FRAKTUR Revisi 1
FRAKTUR Revisi 1
ASUHAN KEPERAWATAN
FRAKTUR TERTUTUP DAN FRAKTUR TERBUKA
disusun oleh :
Elizabeth Simamarta
1315111230
131511123071
131511123079
1315111230
1315111230
131511123087
Bellani Octadiary
131511123089
tulang pada umur 75 tahun keatas (10%), cidera mata pada umur 35-64 tahun
sekitar (0,8%). (Riskesdas, 2013)
Berdasarkan masalah di atas, peran perawat dalam menangani pasien
dengan kasus fraktur femur adalah mencegah cedera tulang/jaringan lebih lanjut,
menghilangkan nyeri, mencegah komplikasi, memberikan informasi tentang
kondisi atau prognosis dan kebutuhan pengobatan.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur
tertutup dan fraktur terbuka?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Menjelaskan konsep asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur
tertutup dan fraktur terbuka
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi konsep dasar fraktur
2. Mengidentifikasi konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur
yang meliputi anamnesa, diagnosa keperawatan, dan intervensi keperawatan
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Menambah wawasan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang
keperawatan medikal bedah khususnya fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
1.4.2 Manfaat Praktis
Bagi profesi keperawatan untuk lebih optimal dalam melaksanakan
asuhan keperawatan kepada klien dengan fraktur terbuka maupun fraktur tertutup.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang baik karena trauma,
tekanan maupun kelainan patologis atau tenaga fisik. (Price, 2005). Sedangkan
menurut Smeltzer (2005) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang
ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang
lebih besar dari yang diabsorpsinya. Cross & Swiotkowski (2008) mendefinisikan
fraktur sebagai terputusnya integritas tulang dan tulang rawan yang hidup, yang
meliputi kerusakan sumsum tulang, periosteum dan jaringan lunak disekitarnya,
yang umumnya disebabkan trauma langsung maupun tidak langsung.
Dari berbagai definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa fraktur
adalah terputusnya integritas tulang (tulang rawan, sumsum tulang, periosteum
dan jaringan lunak disekitarnya) yang secara umum disebabkan oleh trauma baik
langsung (trauma atau tenaga fisik) maupun tidak langsung (kelainan patologis).
2.2 Etiologi
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
mendadak dan kontraksi otot yang ekstrim. Patah tulang mempengaruhi jaringan
sekitarnya mengakibatkan oedema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi,
dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf dan pembuluh darah. Organ tubuh
dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau gerakan
fragmen tulang (Smeltzer, 2005).
2.3 Klasifikasi Klinis
Penampilan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang
praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Berdasarkan sifat fraktur (Smeltzer, 2005)
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena tidak
menyebabkan robekan pada kulit)
2.
b. Incomplete fractures
Pada fraktur ini, tulang tidak terbagi seutuhnya dan terdapat kontinuitas
periosteum. Pada fraktur buckle, bagian yang mengalami fraktur hampir
tidak terlihat (gambar 1d). Pada fraktur greenstick (gambar 1e dan 1f),
tulang melengkung atau bengkok seperti ranting yang retak. Hal ini dapat
terlihat pada anakanak, yang tulangnya lebih elastis daripada orang
dewasa. Pada fraktur kompresi terlihat tulang spongiosa
tertekan kedalam (Solomon et al., 2010).
3. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur (Ignatavicius, 1995)
a. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang.
b. Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
1) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
2) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
3) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
4. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma (Oswari, 1993)
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
5. Berdasarkan jumlah garis patah (Black J. M., 1995)
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
6
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
6. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang (Apley, 1993)
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a. Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
b. Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c. Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
c. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
d. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.
mobilitas fisik terganggu, disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan
lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar
(Price, 2006).
Aktivitas yang melibatkan tulang yang
berulang-ulang
rapuh
Ketidakmampuan tulang menahan stres
Terputusnya kontinuitas
tulang
Pergeseran
Cedera jaringan lunak
tulang
Deformitas
Kerusakan pembuluh
MK
:
Pengeluaran
darah
Ekstremitas
darah
Penggumpalan
gangguan
berlebihan
pada
tidak MK
:
MK darah/hematom
:
mobilitas
fraktur
terbuka
berfungsi
Perdarahan
MK
: Resiko
Konstipasi
gangguan
immobilisa
pada fraktur
Jatuh
integritas tertutup
si
Eksudasi plasma
Proliferasi
menjadi oedema
lokal
Volume darah
menurun
PK : Syok
Cardiac Output
Hipovolemik
menurun
Hb menurun
MK : Nyeri
Akut
Respon
Nyeri
Nosiseptor (reseptor
nyeri) berespon
10
Perfusi
jaringan
menurun
MK :
gangguan
perfusi
Korteks
sensorik
somatic
otak
Korda spinalis
tergantung frakturnya.
Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh
kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi
sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur
dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan
periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih
padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu
yang normal.
Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh
proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang
lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding
yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya
dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya. (Black, J.M, et al, 1993
dan Apley, A.Graham,1993)
Gambar 2.2 Stadium penyembuhan tulang
Lokalisasi
Falang/Metacarpal/Metatarsal/Kosta
Distal Radius
Diafisis ulna dan radius
Humerus
Klavikula
Panggul
Femur
Kondilus femur/tibis
Tibia/Fibula
Vertebra
Waktu Penyembuhan
3-6 minggu
6 minggu
12 minggu
10-12 minggu
6 minggu
10-12 minggu
12-16 minggu
8-10 minggu
12-16 minggu
12 minggu
(Nurarif & Kusuma, 2015)
2.12.2 Etiologi
Etiologi fraktur terbuka adalah trauma
langsung, benturan langsung pada tulang dan
mengakibatkan fraktur pada tempat itu, dan trauma tidak langsung
bilamana titik tumpul berbenturan dengan terjadinya fraktur berjauhan
(Cross & Swiontkowski 2008).
Sedangkan hubungan dengan dunia luar dapat terjadi karena
rudapaksa merusak kulit, jaringan lunak dan tulang, atau fragmen tulang
merusak jaringan lunak dan menembus kulit (Buteera, & Byiamana 2009,
Cross & Swiontkowski 2008, Peitzman 2008, nayagam 2010).
2.12.3 Klasifikasi
Klasifikasi yang sampai saat ini masih dianut adalah menurut
Gustilo, Merkow dan Templeman (1990)
1. Tipe I
Luka kecil kurang dari 1 cm panjangnya, biasanya karena tusukan dari
fragmen tulang yang menembus kulit. Terdapat sedikit kerusakan jaringan
dan tidak terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur
yang terjadi biasanya bersifat simple, transversal, oblik pendek atau sedikit
komunitif.
2. Tipe II
Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak ada kerusakan jaringan yang hebat
atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dari jaringan dengan sedikit
kontaminasi fraktur.
3. Tipe III
Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak termasuk otot, kulit dan
struktur neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Tipe ini biasanya
disebabkan oleh karena trauma dengan kecepatan tinggi.
Tipe III dibagi dalam 3 subtipe :
a. Tipe III A
Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah walaupun terdapat
laserasi yang hebat ataupun adanya flap. Fraktur bersifat segmental atau
komunitif yang hebat.
b. Tipe III B
Fraktur disertai dengan trauma yang hebat dengan kerusakan dan
kehilangan jaringan, terdapat pendorongan periosteum, tulang terbuka, dan
memerlukan tindakan tambahan untuk melakukan penutupan seperti flap,
kontaminasi yang hebat serta fraktur komunitif yang hebat.
c. Tipe III C
Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri yang memerlukan
perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan jaringan lunak.
beberapa
mekanisme;
tarikan
gravitasi,
immobilisasi
ekstremitas
yang
mungkin
terkontaminasi
dengan
luka.
Tekniknya
11
12
3. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
4. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.
2.13.7 Penatalaksanaan Fraktur Tertutup
Segera setelah cidera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak
menyadari adanya fraktur, dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah.
Maka dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh
segera sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cidera harus
dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas
harus disangga di atas dan di bawah tempat patah untuk mencegah gerakan
rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan
nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan lebih lanjut. Nyeri sehubungan
dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan
fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur.
1) Balutan pada estremitas
Prinsip dasar penggunaan balutan adalah suatu tindakan membatasi gerakan
tungkai menggunakan bahan yang terbuat dari kain. Balutan akan
memberikan efek immobilisasi parsial pada tungkai. Balutan juga berfungi
sebagai alat untuk mengurangi atau menegah pembengkakan pada tungkai
cedera, menghentikan perdarahan, dan untuk memegang alat untuk
mengimmobilisai tungai seperti bidai.
Pada aplikasinya terdapat beberapa macam balutan, antara lain:
a. kassa gulung (gauze roller bandage)
b. verban elastic (stretchable toller bandage)
c. verban segtiga (triangulat bandage)
d. tie shape bandage
Terdapat lima tujuan pembalutan pada cedera musculoskeletal:
a. Untuk mengkompres atau menyokong bagian tubuh yang cedera.
b. Untuk mengurangi dan mencegah terjadinya edema pada tungkai
cedera
c. Untuk melindungi luka dari kontaminasi
13
namun
membiarkan
ujung
jari
tetap
terbuka
untuk
14
dan
bergesekan.
Tindakan
pembidaian
akan
mencegah
15
16
terganggunaya aliran darah di tungkai. Jenis bidai seperti ini juga tidak
dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama.
Penggunaan bidai sebagai immobilisasi ekstremitas yang mengalami
cedera akan efektif jika dipenuhi kaidah kaidah pemasangan bidai yang baik.
Penggunaan bidai yang tidak baik tidak hanya menyebabkan tujuan
immobilisasi tidak tercapai, bahkan bisa menimbulkan komplikasi yang
merugikan. Prinsip prinsip yang perlu diterapkan pada pembidaian:
a. Melakukan proteksi diri untuk mencegah terjadinya penularan
penyakit tertentu.
b. Jika telah terpasang alat stabilisasi lain, jangan dilepaskan sebelum kita
benar-benar melakukan pembidaian yang sempurna.
c. Jika patah tulang terbuka jika memungkinkan lalukan pencucian luka
sebelum dilakukan pembidaian.
d. Jika terdapat fraktur terbuka dengan tulang yang keluar dari luka
jangan lakukan penekanan untuk memasukan tulang. Cukup lakukan
pencucian dan tutup dengan kassa lembab.
e. Jika terdapat luka dengan pendarahan aktif lakukan balut tekan untuk
menghentikan perdarahan.
f. Jika terdapat dislokasi sendi jangan lakukan reposisi. Lakukan
pemasangan bidai pada posisi ditemukan.
g. Lepaskan semua pakaian yang menutupi ekstremitas yang akan
dibidai.
h. Lepaskan semua perhiasan atau jam tangan pasien sebelum dibidai.
i. Lakukan pemasangan bantalan (padding) pada tulang yang menonjol
untuk mencegah terjadinya ulcus decubitus karena penekanan bidai.
17
seminimal
mungkin.
Latihan
segera
dimulai
untuk
19
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
Pengkajian
Pengumpulan data subjektif dan objektif pada klien dengan gangguan
Anamnesis
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
a
Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
20
Pengkajian psiko-sosial-spiritual
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat.
Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing)
Pernapasan meningkat, dispneu, pergerakan dada simetris, suara nafas
normal tidak ada suara nafas tambahan seperti stridor dan ronchi.
B2 (Blood)
21
Hipertensi
(kadang
respons
terhadap
Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
a
Fistulae.
Warna
kemerahan
atau
kebiruan
(livide)
atau
hyperpigmentasi.
e
22
Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Pemeriksaan diagnostik
23
proyeksi
tambahan
(khusus)
ada
indikasi
untuk
24
tingkat. Karena itu bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur perlu
juga diambil foto sinar-X pada pelvis dan tulang belakang.
e. Dua Waktu
Pemeriksaan dilakukan segera setelah cedera dan setelah
penanganan (pre op dan post op)
2
2.10
Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b/d agen injuri fisik (trauma)
2. Gangguan perfusi jaringan perifer b/d perubahan kerusakan integritas
tulang
3. Gangguan integritas kulit b/d faktor mekanik sekunder akibat trauma
25
26
Diagnosa
NOC
NIC
Pain management
a. Gunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui
ekspresi nyeri dan penyampaian respon nyeri pasien
b. Kaji pengetahuan dan kepercayaan pasien tentang nyeri
c. Kaji pengetahuan pasien tentang faktor yang dapat
meringankan atau memperberat nyeri
d. Berikan informasi tentang nyeri yang dialami meliputi
penyebab, kapan akan berakhir, dan prosedur antisipasi
ketidaknyamanan
e. Kontrol lingkungan dari faktor yang dapat meningkatkan
ketidaknyamanan
f. Ajarkan prinsip dalam pain management
g. Ajarkan pasien untuk memonitor nyeri yang dialami
h. Ajarkan teknik non farmakologi (hypnosis, relaksasi,
distraksi, terapi music)
i. Ajarkan metode farmakologi pereda nyeri
Gangguan perfusi
Tissue perfusion : peripheral (1-5)
Circulatory care : venous insufficiency
jaringan perifer b/d
a. CRT tangan
a. Lakukan pemeriksaan komprehensif pada sirkulasi
perubahan
b. CRT kaki
perifer (cek nadi perifer, edema, CRT, warna dan
kerusakan integritas
c. Temperatur kulit ekstremitas
temperatur)
tulang
d. Kekuatan
nadi
karotis b. Lakukan
perawatan
luka
(debridement,terapi
karakteristik kulit
kanan/kiri
antimikrobial) bila diperlukan
(warna, elastisitas,
e. Kekuatan
nadi
brakialis c. Berikan dressing yang tepat sesuai ukuran dan tipe luka
kelembaban,
kanan/kiri
d. Monitor derajat ketidaknyamanan atau nyeri
sensasi,
f. Kekuatan
nadi
radialis e. Berikan terapi modalitas kompresi (short-strech atau
temperatur),
kanan/kiri
long-strech bandages) bila diperlukan
penurunan tekanan
g. Kekuatan nadi femoralis f. Elevasikan ekstremitas yang sakit 200 lebih tinggi dari
darah pada
kanan/kiri
posisi jantung
ekstremitas,
h. Tekanan darah sistolik
g. Kolaborasikan pemberian antiplatelet atau antikoagulan
penurunan nadi
i. Tekanan darah diastolik
bila diperlukan
perifer, warna kulit
j. Bruit ekstremitas
h. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk menurunkan
pucat disertai
k. Edema perifer
viskositas darah
elevasi anggota
l. Nyeri hebat terlokalisir
i. Monitor status cairan, termasuk intake dan output
tubuh, edema,
m. Kebas
CRT>3 detik,
n. Nekrosis
ABI<0.90
o. Pucat
p. Kelemahan otot
q. Rubor
r. Parestesi
s. Kram otot
Gangguan
Activity tolerance (1-5)
Exercise therapy : ambulation
mobilitas fisik b/d
a. Saturasi oksigen dengan a. Berikan pasien pakaian yang longgar
gangguan integritas
aktivitas
b. Bantu pasien dalam berjalan untuk mencegah cedera
muskulosketetal
b. Nadi dengan aktivitas
c. Kondisikan bed untuk mudah ditinggikan atau dinaikkan,
Karakteristik
:
c. RR dengan aktivitas
sesuai kebutuhan pasien
penurunan
gerak
d. Mudah
dalam
bernapas d. Instruksikan kepada pasien bagaimana tahap untuk
otot,
penurunan
dengan aktivitas
berganti posisi sebelum berpindah tempat
rentang
gerak,
e. Warna kulit
e. Sediakan alat bantu seperti kursi roda untuk ambulasi
tremor
f. Mudah dalam melakukan f. Konsultasikan dengan fisioterapis mengenai rencana
ADL
ambulasi, jika dibutuhkan
g. Mampu berbicara dengan
aktivitas fisik
Infection protection
a. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal maupun
sistemik
b. Periksa riwayat bepergian nasional/internasional
pasien
c. Monitorhitung granulosit absolut dan WBC
d. Batasi pengunjung
e. Inspeksi area kemerahan, dan adanya drainase
f. Berikan perawatan luka dengan teknik steril
g. Anjurkan pasein utnuk tirah baring
h. Monitor perubahan energi atau kelelahan
i. Kolaborasikan pemberian antimikrobial
j. Ajarkan pasien dan keluarga untuk mengenali tanda
dan gejala infeksi dan menganjurkan untuk segera
melapor ke petugas kesehatan jika ditemukan
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
Keseimbangan elektrolit
Hidrasi
Kadar gula darah
Integritas kulit
Penyembuhan luka
Kognisi
Konsentrasi
Tidur
Kemampuan latihan yang
dianjurkan
s. Kemampuan
memahami
perawatan luka
7
PK
:
Syok Shock Severity : Hipovolemic (1-5)
Shock Prevention
Hipovolemik
a. Penurunan tekanan nadi
a.Monitor respon awal kompensasi syok (misal : TD
b. Penurunan MAP
normal, nadi lemah, hipotensi ortostatik [15-25 mmHg],
c. Penurunan TD sistole dan
keterlambatan CRT, pucat, dingin, basah, takipnea, mual,
diastole
muntah, peningkatan haus, atau kelemahan)
d. Keterlambatan CRT
b. Monitor tanda awal respon inflamasi sistemik (misal :
e. Peningkatan nadi
peningkatan temperatur, takikardi, takipnea, hipokarbia,
f. Aritmia
leukositosis, atau leukopenia)
g. Nyeri dada
c.Monitor tanda awal reaksi alergi (rhinitis, wheezing,
h. Peningkatan RR
stridor, dispneu, gatal, nyeri perut, diare, kelemahan,
i. Crackles
bentol-bentol
j. Penurunan oksigen arteri
d. Monitor area-area yang memungkinkan pasien
k. Pucat, dingin, basah
kehilangan cairan (WSD, NGT, drain, hematemesis,
l. Diaforesis
muntah, atau hematoschezia)
m. Konfusi
e.Monitor status sirkulasi (TD, warna kulit, temperatur
n. Letargi
o. Pemanjangan
waktu
koagulasi
p. Asidosis metabolik
q. Hiperkalemi
r. Haus
s. Pernapasan dangkal
t. BU hipoaktif
u. Penurunan urin output
v. Penurunan kesadaran
w. Reflek pupil lemah
8.
Gangguan
integritas kulit b/d
faktor
mekanik
sekunder
akibat
trauma
Karakteristik
:
kerusakan jaringan
kulit akibat benda
asing
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar: RISKESDAS. Jakarta:
Baliltbang Kemenkes RI
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensens. 1995. Medikal Nursing : A Nursing
Process Approach, 4 th Edition. W.B. Saunder Company
Depkes RI. 2011. Capaian Pembangunan Kesehatan Tahun 2011. Jakarta : Depkes
RI
Ignatavicius, Donna D. 1995. Medical Surgical Nursing : A Nursing Process
Approach. W.B. Saunder Company,
Kementrian Kesehatan RI, 2010. Rencana Strategis Kementrian KEsehatan Tahun
2010-2014. Jakarta: Kemenkes RI
Mansjoer, Arif. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III. Jakarta: Media
Aesculapius
Nurarif, Amin Huda, Kusuma, Hardi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta:
MediAction
Oswari, E, 1993. Bedah dan Perawatannya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama
Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, Edisi 6, Volume 1 dan 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Volume 3. Jakarta : EGC
Solomon, L, Nayagam, S (2010). Apley's System of Orthopedics and Fracture. 8th
Edition. London : Hodder&Arnold