Anda di halaman 1dari 16

TUGAS AQIDAH AKHLAK

D
I
S
U
N
OLEH ;
KELOMPOK 2
1.
2.
3.
4.
5.

AFRIYANTI
MARDIYAH
ABDUL SIDIK
HASYIR
INTAN DARMA SUSILO

KELAS XI IPS 2

MADRASAH ALIYAH BAITULMAL


PANCASILA
TAHUN AJARAN 2016 / 2017
ALIRAN ASY-ARIYAH

A. SEJARAH LAHIRNYA ALIRAN AL-ASYARIYAH


Aliran Al-Asyariyah dibentuk oleh Abu Al-Hasan Ali Ibn Ismail Al-Asyari yang
lahir di Basrah pada tahun 873 Masehi dan wafat pada tahun 935 Masehi. Beliau masih
keturunan Abu Musa Al-Asyari, seorang duta perantara dalam perseteruan pasukan Ali dan
Muawiyah
Nama lengkap beliau adalah `Ali bin Isma`il bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Isma`il
bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Burdah bin Musa Al Asy`ary, lebih dikenal dengan Abu
Al Hasan Al Asy`ary. Sejak kecil Abul Hasan telah yatim. Kemudian ibunya menikah dengan
seorang tokoh Mu`tazilah bernama Abu `Ali Al Jubba`i. Beliau (Abul Hasan) seorang yang
cerdas, hafal Al Qur`an pada usia belasan tahun dan banyak pula belajar hadits. Pada
akhirnya beliau berjumpa dengan ulama salaf bernama AL-Barbahari (wafat 329 H). Berguru
dengan Al-Barbahari inilah yang akhirnya merubah jalan hidupnya sampai beliau wafat
dalam usia 64 tahun. (Abu Ibrahim, As Sunnah I, 1992)
Saat masih muda Abul Hasan berguru pada Syekh Al-Jubbai seorang tokoh
Mutazilah yang sangat terkenal. Ia adalah murid yang cerdas dan menjadi kebanggaan
gurunya bahkan seringkali ia mewakili gurunya untuk acara bedah ilmu dan diskusi. Dengan
ilmu ke-mutazilahannya, ia gencar menyebar luaskan paham Mutazilah dengan karya-karya
tulisnya.
Karena tidak sepaham dengan gurunya dan ketidak-puasannya terhadap aliran
Mutazilah, walaupun sudah menganut paham Mutazilah selama 40 tahun, maka ia
membentuk aliran yang dikenal dengan namanya sendiri, Al-Asyariyah pada tahun 300
Hijriyah.
Ketidak-puasan Al-Asyari terhadap aliran Mutazilah di antaranya adalah :
1. Karena adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asyari yang mendorongnya untuk keluar
dari paham Mutazilah.
Menurut Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab
Syafii yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mutazilah, misalnya syafii

berpendapat bahwa Al-Quran itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa
Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mutazilah, bahwa AlQuran itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan
Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.
2. Menurut

Hammudah

Ghurabah,

ajaran-ajaran

yang

diperoleh

dari Al-Jubai,

menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan,


misalnya tentang mukmin, kafir dan anak kecil. (Hamzah Yakuf, Filsafat Ketuhanan,
1884)
Inti ajaran faham Mu`tazilah adalah dasar keyakinan harus bersumber kepada suatu
yang qath`i dan sesuatu yang qath`i harus sesuatu yang masuk akal (rasional). Itulah
sebabnya maka kaum Mu`tazilah menolak ajaran al Qur`an apalagi as-Sunnah yang tidak
sesuai dengan akal (tidak rasional). Sebagaimana penolakan terhadap Mu`jizat, para nabi,
adanya malaikat, jin dan tidak percaya adanya takdir. Mereka berpendapat bahwa sunnatullah
tidak mungkin dapat berubah, sesuai dengan firman Allah, Tidak akan ada perubahan dalam
sunnatullah (Al Ahzab:62; lihat juga Fathir:43 dan Al Fath:23). Itulah sebabnya mereka
tidak percaya adanya mu`jizat, yang dianggapnya tidak rasional. Menurut mereka bila benar
ada Mu`jizat berarti Allah telah melangar sunnah-Nya sendiri.
Sudah barang tentu pendapat seperti ini bertentangan dengan apa yang dikajinya dari
al Qur`an dan as Sunnah. Bukankah Allah menyatakan bahwa dirinya, (Allah) melakukan
segala apa yang Dia kehendaki, (Hud : 107). Untuk kehidupan manusia Allah telah
memberikan hukum yang dinamakan sunnatullah dan bersifat tetap. Tetapi bagi Allah berlaku
hukum pengecualian, karena sifat-Nya sebagai Pencipta yang Maha Kuasa. Allah adalah
Penguasa mutlak. Hukum yang berlaku bagi manusia jelas berbeda dengan hukum yang
berlaku bagi Allah. Bukankah Allah dalam mencipta segala sesuatu tidak melalui hukum
sunatullah yang berlaku bagi kehidupan manusia ? Allah telah menciptakan sesuatu yang
tidak ada menjadi ada, menciptakan dari suatu benda mati menjadi benda hidup. Adakah yang
dilakukan Allah dapat dinilai secara rasional ? Itulah diantara hal-hal yang dibahas oleh Abu
Al-Hasan Al Asy`ary dalam segi aqidah dalam rangka koreksi terhadap faham Mu`tazilah, di
samping masalah takdir, malaikat dan hal-hal yang termasuk ghaibiyat.
Salah satu dialog beliau dengan Abu Ali Al Jubba`i yang terkenal adalan mengenai,
apakah perbuatan Allah dapat diketahui hikmahnya atau di ta`lilkan atau tidakl. Faham

Mu`tazilah berpendapat bahwa perbuatan Allah dapat dita`lilkan dan diuraikan hikmahnya.
Sedangkan menurut pendapat Ahlus Sunnah tidak. Berikut ini dialog antara Abu Al Hasan
dengan Abu Ali al Jubba`I :
Al Asy`ary (A) : Bagaimana kedudukan orang mukmin dan orang kafir menurut tuan?
Al Jubba`i (B) : Orang mukmin mendapat tingkat tinggi di dalam surga karena imannya dan
orang kafir masuk ke dalam neraka.
A

: Bagaimana dengan anak kecil?

: anak kecil tidak akan masuk neraka

: dapatkah anak kecil mendapatkan tingkat yang tinggi seperti orang mukmin?

: tidak, karena tidak pernah berbuat baik

: kalau demikian anak kecil itu akan memprotes Allah kenapa ia tidak diberi umur
panjang untuk berbuat kebaikan

: Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan engkau hidup, engkau akan berbuat
kejahatan atau kekafiran sehingga engkau tidak akan selamat.

: kalau demikian, orang kafir pun akan protes ketika masuk neraka, mengapa Allah
tidak mematikannya sewaktu kecil agar selamat dari neraka. (Abu Ibrahim, As Sunnah
I, 1992)
Abu Ali Al Jubba`i tidak dapat menjawab lagi. Ternyata akal tidak dapat diandalkan.

Abu al Hasan Al Asy`ary dalam meninjau masalah ini selalu berdasar kepada sunnah
Rasulullah. Itulah sebabnya maka madzhab yang dicetuskannya lebih dikenal dengan Ahlus
Sunnah wal Jama`ah.
Puncak perselisihan antara Asyariyah dan Mutazilah dalam masalah keadilan Tuhan
adalah ketika Mutazilah tidak mampu menjawab kritik yang dilontarkan Asyariyah, bahwa
jika keadilan mencakup iktiar, baik dan buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan
dengan tujuan-tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan keEsaan tindakan Tuhan (Tauhid fil Afal) bahkan bertentang dengan ke-Esaan Tuhan itu

sendiri. Karena ikhtiar menurut Mutazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang
ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari Dzat-Nya.
Dalam pandangan Asyariyah, Tuhan itu adil, sedangkan pandangan Mutazilah
standar adil dan tidak adil dalam pandangan manusia untuk menghukumi Tuhan, sebab segala
sesuatu yang bekenaan dengan kebaikan manusia hukumnya wajib bagi Allah.
Tetapi bagaimanapun Al-Asyari meninggalkan paham Mutazilah ketika golongan ini sedang
berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah Al-Mutawakkil membatalkan putusan
Al-Mamun tentang penerimaan aliran Mutazilah sebagai madzhab negara, kedudukan kaum
Mutazilah mulai menurun, apalagi setelah Al-Mutawakkil mengunjukan sikap penghargaan
dan penghormatan terhadap diri Ibn Hanbal, lawan Mutazilah terbesar waktu itu.
Dalam suasana demikianlah Al-Asyari keluar dari golongan Mutazilah dan
menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits.
Disini timbul pertanyaan, apakah tidak mungkin bahwa Al-Asyari meninggalkan paham
Mutazilah karena melihat bahwa aliran Mutazilah tidak dapat diterima umumnya umat
Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran-pemikiran? Dan pada waktu itu tidak ada
aliran teologi lain yang teratur sebagai gantinya untuk menjadi pegangan mereka. Dengan
kata lain, tidaklah mungkin bahwa Al-Asyari melihat bahayanya bagi umat Islam kalau
mereka ditinggalkan tidak mempunyai pegangan teologi yang teratur. Perasaan inilah yang
menghantui dirinya, ditambah lagi dengan perasaan jika hal ini berlanjut ke masa generasi
berikutnyanya, maka dengan tekad bulat mendorong Al-Asyari untuk meninggalkan ajaranajaran Mutazilah dan membentuk teologi baru setelah puluhan tahun ia menjadi penganut
setia aliran Mutazilah.

B. ISTILAH ASYARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH


As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam
yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi SAW di mana beliau dan para shahabat berada di atasnya.
Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat, sebagaimana yang tersirat
dalam ucapan Al-Fudhail bin Iyadh, Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang
masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal. Karena tanpa memakan yang haram
termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para

shahabat. Dalam pemahaman kebanyakan ulama mutaakhirin dari kalangan Ahli Hadits dan
lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam itiqad
khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan FadhailushShahabah (keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan
karya-karya mereka itu sebagai As-Sunnah. Menamakan masalah ini dengan As-Sunnah
karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi
kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan
syahwat.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi SAW dan sunnah shahabat
beliau. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar
pengikut atsar Rasulullah SAW dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata Ahlus-Sunnah mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsaratsar yang datangnya dari Rasulullah SAW dan para shahabat, menekuninya, memisahkan
yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan
perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam. Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu
yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama
As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad
bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu itiqad shahih yang
ditetapkan dengan nash dan ijma.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu
kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah SAW dan para shahabat. Adapun
penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqahfirqah.
Al-Imam Malik pernah ditanya, Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab, Ahlus
Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan
Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli.
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi
sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan

anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak
sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Taala menciptakan Al-Imam
Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar atas ujian dan
bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan mementahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau
umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bidah dan
Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah. Dari keterangan di atas
dapat disimpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin
(terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa wal Bida dari
kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murjiah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah
tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah SAW dan para
shahabat.
Dengan demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan untuk
menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam itiqad. Banyak hadits yang
memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jamaah.
Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamaah ini dalam beberapa pendapat:
1) Jamaah itu adalah As-Sawadul Adzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar) dari
pemeluk Islam 2) Para Imam Mujtahid 3) Para Shahabat Nabi radhiyallahu anhum 4)
Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara 5) Jamaah kaum muslimin
jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna. Pertama, bahwa jamaah adalah
mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara,
maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan itiba dan meninggalkan ibtida
(bidah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini
adalah makna penafsiran jamaah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma atau AsSawadul Adzam.
Syaikhul Islam mengatakan bahwa mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah
karena jamaah itu adalah ijtima (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah
telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma merupakan
pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur

semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan
din dengan ketiga pokok ini (Al-Quran, Sunnah dan Ijma). Istilah Ahlus Sunnah wal
Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama
menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa wal Bida. Contohnya : Ibnu
Abbas radhiyallahu anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Taala, Pada hari yang
di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram. (Ali Imran: 105)
Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah
sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa wa Dhalalah.
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di
arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di Arah barat maka kirimkanlah salam
kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang berada di
antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milahmilah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini
menunjukkan atas luasnya itiqad dan manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan
oleh para ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap
paham-paham golongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M.
Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam
masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani
Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa AlMakmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang
dianut negara.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan AlAsyari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk
selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asyariyah
ataupun Maturidiyah.Asyariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini.
Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf Ahlus Sunnah wa
Jamaah adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asyari dan Abu Manshur AlMaturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asyariyah,
Maturidiyah dan Madzhab Salaf. (Imam Muh. Abu Zahraoh, Aliran Poltik dan Aqidah Islam)

C. PEMIKIRAN-PEMIKIRAN AL-ASYARI PADA KONSEP AQIDAH


Ada tiga periode dalam tata kehidupan Al-Asyari yang berbeda dan merupakan
perkembangan ijtihadnya dalam masalah aqidah.
A. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai
menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun.
Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk aqidah Muktazilah, hingga sampai pada
titik kelemahannya dan kelebihannya.
B. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah
yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan
mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga
beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran aqidah
Muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah
lewat logika akal, yaitu:a) Al-Hayah (hidup) b) Al-Ilmu (ilmu) b) Al-Iradah (berkehendak) c)
Al-Qudrah (berketetapan) d) As-Sama (mendengar) e) Al-Bashar (melihat) f) Al-Kalam
(berbicara). Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah,
tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih mentawilkannya. Maksudnya beliau
saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau
menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha
Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lain-lain.
C. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah
yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa
takyif, tathil, tabdil, tamtsil dan tahrif. Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu

benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan, a)
takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah, b) tathil: menolak bahwa
Allah punya wajah, tangan dan kaki, c) tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah
dengan sesuatu, d) tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan
makna lainnya. (Rudi Arlan Al-farisi, Ilmu Kalam, 1993)
Pada periode ini beliau menulis kitabnya Al-Ibanah an Ushulid-Diyanah. Di
dalamnya beliau merinci aqidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku,
menurut satu sumber sekitar tiga ratus judul.
D. PANDANGAN-PANDANGAN AL-ASYARI
Berikut paparan faham-faham Asyariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di
antaranya ialah:
1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang
melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada
pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Quran itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan
oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
Berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang
konsep janji dan ancaman (al-wad wa al-waid).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang
dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya,melainkan tidak seperti apa pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus
dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan. (Rudi Arlan Al-farisi, Ilmu Kalam, 1993).

Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid,


melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu
dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka
berkata, Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau
Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Mahaadil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Quran
itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak
berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaanNya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian
hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah
selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi
ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang
melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran.
Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh
orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah
boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku
zalim.

E. TOKOH-TOKOH AL-ASYARIYAH DAN AJARAN-AJARANNYA


1.

Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.


Ia adalah tokoh Asyariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asyari dari dua murid
Al-Asyari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili.. beliau wafat di Bagdad pada
tahun 1013 Masehi.

Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asyari,


misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham
dengan Al-Asyari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asyari perbuatan manusia
adalah diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai
sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah
gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan
oleh manusia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataannya mengarah pada extrim, dalam mengikuti suatu pendapat
dan dalam memberikan dukungan dan pembelaan, sebab premis rasional tidak pernah
disebutkan dalam al-Quranmaupun sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar.
Metode yang ditempuhnya juga banyak. Boleh saja seseorang sampai kepada bukti-bukti
dari berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi melalui berbagai
eksperimen yang tidaklah buruk selama tidak bertentangan dengan konklusi yang dicapainya
dan pemikiran yang dihasilkannya.

2.

Abd al-Malik al-Juwaini


Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah.
Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain.
Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang
bertentangan dengan ajaran Al-Asyari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (tawil) kekuasaan
Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan,
sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan
Maha Tinggi.
Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari AlBaqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan
efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada
daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud
sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai
pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.

3.

Abu Hamid al-Ghazali


Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111
Masehi. Faham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asyari.
Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat
Tuhan dan mempunyai wujud diluar dzat. Juga Al-Quran bersifat qadim dan tidak
diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang
menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi.
Selanjutnya ia-pun menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai
wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang
paham keadilan yang diajarkan oleh Mutazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga
kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran
kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang
tidak mungkin dikerjakan manusia.

Aliran Maturidiyah
A. Sejarah Lahirnya Aliran Maturidiyah
Aliran ini dinisbatkan kepada Imam al-Maturidi.[9] Nama lengkapnya adalah Abu
Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi.[10] Ia dilahirkan di Maturid,
sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang
sekarang disebut Uzbekistan.[11] Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya
diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.
Sebenarnya al-Maturidi itu sebaya dengan al-Asyari. Hanya saja berbeda tempat
tinggal. Al-Asyari hidup di Basrah Irak, sebagai pengikut madzhab Syafii, sedangkan alMatiridi bertempat tinggal di Samarkand, pengikut madzhab Hanafi. Oleh karena itu,
kebanyakan pengikutnya juga bermadzhab Hanafi. Riwayatnya tidak terlalu banyak
diketahui. Sebagai pengikut Abu Hanifah, ia memiliki pemikiran tentang teologi yang hampir
sama.

Karir pendidikan al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi


daripada fiqh, sebagai usaha memperkuat pengetahuannya untuk menghadapi paham-paham
teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai
dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya juga sudah
banyak yang dituangkan dalam karya tulis.
B. Doktrin-Doktrin Teologi Maturidiyah
a. Sifat Tuhan
Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara al-Asyari dan al-Maturidi.
Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat. Maka menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui
bukan karena dzatnya, tetapi dengan pengetahuannya, dan berkuasa bukan dengan dzatnya.
b. Kewajiban mengetahui Tuhan
Menurut Al-Maturidi, akal bisa mengetahui kewajiban untuk mengetahui Tuhan,
seperti yang diperintahkan oleh Tuhan dalam ayat-ayat al-Quran untuk menyelidiki
(memperhatikan) alam, langit dan bumi. Akan tetapi meskipun akal semata-mata sanggup
mengetahui Tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui dengan sendirinya hukum-hukum
taklifi (perintah-perintah Tuhan), dan pendapat terakhir ini berasal dari Abu Hanifah.

c. Perbuatan Manusia
Dalam perbuatan manusia, al-Maturidi sependapat dengan golongan Mutazilah,
bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
d. Kebaikan dan keburukan dapat diketahui dengan akal.
Al-Maturidi mengakui adanya keburukan obyektif (yang terdapat pada sesuatu
perbuatan itu sendiri) dan akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan sebagian suatu
perbuatan. Mereka membagi perbuatan-perbuatan kepada tiga bagian, yaitu sebagian yang
dapat diketahui kebaikannya dengan akal semata-mata, sebagian yang tidak dapat diketahui
keburukannya dengan akal semata-mata, dan sebagian lagi yang tidak jelas kebaikan dan
keburukannya bagi akal. Kebaikan dan keburukan bagian terakhir ini hanya bisa diketahui
dengan melalui syara.
e. Hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan

Perbuatan Tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah), baik dalam ciptaan-ciptaanNya maupun dalam perintah dan larangan-larangan-Nya, perbuatan manusia bukanlah
merupakan paksaan dari Tuhan, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu
mengandung suatu perlawanan dengan iradah-Nya.
f. Pelaku dosa besar
Mengenai pelaku dosa besar al-Maturidi sepaham dengan Asyariyah yaitu: bahwa
orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan
Tuhan kelak di akhirat. Ia pun menolak posisi menengah kaum Mutazilah.
g. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa, manusia dapat melihat Tuhan. Tentang melihat
Tuhan ini diberitakan oleh al-Quran, yaitu firman Allah surat al-Qiyamah: 22-23.
artinya : Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka melihat.
C. Sekte-Sekte Maturidiyah
a. Golongan Samarkand
Yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri. Pahamnya lebih dekat kepada
Asyariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan
manusia, al-Maturidi sepakat dengan Mutazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya
mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi dan al-Asyari memiliki persamaan pandangan,
menurut al-Maturidi, Tuhan mempunyai sifat-sifat, Tuhan megetahui bukan dengan dzatnya,
melainkan dengan pengetahuannya.
Begitu juga Tuhan berkuasa dengan dzatnya. Mengetahui perbuatan-perbuatan
manusia al-Maturidi sepakat dengan golongan Mutazilah, bahwa manusialah yang
sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Apabila ditinjau dari sini, al-Maturidi
berpaham Qodariyah. Al-Maturidi menolak paham-paham Mutazilah, antara lain Maturidiah
tidak sepaham mengenai pendapat Mutazilah yang mengatakan bahwa al-Quran itu
makhluk.
Aliran Maturidiyah juga sepaham dengan Mutazilah dalam soal al-wad wa al-waid.
Bahwa janji dan ancaman Tuhan kelak pasti akan terjadi. Demikian pula tentang
antropomorphisme. Dimana al-Maturidi berpendapat bahwa tangan, wajah Tuhan, dan

sebagainya seperti penggambaran al-Quran. Pasti diberi arti kiasan. Dalam hal ini alMaturidi bertolak belakang dengan pendapat al-Asyari yang menjelaskan bahwa ayat-ayat
yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tidak dapat diberi takwilan.
b. Golongan Bukhara
Yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.[19] Dia merupakan pengikut al-Maturidi yang
penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Yang dimaksud dengan golongan
Bukhara adalah pengikut-pengikut al-Bazdawi dalam aliran Maturidiahnya. Walaupun
sebagai pengikut aliran Maturidiyah, al-Bazdawi selalu sepaham dengan al-Maturidi. Ajaran
teologinya banyak dianut oleh umat Islam yang bermadzhab Hanafi.
D. Pengaruh Aliran Maturidiyah
Terhadap perkembangan dunia Islam, aliran Maturidiyah ini telah meninggalkan
pengaruh yang sangat besar. Hal ini dapat kita pahami karena manhajnya yang memiliki ciri
mengambil jalan tengah antara dalil aqli dengan dalil naqli.
Di samping itu, aliran ini juga berusaha menghubungkan antara fikir dan amal,
mengantarkan pengenalan pada masalah-masalah yang diperselisihkan oleh banyak ulama
kalam, namun masih berkisar pada satu pemahaman untuk dikritisi letak-letak kelemahannya.
Keistimewaan lainnya yang juga dimiliki Maturidiyah bahwa pengikutnya dalam
perselisihan atau perdebatan tidak sampai saling mengafirkan sebagaimana Qodariyah.

Anda mungkin juga menyukai