Pemanfaatan Bulu Babi Pada Lamun Di Sanur PDF
Pemanfaatan Bulu Babi Pada Lamun Di Sanur PDF
UNIVERSITAS INDONESIA
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
MAGISTER
DALAM ILMU LINGKUNGAN
Universitas Indonesia
ii
Universitas Indonesia
iii
Nama
NPM
: 0906657041
Tanda Tangan
Tanggal
: 20 Januari 2012
Universitas Indonesia
iv
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Nama
NPM
Program Studi
Judul Tesis
:
:
:
:
Sekretaris
Penguji Ahli
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal
: 19 Januari 2012
Universitas Indonesia
vi
Universitas Indonesia
vii
BIODATA PENULIS
Nama
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Agama
Islam
Alamat
Pendidikan
Universitas Indonesia
viii
Universitas Indonesia
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan segala rahmat, karunia
dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang
berjudul Pemanfaatan Bulu Babi Berkelanjutan Pada Kawasan Padang Lamun
(Studi Pada Kawasan Padang Lamun Banjar Semawang dan Batu Jimbar,
Kelurahan Sanur, Denpasar)
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Haryoto Kusnoputranto, SKM, DrPH selaku Ketua Program
Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Indonesia
2. Dr. Malikusworo Hutomo, APU selaku Pembimbing I yang telah banyak
memberikan masukan arahan serta kritik sehingga penulis dapat
menyelesaikan tulisan ini
3. Dr. Ir Luky Adrianto, M.Sc selaku Pembimbing II yang telah memberikan
masukan masukan terutama pada masalah sosial ekonomi sehingga
menambah kelengkapan tulisan ini.
4. Prof. Dr. Wudiyanto selaku Penguji Ahli yang telah memberikan masukan
selama sidang.
5. Dr. Suyud Warno Utomo, M.Si. sebagai sekertaris sidang yang telah
membantu dan memberikan masukan selama sidang
6. Kepada orang tua tercinta, Odhyt Widodo dan Amurwani Endang
Qurniatun yang telah banyak memberikan dorongan moral maupun
material, juga kepada adik Dhina dan Nia yang mendukung penulis
7. Deny S. Yusuf, M.Si selaku dosen ekologi kelautan Jurusan Biologi
Fakultas MIPA UNUD yang telah banyak memberikan saran untuk
melakukan pengambilan data di lampangan.
8. Asteria R. Erwin, S.Si yang telah membantu dan menemani selama
pengambilan data.
9. Muhammad Zein dan keluarga, Vandus J. Sihombing, dan Sanggar A.
Nasu yang telah banyak membantu penulis selama di Bali.
Universitas Indonesia
10. Mas Bayu Dharma dan Mas Kumbang yang membantu penulis dalam
memecahkan masalah citra satelit.
11. Mbak Shinta Idriyanti yang telah meminjamkan GPS dan juga
memberikan masukan kepada penulis
12. Teman-teman di PSIL Metta, Mas Ides, Mbak Reski, Putri, Ayu, Gorba
yang juga memberikan masukan
13. Rekan-rekan di Sekertarial PSIL, Ibu Erni, Mas Udin dan Mas Nasrul, Ibu
Irna yang telah membantu kelancaran administratif, sehingga penulis dapat
melaksanakan penelitian
Penulis berharap tesis ini dapat menjadi suatu masukan berharga dalam
pemanfaatan bulu babi di Indonesia, walaupun penulis tidak menyangkal masih
terdapat banyak kekurangan pada tulisan tesis ini. Harapan selanjutnya adalah
agar Indonesia yang memiliki daerah pesisir yang luas dapat menjadi salah satu
negara penghasil bulu babi di dunia.
Universitas Indonesia
xi
DAFTAR ISI
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................5
2.1 Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan .......... 5
2.2 Sistem Sosial Ekologi ................................................................................... 7
2.3 Bulu Babi ................................................................................................... 10
2.3.1 Taksonomi, Anatomi dan Siklus Hidup.............................................. 10
2.3.2 Sebaran Geografis dan Habitat ............................................................. 14
2.3.3 Hubungan Bulu Babi dengan Lamun ................................................... 16
2.4 Pemanfaatan Bulu Babi oleh Masyarakat ................................................. 18
2.5 Konservasi Sumberdaya Alam................................................................... 22
2.6 Kerangka Teori.......................................................................................... 24
2.7 Posisi Penelitian ......................................................................................... 25
2.8 Kerangka Berpikir..................................................................................... 26
2.9 Kerangka Konsep ...................................................................................... 28
2.10 Hipotesis..................................................................................................... 29
HASIL ..................................................................................................... 41
Universitas Indonesia
xii
4.3
4.4
4.5
4.6
PEMBAHASAN ...................................................................................... 65
5.1 Lamun Dan Bulu Babi............................................................................... 65
5.1.1 Sebaran dan Kondisi Lamun .................................................................65
5.1.2 Sebaran Bulu Babi ................................................................................67
5.2 Hubungan Antara Bulu babi dan Padang Lamun..................................... 68
5.3 Pemanfaatan Bulu Babi oleh Masyarakat ................................................. 69
5.3.1 Metode Pemanfaatan Bulu Babi ...........................................................69
5.3.2 Penghasilan Nelayan Bulu Babi............................................................71
5.4 Dampak Pemanfaatan Bulu Babi oleh Masyarakat .................................. 72
5.4.1 Penurunan Populasi dan Kepadatan......................................................72
5.4.2 Perubahan Waktu Tingkat Kematangan Gonad....................................74
5.5 Pengembangan konsep Pemanfaatan Bulu Babi ....................................... 75
5.5.1 Pembukaan dan Penutupan Musim Tangkap ........................................76
5.5.2 Pembatasan Ukuran Tangkap................................................................78
5.5.3 Pembentukan Kawasan Perlindungan...................................................80
KESIMPULAN ....................................................................................... 85
6.1 Kesimpulan................................................................................................ 85
6.2 Saran.......................................................................................................... 86
DAFTARPUSTAKA ........................................................................................... 87
LAMPIRAN ................................................................................................... 93
Universitas Indonesia
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 4.5
Universitas Indonesia
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambar 2.6
Gambar 2.7
Gambar 2.8
Gambar 2.9
Gambar 2.10
Gambar 2.11
Gambar 2.12
Gambar 2.13
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
Gambar 4.7
Gambar 4.8
Gambar 4.9
Gambar 4.10
Gambar 4.11
Gambar 4.12
Gambar 4.13
Gambar 4.14
Gambar 4.15
Gambar 4.16
Gambar 4.17
Gambar 4.18
Gambar 4.19
Gambar 4.20
Gambar 4.21
Gambar 4.22
Gambar 4.23
Gambar 4.24
Universitas Indonesia
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Universitas Indonesia
xvi
Universitas Indonesia
xvii
Universitas Indonesia
xviii
Universitas Indonesia
xix
ABSTRAK
Pemanfaatan bulu babi jenis Tripneustes gratilla oleh masyarakat Sanur telah
berlangsung lama dan dan centerung kearah pemanfaatan berlebih. Tujuan
penelitian ini untuk melihat kondisi lamun dan bulu babi serta menganalisis
hubungannya, cara pemanfaatan bulu babi oleh nelayan dan dampaknya dan
mengembangkan konsep pemanfaatan yang mungkin dapat diterapkan di Sanur.
Metode yang digunakan untuk data lamun dan bulu babi dengan menggunakan
transek yang kemudian akan dilakukan analisis dengan Sistem Informasi Geografi
untuk melihat sebaran dan tutupan lamun serta sebaran bulu babi. Dilakukan pula
wawancara dengan nelayan dan tokoh masyarakat untuk mengetahui pemanfaatan
bulu babi di Sanur. Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 10 jenis lamun
dengan tutupan rata-rata 32,39%, diameter bulu babi yang berkisar 2-7 cm dengan
kepadatan 0,19 individu/m2. Konsep pemanfaatan yang dapat dilakukan di Sanur
adalah pembuatan daerah perlindungan, karena dapat menjaga populasi bulu babi
dan juga biota lainnya
Kata kunci: Tripneustes gratilla, lamun, pemanfaatan bulu babi, konsep
pemanfaatan
ABSTRACT
Sea urchin utilization from species Tripneustes gratilla by local people in Sanur
have been conducted since long time ago and it is tendency to be over
exploitation. The objective from this reaseacrh is to indentified the condition of
seagrass and sea urchin then analizing the correlation, utilization method of local
fisherman and the impact for sea urchin population, and develop the utilization
concept that can be adopted in Sanur. The reasearch method for collecting
seagrass and sea urchin data is using transect that will analyzed with Geographical
Information System for distribution and density of seagrass and the distribution of
sea urchin. Also interviewing with fisherman and community leader to determine
the utilization of sea urchin. According to the data, there are 10 species of
seagrass with cover average are 32,39%, sea urchin diameter is about 2-7 cm with
density 0,19 individu/m2. Utilization concept that can be applied in Sanur is a
protected area, because it can preserve the sea urchin population including another
biota.
Keywords: : Tripneustes gratilla, seagrass, sea urchin utilization, utilization
concept
Universitas Indonesia
xx
Universitas Indonesia
xxi
RINGKASAN
PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA
TESIS, DESEMBER, 2011
A. Nama
B. Judul
Bulu babi adalah hewan tak bertulang belakang yang hidup pada perairan dangkal.
Di Indonesia terdapat sekitar 84 jenis bulu babi yang tersebar di sepanjang pantai.
Biasanya terdapat pada daerah padang lamun ataupun terumbu karang.
Keberadaan bulu babi di daerah padang lamun erat kaitannya dengan aktivitas
makan, selain itu padang lamun juga dijadikan tempat berlindung dari predator
dan arus yang keras. Bulu babi berperan penting pada rantai makanan yang ada
pada ekosistem padang lamun, dan juga memiliki peran penting dalam siklus
nitrogen.
Bagi manusia, bulu babi dapat menjadi sumber makanan tambahan yang banyak
dicari. Berdasarkan catatan sejarah, bulu babi telah banyak dikonsumsi oleh
manusia pada zaman pra sejarah dengan bukti di temukannya cangkang bulu babi
pada tumpukan sisa makanan. Hingga saat ini pemanfaatan bulu babi terus
berlangsung, tetapi pada beberapa daerah belum terdapat adanya suatu bentuk
pemanfaatan yang jelas, sehingga ada kecenderungan kearah penangkapan
berlebih.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.
Pemanfaatan bulu babi oleh masyarakat Sanur di daerah padang lamun masih
tergolong sederhana, walaupun belum ada bukti yang jelas tentang penurunan
populasi bulu babi tetapi sangat besar kemungkinannya untuk terjadi
eksploitasi berlebihan
Universitas Indonesia
xxii
2.
Disamping itu, pada daerah Sanur belum adanya suatu konsep pemanfaatan
bulu babi yang dapat mendukung keberlanjutan dari populasi bulu babi.
Mengetahui sebaran dan kelimpahan bulu babi juga sebaran dan kondisi
padang lamun yang kemudian menganalisis kaitannya
2.
3.
Dalam pengambilan data digunakan metode transek dengan kuadran sebesar 0,5 x
0,5 m untuk pengukuran lamun dan 2,5 x 10 m untuk pengukuran bulu babi.
Dilakukan juga wawancara terhadap nelayan dan tokoh masyarakat sekitar.
Pengambilan data dilaksanakan selama 30 hari.
Berdasarkan data yang didapat, terdapat 10 jenis lamun yang hidup pada daerah
Sanur, dengan jenis yang paling mendominasi adalah Thalasia hemprichii dan
Enhalus acoroides. Tutupan lamun yang ada pada daerah Sanur adalah rata-rata
32%. Bulu babi yang ditemukan reta-rata berdiameter 5 cm dengan kepadatan
populasinya sebesar 0,19 individu/m2. Keberadaan bulu babi pada padang lamun
ternyata memiliki hubungan, yaitu dengan tutupan lamun dan lamun jenis T.
hemprichii.
Pemanfaatan bulu babi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar masih sangat
tradisional, mereka melakukan pemanfaatan berdasarkan pada pasang surut air
laut. Bulu babi yang didapat akan diambil gonadnya dan dimasukan ke dalam
botol air mineral yang kemudian satu botolnya dijual seharga Rp. 15.000. Dalam
sehari, mereka rata-rata dapat menghasilkan sebanyak dua botol air mineral gonad
bulu babi.
Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan penangkapan bulu babi antara lain adalah
menurunnya tingkat kepadatan bulu babi akibat adanya pemanfaatan yang terus
menerus. Tingkat kerapatan yang berkurang juga mengakibatkan penurunan
keberhasilan fertilisasi eksternal sehingga dapat mengakibatkan penurunan jumlah
populasi. Akibat adanya pemanfaataan oleh masyarakat juga mengakibatkan
Universitas Indonesia
xxiii
E. Daftar Kepustakaan:
63 (1968-2010)
Universitas Indonesia
xxiv
SUMMARY
PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA
TESIS, DESEMBER, 2011
A. Name
B. Title
C. Total Pages
D. Summary :
Sea Urchin is an invertebrate that live in shallow water. There are around 85 sea
urchin species that live along side of the Indonesian coastal area, usually found in
seagrass bed or coral reef. Sea urchins abundance in seagrass is related to their
feeding behaviour, beside that seagrass can also function as protecting area from
predator or wave action. Sea urchin is main element in seagrass ecosystem food
chain, and as importance part in nitrogen cycle.
For human being, sea urchin can be most favourable food. Indications of
prehistoric human consumption of sea urchins have been discovered in various
locations. Until now, sea urchin is still
Universitas Indonesia
xxv
3. Develop the concept of utilizing and protecting the sea urchin that maybe
applied by local people in Sanur.
Transect method is use for data collection. There are 5 transect, and each transect
contain 5 large quadrant (2,5 x 10 m) for sea urchin.Every large quarant contains
four small quadrant (0,5 x 0,5 m)for seagrass. Interview to the fisherman and
community leader was also conducted. Data was collected in 30 days.
base on data, there are 10 seagrass species found in Sanur, with Thalasia
hemprichii and Enhalus acoroides are the most dominating species. Average
seagrass cover are32%. Average sea urchin diameters are 5 cm with 0,19
individu/m2
E.
Bibliography : 63 (1968-2010)
Universitas Indonesia
1.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bulu babi adalah kelompok hewan tidak bertulang belakang (Avertebrata) yang
termasuk dalam filum Echinodermata. Hewan ini banyak ditemukan pada perairan
dangkal dan biasanya terdapat pada padang lamun dan daerah terumbu karang
(Suharsono, 1999). Di seluruh dunia, terdapat kurang lebih 800 jenis bulu babi
dari kelas Echinodea yang terbagi dalam dua subkelas yaitu Perischoechinoidea
dan Echinoidea(Radjab, Khouw, Mosse, & Uneputty, 2010). Di Indonesia sendiri,
terdapat kurang lebih 84 jenis bulu babi yang berasal dari 31 suku dan 48 marga
(Clark & Rowe 1971 dalam Dobo, 2009).
Keberadaan bulu babi di kawasan padang lamun berkaitan erat dengan aktivitas
makannya, dimana bulu babi adalah hewan herbivora yang juga grazer utama
pada daerah padang lamun (Dy, Uy, & Coralles 2002). Di Indonesia, bulu babi
yang ditemukan di padang lamun antara lain dari marga Diadema, Tripneustes,
Toxopneustes, Echinotrix, Echinometra, Temnopleurus, Mespilia dan Salmacis
(Aziz, 1994). Secara ekologi, padang lamun berfungsi sebagai habitat dari
berbagai organisme, karena padang lamun menyediakan tempat berlindung dan
juga makanan bagi berbagai macam biota laut (Bjork, Short, Mcleod, & Beer,
2008). Distribusi dan kehadiran bulu babi di padang lamun menunjukkan bahwa
mereka memainkan peran ekologis yang sangat penting dan menjadi kunci
penting dalam aliran energi dan daur materi (Dy, et al., 2002; Vaitilingon,
Rasolofonirana, & Jangoux, 2003; Aziz, 1999) dan juga daur nitrogen (Vonk,
2008).
Universitas Indonesia
terlebih dahulu untuk dijadikan neri atau sebagai campuran sushi (Suharsono,
1999)
Gonad bulu babi khususnya dari jenis Tripneustes gratilla telah lama
dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir di Bali sebagai bahan makanan.
Pengambilan bulu babi di Nusa Dua oleh nelayan setempat dilakukan dengan cara
tradisional dan berlangsung sejak lama dan masih berlangsung hingga saat
ini.Tidak ada catatan resmi tentang jumlah pengambilan di daerah tersebut, namun
secara kualitatif disebutkan sebagai cukup banyak (Darsono & Sukarno,1993).
Selain di Nusa Dua, pemanfaatan bulu babi oleh masyarakat juga dilakukan pada
sepanjang pantai Pererenan, Bali (Wiratmini, Wiryanto, & Raka Dalem, 2008).
Sebagai hewan dengan pergerakan yang sangat terbatas, membuat bulu babi
menjadi mudah untuk diburu. Pengambilan bulu babi di alam terus dilakukan
tanpa mempertimbangkan aspek kelestariannya, sehingga rawan untuk terjadi
penurunan populasinya. Penurunan stok bulu babi di alam akan semakin cepat
jika tingkat eksploitasinya lebih sering dilakukan, karena penambahan individu
baru (recruitment) dari populasi tersebut tidak sebanding dengan pengambilan
oleh masyarakat. Seperti yang terjadi pada daerah Filipina dan Karibia, populasi
bulu babi sempat menurun akibat adanya penangkapan yang berlebihan (JuinioMenez, Pastor & Bangi 2008, Pena, Oxenford, Christopher, & Johnson, 2010).
Oleh karena, itu berbagai informasi perlu dikumpulkan untuk mendasari pola
pemanfaatannya agar terus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat (Radjab, et al.,
2010; Darsono & Sukarno 1993).
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, dapat diketahui bahwa bulu babi adalah hewan
herbivora yang hidup dalam kawasan padang lamun dan berperan sebagai salah
satu grazer utama dari lamun tersebut. Bulu babi juga dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat pesisir sebagai sumber makanan tambahan dengan mengambil
gonadnya. Pemanfaatan bulu babi di berbagai tempat di dunia secara berlebihan
Universitas Indonesia
tanpa pengaturan yang jelas telah menimbulkan dampak pada populasi bulu babi
itu sendiri.
Keberadaan bulu babi dalam ekosistem lamun memainkan peran yang sangat
penting. Selain menjadi grazer dalam padang lamun, bulu babi adalah kunci
penting dalam transfer energi dan materi. Bulu babi juga berperan dalam daur
nitrogen yang ada di kawasan padang lamun. Hal ini menjadikan bulu babi
komponen yang penting dalam ekosistem, sehingga dengan hilangannya bulu babi
maka akan mengganggu ekosistem padang lamun. Disamping itu, bulu babi juga
bermanfaat bagi manusia dengan cara memanfaatkan gonadnya sebagai bahan
makanan tambahan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.
Pemanfaatan bulu babi oleh nelayan di Sanur sejak dahulu dilakukan secara
sederhana tanpa menggunakan peralatan khusus. Disamping itu pemanfaatan
bulu babi sudah berlangsung sangat lama dan diperkirakan sudah terjadi
eksploitasi yang berlebihan
2.
Disamping itu, pada daerah Sanur belum adanya suatu aturan pemanfaatan
bulu babi yang dapat mendukung keberlanjutan dari populasi bulu babi.
Bagaimana sebaran dan kelimpahan bulu babi juga sebaran dan kondisi
padang lamun dan juga hubungan antara bulu babi dan dan lamun?
2.
Bagaimana cara pemanfaatan bulu babi oleh nelayan di kawasan Pantai Sanur
dan dampaknya terhadap populasi bulu babi?
3.
Universitas Indonesia
1.3
Tujuan Penelitian
Mengetahui sebaran dan kelimpahan bulu babi juga sebaran dan kondisi
padang lamun kemudian menganalisis hubungan antara bulu babi dan dan
lamun.
2.
Mengkaji cara pemanfaatan bulu babi oleh nelayan di kawasan Pantai Sanur
dan menganalisis dampaknya terhadap populasi bulu babi
3.
1.4
Manfaat Penelitian
Universitas Indonesia
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
ekosistem/lingkungan
yaitu
dengan
menyediakan
berbagai
macam
sumberdaya alam. Millenium Ecosystem Assessment (2003) mendefinisikan jasajasa ekosistem sebagai keuntungan yang diperoleh manusia dari ekosistem. Tiga
jenis jasa ekosistem yang secara langsung menyumbang kepada kesejahteraan
manusia, yaitu: jasa-jasa penyediaan (disebut juga barang-barang ekosistem),
seperti makanan; jasa-jasa pengaturan, seperti pengaturan air, iklim atau erosi; dan
jasa-jasa budaya, seperti rekreasi, spiritual dan agama (Gambar 2.1). Selain dari
ketiga jenis ini, jasa-jasa pendukung mewakili jenis jasa keempat dan termasuk
jasa-jasa yang penting untuk menghasilkan jasa-jasa lainnya; sebagai contoh,
produksi primer, siklus nutrisi.
Universitas Indonesia
Wilayah pesisir memiliki arti strategis, karena pesisir adalah wilayah peralihan
(interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya
alam dan jasa ekosistem yang sangat kaya (Clark, 1996 dalam Stanis, 2005).
Kekayaan ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi berbagai pihak untuk
memanfaatkan sumberdayanya. Kondisi tersebut menjadikan sumberdaya pesisir
sebagai sumberdaya bersama. Sumberdaya yang sifatnya milik bersama ini
memberi kesempatan semua orang dapat masuk untuk memanfaatkannya, dan
karena sifat manusia ingin mendapatkan manfaat sebesar-besarnya maka
akibatnya terjadi tragedi kebersamaan (tragedy of freedom in a common) (Hardin,
1968). Keadaan tersebut dapat mengakibatkan adanya konflik yang menyebabkan
sumberdaya alam menjadi rusak dan tidak dapat dimanfaatkan lagi.
Universitas Indonesia
2.2
Universitas Indonesia
dasar hidup yang harus dipenuhi. Ketiga faktor ini sangat berperan dalam memacu
perkembangan berbagai bentuk teknik dan alat tangkap yang dilakukan, baik
melalui jalur inovasi maupun adopsi. Permintaan biota laut di pasar yang
menjanjikan pendapatan besar masih didominasi oleh jenis biota ekspor, terutama
jenis ikan karang dan beberapa jenis ikan pelagis. Kegiatan eksploitasi yang telah
berlangsung ratusan tahun berdampak pada perubahan tingkah laku biota yang
menyesuaikan diri dengan aktivitas yang dilakukan nelayan. Perubahan tingkah
laku biota diatasi nelayan dengan memilih jenis alat tangkap yang dapat
meningkatkan hasil tangkapan (Yanuarita & Neil, 2007).
Sistem sosial-ekologi adalah sebuah sistem ekologi yang berkaitan erat dan
terpengaruh dengan satu atau lebih sistem sosial. Kedua sistem ini baik sistem
sosial dan ekologi memiliki subsistem yang juga saling berinteraksi. Istilah sistem
sosial-ekologi digunakan untuk menjelaskan hubungan antar manusia sebagai
makhluk sosial yang diperantarai oleh komponen biofisik dan komponen biologis
selain manusia. Ketika sistem sosial dan ekologi sangat saling berhubungan akan
membuat suatu sistem sosial-ekologi yang kompleks, bersifat adaptif dan terdiri
dari beberapa subsistem yang juga menyatu dengan beberapa sistem yang lebih
besar (Anderies, Janssen, & Ostrom, 2004). Kompleksitas sistem sosial dan
ekologi digambarkan pada model konseptual sistem sosial-ekologi pada Gambar
2.2
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
10
2.3
2.3.1
Bulu Babi
Taksonomi, Anatomi dan Siklus Hidup
Bersama dengan bintang laut dan teripang, bulu babi masuk ke dalam filum
echinodermata (Lewis, Gaffia, Hoefnagels, & Parker, 1998). Bulu babi sendiri
dikelompokan ke dalam kelas echinodea yang dibagi menjadi dua subkelas, yaitu
Perischoechinoidea dan Euchinoidea, dan terdapat sekitar 800 jenis bulu babi di
seluruh dunia. Subkelas perischoechinodea terbagi menjadi satu bangsa (ordo) dan
dua suku (family), sedangkan subkelas echinoidea terbagi menjadi 14 bangsa dan
44 suku (Radjab, 1997). Smith (2008) menyebutkan terdapat sekitar 900 jenis
bulu babi yang terbagi dalam 50 suku. Klasifikasi bulu babi menurut Smith (1984)
dalam Lawrence (2007a) adalah sebagai berikut
Universitas Indonesia
11
Filum: Echinodermata
Kelas: Echinodea
Subkelas: Euchinoidea
Bangsa: Echinothurioida
Suku: Echinothuridae
Marga: Echinoturia
Bangsa: Diadematoida
Suku: Diadematidae
Marga: Centrostephanus, Diadema
Bangsa: Phymosomatoida
Suku: Arbaciidae
Marga: Arbacia
Bangsa: Echinoida
Suku: Echinidae
Marga: Echinus, Loxechinus, Paracentrotus, Psammechinus
Suku: Strongylocentrotidae
Marga: Hemicentrotus, Strongylongicentrotus
Suku: Toxopneustidae
Marga: Lytectinus, Pseudoboletia, Pseudocentrotus,
Toxopneustes, Tripneustes
Jenis: Tripneustes gratilla
Organ-organ internal bulu babi terbungkus dalam cangkang keras yang terbuat
dari kalsiumkarbonat. Seperti filum-filum echinodermata yang lainnya, sebagian
besar bulu babi memiliki tubuh yang bulat dimana terdapat lima garis lipatan
simetris, dan dibagi menjadi lima areal ambulakral. Areal Amburakral dipisahkan
oleh lima daerah inter-ambulakral. Pada setiap daerah ambulakral terdapat kakikaki tubuler yang terdapat di dekat bagian mulut pada bagian bawah. Bagian
tengah kebawah dari tubuh bulu babi adalah permukaan oral, yang disebut dengan
peristom. Sementara bagian tengah keatas adalah permukaan aboral disebut
dengan periprot, yang terdapat anus, lubang genital, dan madreporit (Lewis, et al.
1998). Morfologi bulu babi secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.3
Universitas Indonesia
12
Pada umumnya bulu babi memiliki lima gonad yang terdapat pada daerah interambulakral (Lewis, et al., 1998). Proses pembentukan gonad atau gametogenesis
terjadi dalam empat tahap, yaitu inter gametogenesis, pre gametogenesis,
gametogenesis dan akhir gametogenesis kemudian pemijahan. Seluruh tahap itu
memerlukan waktu selama 10-15 bulan, karena terkadang terjadi overlaping dari
tahap gametogenesis dengan pre gametogenesis. Bulu babi memiliki kelamin
terpisah antara betina dan jantan, walaupun sangat sulit untuk membedakannya.
(Walker, Unuma, & Lesser, 2007).
Universitas Indonesia
13
Pada masa pemijahan, sperma dan telur bulu babi dilepaskan ke air laut dan
terjadi fertilisasi eksternal. Jantan biasanya memijah terlebih dahulu sebelum
betina. Pertumbuhan bulu babi diawali dengan fase larva yang berupa plankton
yang sering disebut dengan echinopluteus. Larva bergerak secara pasif mengikuti
arus air menuju tempat yang cocok, dan kemudian akan menetap sebagai bentos
untuk berkembang. Larva kemudian bermetamorfosis menjadi bentuk dewasa,
metamorfosis ini adalah perubahan dari bentuk larva menjadi bentuk juvenil,
seperti yang dilihat pada Gambar 2.5. Metamorfosis bulu babi memakan waktu
hanya beberapa menit, tetapi otot-otot juvenil setelah metamorfosis tidak
berfungsi selama beberapa hari (McEdward & Miner, 2007). Setelah
bermetamorfosis, bulu babi kemudian berkembang. Perkembangan bulu babi ini
meliputi perubahan berat, diameter, dan bentuk dari cangkang yang membutuhkan
proses kalsifikasi, dan produksi jaringan halus (Ebert, 2007).
Universitas Indonesia
14
2.3.2
Secara umum bulu babi tersebar hampir di seluruh daerah subtidal hingga
intertidal di dunia. Bulu babi banyak terdapat pada kedalaman 2 hingga 30 m di
bawah permukaan laut, tetapi ada pula yang berada hingga 100 m di bawah
permukaan laut (Kelly, Hughes, & Cook, 2007). Sebagian besar bulu babi hidup
di daerah terumbu karang yang ditumbuhi dengan alga (Andrew & MacDiarmid,
1999; Muthiga & McClanahan, 2007; Kelly, Hughes, & Cook, 2007; McClanahan
& Muthiga, 2007; Keesing, 2007; Rogers-Bennet, 2007). Selain itu bulu babi juga
terdapat pada daerah padang lamun dengan substrat yang agak keras seperti pasir
atau campuran antara pasir dan karang (Vasquez, 2007; Boudouresque &
Verlaque, 2007; Watts, 2007; Lawrence & Agatsuma, Ecology of Tripneustes,
2007.
Tripneustes adalah salah satu marga bulu babi yang sebaran jenisnya pada daerah
tropis hingga subtropis. Distribusi bulu babi jenis Tripneustes gratilla secara
global tersebar mulai dari Afrika hingga perairan Indo-Pasifik, dari Australia
hingga selatan Jepang (Gambar 2.6). Persebaran T. gratilla sangat dipengaruhi
oleh suhu optimum, berkisar antara 20-31 0C. Populasinya akan terganggu pada
suhu dibawah 100 C. Habitat dari T. gratilla sangat bervariasi, mulai dari padang
lamun dan alga yang bersubstrat pasir dengan pecahan karang hingga terumbu
karang. Kepadatan T. gratilla sangat beragam, pada padang lamun kepadatan
berkisar antara 0,1-6,8 individu per meter persegi (Lawrence & Agatsuma 2007).
Sebaran T. gratilla dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Universitas Indonesia
15
Indonesia
(Sulawesi)
Indonesia (Pulau
Hatta-Laut Banda)
Lord HoweIsland
Coconut Island
Pulau Reunion
Teluk Aqabah
Kenya
Madagaskar
Sumber
Nojima, Mukai (1985)*,
Mukai et al. (1987)*
Klumpp et al (1993), Uy
et al (2000)*
Vonk (2008)
Dobo (2009)
Valentine (2009)
Stimson (2007)
Lison de Loma et al
(2002)*
Dotan (1990)*
Muthiga (2005)*
Regis dan Thomassin
(1982)*, Maharavo
Universitas Indonesia
16
Lokasi
Hawaii
Sumber
(1993)*
Ebert (1971), Ogden et al
(1989)*
2.3.3
Lamun adalah tumbuhan berbunga yang hidup terendam dalam air laut yang
berasal dari kelas angiospermae dan masuk dalam tumbuhan berbiji tunggal
(monokotiledon) (McKenzie & Yoshida, 2009; Bjork et al., 2008). Padang lamun
memiliki banyak sekali fungsi ekologis, antar lain adalah sebagai nursery ground
yang terbentuk dari kanopi daun-daun lamun. Daerah nursery ground berguna
untuk memberikan perlindungan dari arus pasang surut yang keras juga predator
(Watson et al., 1993 dalam Bjork et al., 2008; McKenzie & Yoshida, 2009).
Padang lamun adalah sumber makanan utama untuk beberapa hewan-hewan laut
yang sering melakukan grazing, seperti dugong dan penyu hijau. Selain itu juga
dimanfaatkan oleh hewan-hewan herbivora lainnya seperti bulu babi (Fahruddin,
2002; Aziz, 1999).
Berdasarkan penelitian dari Vonk (2008) di daerah Sulawesi, bulu babi memakan
lamun dari jenis Cymodoceae rotundata, dan Halodule uninervis. Pada daerah
Lombok bulu babi lebih banyak memakan Syringodium isofolium dan
Cymodoceae rotundata (Aziz, 1999). Preferensi makan bulu babi lebih
dipengaruhi oleh kelimpahan dan keberadaan suatu jenis lamun pada daerah
tersebut. Hilangnya daun dari lamun akibat aktivitas makan bulu babi membuat
meningkatkan pembentukan daun baru, proses tersebut membutuhkan berbagai
nutrien salah satunya adalah nitrogen. Dengan kata lain, aktivitas makan bulu babi
ini dapat mempercepat siklus nitrogen (Vonk, 2008).
Universitas Indonesia
17
lamun
sisa
atau
lamun
tersebut
terputus
sehingga
dapat
Universitas Indonesia
18
2.4
Pemanfaatan bulu babi oleh manusia sebagai makanan tercatat telah terjadi sejak
jaman prasejarah. Di berbagai tempat situs sejarah di dunia, ditemukan buktibukti bahwa manusia prasejarah mengkonsumsi bulu babi dari timbunan sisa-sisa
makanan. Jenis bulu babi dari genus Strongylocentrotus ditemukan pada
tumpukan sisa makanan manusia prasejarah di daerah Alaska, Amerika Utara,
California dan Kepulauan Santa Cruz. Jenis Evechinus chloroticus juga
ditemukan dalam sisa makanan di Selandia Baru, dan diduga suku bangsa
Austronesia menjadikan bulu babi sebagai makanan favorit (Lawrence, 2007a).
Permintaan akan gonad bulu babi tercatat mulai meningkat secara signifikan sejak
tahun 1970, terutama di Jepang. Sejak tahun 1970 hingga tahun 2000 perikanan
bulu babi telah banyak berubah (Gambar 2.7), awal tahun 1970 bulu babi paling
banyak diproduksi di daerah Barat Laut Pasifik (Jepang dan Korea) yang
digunakan sebagai konsumsi domestik. Setelah tahun 1970 mulai banyak timbul
perikanan bulu babi dari berbagai daerah di dunia, dan hingga tahun 2000 yang
terbesar adalah pada daerah Tenggara Pasifik (Chili). Tahun 1999 tercatat Jepang
(US$ 216 juta) dan Amerika Serikat (US$ 19 juta) sebagai dua negara pengimpor
bulu babi terbesar (Williams, 2002). Tabel 2.2 menunjukan jenis-jenis bulu babi
yang dimanfaatkan diberbagai negara di dunia
Universitas Indonesia
19
Tabel 2.2
Nama Ilmiah
Anthocidaris crassipina
Nama Lokal
Distribusi Wilayah
Jepang, Korea, Cina
Echinometra spp.
Echinus esculentus
Atlantik Utara
Evenchinus choroticus
Glyptocidaris crenulatus
Kina
Selandia Baru
Cina
Heliocidaris erythrogramma
Purple Sea
Urchin
Australia
Jepang, Korea, Cina
Hemicentrotus pulcherrimus
Loxechinus albus
Lytechinus variegatus
Erizo
Chili, Peru
Atlantik Barat, Karibia
Paracentrotus lividus
Atlantik, Mediterania
Psammechinus miliaris
Pseudocentrotus depressus
Jepang, Korea
Stronglycentrotus droebachiensis
Stronglycentrotus franciscanus
Stronglycentrotus intermedius
Green Sea
Urchin
Red Sea Urchin
Universitas Indonesia
20
Nama Ilmiah
Stronglycentrotus nudus
Nama Lokal
Distribusi Wilayah
Jepang, Cina
Stronglycentrotus pallidus
Rusia
Stronglycentrotus polyacantus
Rusia
Stronglycentrotus purpuratus
Tripneustes gratilla
Purple Sea
Urchin
Toro toro (Bali)
E
Gambar 2.9 Berbagai Jenis Bulu Babi yang Dikonsumsi
Ket: A. Heliocidaris erythrogramma B. Stronglycentrotus droebachiensis
C. Loxechinus albus D. Tripneustes gratilla E. Stronglycentrotus franciscanus
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Universitas Indonesia
21
Sebagai salah satu negara penghasil dan pengimport bulu babi terbesar di Dunia,
Jepang mengkonsumsi berbagai jenis bulu babi tetapi yang utama adalah jenis
Stronglycentrotus intermedius. Metode penangkapan bulu babi di Jepang juga
beragam, mulai dari pengambilan sederhana dengan tangan, menyelam, jaring
hingga pukat (trawls). Pada awal tahun 1970, penangkapan bulu babi mencapai
lebih dari 20.000 ton, dan terus menurun secara perlahan selama 30 tahun yang
disebabkan karena juga menurunnya keberadaan bulu babi jenis S. intermedius.
Perikanan bulu babi di Jepang dikelola secara kooperatif dengan berbagai jenis
bentuk kontrol, seperti batasan penangkapan perhari, minimum ukuran yang
ditangkap, penutupan musimam (William, 2002).
Perikanan bulu babi terbesar terdapat di Chili dengan terfokus hanya pada satu
jenis saja yaitu Erizo, Loxechinus albus. Sejak pertengahan tahun 1990, Chili
menguasai lebih dari setengah produksi bulu babi di dunia. Penangkapan bulu
babi berawal dengan cara tradisional hingga saat ini sudah menggunakan cara
menyelam. Produksi terbanyak tercatat pada tahun 1999 yaitu sebesar 55.654 ton
gonad bulu babi. Perikanan bulu babi di Chili menunjukan adanya eksploitasi
berlebih, dengan diikuti adanya kecenderungan meninggalkan daerah tangkapan
lama dan mencari daerah baru ke arah Selatan. Produksi bulu babi dapat bertahan
dan terus bertambah karena adanya daerah baru dengan sumberdaya yang masih
bagus. Pengelolaan perikanan dilakukan secara lokal di daerah bagian Utara
dengan cara penutupan musiman dam pembatasan ukuran tangkap namun
pelaksanaannya berjalan dengan sangat buruk (William, 2002).
Universitas Indonesia
22
Di beberapa belahan dunia, terdapat berbagai jenis masakan yang berbahan dasar
dari bulu babi. Di Prancis, gonad bulu babi dimakan mentah dengan
menggunakan roti dan tambahan lemon. Jepang memiliki berbagai variasi
masakan yang menggunakan bulu babi, selain sushi ada beberapa makanan lain
seperti Uni no Kanten, Echizen Uni, Shimonoseki Uni, Kaiyaki Uni, dan masih
banyak lagi. Bulu babi juga di jadikan saus untuk ikan di Selandia Baru. Di
Filipina bulu babi dimasak dengan cara memecahkan cangkang bawah dan
menyisakan gonadnya, kemudian dimasukan beras dan dikukus, setelah matang
cangkang dibuang dan menyisakan nasi dengan lima garis gonad (Lawrence
2007b)
2.5
Tiga sasaran pokok konservasi atau yang disebut dengan strategi konservasi yaitu:
1. Perlindungan
Sistem
Penyangga
Kehidupan,
yaitu
menjamin
Universitas Indonesia
23
sehingga
mampu
menunjang
pembangunan,
ilmu
Pelaksanaan konservasi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu konservasi tingkat
spesies dan populasi, dan konservasi tingkat komunitas. Konservasi tingkat
spesies adalah salah satu upaya menyelamatkan suatu spesies darikepunahan
dengan melindungi populasi yang ada. Sedangkan konservasi tingkat komunitas
adalah perlindungan terhadap suatu komunitas atau habitat sehingga dapat
menjaga kelangsungan berbagai spesies yang ada di habitat tersebut (Indrawan, et
al., 2007). Tujuan lain dari pembentukan kawasan perlindungan adalah untuk
melindungi komponen yang penting dari suatu ekosistem yang dapat mendukung
komponen ekosistem lainnya (Kelleher & Kechington, 1991).
Terdapat tiga kriteria untuk menetapkan prioritas suatu daerah sebagai wilayah
konservasi, yang pertama adalah kekhasan suatu wilayah, tingkat keterancaman
suatu spesies pada wilayah tersebut, dan potensi kegunaan bagi manusia. Salah
satu cara untuk untuk menentukan daerah konservasi dapat digunakan pendekan
ekosistem, karena dapat melihat ketiga kriteria penetapan daerah konservasi.
Selain itu pendekatan ekosistem sebagai wilayah konservasi tidak hanya
melindungi spesies tetapi juga melindungi ekosistem untuk menjalankan fungsi
dan jasa-jasa lingkungan. Berkat perkembangan jaman, penentuan daerah
konservasi dapat dilakukan dengan bantuan komputer yang dikenal dengan
metode Sistem Informasi Geografi (Geographic Information System/GIS).
Universitas Indonesia
24
Dengan bantuan GIS dapat dilakukan penampalan berbagai macam data dari
berbagai faktor biotik dan abiotik, sehingga dapat dilakukan zonasi dari daerah
konservasi. Sistem penetapan zonasi dilakukan untuk menghindari konflik
kepentingan dalam kawasan yang dilindungi (Indrawan, et al., 2007)
2.6
Kerangka Teori
Sumberdaya
Bulubabi
Pemanfaatan
Sumberdaya
alam
Pemerintah
lokalsebagai
penyedia
infrastruktur
Ekosistem
Lamun
Konservasi
Sumberdaya
alam
Universitas Indonesia
25
2.7
Posisi Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka, maka diperoleh state of the arts sebagai berikut:
1. Bulu babi sebagai hewan invertebrata yang hidup pada daerah pesisir
2. Padang lamun adalah salah satu ekosistem di daerah pesisir yang
memiliki fungsi penting bagi pesisir dan biota-biota laut lainnya, dan
terdapat pula kontribusi bulu babi kepada ekosistem lamun sebagai
salah satu hewan yang ada di lokasi tersebut
3. Pemanfaatan bulu babi terjadi di berbagai belahan dunia yang juga
menimbulkan dampak bagi populasi bulu babi, sehingga dibuat
berbagai jenis sistem pemanfaatan yang menyesuaikan dengan kondisi
daerah setempat
Secara keseluruhan, posisi penelitian ini berada pada bagaimana dampak dari
pemanfaatan terhadap populasi bulu babi. Selain itu juga bagaimana mengurangi
dampak tersebut dengan pemanfaatan yang memperhatikan kelangsungan bulu
babi dilihat dari aspek lingkungan ekosistem dan sosial pada daerah tersebut.
Secara skematis, posisi penelitian digambarkan pada Gambar 2.10.
Universitas Indonesia
26
PosisiPenelitian:
Pemanfaatanbulubabi
secaraberkelanjutan
sepertipembentukan
daerahperlindungan.
2.8
Kerangka Berpikir
Bulu babi memiliki peran yang sangat penting dalam ekosistem padang lamun.
Sebagai konsumen tingkat satu di padang lamun membuat bulu babi menjadi
komponen penting dalam aliran energi dari siklus rantai makanan. Bulu babi juga
berkontribusi penting dalam siklus nitrogen di padang lamun. Selain fungsi
Universitas Indonesia
27
ekologis, fungsi ekonomi bulu babi juga sangat besar, gonad bulu babi adalah
komoditas ekspor yang sangat tinggi.
Bulu babi banyak dijadikan sebagai makanan tambahan oleh berbagai masyarakat
pesisir di dunia, baik dimakan langsung ataupun diolah terlebih dahulu.
Pemanfaatan bulu babi di berbagai negara masih tergolong sederhana dengan
sistem pengelolan yang lemah. Sehingga pemanfaatan ini cenderung kearah
terjadinya eksploitasi. Begitu pula yang terjadi di Sanur, Bali, pemanfaatan bulu
babi sudah berlangsung sangat lama dengan cara yang sangat tradisional dan
tanpa ada satu sistem pengelolaan yang mengaturnya. Sehingga jika pemanfaatan
berlangsung terus menerus maka akan dikawatirkan akan terjadi eksploitasi
berlebih dan mempengaruhi populasi bulu babi di alam.
Jika eksploitasi secara berlebihan terjadi dan populasi sudah menurun drastis,
maka untuk pemulihannya sangat susah dan memakan waktu yang lama. Untuk
menghindari terjadinya eksploitasi berlebih diperlukan suatu konsep pemanfaatan
yang berkelanjutan agar bulu babi dapat terus ada dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Tesis ini ditulis untuk memberikan sebuah pengetahuan bagi
masyarakat di sekitar Sanur agar memiliki gambaran tentang pentingnya pola
pemanfaatan bulu babi agar bulu babi dapat dimanfaatkansecara berlanjut. Secara
diagramatik kerangka berfikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.11.
Universitas Indonesia
28
Sebaran
bulubabi
Kelimpahan
lamun
Populasi
bulubabi
Pemanfaatan
bulubabioleh
masyarakat
Ekologi
lamun
Pemanfaatan
bulubabi
berkelanjutan
Kecenderungan
terjadiover
exploitation
Pengembangan
manajemen
bulubabi
Konsep
pemanfaatan
bulubabioleh
masyarakat
Kerangka Konsep
Kerangka Konsep Penelitian dapat dilihat pada Gambar 2-12. Pada konsep
penelitian, populasi bulu babi di padang lamun akan membuat masyarakat tertarik
untuk melakukan pemanfaatan. Populasi bulu babi di alam ternyata juga didukung
oleh sebara bulu babi dan sebaran serta kondisi lamun sebagai habitatnya. Pola
pemanfaatan dan sosial ekonomi masyarakat dan kondisi alam di Sanur akan
dapat membentuk suatu konsep pemanfaatan bulu babi yang berkelanjutan yang
dapat menjaga kestabilan populasi bulu babi di alam
Universitas Indonesia
29
Populasi bulu
babi di padang
lamun
Pendapatan
Tempat tinggal
Pekerjaan
Dampak yang ditimbulkan
terhadap populasi bulu babi
Konsep
Pemanfaatan
bulu babi
berkelanjutan
2.10 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Terdapat tanda-tanda pemanfaatan berlebih (over exploitation) seperti
penurunan populasi dan kepadatan, dan perubahan waktu kematangan
gonad
2. Terdapat hubungan yang kuat antara sebaran bulu babi dengan sebaran
dan kondisi lamun
Universitas Indonesia
30
Universitas Indonesia
31
3.1
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
3.2
3.3
Populasi dan sampel pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1
Bulu babi
Lamun
Nelayan
Tokoh
masyarakat
Sampel
Bulu babi yang dimanfaatkan
oleh nelayan dari spesies
Tripneustes gratilla, yang berada
di belakang Hotel Hyatt dan
Parigata dalam transek
Ekosistem lamun yang berada di
belakang Hotel Hyatt dan
Parigata dengan menggunakan
transek
Masyarakat yang memanfaatkan
bulu babi di wilayah Banjar Batu
Jimbar dan Semawang dengan
metode sensus sebanyak 12 orang
Kepala Lingkungan/Banjar,
Kelian adat, Kepala Lurah, dan
tokoh masyarakat sebanyak 6
orang
Universitas Indonesia
32
3.4
Variabel Penelitian
Variabel penelitian terdiri atas sebaran bulu babi, sebaran dan kondisi lamun,
Pemanfaatan bulu babi oleh masyaarakat, dan konsep pemanfaatan bulu babi
berkelanjutan. Masing-masing definisi oprasional dari setiap variabel penelitian
dapat dilihat pada Tabel 3.2
Tabel 3.2
Definisi Operasional
Variabel
Indikator dan
Fokus
Kepadatan bulu
babi
Diameter bulu
babi
Persentasi
tutupan
Sebaran dan
kondisi lamun
Persentasi
komposisi jenis
Struktur dasar
substrat
Waktu
pengambilan
bulu babi
Cara
pengambilan
bulu babi
Pemanfaatan bulu
Jumlah yang
babi oleh
didapat
masyarakat
Pendapatan
Frekuensi
pengambilan
Universitas Indonesia
Definisi Oprasional
Unit
Individu/m2
Centimeter
(cm)
Persen (%)
Pasir,
lumpur,
karang
hari
botol
Rp
hari
33
Lanjutan...
Variabel
Indikator dan
Fokus
Kegiatan lain
nelayan
Pemanfaatan bulu
Lama nelayan
babi oleh
melakukan
masyarakat
pemanfaatan
Dampak yang
ditimbulkan
Daerah
perlindungan
Penutupan
musiman
Konsep
pemanfaatan bulu
babi
Pembatasan
berkelanjutan
ukuran tangkap
Persepsi
masyarakat
Definisi Oprasional
Unit
Jenis
kegiatan
Tahun
m2
Bulan
cm
3.5
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data
primer dari penelitian ini adalah data sebaran bulu babi, sebaran dan kondisi
lamun, dan pola pemanfaatan bulu babi oleh masyarakat. Data sekunder berupa
data demografi dan data wilayah Kelurahan Sanur yang didapat dari Kelurahan.
3.5.1
Untuk menetukan sebaran bulu babi berupa kepadatan dan diameter bulu babi
digunakan metode transek linier kuadran berdasarkan petunjuk English et al.
Universitas Indonesia
34
(1994) dalam Dobo (2009) yang dimodifikasi dengan menggunakan transek dan
juga kuadran berukuran 2,5 x 10 m. Pada lokasi penelitian dengan panjang pantai
sejauh 650 m, dibagi menjadi lima transek yang tegak lurus dengan garis pantai.
Transek pertama terletak pada titik awal penelitian, dan kemudian jarak transek
selanjutnya sebesar 162,5 m. Penggunaan transek yang tegak lurus dengan pantai
karena untuk memudahkan untuk analisis secara spasial. Setelah itu dicatat
banyak individu dan juga diameter bulu babi yang ditemukan di dalam kuadran
tersebut.
3.5.2
Data sebaran dan kondisi lamun terdiri dari persentase penutupan lamun,
persentase komposisi lamun, tinggi kanopi lamun, persentase penutupan alga dan
struktur dasar substrat. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan
kuadran bulu babi (2,5 x 10 m) yang di dalamnya diletakan kuadran berukuran 0,5
x 0,5 m sebanyak empat kuadran (Dobo, 2009 dengan modifikasi), secara
diagaramatis disajikan pada Gambar 3.1.
Penentuan persentase penutupan lamun, adalah besarnya tutupan dari lamun pada
suatu kuadran, dilakukan dengan membandingkan dengan standar yang ada.
Persentase komposisi jenis adalah banyaknya individu dari suatu jenis dalam satu
kuadran. Struktur dasar substrat didapat dengan melihat jenis sedimen yang
terdapat dalam kuadran.
Universitas Indonesia
35
GarisPantai
Gambar 3.1 Skema Metode Pengambilan Sampel Bulu Babi dan Lamun
Sumber: Modifikasi Dobo (2009)
Universitas Indonesia
36
Universitas Indonesia
37
3.5.3
3.5.4
Data konsep pemanfaatan bulu babi berkelanjutan berupa opini atau pendapat dari
tokoh adat dan kepala pemerintahan. Data tersebut didapatkan dengan cara
melakukan wawancara tersusun dengan topik utama adalah tentang kondisi umum
bulu babi dan padang lamun, dan konsep pemanfaatan bulu babi yang mungkin
dilakukan pada kawasan Sanur. Disamping itu juga digunakan data sebaran dan
kondisi lamun dan sebaran bulu babi.
3.6
Analisis Data
: Konstanta
: Kemiringan
: Variabel terikat (T. hemprichii)
: Variabel bebas (kerapatan lamun)
Analisis citra satelit Aster tahun 2006 digunakan untuk melihat sebaran dari
lamun dengan bantuan perangkat lunak komputer yaitu ER Maper. Berdasarkan
data sebaran lamun hasil analisis citra Aster kemudian dianalisis untuk
mendapatkan kepadatan lamun pada daerah penelitian dengan metode metode
krigging, dengan bantuan perangkat lunak komputer ArcGIS. Hasil yang
didapatkan kemudian di tampalkan pada hasil analisis sebaran lamun
Universitas Indonesia
38
Kondisi bulu babi dianalisis dengan melihat sebaran dan jumlah bulu babi pada
setiap transek, yang kemudian juga ditampalkan pada hasil analisis sebaran dan
tutupan lamun dengan bantuan perangkat lunak ArcGIS. Jumlah individu bulu
babi yang didapat dibuat kepadatan rata-rata bulu babi dengan rumus:
(3.2)
Keterangan: ni : Jumlah induvidu jenis i
A : Luas area
Sumber: English et al. dalam Dobo (2009)
Kaitan antara jumlah bulu babi dengan kepadatan lamun dan jumah bulu babi
dengan lamun jenis T. hemprichii digunakan analisis regresi non linier. Hasil dari
analisis ini akan melihat seberapa besar hubungan bulu babi dengan lamun.
(3.3)
Keterangan: a
b
ln
y
x
: Konstanta
: Konstanta
: Bilangan logaritma natural (Loge)
: Variabel terikat (jumlah bulu babi)
:Variabel bebas (kepadatan lamun dan lamun jenis T. hemprichii)
Untuk mengkaji kegiatan pemanfaatan bulu babi oleh masyarakat, selain dengan
pengamatan lapangan, dilakukan pula analisis dengan menggunakan metode
CPUE (Catch Per Unit Effort), yaitu perbandingan antara jumlah hasil tangkapan
dengan banyak/jumlah kegiatan penangkapan per hari. Rumus yang digunakan
untuk menghitung CPUE adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
39
(3.4)
Keterangan: CPUEi : Nilai CPUE bulan i
Ci
: Hasil tangkapan selama bulan i
Ei
: Banyaknya melaut selama bulan i
Sumber: Bene & Tewfik (2000)
Untuk melihat secara kasar banyaknya stok/bulu babi yang terambil dari setiap
pengambilan oleh nelayan. Untuk melihat sisi ekonomi dari bulu babi, dilakukan
analisis menggunakan metode RPUE (Revenue Per Unit Effort). Nilai RPUE
didapat dengan cara mengalikan nilai CPUE dengan nilai jual gonad bulu babi
dengan rumus sebagai berikut(Bene& Tewfik, 2000).
(3.5)
Keterangan: CPUEi : Nilai CPUE bulan i
Pi
: Harga pada bulan i
Sumber: Bene & Tewfik (2000)
Universitas Indonesia
40
Tabel 3.3
Metode Penelitian
No Tujuan Penelitian
Sumber Data
Survei
lapangan
Nelayan bulu
babi
Menganalisis konsep
pemanfaatan bulu babi yang
dapat diterapkan oleh
masyarakat pada kawasan
Pantai Sanur sehingga
pemanfaatan bulu babi dapat
berkelanjutan
Survei
lapangan,
Nelayan bulu
babi dan
kepala
pemerintahan
Universitas Indonesia
Metode
Analisis
Sensus dan
transek
dengan
metode
Seagrass
watch
(modifikasi)
Wawancara
semi tersusun
Analisis
statistik
bivariat dan
spasial
Studi
literatur,
Wawancara
Deskriptif
analitik dan
tabulasi,
Analisis
CPUE dan
Analisis
RPUE
Deskriptif
analitik dan
tabulasi,
Analisis
spasial
41
4.1
4.1.1
HASIL
4.1.2
Iklim
Suhu pada Kelurahan Sanur berkisar antara 19-340 C dengan rata-rata sebesar
27,70 C. Curah hujan rata-rata setiap tahun sebesar 1833 mm. Kelembaban udara
sebesar sebesar 79% dengan keceparan angin mencapai 6 knot.
4.2
4.2.1
Kemudian
Universitas Indonesia
42
1982, Desa Sanur dimekarkan menjadi 3 wilayah yaitu Kelurahan Sanur, Desa
Sanur Kauh, dan Desa Sanur Kaja.
Dalam sistem pemerintahan adat, Sanur terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Desa
Adat Intaran dan Desa Adat Sanur Kauh. Desa adat ini dipimpin oleh seorang
Bendesa Adat yang ditunjuk oleh Krama desa adat. Perbedaan antara desa adat
dengan desa administritif adalah anggota dari desa adat ini adalah penyungsung
(anggota) dari Pura Kahyangan Tiga, selain itu desa adat juga kesatuan sosial
yang diperkuat oleh upacara agama dan kegiatan suci lainnya. Desa adat ini terdiri
dari beberapa banjar adat dibawahnya. Banjar adat adalah suatu komunitas
terkecil dalam masyarakat yang didasari pada kegiatan religius, dan dipimpin oleh
seorang Kelian Adat. Biasanya anggota Banjar Adat ialah warga asli daerah
tersebut yang seluruh kegiatan religiusnya diatur dalam banjar. Wilayah
Kelurahan Sanur sendiri masuk dalam lingkupan Desa Adat Pakraman Intaran
yang dibagi menjadi 19 Banjar Adat.
4.2.2
Kependudukan
Universitas Indonesia
43
lokal, pendatang dari luar wilayah Kelurahan Sanur, pendatang dari luar Bali,
bahkan warga negara asing yang menetap dan tinggal disana. Tercatat pada tahun
2009 jumlah penduduk Kelurahan Sanur mencapai 9.529 jiwa, dengan jumlah
penduduk laki-laki sebanyak 4.921 jiwa dan perempuan sebanyak 4.608 jiwa,
Seperti yang disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Banjar/Ling
kungan
Singgi
Panti
Gulingan
Taman
Sindu Kaja
Sindu Kelod
Batujimbar
Semawang
Pasekuta
Jumlah
Jumlah Kepala
Keluarga (KK)
125
228
140
311
183
266
233
213
216
1.915
Penduduk (orang)
Laki-Laki
Perempuan
329
299
543
549
394
374
692
659
521
485
641
587
598
464
619
648
584
543
4.921
4.608
Jumlah
(orang)
628
1.092
768
1.351
1.006
1.228
1.062
1.267
1.127
9.529
Universitas Indonesia
44
Tabel 4.2
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Pendidikan
Belum sekolah
Tidak/belum tamat SD
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
Diploma
Sarjana
S2 dan S3
Jumlah
Jumlah (orang)
209
171
857
1.496
3.573
2.286
764
73
9.529
Mata pencarian penduduk Keluran Sanur juga beragam, mulai dari wirausaha,
pegawai negeri, hingga pengrajin. Data mata pencarian pokok warga kelurahan
sanur disajikan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Pendidikan
Pegawai Negeri
Pengrajin
Pedagang
Penjahit
Tukang batu
Tukang kayu
Peternak
Nelayan
Montir
Dokter
Supir
TNI/Polri
Pengusaha
Universitas Indonesia
Jumlah
147
16
504
429
97
83
98
62
8
45
28
7
938
45
4.3
4.3.1
Padang Lamun
Keanekaragaman dan Sebaran
Daerah sebaran padang lamun sepanjang Pantai di Sanur dapat dilihat pada
Gambar 4.1. Ditemukan 10 jenis lamun yang menyusun ekosistem padang lamun
pada lokasi penelitian. Lamun tersebut terdiri dari Enhalus acroides, Thalasia
hemprichii, Cymodocea serulata, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis,
Halophila minor, Syringodium isoetifolium, Halodule uninervis, Halodule
pinifolia, Thalasodendron ciliatum. Dari kesepuluh sepies tersebut, spesies T.
Hemprichiiadalahspesies yang menyebar hampir diseluruh daerah penelitian.
Sebaran individu yang paling sedikit adalah dari jenis H. minor. Pola sebaran
jenis lamun pada setiap transek dapat dilihat pada Gambar 4.3. Berdasarkan
Gambar 4.3pada daerah penelitian terdapat komunitas lamun yang multi spesies,
dimana dalam suatu wilayah ditumbuhi oleh lebih dari dua spesies.
Universitas Indonesia
46
Wilayah penelitian
Universitas Indonesia
47
Universitas Indonesia
48
4.3.2
Kepadatan Lamun
Universitas Indonesia
49
Universitas Indonesia
50
Untuk melihat dominansi dari jenis lamun dilakukan analisis regresi. Analisis
regresi dilakukan antara tutupan lamun dengan jenis T. hemprichii, karena jenis
ini benyak ditemukan pada ekosistem padang lamun di Sanur yang disajikan pada
Gambar 4.5. Berdasarkan gambar 4.5 dapat dilihat bahwa terdapat nilai R2 dari
hubungan tutupan lamun dengan T. hemprichii adalah sebesar 0,464. Nilai
tersebut dapat diartikan bahwa sebanyak 46,4% dari total tutupan lamun dapat
dilihat dari tutupan T. hemprichii.
4.4
Bulu Babi
Ditemukan sekitar lima jenis bulu babi dalam wilayah penelitian. Antara lain
adalah Diadema sp., Tripneustes gratilla, Echinometra mathaei, Mespila globulus
seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.7 dan Lampiran 11. Bulu babi hidup
tersebar pada pesisir Sanur yang dapat ditemui pada daerah lamun ataupun
bersembunyi pada batu/karang yang ada. Jenis bulu babi yang dimanfaatkan oleh
masyarakat adalah dari jenis T. gratilla.
Universitas Indonesia
51
Universitas Indonesia
52
Universitas Indonesia
53
Universitas Indonesia
54
4.5
Untuk mengetahui hubungan antara bulu babi dengan lamun, dibuat grafik regresi
non linier antara banyaknya bulu babi pada setiap transek dengan persen tutupan
lamun (Gambar 4.11). Hasil dari regresi linier antara banyaknya bulu babi pada
setiap transek dengan persen tutupan lamun menunjukan nilai koefisien
determinasi (R2) 0,296. Angkat pada koefisien determinasi menunjukan bahwa
hanya sebanyak 29% jumlah bulu babi dapat dijelaskan oleh tutupan lamun.
Selain itu dibuat juga grafik regresi non linier jumlah bulu babi dengan lamun
jenis T. hemprichii (Gambar 4.12). Dipakai jenis T. hemprichii karena jenis ini
adalah jenis yang paling mendominasi padang lamun di daerah Sanur, dan juga
beberapa penelitian menunjukkan bulu babi mengkonsumsi lamun jenis ini.
Begitu pula dengan jumlah bulu babi dengan lamun jenis T. Hemprichii. Nilai R2
yang ditunjukan sebesar 0,292 yang berarti jumlah bulu babi dapat dijelaskan oleh
kehadiran lamun jenis T.hemprichii sebanyak 29,2%.
Universitas Indonesia
55
Tabel 4.4
Universitas Indonesia
56
4.6
4.6.1
Nelayan yang mengambil bulu babi adalah wanita, dan sering dipanggil dengan
sebutan ibu toro-toro karena nama lokal dari bulu babi adalah toro-toro. Ibu
toro-toro adalah wanita paruh baya, dengan kisaran umur mereka 50-70 tahun
(Gambar 4.13A), dan telah mengambil bulu babi lebih dari 10 tahun yang lalu
bahkan ada yang sejak kecil atau remaja (Gambar 4.13B). Mereka adalah
penduduk daerah Sanur, tetapi sebagian besar mereka tinggal di luar Banjar Batu
Jimbar dan Semawang (Gambar 4.13C). Pada Gambar 4.14D, ditunjukan sebagian
besar dari ibu toro-toro menjadikan pekerjaan mencari bulu babi ini sebagai
pekerjaan sampingan, tetapi ada juga yang menjadikannya sebagai pekerjaan
utama.
Keterangan:
Universitas Indonesia
57
4.6.2
Waktu Pengambilan
Waktu pengambilan bulu babi di laut tergantung kepada pasang surut air laut,
sehingga tidak setiap hari para ibu toro-toro dapat mengambil bulu babi.
Aktivitas pengambilan bulu babi di laut yang tercatat selama waktu penelitian
sebanyak 16 hari, dan dapat dilihat pada Gambar 4.14. Pada Gambar 4.14 juga
dikelompokan menjadi empat kelompok berdasarkan hari saat melaut, yaitu A, B,
C dan D. Dalam keempat kelompok tersebut dapat dilihat bahwa kelompok A dan
C memiliki jumlah nelayan yang melaut tidak sebesar pada kelompok B dan C.
Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan waktu air laut surut. Pada kelompok
A dan C surut terjadi pagi hari sedangkan B dan D surut terjadi siang hari.Surut
yang ada di Sanur terjadi dua kali, yaitu pada pagi dan sore hari, sehingga
mempengaruhi preferensi waktu pengambilan bulu babi yang ditunjukan pada
Gambar 4.15. Berdasarkan penuturan ibu toro-toro, dalam satu bulan mereka
mengambil bulu babi sebanyak 7-12 kali seperti yang disajikan pada Gambar
4.16.
Gambar 4.14 Jumlah Nelayan Bulu Babi per Hari Selama Penelitian
Universitas Indonesia
58
4.6.3
Cara Pengambilan
Peralatan yang digunakan dalam melakukan pengambilan bulu babi masih sangat
sederhana. Sebagai perlindungan tangan, ibu toro-toromenggunakan kain yang
dililit kejari-jari mereka yang kemudian diikat (Gambar 4.17). Untuk melindungi
kaki, mereka menggunakan alas kaki berupa sepatu dan celana panjang yang
menutupi kaki mereka. Dalam mencari bulu babi, ibu toro-toro mengorek-orek
dibawah dedaunan lamun jika keadaan laut sedang jernih, tetapi jika air laut
sedang keruh mereka menginjak-injak dedaunan lamun untuk merasakan
keberadaan bulu babi dibawahnya (Gambar 4.17B). Setelah mendapatkan bulu
babi, cangkang tersebut akan dibelah dan dibersihkan isinya (Gambar 4.17C dan
D), setelah itu gonadnya diekstrak kedalam botol air mineral (Gambar 4.18).
Universitas Indonesia
59
Gambar 4.18 Gonad Bulu Babi yang Telah Diekstrak ke Dalam Botol
Universitas Indonesia
60
Dalam sekali melaut, ibu toro-toro mendapatkan gonad bulu babi sebanyak 2-4
botol, seperti yang ditunjukan pada Gambar 4.19. Bulu babi yang dimanfaatkan
oleh ibu toro-toro berkisar antar 4 hingga 7 cm, dengan rata-rata berukuran 5,5
cm, yang ditunjukan pada Gambar 4.20. Ibu toro-toro lebih banyak mencari
bulu babi pada daerah lamun (Gambar 4.21), terutama pada lamun dengan
kerapatan tinggi (Gambar 4.22), selain itu juga mencari pada daerah karang dan
juga ceruk-ceruk.
Gambar 4.19 Rata-rata Gonad Bulu Babi yang Didapatkan per Hari
Universitas Indonesia
61
Pada beberapa tahun yang lalu jumlah pencari bulu babi lebih banyak dari pada
saat ini dan tidak terbatas pada kaum wanita saja, dengan hasil yang juga lebih
banyak dari saat ini. Berdasarkan penuturan ibu toro-toro, untuk mencari bulu
babi saat ini lebih sulit dibandingkan beberapa tahun yang lalu (Gambar 4.23).
Pada beberapa tahun yang lalu, sangat mudah mendapatkan 5-6 botol gonad bulu
babi bahkan dapat mencapai satu jerigen air, tetapi saat ini untuk mendapatkan
dua botol gonad sudah sangat susah. Hal tersebut yang mengakibatkan
berkurangnya nelayan karena hasil yang didapatkan juga sudah banyak berkurang.
Universitas Indonesia
62
Gambar 4.23 Persepsi Tentang Kondisi Bulu Babi Saat ini Dibandingkan
Dahulu
4.6.4
Banyaknya bulu babi yang didapatkan ibu toro-toro dalam sebulan rata-rata
sebanyak 14 botol selama sebulan dengan kisaran dari 3 hingga 29 botol perbulan.
Pendapatan rata-rata perbulannya adalah sebesar Rp. 220.000. Nilai Catch Per
Unit Effort (CPUE) dari kegiatan pemanfaatan bulu babi selama waktu penelitian
adalah sebesar 2,07 botol. Kemudian berdasarkan nilai CPUE didapatkan nilai
Revenue Per Unit Effort (RPUE) sebesar Rp. 31.058. Nilai CPUE dan RPUE dari
setiap ibu toro-toro dapat dilihat pada Tabel 4.5
Universitas Indonesia
63
Tabel 4.5
nelayan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
total
rata-rata
hasil yang
perkiraan
CPUE
didapat
pendapatan (Rp) (botol/hari)
(Botol)
21
315.000
3
29
435.000
3,22
9.5
142.500
1,36
10
150.000
1,67
24
360.000
1,85
26
390.000
1,86
15
225.000
2,14
6.5
97.500
2,17
6
90.000
2
3
45.000
1,5
16
240.000
1,78
10
150.000
2
176
2.640.000
2,07
14.67
220.000
2,07
RPUE
(Rp/hari)
45.000
48.333,33
20.357,14
25.000
27.692,31
27.857,14
32.142,86
32.500
30.000
22.500
26.666,67
30.000
31.058,82
31.058,82
Universitas Indonesia
64
4.6.5
Persepsi para tokoh masyarakat mengenai kondisi pantai Sanur secara umum
mengatakan bahwa kondisi pantai Sanur telah mengalami penurunan, yang
disebabkan oleh aktivitas manusia juga perkembangan pariwisata di Sanur.
Aktivitas masyarakat Sanur yang merusak pantai adalah mengambil batu koral
yang digunakan sebagai bahan bangunan. Kegiatan perikanan atau nelayan di
Sanur juga sudah semakin berkurang, dan hanya dijadikan sebuah hobi saja.
Banyak penduduk yang beralih mata pencariannya ke sektor pariwisata yang
memang penghasilan yang didapatkan lebih besar dibandingkan hasil dari melaut.
Telur bulu babi merupakan makanan pendamping yang diminati oleh masyarakat
Sanur. Telur bulu babi dapat dioleh dengan berbagai macam cara, seperti ditumis,
rebus, kukus ataupun dimakan langsung. Beberapa tahun yang lalu bulu babi
dapat dibeli di pasar, tetapi saat ini untuk mencari bulu babi dengan cara datang
kepantai dan langsung membeli ke ibu toro-toro. Bulu babi yang semakin susah
dicari dapat membuat hilangnya aktivitas pemanfaatan bulu babi di pantai Sanur.
Pembuatan suatu bentuk perlindungan dinilai perlu oleh beberapa tokoh
masyarakat, tetapi diperlukan peran serta berbagai elemen untuk melakukan
sosialisasi dan juga memberikan penjelasan kepada para tokoh masyarakat.
Rangkuman hasil wawancara disajikan pada Lampiran 4.
Universitas Indonesia
65
5.1
PEMBAHASAN
5.1.1
Berdasarkan analisis regresi linier antara tutupan lamun dengan kelimpahan jenis
Thalasia hemprichii, didapatkan bahwa T. hempricii adalah jenis yang paling
dominan dan tumbuh di semua transek (Gambar 4.6). Thalasia hempricii adalah
salah satu spesies klimaks pada ekosisitem padang lamun, memiliki panjang daun
hanya berkisar antara 5-7 cm tetapi memiliki akar yang terbenam hingga jauh
kedalam substrat (15-20 cm ke dalam). Fungsi akar tersebut tidak hanya
menstabilkan sedimen yang ada dibawahnya tetapi juga menjadi pondasi yang
kuat bagi tumbuhan sehingga dapat bertahan hidup (Tomascik, Mah, Nontji, &
Moosa, 1997). Hal tersebut yang membuat T. Hemprichii sebagai satu jenis lamun
yang dapat bertahan pada segala kondisi substrat, mulai dari pasir lumpur hingga
karang. Dominansi jenis T.hempricii juga ditemukan pada padang lamun di Teluk
Mecuti, Mozambiq Utara (Bandeira and Antonio 1996) dan juga Pantai Kuta dan
Teluk Gerupuk, Lombok (Kiswara, 1996).
Spesies lamun yang dominan lainnya adalah jenis Enhalus acroides yang tumbuh
hampir disemua transek. Enhalus acoroides adalah jenis lamun yang terbesar dan
menyebar luas di kepulauan Indonesia. Penyebaarannya mulai dari daerah
intertidal hingga daerah subtidal mendekati daerah hutan mangrove. Salah satu
ciri khas dari E. acoroides adalah memiliki daun yang panjang dan tebal dengan
rhizome yang keras seperti mengayu dan akar yang panjang. Enhalus acoroides
memiliki dua tipe pertumbuhan, yaitu tipe perpanjangan daun dan tipe
pertumbuhan akar. Tipe pertumbuhan berupa pemanjangan daun terjadi jika
E.acoroides tumbuh pada lingkungan dengan wilayah tertutup dan banyak
terdapat nutrien. Tipe pertumbuhan akar atau rhizome terjadi jika E. acoroides
tumbuh pada lingkungan dengan arus yang kuat, karena akarnya digunakan
sebagai pengikat sedimen dan pondasi bagi tumbuhan tersebut (Tomascik et al.,
1997).
Universitas Indonesia
66
Spesies yang paling rendah adalah Halophila ovalis, dan Halophila minor.
Halophila ovalis dan H. minor tersebar pada hampir seluruh wilayah Indonesia,
hanya saja bentuk dan ukuran dari lamun ini yang sangat kecil sehingga jarang
terlihat. Selain bentuknya yang kecil, H ovalis juga spesies pionir yang terkadang
tumbuh pada daerah sedimen yang berpasir. Biasanya H. ovalis tumbuh
berdampingan dengan H. minor, tetapi H.minor lebih banyak terkubur dalam
sedimen sehingga lebih sulit untuk ditemukan (Tomascik et al., 1997).
Struktur dasar pantai Sanur sangatlah unik, karena pada daerah tubir memiliki
permukaan yang meninggi dan jika terjadi surut daerah tubir akan menjadi daerah
yang sangat dangkal. Kemudian daerah antara tubir dengan bibir pantai
adalahdaerah yang selalu tergenang air walaupun pada saat surut. Sehingga
permukaan pantai Sanur seperti memiliki cekungan yang berada diantara pantai
dan tubir. Kondisi tersebut ternyata juga berpengaruh kepada komposisi lamun
yang ada. Pada Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa terdapat banyak jenis pionir pada
daerah dekat tubir sama seperti yang didapati pada jenis lamun di bibir pantai.
Sedangkan lamun jenis T. ciliatumadalah jenis lamun yang biasa berada pada
daerah sublitoral (Tomascik,et al., 1997) ternyata tumbuh lebat pada daerah
intertidal Sanur. Pada penelitian Bandeira & Antonio(1996) pada Teluk Mecuti
juga disebutkan bahwa T. ciliatum hanya terdapat pada daerah tubir.
Interaksi antar lamun yang terdapat pada ekosistem padang lamun Sanur
membentuk suatu vegetasi lamun campuran, dengan terdiri dari tiga hingga enam
jenis lamun. Komunitas yang terdiri dari tiga jenis lamun adalah dari jenis
E.acoroides, T. hemprichii, C. rotundata. Untuk interaksi yang terdiri dari empat
hingga enam jenis lamun terjadi pada beberapa kuadran penelitian, umumnya
jenis penyusun yang utama adalah E. acoroides dan T. hemprichii yang kemudian
diselingi oleh jenis yang lainnya. Interaksi dari jenis pioner terjadi antara H.
ovalis, H. minor dengan jenis klimaks seperti T. hemprichii, E. acoroides, dan C.
rotundata. Interaksi antar lamun yang membentuk suatu vegetasi campuran ini
pada umumnya terdapat pada lingkungan yang tertutup yang berpasir dengan
kondisi yang relatif datar (Hutomo et al., 1988 dalam Tomascik, et al.1997).
Universitas Indonesia
67
5.1.2
Jika dilihat pada Gambar 4.10 populasi bulu babi juga tidak ada/sangat sedikit
yang berada pada 50 m dari pantai (kuadran 1), tetapi banyak ditemukan pada
jarak sekitar 150-300 m dari garis pantai (Kuadran 2 hingga 5). Kegiatan manusia
telah mendesak bulu babi untuk semakin ke tengah. kegiatan pemanfaatan bulu
babi pada beberapa tahun yang lalu dapat menjadi penyebab utama dari tidak
adanya/sedikitnya ditemukan bulu babi pada daerah dekat garis pantai.
Berdasarkan penuturan dari ibu toro-toro, mereka juga merasakan semakin
jarang bulu babi yang ditemukan di daerah dekat pantai, sehingga mereka harus
berjalan agak jauh ketengah untuk menemukan bulu babi. Berdasarkan penelitian
Aziz (1999), yang menyebutkan bahwa aktivitas penangkapan bulu babi oleh
masyarakat di sekitar Pantai Kuta Lombok juga telah membuat komunitas bulu
babi terdesak ke dekat tubir.
Bulu babi juga banyak terdapat pada transek 3 dan 4 dibandingkan dengan transek
lain. Dilihat dari hubungannya dengan substrat yang terdapat pada transek 3 dan 4
(Tabel 4.4) lebih banyak pada substrat pasir dan pasir karang. Hal tersebut
menjadi salah satu alasan banyak ditemukannya bulu babi pada transek 3 dan 4.
Bulu babi lebih banyak menyukai substrat yang lebih keras dibandingkan substrat
yang berlumpur, hal tersebut berkaitan erat dengan siklus hidupnya. Saat larva
bulu babi memasuki tahap akhir fase planktonik, larva akan mencari tempat yang
cocok untuk bermetamorfosis menjadi dewasa. Kondisi substrat berhubungan erat
dengan proses metamorfosis. Larva bulu babi akan memilih substrat yang keras
dan juga ditumbuhi oleh banyak tumbuhan baik alga maupun lamun. Salah satu
alasan utama pemilihan substrat yang keras adalah tempat tersebut sangat cocok
sebagai nursery ground yang dapat melindungi larva atau bulu babi muda dari
arus maupun predator (Pena et al., 2010; McEdward & Miner, 2007). Hal inilah
yang menyebabkan bulu babi banyak ditemukan di daerah berpasir hingga karang.
Universitas Indonesia
68
Hasil analisis regresi juga menunjukan terdapat hubungan antara kehadiran bulu
babi dengan keberadaan T. hemprichii (Gambar 4.12). Berdasarkan hasil tersebut
keragaman dan kelimpahan bulu babi sekitar 30% ditentukan oleh lamun jenis T.
hemprichi.
Hubungan
tersebut
dapat
dimungkinkan
karena
bulu
babi
Karena sebaran bulu babi sangat luas dan terdapat diberbagai macam habitat,
makatidak heran jika memiliki berbagai pola maka yang berbeda-beda pada setiap
habitatnya. Bulu babi ternyata juga mengkonsumsi lamun jenis Cymodocea
rotundata dan Syringodium isotifolium (Aziz, 1999; Vaitilingon, et al., 2003.
Selain lamun, bulu babi juga mengkonsumsi beberapa jenis alga (Dy et al., 2002;
Lison de Loma, Conand, Harmelin-Vivien, & Ballesteros, 2002; Stimson, Cunha,
& Philippoff, 2007). Beragamnya pola makan bulu babi sedikit banyak
dipengaruhi oleh keberadaan sumber makanan di tempatnya hidup.
Universitas Indonesia
69
Bulu babi memiliki kebiasaan unik yaitu membungkus dirinya dengan daun
lamun, seperti yang ditunjukan pada Lampiran 8. Aktivitas tersebut dilakukan
bulu babi muda untuk melindungi dirinya dari serangan predator (Aziz, 1994,
Pena et al., 2010). Petit (1930) dalam Lawrence & Agatsuma (2007)
menyebutkan bahwa aktivitas menyelimuti atau menutup diri ini dilakukan karena
bulu babi adalah hewan yang photodefensive, oleh karena itu dengan menutup
dirinya dengan daun lamun akan mengurangi sinar radiasi yang mengenai
tubuhnya (Kehas et al., 2005, dalam Lawrence & Agatsuma 2007). Selain itu
aktvitas membungkus diri ini juga karena aktivitas makan dari bulu babi tersebut
(Nojima Mukai, 1985 dalam Lawrence & Agatsuma 2007).
5.3
5.3.1
Pemanfaatan bulu babi pada daerah Sanur masih sangat sederhana, baik secara
peralatan maupun metode yang dilakukan. Nelayan bulu babi atau ibu toro-toro
hanya membawa keranjang, yang digunakan sebagai tempat menaruh hasil
tangkapan. Selain itu juga sebuah pisau atau sabit untuk membelah cangkang bulu
babi. Pada beberapa daerah di dunia, pemanfaatan bulu babi telah menggunakan
jaring tangkap ataupun dengan cara menyelam (Williams, 2002). Berdasarkan
penuturan ibu toro-toro yang rata-rata telah berumur 60-70 tahun (Gambar
4.13A), mereka telah melakukan kegiatan ini sejak 10 tahun bahkan ada yang
sejak masih remaja (Gambar 4.13B). Sebelumnya, orang tua mereka juga telah
melakukan kegiatan ini, sehingga kegiatan ini telah turun temurun dilakukan oleh
masyarakat sekitar Sanur.
Ibu toro-toro melakukan pemanfaatan bulu babi pada saat air laut surut
(Gambar 4.14), sehingga mereka hanya perlu berjalan sepanjang daerah pesisir
Sanur untuk mencari bulu babi. Daerah Sanur memiliki paling tidak sebanyak 16
hari surut selama satu bulan, yaitu 4 hari sebelum dan sesudah tilem (bulan mati)
dan purnama. Sebelum tilem atau purnama, air laut surut terjadi pada siang hingga
petang, sekitar pukul 13.00 hingga 18.00 WITA. Setelah tilem atau purnama, air
Universitas Indonesia
70
laut surut terjadi pada pagi hingga siang hari, mulai dari pukul 06.00 hingga 10.00
WITA.
Dalam Gambar 4.14 dan Gambar 4.24 dilihat bahwa pada waktu pengambilan
bulu babi kelompok B dan D, yaitu surut yang terjadi pada siang hari, ternyata
memiliki jumlah ibu toro-toro cukup banyak. Surut yang terjadi pada siang hari
memiliki waktu yang cukup panjang, sehingga banyak dari ibu toro-toro yang
memanfaatkannya untuk melaut. Dibandingkan dengan kelompok A dan C, yaitu
surut yang terjadi pagi hari, pada Gambar 4.14 dan Gambar 4.24, ibu toro-toro
yang melaut lebih sedikit, karena waktu surut relatif lebih pendek. Hal ini adalah
salah satu penyebab sedikitnya ibu toro-toro yang melaut.
Selain pasang surut air laut, faktor angin juga mempengaruhi kegiatan ibu torotoro untuk mengambil bulu babi. Angin yang kencang membuat air menjadi kabur
dan keruh, sehingga ibu toro-toro tidak dapat dengan jelas melihat ke dasar air
untuk mencari toro-toro. Hujan juga termasuk faktor yang mempengaruhi
kegiatan pengambilan toro-toro, jika hujan terjadi bulu babi akan sulit ditemui.
Kegiatan upacara di Bali begitu banyak, mulai dari acara rutin Sembahyang di
Pura saat purnama dan tilem, Nyepi, hingga acara besar Galungan dan Kuningan
memerlukan banyak persiapan, dan mempengaruhi kegiatan pengambilan bulu
babi. Sehingga dalam sebulan mereka hanya bisa melaut rata-rata sebanyak 7 kali.
Untuk mencari bulu babi, ibu toro-toro berjalan sekitar 100-300 m ke arah tubir,
karena pada saat ini bulu babi lebih susah ditemukan (Gambar 4.23) sehingga
perlu berjalan lebih ke tengah. Mereka mencari bulu babi dengan cara mengkorekkorek daerah lamun dan juga ceruk-ceruk karang dengan mengunakan pisau yang
mereka bawa. Jika keadaan laut sedikit keruk mereka mencari bulu babi dengan
cara menginjak-injak dasar laut untuk merasakan keberadaan bulu babi. Diameter
bulu babi yang diambil adalah berkisar 4-7 cm dengan rata-rata 5,5 cm (Gambar
4.20). Ukuran yang lebih kecil dari 4 cm tidak diambil karena dianggap telurnya
hanya sedikit. Gonad bulu babi yang didapat kemudian dimasukan dalam botol air
mineral berukuran 600ml. Harga jual untuk satu botol gonad bulu babi adalah Rp
Universitas Indonesia
71
15.000. Untuk mengisi penuh botol tersebut, diperlukan setidaknya 50-70 ekor
bulu babi, dengan rata-rata perbotolnya 61,33 ekor bulu babi.
5.3.2
Nilai CPUE yang ada pada Tabel 4.5 sangat beragam, dan memiliki rata-rata 2,07
botol dalam sekali melaut. Kemampuan mendapatkan bulu babi adalah salah satu
yang mempengaruhi nilai CPUE, seperti yang terlihat pada Gambar 2.24. Dalam
Kelompok B dan D, yaitu surut terjadi pada siang, dengan waktu surut yang relatif
lebih lama sehingga ibu toro-toro memiliki kesempatan lebih besar untuk
mendapatkan bulu babi. Hasil yang didapatkan juga cenderung lebih banyak
dibandingkan kelompok A dan C yang surut pada pagi hari. Selain waktu surut
yang lebih lama, hal lain yang mempengaruhi adalah pekerjaan ibu toro-toro itu
sendiri. Sebagian dari ibu toro-toro memiliki kegiatan di pagi hari seperti
berdagang ataupun kegiatan lainnya, sehingga mereka hanya bisa melaut pada
saat surut di siang hari. Hal tersebut yang membuat terdapat perbedaan hasil
tangkapan pada surut pagi dengan siang hari, dan membuat nilai CPUE juga
beragam
Berdasarkan Tabel 4.5, penghasilan nelayan bulu babi berkisar antara 45.000
hingga 435.000 selama waktu penelitian.. Jika dilihat dari nilai RPUE, rata-rata
hasil yang didapatkan dari setiap kali pengambilan bulu babi adalah sebesar Rp
31.058. Nilai RPUE ini dapat diartikan bahwa dalam setiap kali melaut,
penghasilan yang didapatkan adalah sebesar itu. Hal ini ini lah yang menjadi salah
satu penyebab semakin berkurangnya pencari bulu babi di Sanur.
Berdasarkan penuturan masyarakat dan ibu toro-toro, harga bulu babi saat ini
per botolnya meningkat lebih dari dua kali lipat lebih dari yang sebelumnya Rp
5.000 kemudian Rp 7.000 dan sekarang Rp 15.000. Pada beberapa tahun yang lalu
untuk mencari bulu babi juga sangatlah mudah, dan dalam sekali melaut bisa
menghasilkan lebih dari 4 botol. Disamping itu, jumlah nelayan bulu babi juga
lebih banyak dan tidak terbatas hanya pada kaum wanita saja. Kelangkaan bulu
babi di alam adalah penyebab dari berkurangnya nelayan bulu babi yang
kemudian juga diikuti menurunnya nilai CPUE dan RPUE.
Universitas Indonesia
72
5.4
Dampak yang dapat langsung diamati dari pemanfaatan bulu babi adalah
perubahan kepadatan bulu babi pada daerah tersebut. Kepadatan bulu babi di
daerah Sanur adalah 0,19 individu/m2. Besar kepadatan tersebut hampir sama
seperti kepadatan bulu babi di Papua New Guinea yaitu sebesar 0,098 individu/m2
(Mukai et al., 1985 dalam Lawrence & Agatsuma, 2007), dan kepadatan di
Kepulauan Hatta, Maluku sebesar 0,16-0,22 individu/m2 (Dobo, 2009). Pada
daerah di Filipina saat terjadi eksploitasi yang berakibat penurunan populasi,
kepadatan bulu babi mencapai 0,1 individu/m2 (Klumpp et al., 1993 dalam
Lawrence & Agatsuma, 2007).
Pada daerah Afrika seperti Madagaskar, Kenya, dan Pulau reunion kepadatan bulu
babi dapat mencapai 4 hingga 15 individu/m2 (Lawrene, 2007b) (Gambar 4.9).
Jika dilihat dari sejarah pemanfaatan bulu babi sejak jaman prasejarah, tidak
terdapat catatan tentang pemanfaatan bulu babi oleh masyarakat prasejarah di
Afrika (Lawrence, 2007a). Sehingga dimungkinkan tidak terdapat kebudayaan
dari masyarakat asli Afrika untuk mengkonsumsi bulu babi, tidak seperti di
daerah lain di dunia.
Universitas Indonesia
73
Populasi bulu babi tahun 1992 di Filipina sempat mengalami penurunan yang
tajam akibat adanya pemanfaatan oleh masyarakat sekitar dengan kepadatan
individu mencapai sekitar 0,1 individu/m2. Mulai tahun 1993 kegiatan
pemanfaatan dihentikan dan dilakukan pengelolaan, sehingga pada tahun 1999
populasi bulu babi di Filipina mulai meningkat. Tahun 2006 tercatat kepadatan
bulu babi mencapai 4 individu/m2 (Juinio-Menez, et al.2008). Jika dibandingkan
kepadatan bulu babi di Afrika dan di Filipina setelah ada pengelolaan, kepadatan
bulu babi di Sanur sangat lah rendah. Hal ini membuktikan kepadatan bulu babi di
Sanur telah mengalami penurunan, yang salah satunya disebabkan adanya
pemanfaatan oleh masyarakat.
nelayan
bulu
babi
disebabkan
karena
semakin
sulitnya
mendapatkan bulu babi. Beberapa tahun yang lalu nelayan dapat mendapatkan
hasil hingga 5-6 botol gonad, tetapi saat ini hanya sebatas 2 botol gonad saja.
Untuk mengumpulkan gonad sebanyak satu botol diperlukan 61,33 individu bulu
babi, dan jika rata-rata ibu toro-toro memperoleh hasil setiap melaut adalah dua
botol (Tabel4.5), kemudian rata-rata melaut dalam sebulan sebanyak 7 kali
(Gambar 4.16) dengan setiap kali melaut terdapat lima orang, maka diperkirakan
dalam sebulan bulu babi yang diambil dari alam adalah sebesar 4.293 ekor bulu
babi. Jumlah tersebut jika berlangsung sejak lama dan kemampuan dari bulu babi
untuk beregenerasi tidak sebanding dengan jumlah tersebut akan membuat
populasi bulu babi di alam semakin menurun.
Dampak selanjutnya yang dapat terjadi dari penurunan populasi dan kepadatan
bulu babi adalah penurunan keberhasilan fertilisasi bulu babi. Reproduksi bulu
Universitas Indonesia
74
Dalam Gambar 4.8 dapat terlihat bahwa sebaran diameter bulu babi berkisar dari
2 hingga 7 cm. Diameter bulu babi adalah indikator utama untuk melihat
pertumbuhan dan perkembangan bulu babi. Berdasarkan sebaran diameter, bulu
babi muda (ukuran 2 dan 3 cm) yang ditemukan sangat sedikit. Sedikitnya bulu
babi yang berumur muda dapat diduga bahwa telah terjadi penurunan keberhasilan
fertilisasi, sehingga regenerasi dari bulu babi juga menurun. Kondisi seperti ini
seperti ini jika dalam kependudukan dapat digambarkan dengan piramida yang
berbentuk nisan atau model konstruksif, dimana usia muda lebih sedikit
dibandingkan dengan dewasa. Kondisi seperti ini biasanya terdapat pada daerah
yang sedang dalam tekanan (Tim Penulis LD FEUI, 2010).
5.4.2
Gonad bulu babi mencapai tingkat kematangan pertama kalinya saat berumur satu
tahun. Dalam waktu satu tahun tersebut bulu babi telah melalui proses
gametogenesi yang terjadi dalam lima tahap (Walker, et al., 2007). Tingkat
kematangan gonad bulu babi dapat dilihat melalui warna gonad tersebut yang
berwarna kuning hingga jingga. Selama satu tahun, bulu babi juga dapat tumbuh
lebih besar, yang ditunjukan dengan penambahan ukuran diameternya. Diameter
tersebut dapat tumbuh hingga berukuran 7cm dalam waktu satu tahun.
Gambar 4.20 menunjukan diameter bulu babi yang diambil oleh ibu toro-toro,
yang dapat dilihat bahwa ternyata mayoritas bulu babi yang diambil memiliki
diameter berukuran 5 cm. Untuk mencapai ukuran 5 cm, bulu babi memerlukan
waktu sekitar 5 bulan (Bacolod & Dy, 1986 dalam Lawrence & Agatsuma 2007).
Universitas Indonesia
75
Ternyata bulu babi yang diambil ibu toro-toro dengan ukuran 5 cm sudah
menunjukan kematangan gonad, yang ditandai dengan gonad yang berwarna
kuning hingga jingga (Lampiran 8).
adaptasi
fisiologis,
yang
bertujuan
untuk
mempercepat
proses
gametogenesisnya. Akibat adanya tekanan yang dialami bulu babi, membuat bulu
babi harus mempercepat proses gametogenesisnya agar dapat terus bereproduksi.
Sehingga walaupun umur bulu babi belum mencapai satu tahun, tetapi gonad bulu
babi telah matang dan siap memijah (Becker, Breedlove, & Crews, 1992).
5.5
Pemanfaatan bulu babi di daerah Sanur masih tergolong sederhana dan tanpa
pasar yang luas. Dalam masyarakat Sanur sendiri, pemanfaatan bulu babi sebagai
makanan tambahan bukanlah hal yang aneh, dan dapat dikatakan bulu babi adalah
makanan favorit bagi sejumlah masyarakat Sanur. Namun belum adanya program
intensif tentang pemanfaatan bulu babi di daerah Sanur, membuat cangkupan
pemasaran bulu babi hanya sebatas masyarakat sekitar saja.
Sanur yang memiliki wilayah pantai yang cukup luas, membuat sebagian
penduduknya mengadu nasibnya dengan menjadi nelayan. Walaupun demikian,
ternyata sektor perikanan di Sanur masih kalah jika dibandingkan daerah lain di
Bali seperti Pulau Serangan ataupun Jimbaran. Mengingat Sanur adalah salah
satu pusat pariwisata yang ada di Bali, membuat beberapa tokoh masyarakat lebih
terfokus dengan masalah pariwisata di Sanur. Dengan terfokusnya kepada sektor
pariwisata, membuat pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana pariwisata
tumbuh pesat sehingga membutuhkan banyak pekerja di bidang tersebut.
Terbukanya kesempatan tersebut membuat banyak masyarakat Sanur lebih
mencari peruntungan di sektor pariwisata
Universitas Indonesia
76
Banyaknya pencari bulu babi yang berumur paruh baya adalah salah satu dampak
dari berkembangnya pariwisata. Tercatat pada Kelurahan Sanur saja terdapat
sekitar 50 hotel melati dan berbintang, lebih dari 100 kafe dan restoran, dan
berbagai pendukung sektor pariwisata yang lainnya. Semuanya itu membutuhkan
banyak pekerja muda, sehingga banyak kaum muda mulai beralih ke bidang
pariwisata. Pada beberapa tahun yang lalu, masih banyak kaum muda yang
mencari bulu babi di laut sebagai penghasilan mereka. Namun semakin sulitnya
mencari bulu babi mengakibatkan banyak nelayan bulu babi beralih profesi.
Berdasarkan dari data yang diperoleh mengenai sebaran bulu babi, dan juga
penuturan dari ibu toro-toro, diketahui bahwa telah terjadi penurunan populasi
bulu babi karena pemanfaatan yang dilakukan dalam jangka waktu lama.
Sehingga
diperlukan
suatu
bentuk
pemanfaatan
yang
dapat
menjaga
musim-musim
tertentu,
pembatasan
ukuran
tangkap,
dan
daerah
perlindungan bagi bulu babi juga lamun.Dari semua konsep tersebut dibutuhkan
peran serta berbagai tokoh masyarakat seperti pengurus banjar dinas dan banjar
adat, dan juga masyarakat sendiri
5.5.1
Metode ini adalah metode yang paling banyak digunakan diseluruh dunia. Tujuan
dari pembukaan dan penutupan musim tangkap ini adalah untuk menjaga populasi
dialam. Penutupan dilakukan saat musim kawin meningkat tinggi, dan waktu
pembukaan dilakukan saat bulan-bulan tertentu dimana bulu babi diperkirakan
telah selesai melakukan pemijahan. Dengan demikian dapat memberikan waktu
terhadap bulu babi untuk berkembang biak pada saat musim kawinnya.
Universitas Indonesia
77
populasi bulu babi secara drastis pada tahun 1986, kemudian diberikan
moratorium/penutupan selama dua tahun. Setelah dua tahun, populasi bulu babi
kembali lagi normal, kemudian dalam dalam pelaksanaannya dilakukan
penutupan musiman pada bulan Januari hingga Agustus (Pena, et al., 2010). Di
Filipina juga terjadi hal yang serupa, dengan adanya penutupan musiman populasi
bulu babi dapat terjaga stabil (Juinio-Menez, et al.,2008). Jepang sebagai negara
penghasil dan pengimport bulu babi terbesar juga melakukan penutupan musiman
saat terjadi musim pemijahan yang membuat produksi cenderung bulu babi stabil
setiap tahunnya (Williams, 2002). Selain Karibia, Filipina dan Jepang, banyak
negara seperti Australia, Kanada dan Amerika Serikat menerapkan sistem
penutupan musiman ini (Muse, 1998; Dewees, 2003; Fisheries Victorian Division,
2005)
Pemilihan waktu penutupan harus berdasarkan saat dimana bulu babi sedang
dalam masa puncak melakukan pemijahan. Pada dasarnya bulu babi jenis T.
gratilla pada daerah tropis akan melakukan pemijahan sepanjang waktu karena
suhu yang hangat dan ketersediaan nutrisi yang tinggi. Berdasarkan penelitian
Vaitilingon et al. (2005), bulu babi mengalami puncak pemijahan pada bulan
Agustus dan September. Sehingga sebaiknya pada bulan tersebut tidak dilakukan
kegiatan pemanfaatan bulu babi.
Waktu penangkapan bulu babi yang optimum adalah pada saat proses
gametogenesis sedang dalam tahap pre-gametogenesis. Hal tersebut terjadi
akumulasi dari protein, karbohidrat dan lipid pada membran telur. Protein-protein
ini adalah komponen utama dari telur bulu babi dan dinamakan dengan major yolk
protein (MYP) (Walker, et al., 2007). Dengan adanya MYP ini lah volume dari
gonad bulu babi membesar, sehingga dapat dimanfaatkan. Berdasarkan penelitian
Vatilingon et al. (2005) tahap pre-gametogenesis bulu babi terbesar terjadi pada
bulan November hingga Januari. Berdasarkan hal tersebut maka pemanfaatan bulu
babi yang optimum adalah pada bulan-bulan tersebut. Waktu pembukaan dan
penutupan musim tangkap secara diagramatis dapat dilihat pada Lampiran 9.
Universitas Indonesia
78
Konsep dari pembukaan dan penutupan musim tangkap dapat dilakukan dalam
dua cara. Cara yang pertama adalahmenutup wilayah selama sepanjang tahun dan
hanya membuka pada saat musim tertentu seperti yang dilakukan oleh Jepang
(Williams, 2002) dan Karibia (Pena, et al., 2010). Cara ini dilakukan mengingat
bulu babi melakukan pemijahan sepanjang tahun, sehingga dapat kesempatan bulu
babi untuk bereproduksi sangat besar. Jika dilihat dari sisi nelayan bulu babi,
mereka akan kehilangan pekerjaan selama hampir satu tahun akibat penutupan
tersebut. Kedua adalah dengan menutup hanya pada saat terjadi puncak pemijahan
dan selebihnya dapat dilakukan pemanfaatan seperti yang dilakukan di Kanada
(Muse, 1998), Australia (Fisheries Victorian Division, 2005) dan Amerika Serikat
(Dewees, 2003). Dengan cara ini kesempatan besar bulu babi untuk melakukan
pemijahan adalah sebatas waktu penutupan saja. Tetapi jika dilihat dari sisi
nelayan bulu babi, mereka hanya kehilangan penghasilan pada saat terjadi
penutupan musiman.
5.5.2
Universitas Indonesia
79
menjadi suatu peraturan yang saling mendukung. Tujuan utama dari pembatasan
ukuran tangkap ini adalah untuk memberikan kesempatan pada bulu babi untuk
melakukan reproduksi/pemijahan paling tidak satu kali dalam hidupnya. Sehingga
populasi bulu babi akan tetap terjaga karena bulu babi dewasa pernah melakukan
pemijahan.
Pembatasan ukuran tangkap ini telah dilakukan oleh Jepang yang diiringi dengan
penutupan musiman. Hasilnya adalah perikanan bulu babi di Jepang tetap stabil
dari tahun ke tahun (Gambar 2.6, warna biru tua), walaupun mengalami
penurunan tetapi populasi bulu babi di alam masih tetap terjaga. Sistem ini banyak
digunakan di banyak tempat, salah satu negara yang menggunakan sistem ini
adalah Australia. Terdapat dua jenis bulu babi yang menjadi komuditi di
Australia, Heliocidaris sp. dan Centrostephanus sp.. Dari kedua jenis bulu babi
tersebut, masing-masing memiliki ukuran minimum yang harus dipatuhi untuk
memanennya. Hasilnya adalah sumberdaya bulu babi di alam tetap terjaga dan
pemanfaatan dapat terus berlangsung (Fisheries Victoria Division, 2005). Begitu
pula yang dilakukan pada pemanfaatan bulu babi di Kanada, penentuan ukuran
minimum bulu babi yang dapat dipanen adalah saat satu tahun setelah bulu babi
tersebut melakukan pemijahan pertama kali (Musee, 1998)
Jika melihat siklus gametogenesis bulu babi (T. gratilla), diperlukan waktu
kurang lebih satu tahun untuk menjadi dewasa dan dapat melakukan pemijahan
pertama kali. Dalam satu tahun bulu babi dapat mencapai ukuran 7 cm. Dengan
demikian pembatasan ukuran dapat dilakukan pada ukuran di atas 7 cm, dan yang
kurang dari 7 cm tidak dapat dimanfaatkan.
Permasalahan yang ada di Sanur adalah jumlah bulu babi yang berukuran 7 cm
atau lebih hanya sedikit sekali (Gambar 4.8). Berdasarkan cara yang digunakan di
Filipina (Juinio-Menez, et al., 2008) dan Karibia (Pena, et al., 2010), diperlukan
adanya moratorium/penutupan terlebih dahulu. Moratorium ini ditujukan agar
populasi dan sebaran bulu babi kembali normal, setelah itu baru akan
dilaksanakan pemanfaatan bulu babi dengan pembatasan ukuran tangkap.
Universitas Indonesia
80
Permasalahan yang muncul jika diadakan suatu moratorium adalah nelayan bulu
babi akan kehilangan pekerjaan mereka dalam jangka waktu yang lama. Untuk
menghindari masalah tersebut, konsep pembatasan ukuran dapat dilakukan secara
bertahap. Pembatasan dapat dilakukan mulai dari >5cm dan secara bertahap
dinaikan hingga ukuran diatas 7 cm.
Kelemahan dari pembatasan ukuran adalah tidak adanya kontrol atau pengawas di
lapangan, dan ukuran yang digunakan oleh ibu toro-toro hanyalah berdasarkan
perkiraan saja. Sehingga ada kemungkinan terjadi pengambilan bulu babi yang
lebih kecil dari yang telah ditentukan. Kemudian setelah beberapa lama, populasi
ukuran diameter bulu babi yang telah ditentukan akan berkurang sehingga nelayan
akan cenderung mengambil ukuran diameter yang ada. Pembatasan ukuran
tangkap akan lebih maksimal jika diiringi dengan penutupan musiman, sehingga
regenerasi dan pertumbuhan akan terus berlangsung.
5.5.3
Definisi tentang kawasan perlindungan laut adalah suatu wilayah perairan pasang
surut bersama badan air di bawahnya dan terkait dengan flora fauna dan
penampakan sejarah serta budaya, dilindungi secara hukum atau cara lain yang
efektif, untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya.
Kawasan perlindungan laut cukup substansial dalam peningkatan biomassa,
ukuran, dan komposisi spesies yang lebih alami. Mekanisme peningkatan
biomassa, ukuran, dan komposisi dalam kawasan perlindungan laut
adalah
Universitas Indonesia
81
habitat dari beberapa biota laut. Dengan melindungi lamun diharapkan biota-biota
yang ada di dalam ekosistem tersebut akan tetap terjaga.
Langkah pertama adalah dengan penetapan rencana beberapa lokasi yang dapat
dijadikan daerah perlindungan. Salah satu lokasi yang dapat digunakan menjadi
daerah perlindungan adalah daerah transek 3 dan 4 dari daerah survey. Pemilihan
lokasi tersebut sebagai lokasi daerah perlindungan adalah dengan melihat kondisi
lamun dan juga kondisi bulu babi. Pada transek 3 dan 4, kondisi tutupan lamun
tergolong baik diantara transek lainnya. Dilihat dari kondisi bulu babi, transek 3
dan 4 memiliki jumlah bulu babi yang tinggi dan juga sebaran ukuran yang cukup
Universitas Indonesia
82
beragam. Dengan melihat dari struktur substrat penyusun pada transek tersebut,
pada transek tiga terdapat substrat lumpur hingga karang dengan didominasi oleh
substrat pasir karang, dan pada transek empat lebih banyak pada substrat pasir.
Dari lokasi tersebut kemudian dibuat zona-zona, yang tersiri dari kawasan
lindung, kawasan penyangga, dan kawasan pemanfaatan.
pesisir
termasuk
dalam
sumberdaya
alam
bersama,
maka
pemanfaatannya tidak hanya dilakukan oleh salah satu elemen saja sehingga
zonasi adalah hal yang sangat penting (Indrawan, et al., 2007). Berdasarkan hasil
yang didapat pada penelitian, kegiatan pariwisata terjadi pada daerah 50-100 m
dari garis pantai. Sehingga pembuatan daerah perlindungan akan lebih ke arah
tubir mulai dari 150-300 m dari garis pantai, agar kegiatan pariwisata juga dapat
terus berlangsung. Pembuatan zonasi ini dibagi menjadi dua wilayah, yaitu
wilayah yang tertutup dan wilayah yang dapat dimanfaatkan. Wilayah yang
tertutup digunakan sebagai wilayah perlindungan dengan memperhitungkan
daerah tepi atau buffer zone. Daerah buffer zone adalah daerah yang mengalami
serangkaian perubahan dan merupakan daerah peralihan antara daerah yang
dilindungi dengan daerah yang tidak dilindungi (Kelleher & Kechington, 1991).
Mekanisme dari penutupan wilayah ini perlu dibahas lebih lanjut dengan berbagai
elemen masyarakat dan tokoh masyarakat sehingga dapat mengintegrasikan
kepentingan-kepentingan dari masyarakat yang lain
Universitas Indonesia
83
Konflik selalu akan timbul pada daerah perlindungan, konflik yang sering muncul
adalah masalah penggunaan lahan ataupun konflik kepentingan lainnya. Konflik
penggunaan lahan berkaitan erat dengan zonasi kawasan perlindungan mengingat
pesisir adalah sumberdaya yang pemanfaatannya dilakukan banyak pihak.
Sehingga dalam pembentukan suatu zonasi diharapkan dapat menampung seluruh
keinginan masyarakat. Selain itu perlu dibahas juga mekanisme dari pemecahan
konflik tersebut, sehingga dapat diselesaikan secara adat ataupun kekeluargaan.
Universitas Indonesia
84
Kendala yang ada pada daerah Sanur adalah tokoh masyarakat dan pemerintah
daerah terlihat kurang peduli terhadap masalah perikanan terutama bulu babi.
Anggapan yang timbul dari mereka adalah pemanfaatan bulu babi tidak akan
berlangsung lama, mengingat yang melakukan pemanfaatan adalah ibu torotoro yang telah paruh baya, sehingga begitu mereka tidak ada generasi
selanjutnya tidak akan melakukan pemanfaatan lagi. Di lain sisi, para tokoh
masyarakat dan pemerintah menyutujui usulan mengenai daerah perlindungan
yang dapat menjaga keanekaragaman. Dengan alasan daerah perlindungan akan
dapat menjaga ekosistem pesisir sehingga dapat mendukung pariwisata di Sanur.
Kendala selanjutnya yang timbul adalah mereka tidak mengetahui mekanisme dari
pembentukan dan juga pelaksanaan dari daerah perlindungan tersebut. Sehingga
diperlukan adanya sosialisasi lebih lanjut yang membahas masalah tersebut.
Universitas Indonesia
85
6
6.1
KESIMPULAN
Kesimpulan
pembatasan
ukuran
tangkap.
Pembentukan
daerah
Universitas Indonesia
86
6.2
Saran
1. Diperlukan data yang lebih lengkap mengenai kondisi pantai dan lamun di
Sanur sehingga dapat dibuat peta sebaran dan tutupan lamun yang
mencangkup daerah Sanur secara keseluruhan. Dengan adanya data yang
lebih lengkap dapat diperoleh beberapa opsi wilayah yang dapat dijadikan
daerah perlindungan
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pola dan prefrensi makan
bulu babi yang ada di Sanur. Hal ini berkaitan dengan wilayah yang akan
dijadikan daerah perlindungan, dimana pada daerah perlindungan
diharapkan terdapat spesies lamun yang memang dijadikan makanan oleh
bulu babi tersebut
3. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai siklus hidup bulu babi di
Universitas Indonesia
87
DAFTARPUSTAKA
Anderies, J. M., Janssen, M. E., & Ostrom, E. (2004). A framework to analyze the
robustness of social-ecological system from an institutional perspective.
Ecology and Society, 9 (1).
Andrew, N. L., & MacDiarmid, A. B. (1999). Sea urchin fisheries and potential
ecology interaction with a kina fisheries in Fiorland. New Zealand:
Department of Conservation.
Aziz, A. (1994). Biologi pakan: Daya grazing, efisiensi asimilasi, preferensi, dan
peranan bulu babi di padang lamun. (S. Soemodiharjo, O. H. Arinardi, &
I. Aswandy, Penyunt.) Dinamika Komunitas Biologi Pada Ekosistem
Lamun di Pulau Lombok , 66-76.
Aziz, A. (1999). Tingkah laku bulu babi di padang lamun. Jurnal Oseana, XIX
(4), 35-43.
Bene, C., & Tewfik, A. (2000). Analsis of fishing effort allocation and fishermen
behavioral through a system approach. United Kingdom: University of
Portsmouth.
Bjork, M., Short, F., McLeod, E., & Beer, S. (2008). Managing seagrass for
resilience to climate change. Gland, Switzerland: IUCN.
Darsono, P., & Sukarno. (1993). Beberapa aspek bulu babi, Tripneustes gratilla
(Linnaeus), di Nusa Dua-Bali. Oseanologi di Indonesia, 26, 13-25
Universitas Indonesia
88
Dobo, J. (2009). Tipologi komunitas lamun kaitannya dengan populasi bulu babi
di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku. Bogor: Tesis Institut
Pertanian Bogor.
Dy, D. T., Uy, F. A., Coralles, C. M. (2002). Feeding, respiation, and excretion by
the tropical sea urchin Tripneustes gratilla (Echinodermata: Echinoidea)
from the Philippines. Journal Marine Biology, 82, 299-302
Hardin, G. (1968, 13 Desember). The tragedy of the common. Science, 162, 12431248.
Indrawan, M., Primack, R. B., & Supriatna, J. (2007). Biologi konservasi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Junio-Menez, M. A., Pastor, D., & Bangi, H. G. (2008). Indication of recruitment
enhancement in the sea urchin Tripneustes gratilla due to stock
restoration efforts. . Procceding of the 11th International Coral Reef
Symposium. Florida.
Universitas Indonesia
89
Koike, I., Mukai, H., & Nojima, S. (1987). The role of sea urchin Tripneustes
gratilla (Linnaeus) in decomposting and nutrien cycling in a tropical
seagrass bed. Ecological Research, 2, 19-29.
Lawrence, J. M. (2007a). Edible sea urchin: Use and life-history strategies. (J. M.
Lawrence, Penyunt.) Edible Sea Urchin: Biology and Ecology , 1-9.
Levitan, D. R., Sewell, M. A., & Fu-Shiang Chia. (1992). How distribution and
abudance influence fertilization success in the sea urchin
Strongylocentrotus francicanus. Ecology, 73 (1), 254-284.
Lewis, R., Gaffia, D., Hoefnagels, M., & Parker, B. (1998). Life. New York,
United States of America: McGraw-Hill Company.
Lison de Loma, T., Conand, C., Harmelin-Vivien, M., & Ballesteros, E. (2002).
Food selectiveity of Tripneustes gratilla (Echinodermata: Echinoidea) in
oligotropic and nutrient-enriched coral reef at La Reunion (Indian
Ocean). Bulletin of Marine Science, 70 (3), 927-938.
Universitas Indonesia
90
Pena, M., Oxenford, H. A., Christopher, P., & Johnson, A. (2010). Biology and
fishery management of the white sea urchin, Tripneustes ventricosus, in
the Eastern Caribbean. Rome: Food and Agriculture Organization of the
United Nation.
Radjab, A. W., Khouw, A. S., Mosse, J. W., & Uneputty, P. A. (2010). Pengaruh
pemberian pakan terhadap pertumbuhan dan reproduksi bulu babi
(Tripneustes gratilla) di laboratorium. Oseanografi dan Limnologi di
Indonesia, 36 (2), 243-258.
Stimson, J., Cunha, T., & Philippoff, J. (2007). Food preferences and related
behavior of the browsing sea urchin Tripneustes gratilla (Linnaeus) and
its potential for use as a biological control agent. Marine Biology, 151,
1761-1772.
Universitas Indonesia
91
Tomascik, T., Mah, A. J., Nontji, A., & Moosa, M. K. (1997). The Ecology of the
indonesian seas. Hong Kong: Periplus Edition.
Unsworth, R. K., Taylor, J. D., Powell, A., Bell, J. J., & Smith, D. J. (2007). The
contribution of scarid herbivory in seagrass ecosystem dynamics in the
indo-pacific. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 20, 1-10.
Ward, J. T., Heinemann, D., & Evans, N. (2001). The role of marine reserve as
fisheries management tools: A review of concepts, evidance and
international experience. Canberra: Bureau of Rural Science.
William, H. (2002). Sea urchin fisheries of the world: A review of their status,
management strategies and bioogy of the principal species. Tasmania:
Department of Primary Industry, Water and Environment.
Universitas Indonesia
92
Universitas Indonesia
93
LAMPIRAN
Universitas Indonesia
94
Universitas Indonesia
95
2.
3.
4.
5.
6.
1.
Kegiatan
perikanan/nelayan di
Sanur
2.
3.
4.
5.
Opini
Kondisi pantai sekarang telah banyak berubah,
sejak berkembangnya pariwisata dan aktivitas
orang-orang yang lainnya. Kalau bulu babi juga
banyak berkurang, mungkin akibat dari kegiatan
manusia juga.
Kemungkinan ada penurunan akibat adanya boatboat yang ditaruh di pinggir pantai dan dulu sempat
ada eksploitasi karang. Bulu babi sekarang susah
dicari, kalau dulu mencari di pinggir sudah dapat
banyak.
Sudah sangat berubah, karena sudah ada kegiatan
pengambilan karang.
Cukup berubah, karena ada hotel-hotel dan aktivitas
lainnya. Bulu babi sendiri.
Sudah berubah, sekarang sudah banyak boat-boat
yang merusak pantai. Bulu babi sendiri sekarang
sudah banyak berkurang dan susah dicari.
Kondisi pantai sekarang sudah berubah dari dulu,
kan sekarang sudah banyak pembangunan, ada
kapal-kapal jadi ada kemungkinan tumpahan
minyak. Sekarang bukan musimnya, jika sudah
musimnya banyak.
Di Sanur kegiatan perikanan khususnya nelayan itu
kurang berkembang, mulai beralih ke pariwisata.
Bukan karena hasilnya menurun, tetapi pendapatan
yang dihasilkan lebih banyak di sektor pariwisata.
Tetapi perikanan di Sanur tidak akan hilang karena
Sanur sendiri berhadapan langsung dengan laut
Sebelum ada pariwisata kegiatan nelayan
merupakan salah satu kegiatan utama di Sanur,
tetapi sekarang menurun drastis akibat pariwisata.
Saat ini kegiatan melaut hanya sebagai hobi saja
Sekarang sudah tidak sebanya dahulu. Kalau
sekarang nelayan atau orang yang punya jukong
tidak digunakan untuk mencari ikan di laut, tetapi
disewakan untuk turis
Sudah banyak berkurang dibandingkan dahulu,
kalau sekarang hanya untuk hobi saja. Para nelayan
pun tinggal yang tua-tua saja yang biasanya
menjaring ikan, kalau yang muda-muda sudah
banyak kerja yang lain
Kegiatan nelayan disini bisa dibilang sedikit mati
suri, maksudnya kegiatannya sudah sangat menurun
dari pada dahulu. Memang ada kelompok nelayan
Universitas Indonesia
96
Topik
6.
1.
2.
3.
Bulu babi bagi
masyarakat Sanur
4.
5.
6.
Kemungkinan
hilangnya pemanfaatan
bulu babi karena
populasi di alam
berkurang
1.
2.
3.
4.
5.
Universitas Indonesia
Opini
jukong, tapi sekarang sudah beralih menjadi
kelompok rental jukong
Sekarang orang mancing itu hanya untuk
refreshing, lebih kearah hobi. Tidak seperti dulu
yang memang mencari ikan untuk makan seharihari. Kesuali musim-musim tertentu yang memang
banyak terdapat ikan jenis tertentu
Bulu babi merupakan makanan pendamping yang
favorit, sejak saya kecil bulu babi sudah banyak
dikonsumsi masyarakat. Dahulu ada di pasar, tetapi
sekarang langsung mencari ke pantai ke nelayannya
Bulu babi sangat diminati di Sanur, tetapi untuk
mencarinya susah dan sekarang yang mencari juga
sudah bekerja di pariwisata/hotel sehingga terbentur
waktu. Kalau dulu di pasar banyak dijual, dan ada
yang menjual masih dalam cangkang
Bulu babi itu enak sekali, banyak yang suka di
Sanur dan dapat dijadikan berbagai makanan juga
penambah rasa seperti terasi
Sangat diminati, dapat dimasak dengan ditumis,
dikukus, direbus atau dimakan langsung. Tetapi
sekarang sulit ditemukan, dan jika mencari bulu
babi harus menunggu ibu toro-toro di pantai.
Banyak yang menyukai bulu babi, tetapi tidak
semua masyarakat Sanur menyukainya. Saat ini
susah mendapatkan bulu babi, dahulu bsa dibeli di
pasar
Diminati sekali kalau di Sanur, tetapi adanya
musiman, jadi hanya musim-musim tertentu saja.
Dulu juga banyak dijual.
Jika diambil dalam jumlah seperti sekarang dan
populasinya bagus, kemudian didukung siklus yang
masih bagus dan yang ngambil hanya sekitar 10
orang , saya rasa tidak berpengaruh banyak.
Mungkin saja, karena ada aktivitas manusia seperti
boat yang minyaknya dapat membuat penurunan
kualitas laut yang berakibat ke bulu babi.
Mungkin saja karena sekarang saja sudah susah
mencari bulu babi tidak seperti dulu lagi
Tidak mungkin, karena kan yang mengambil juga
sedikit dan jika sudah sangat sulit ditemukan
pengambilan juga akan berhenti, kemudian dalam
beberapa bulan juga akan banyak lagi
Populasinya akan berkurang tetapi akan ada erus
yang mengambil bulu babi, karena bulu babi
merupakan makanan yang banyak dicari oleh
97
Topik
Opini
6.
1.
2.
kemungkinan diadakan
pengaturan
pemanfaatan seperti
pembatasan ukuran,
penutupan musiman
dan daerah
perlindungan
3.
4.
5.
6.
Keterangan : Penomoran 1,
diwawancarai
masyarakat Sanur
Mungkin juga bulu babi itu akan hilang, karena
sekarang saja sudah susah. Makanya perlu seperti
pembudidayaan.
Kalau pengelolaan seperti itu belum ada kearah
situ, pembatasan ukuran saya rasa sudah dengan
sendirinya sudah ada, ibu-ibu tidak mengambil
yang kecil-kecil. Saat ini sedang diusahakan untuk
pembudiayaan yang mudah terlebih dahulu seperti
rumput laut sebagai pemberdayaan masyarakat.
Masalah mengenai pengaturan seperti itu kami
kembalikan ke pemerintah, kita kanya mengikuti
dan mensosialisasikan saja. Selain itu haris ada
dispensasi ataupun pengganti lainnya kepada para
nelayan jika laut ditutup untuk perlindungan
Perlu sekali, karena saat ini saja untuk mencari ikan
saja sangat sulit. Kami hanya menunggu adanya
semacam undang-undang dari pemerintah dan
dilakukan penunjukan yang jelas tentang
pelaksanaan dan pengawasan.
Sangat sulit, karena akan ditentang oleh masyarakat
dan berbagai pihak seperti pengusaha water sport,
karena nanti akan berimplikasi kepada usaha
mereka.
Bisa saja, tapi kami tidak tahu cara dan metode
pelaksanaannya, jadi perlu dampingan dari
pemerintah. Selain itu apakah daerah perlindungan
itu bisa menghalangi pariwisata atau tidak, itu perlu
dijelaskan lebih lanjut
Kami sangat mendukung apapun kegiatan yang
dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat kami.
Jika pemerintah setuju, kami akan menjalankan.
Tetapi akan ada masalah lahan dengan masyarakat
yang didukung kepala lingkungan
2, 3, 4, 5 dan 6 menandakan responden yang
Universitas Indonesia
98
Universitas Indonesia
99
B. Transek2
Universitas Indonesia
100
C. Transek3
Universitas Indonesia
101
D. Transek4
Universitas Indonesia
102
E. Transek5
Universitas Indonesia
103
df
Mean Square
70.659
70.659
Residual
168.078
17
9.887
Total
238.737
18
Sig.
7.147
.016
Std. Error
Coefficients
t
Beta
ln(Tlamun)
3.801
1.422
(Constant)
-8.219
4.822
.544
Sig.
2.673
.016
-1.705
.106
Model Summary
R Square
.544
Adjusted R
Square
Estimate
.296
.255
3.144
Universitas Indonesia
104
df
Mean Square
69.690
69.690
Residual
169.047
17
9.944
Total
238.737
18
Sig.
7.008
.017
Std. Error
2.884
1.089
-2.425
2.724
Coefficients
t
Beta
.540
Model Summary
R Square
.540
.292
Adjusted R
Square
Estimate
.250
Universitas Indonesia
3.153
Sig.
2.647
.017
-.890
.386
105
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agus
Sept
Okt
Nov
Des
Puncakfasepregametogenesis
Puncakpemijahan
Universitas Indonesia
106
Lampiran 11 Dokumentasi
A. Pantai Sanur
Universitas Indonesia
107
Universitas Indonesia
108
D. PeralatanPenelitian
Kuadran 10x2,5 m
G.
Kuadran 0,5x0,5 m
Universitas Indonesia
109
Universitas Indonesia