutuhkan dalam reaksi hidroksilasi penting lainnya di dalam
tubuh. Sebagai contoh, di dalam otak, vitamin C dibutuhkan untuk hidroksilasi
dopamin (dibentuk dari asam amino tirosin) untuk menghasilkan norepinefrin
(noradrenalin), yang dapat dikonversikan menjadi bentuk epinefrin (adrenalin).
Vitamin C dapat meningkatkan absorbsi besi anorganik dengan membentuk
suatu kelat yang dapat larut sehingga dapat diabsorbsi. Vitamin C membentuk
kelat dengan besi pada pH lambung, sehingga meningkatkan absorbsi besi di usus.
Bentuk ion besi yang dapat membentuk kelat adalah fero (Fe2+); bentuk ini lebih
mudah diabsorbsi dibandingkan feri (Fe3+). Peranan vitamin C dalam reaksi
reduksi-oksidasi mempertahankan besi dalam bentuk fero. Kemampuan vitamin

Universitas Sumatera Utara

meningkatkan absorpsi besi secara tidak langsung mempengaruhi pembentukan


hemoglobin (William and Caliendo, 1984).

Gambar 4. Pembentukan Kelat Vitamin C dengan Besi


2.1.4 Farmakokinetik
Vitamin C mudah diabsorpsi dari saluran pencernaan melalui vena portal.
Vitamin ini dengan cepat diistribusikan keseluruh jaringan tubuh, tetapi lebih
banyak terdapat dalam kelenjar adrenal, lensa mata, kelenjar pituitari, otak, limfa,
dan pankreas (William and Caliendo, 1984).
Konsentrasi vitamin C lebih tinggi dalam leukosit dan platelet
dibandingkan dalam eritrosit dan plasma darah (Sweetman, 2005). Salah satu jalur
metabolisme vitamin tersebut pada manusia melibatkan pengubahan askorbat
menjadi oksalat dan ekskresi akhirnya didalam urin; dehidroaskorbat diduga
merupakan suatu senyawa antara. Asam askorbat-2-sulfat juga telah diidentifikasi
sebagai salah satu metabolit vitamin C dalam urin manusia (Gilman, et al, 1996).
2.1.5 Gejala Defisiensi
Kekurangan asupan vitamin C dapat menyebabkan skorbut. Dalam kasuskasus skorbut spontan, biasanya terjadi gigi mudah tanggal, gingivitis, dan
anemia, yang mungkin disebabkan oleh adanya fungsi spesifik asam askorbat
dalam sintesis hemoglobin. Skorbut dikaitkan dengan gangguan sintesis kolagen
yang manifestasinya berupa luka yang sulit sembuh, gangguan pembentukan gigi,

Universitas Sumatera Utara

dan robeknya kapiler, yang banyak menyebabkan petechiae dan gabungannya


yang membentuk ecchymoses. Sementara ecchymoses dianggap berhubungan
dengan kebocoran pembuluh darah kapiler akibat adhesi sel-sel andotel yang
kurang memadai, diduga pula bahwa jaringan berserabut perkapiler mengalami
kerusakan pada kondisi skorbut sehingga pembuluh darah kapiler menjadi lemah
dan robek jika mendapat tekanan (Gilman, et al, 1996).
2.1.6 Kebutuhan Manusia
Asupan gizi rata-rata sehari sekitar 30 sampai 100 mg vitamin C yang
dianjurkan untuk orang dewasa. Namun, terdapat variasi kebutuhan dalam
individu yang berbeda (Sweetman, 2005). Angka Kecukupan Gizi Rata-rata yang
Dianjurkan (AKG) untuk anak-anak sekitar 30-45 mg sehari, untuk pria dan
wanita dewasa sekitar 60 mg sehari, untuk wanita hamil terjadi penambahan 10
mg sehari, dan untuk wanita menyusui terjadi penambahan 10-25 mg sehari
(Ganiswara, 1995).
2.1.7 Rute Pemberian
Vitamin C biasanya diberikan secara oral; namun larutan parenteral dapat
diberikan pada keadaan yang menghalangi absorpsi asam askorbat secara
memadai dari saluran gastrointestinal. Selain itu, asam askorbat sebaiknya
diberikan pada pasien-pasien yang menerima nutrisi parenteral (Gilman, et al,
1996).
2.1.8 Penggunaan Terapeutik
Vitamin C digunakan untuk mengobati defisiensi asam askorbat, terutama
skorbut yang nyata. Pada kasus-kasus skorbut bayi yang jarang terjadi, digunakan
dosis yang jauh lebih tinggi. Orang dewasa penderita skorbut harus menerima

Universitas Sumatera Utara

hingga 1 g asam askorbat sehari agar dapat menghilangkan pendarahan dengan


cepat (Gilman, et al, 1996).
Vitamin C 100 sampai 200 mg sehari diberikan bersama-sama dengan
desferoksamin dalam pengobatan pasien dengan penyakit thalassaemia, untuk
meningkatkan pembentukan chelate dari desferoksamin, dengan demikian juga
meningkatkan ekskresi besi. Dalam keadaan kekurangan besi, asam askorbat
meningkatkan absorpsi gastrointestinal terhadap besi. Selain itu, asam askorbat
dan garam askorbat biasanya terdapat dalam preparat oral besi (Sweetman, 2005).
Tetes mata yang mengandung kalium askorbat telah digunakan untuk
pengobatan luka bakar karena bahan kimia. Kalium askorbat 10% digunakan
bergantian dengan natrium sitrat 10%; dipercaya bahwa askorbat bekerja dengan
menangkap oksigen radikal bebas sehingga membantu dalam pencegahan
kerusakan epitel kornea (Sweetman, 2005).
2.1.9 Vitamin C Megadosis
Vitamin C megadosis memiliki efek farmakologi; namun tidak
dihubungkan pada fungsi normalnya sebagai vitamin dalam level nutrisi. Vitamin
C digunakan dalam pengobatan methemoglobinemia idiopatik untuk mereduksi
ion besi dalam bentuk ferri dalam heme menjadi bentuk ferro (Gennaro, 2000).
Vitamin C dapat digunakan untuk salesma (common cold) dan infeksi lain.
Beberapa peneliti telah melaporkan dipercepatnya penyembuhan 20% dengan
keluhan lebih ringan, bila vitamin C dimakan sedini mungkin. Efek baik ini
diperkirakan berdasarkan daya imunostimulasinya (Tjay dan Rahardja, 2002). Dr.
Pauling menyatakan juga vitamin C megadosis dapat mencegah atau mengobati
salesma, walaupun analisis hasil menunjukkan perbedaan yang signifikan antara

Universitas Sumatera Utara

pasien yang diberi vitamin C dengan tanpa vitamin C yaitu 30% lebih cepat
mengalami kesembuhan karena vitamin C membuat pasien merasa lebih baik
sehingga dapat melakukan pekerjaan juga selama masa sakit tersebut (William
and Caliendo, 1984).
Ada indikasi kuat bahwa vitamin C dalam dosis 500-1.000 mg sehari dapat
menurunkan kadar kolesterol darah yang tinggi. Diperkirakan bahwa dasarnya
adalah stimulasi transpor kolesterol dari dinding pembuluh ke hati serta
peningkatan proses pengubahannya menjadi asam kolat dan kortikoteroida.
Vitamin C juga dapat digunakan untuk mempercepat penyembuhan borok dan
luka di kulit akibat tekanan, misalnya pada decubitus (mati jaringan akibat
berbaring lama). Efek ini diperkirakan berdasarkan atas pengubahan prolin
menjadi hidroksiprolin dan sintesa kolagen, khususnya di jaringan granulasi dari
luka (Tjay dan Rahardja, 2002).
Dosis vitamin C 3-10 g sehari bersama dengan megadosis vitamin A, E,
selenium, zinc, dan bioflavonoida kini sering digunakan sebagai obat tambahan
alternatif guna menghambat pertumbuhan sel-sel kanker. Khasiat antikarsinogen
ini diperkirakan berdasarkan sifat antioksidannya (Tjay dan Rahardja, 2002).
Vitamin C dapat mencegah kanker melalui beberapa mekanisme, termasuk
inhibisi terhadap kerusakan oksidatif dari DNA dan mencegah pembentukan
karsinogen nitrosamin akibat reaksi antara nitrit dengan nitrat (biasanya terdapat
dalam makanan dan asap rokok) dengan amina, baik diluar tubuh maupun dalam
saluran pencernaan. Secara in vivo, vitamin C menghalangi reaksi nitrosasi
dengan mengangkap nitrit sehingga pembentukan nitrosamin tidak terjadi.

Universitas Sumatera Utara

Vitamin C juga mencegah kanker dengan meningkatkan kekebalan tubuh terhadap


infeksi dan virus (Silalahi, 2006).
Vitamin C (400mg sehari) melindungi otot terhadap kerusakan oksidatif
selama aktivitas jangka panjang (olahraga) dan menstimulasi reparasi fungsi otot.
Profilaktis vitamin C dapat digunakan sebelum latihan atau perlombaan, guna
mencegah terjadinya otot kaku dan nyeri (1 g pada 2 hari berturut-turut). Kerjanya
mungkin dengan jalan memperlancar pengeluaran asam laktat pada otot (Tjay dan
Rahardja, 2002).
2.1.10. Efek Samping Penggunaan Vitamin C Megadosis
Megadosis vitamin C dilaporkan dapat menyebabkan diare dan gangguan
gastrointestinal lainnya yaitu iritasi pada lambung. Selain itu juga dinyatakan
megadosis mengakibatkan pembentukan kalsium oksalat dalam ginjal. Efek pada
gigi terjadi dengan adanya erosi lapisan email gigi jika mengkonsumsi tablet hisap
asam askorbat lebih dari 3 tahun. Tablet tersebut menurunkan pH saliva sampai
pada level dimana kalsium terlepas dari lapisan email gigi (Sweetman, 2005).
2.2 Kapsul Alginat
Natrium alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat

yang

diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah


(Grasdalen dkk, 1979). Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis pyrifera,
Laminaria, Ascophyllum dan Sargassum (Belitz and Grosch, 1987).

Gambar 5. Struktur Alginat

Universitas Sumatera Utara

Asam alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu -Dmannuronat (M) dan -L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang
membentuk rantai linear (Grasdalen, dkk, 1979). Kedua unit tersebut berikatan
pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu
(MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom dkk,
1980 ; Son dkk, 2003).
Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam
industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Salah satu sifat
dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan
penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium
tartrat dan kalsium sitrat. Pembentukan gel ini disebabkan oleh terjadinya kelat
antara rantai L-guluronat dengan ion kalsium (Thom dkk, 1980). Gel ini
merupakan jaringan taut silang yang tersusun dari kalsium alginat yang
membentuk konformasi kotak telur (egg box type of conformation) (Belitz dan
Grosch, 1987).

Gambar 6. Bentuk Konformasi Kotak Telur


(egg box conformation) (Thom dkk, 1980)
Cangkang kapsul alginat yang dibuat terbukti tahan atau tidak pecah oleh
cairan lambung buatan (pH 1.2). kapsul mengembang dan pecah dalam cairan

Universitas Sumatera Utara

usus buatan (pH 4.5 dan pH 6.8) sehingga dapat digunakan untuk mencegah efek
samping obat dalam lambung. Kapsul ini berbeda dengan kapsul gelatin keras
yang merupakan kapsul yang terdapat diperdagangan yang mudah larut dalam
asam lambung (Bangun, 2005).
2.3 Disolusi
Disolusi adalah proses dimana suatu zat padat menjadi terlarut dalam suatu
pelarut. Kecepatan disolusi obat merupakan tahap pembatas kecepatan sebelum
obat berada dalam darah (Syukri, 2002).
Laju di mana suatu padatan melarut di dalam suatu pelarut telah diajukan
dalam batasan-batasan kuantitatif oleh Noyes dan Whitney pada tahun 1987.
Persamaan tersebut dituliskan sebagai berikut :
dC / dt = KS (C s C t )
dimana, dC/dt adalah kecepatan disolusi, K adalah konstanta secara proporsional,
C s adalah konsentrasi kejenuhan (kelarutan maksimal), C t adalah konsentrasi pada
waktu t dan (C s C t ) adalah gradien konsentrasi. Konstanta secara proporsional,
K disebut juga konstanta disolusi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi laju disolusi, yaitu :
a. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat
Sifat fisika dan kimia partikel-partikel obat padat mempunyai pengaruh yang
besar pada kinetika pelarutan. Karena pelarutan terjadi pada permukaan solut,
maka makin besar luas permukaan makin cepat laju pelarutan (Shargel, 1988).
Beberapa sifat-sifat fisikokimia lain seperti : bentuk kristal, kelarutan, bentuk
hidrat solvasi juga turut berpengaruh terhadap laju disolusi.

Universitas Sumatera Utara

b. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan


Penggunaan bahan pembantu sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur dan
pelicin dalam proses formulasi mungkin akan menghambat atau mempercepat laju
disolusi. Cara pengolahan dari bahan baku, bahan pembantu dan prosedur yang
dilaksanakan dalam formulasi sediaan padat peroral juga akan berpengaruh pada
laju disolusi. Faktor formulasi yang dapat mempengaruhi laju disolusi diantaranya
kecepatan disintegrasi, interaksi dengan eksipien, kekerasan, dan porositas.
c. Faktor yang berkaitan dengan alat uji dan parameter uji
Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan yang
meliputi kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang
dipakai. Pengadukan mempengaruhi penyebaran patikel-partikel dan tebal lapisan
difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang berkontak dengan pelarut.
Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Pemilihan kondisi pH
pada percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat
disepanjang saluran cerna sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju
disolusi obat (Syukri, 2002).
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV (Ditjen POM, 1995), metode yang
digunakan untuk uji disolusi, yaitu :
a. Metode Keranjang
Alat terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan
transparan lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh
motor dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam suatu
tangas air yang sesuai berukuran sedemikian sehingga dapat mempertahankan

Universitas Sumatera Utara

suhu dalam wadah pada 37 0,5C selama pengujian berlangsung dan menjaga
agar gerakan air dalam tangas air halus dan tetap.
b. Metode Dayung
Alat ini menggunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai
pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih
dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus
tanpa goyangan yang berarti. Jarak 25 mm 2 mm antara daun dan bagian dalam
dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Sediaan dibiarkan
tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar. Sepotong kecil bahan
yang tidak bereaksi seperti kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk
mencegah mengapungnya sediaan.
2.4 Lambung
2.4.1 Anatomi Lambung
Lambung merupakan sebuah kantong dengan panjang sekitar 25 cm dan
10 cm pada saat kosong, volume 1 1,5 liter pada dewasa normal. Terletak persis
di bawah diafragma, terdiri dari kardia, fundus, korpus, antrum dan pylorus
(Aiache, et al, 1993).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 7. Gaster (Ventriculus) dan Doudenum Proksimal.


A. Permukaan luar C. Permukaan dalam.
Anak panah melalui canalis pyloricum
Keasaman (pH) cairan lambung mendekati satu, tetapi karena adanya
pengenceran biasanya pH dapat berada antara 1 dan 3 (Aiache, et al, 1993).
2.4.2 Histologi Lambung
Lambung (gaster) manusia dibagia dalam tiga daerah yang histologis
berbeda: cardia, fundus atau korpus, dan pylorus. Fundus atau korpus adalah
daerah yang paling luas pada lambung. Dinding lambung memiliki empat lapisan
umum yang khas untuk saluran cerna : mukosa, submukosa, muskularis eksterna,
dan serosa (di Fiore, 1989).
Mukosa lambung terdiri atas tiga lapisan : epitel, lamina propia, dan
muskularis mukosa. Permukaan lumen mukosa dilapisi oleh selapis epitel
silindris. Di bawah epitel permukaan terdapat selapis jaringan ikat longgar, yaitu
lamina propia, yang mengisi celah-celah sempit diantara kelenjar-kelenjar
lambung. Lapisan luar mukosa dilapisi selapis otot polos, yaitu muskularis
mukosa, yang meluas ke lamina propia diantara kelenjar-kelenjar lambung
mengarah ke epitel permukaan. Mukosa lambung kosong menampakkan banyak

Universitas Sumatera Utara

lipatan-lipatan yang disebut rugae, yang bersifat sementara dan dibentuk oleh
kontraksi lapisan otot polos, yaitu muskularis mukosa. Pada saat lambung terisi,
rugae ini menghilang dan mukosa tampak licin (di Fiore, 1989).
Submukosa adalah lapisan tebal langsung di bawah muskularis mukosa.
Pada lambung kosong lapis ini meluas ke dalam lipatan-lipatan atau rugae.
Submukosa mengandung jaringan ikat yang lebih padat tidak teratur, disertai lebih
banyak serat kolagen daripada lamina propia. Selain jaringan ikat yang biasa
terdapat, pada submukosa terdapat banyak pembuluh limf, kapiler, arteriol besar,
dan venul (di Fiore, 1989).
Muskularis eksterna terdiri atas tiga lapisan otot polos, masing-masing
tersusun dalam bidang berbeda : lapis oblik dalam, lapis sirkular tengah, dan lapis
longitudinal luar (di Fiore, 1989).
Lapisan terluar dari dinding lambung adalah serosa. Lapis tipis jaringan
ikat ini melapisi mukosa eksterna . diluarnya, lapis ini dibungkus oleh selapis
mesotel gepeng dan peritoneum viseral. Jaringan ikat yang dibungkus peritoneum
viseral itu dapat mengandung banyak sel lemak (di Fiore, 1989).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 8. Penampang Lambung : Fundus atau Korpus


(Potongan Transversal) dengan Pewarnaan Hematoksilin-Eosin.57x

Universitas Sumatera Utara

Gambar 9. Penampang Lambung : Mukosa Fundus atau Korpus


(Potongan Transversal) dengan Pewarnaan Hematoksilin-Eosin.180x.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 10. Penampang Lambung : Mukosa Bagian Pylorus


dengan Pewarnaan Hematoksilin-Eosin.100x.
2.4.3 Mekanisme Terjadinya Perdarahan Lambung
Gastritis merupakan suatu peradangan mukosa lambung yang dapat
bersifat akut, kronik, difus, atau lokal. Gastritis akut merupakan respon mukosa
lambung terhadap berbagai iritan lokal (Price dan Wilson, 1991). Pada gastritis
akut seringkali diperlihatkan adanya kerusakan sawar mukosa lambung
(Soedeman, 1995).
Megadosis vitamin C dilaporkan memiliki efek samping menyebabkan
diare dan gangguan pencernaan lainnya (Sweetman, 2005). Hal ini terjadi karena
peningkatan peristaltik dan efek iritasi langsung pada mukosa saluran pencernaan

Universitas Sumatera Utara

(Ganiswara, 1995). Iritasi ini disebabkan oleh pelepasan obat dari sediaan secara
serentak dan terlarut dan menyebabkan konsentrasinya tinggi di suatu area
(Groves, 1989).
2.5 Sistem Gastric Delivery
Salah satu cara untuk mengatasi efek samping sediaan yang mengiritasi
lambung adalah dengan formulasi sediaan sediaan obat tersebut dengan sistem
gastric delivery. Sistem ini dimaksudkan untuk memperlambat pelepasan obat
ketika obat berada di dalam lambung. Selain itu, sediaan ini juga mengurangi
frekuensi pemberian obat setiap hari.
2.6 Penetapan Kadar Vitamin C Secara in vitro
Berdasarkan titrasi dengan 2,6-diklorofenolindofenol, dimana terjadi
reaksi reduksi 2,6- diklorofenolindofenol dengan adanya vitamin C dalam larutan
asam. (Hashmi, 1986).
Larutan 2,6-diklorofenolindofenol dalam suasana netral atau basis akan
berwarna biru sedang dalam suasana asam akan berwarna merah muda. Apabila
2,6-diklorofenolindofenol direduksi oleh asam askorbat maka akan menjadi tidak
berwarna,

dan

bila

semua

asam

askorbat

sudah

mereduksi

2,6-

diklorofenolindofenol maka kelebihan larutan 2,6-diklorofenolindofenol sedikit


saja sudah akan terlihat dengan terjadinya pewarnaan. Untuk perhitungan maka
perlu dilakukan standarisasi larutan dengan vitamin C standar (Sudarmadji, 1989).

Universitas Sumatera Utara

Reaksi yang terjadi antara 2,6-diklorofenolindofenol dan vitamin C dapat


digambarkan dengan persamaan dibawah ini (Hashmi, 1986):

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai