Anda di halaman 1dari 23

FRACTUR TROCHANTER MAYOR DEXTRA

Laporan Kasus
Nama

: Tn. A.Z

Usia

: 62 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Status Perkawinan

: Menikah

Pekerjaan

: Pensiunan

Alamat

: kampung rawa selatan

MRS

: 17 Februari 2011

ANAMNESA : Autoanamnesa pada hari Sabtu 19 Februari 2011


Keluhan Utama : Nyeri pada paha kanan sejak 2 hari yang lalu
Keluhan Tambahan : paha kanan bengkak dan nyeri bila digerakkan
RPS

Pasien datang ke instalasi gawat darurat RSIJ dengan keluhan nyeri dan udem pada paha

kiri pada pukul 09.00, keluhan ini timbul setelah pasien terpeleset dengan sendi pinggul
melakukan gerakan kearah rotasi dalam. Sehingga menyebabkan pasien merasa nyeri, bengkak
pada paha kanan dan tidak bisa berdiri. Daerah paha yang nyeri diberikan balsem sebelum
dibawa ke rumah sakit. Pasien tidak ada riwayat post stroke
RPD

Pasien belum pernah mengalami penyakit serupa, Riwayat patah tulang karena

osteoporosis disangkal
Riwayat Penyakit Sosial dan Pribadi

Pasien merupakan pensiunan yang aktif berolah

raga setiap pagi. Pasien jarang melakukan pekerjaan fisik yang berat.

RPK Keluarga pasien ( kakek, nenek, orang tua, saudara kandung, anak) belum pernah
mengalami penyakit serupa.

Resume anamnesis
Pasien post jatuh 2 hari yang lalu dengan sendi pinggul bergerak kearah dalam, sehingga
mengakibatkan rasa nyeri, pembengkakan, dan tidak dapat bergerak pada regio Coxae Dextra.
Anamnesis sistem
-

Sistem Cerebrospinal : Pasien dalam keadaan sadar, tidak mengeluh sakit kepala dan

demam
-

Sistem kardiovaskular : Paien tidak mengeluh nyeri pada dada dan tidak berdebar-debar

Istem respiratorius

Sistem Gastrointestinal : Pasien tidak mual, muntah, dapat flatus dan BAB seperti biasa,

: Pasien tidak batuk dan tidak sesak nafas

tidak mengeluh nyeri perut dan kembung


-

Sistem Urogenetal

: BAB dan BAK normal tidak ada keluhan

Sistem Intergumentum : Tidak ada keluhan pada kulit gatal-gatal tidak ada rasa panas

tidak ada rasa perih tidak ada


-

Sistem muskuloskletal

: Nyeri sangat pada paha kanan, gerakan sangat terbatas

II. Pemeriksaan Fisik


KU

: Baik, Kesadaran Compos mentis, sadar penuh dapat berkomunikasi Aktif, GCS 15,

Sikap : Posisi berbaring pasif tidak dapat mobilisasi sendiri


Vital Sign

R = 24

TD = 140/80

T = 38

N = 80
Status Generalis:
Kulit

: Tidak pucat, tidak kering, tidak hipo maupun hiperpikmentasi

Kepala

: Bentuk kepala Mesocepal, simetris, deformitas (-) , Rambu warna berubah,

pendek, tidak mudah rontok.


Mata Visus mata tidak terganggu, Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ihterik, pupil isokor,
refleks cahaya positif
Telinga deformitas negatif, otore negatif, serumen minimal, gangguan pendengaran negatif,
otalgia negatif
Hidung : Nafas cuping hidung negatif, Deformitas negatif , rinore negatif , darah nagatif
Mulut : Bibir tidak sianosis maupun kering, stomatitis negatif, lidah kotor negatif, acrie gigi
positif, uvula dan tonsil tidak membesar varing tidak hiperemis.
Leher
normal

: Teraba masa kenyal, permukaan halus, nyeri tekan, bergerak saat menelan, suara

Torax
Inspeksi: Simetris, bentuk normal, sikatrik negatif, benjolan negatif, mamae simetris tidak
membesar, sifat pernafasan kombinasi, irama nafas normal dengan frekwensi normal, ictus
cordis tidak tampak.
Palpasi : Focal fremitus seimbang antara paru kanan dan kiri, pembesaran limfonodi axial
negatif, nyeri tekan negatif, IC dan masa tidak teraba
Perkusi : Seluruh lobus paru sonor, batas redup hepar antara SIC 5 dan SIC 6 midclavicula.
Batas redup jantung diatas SIC II parasternal kiri, batas kanan diatas SIC IV parasternal kanan,
Batas kiri SIC IV midclavicula kiri
Auskultasi : Suara dasar paru Vesikular, tak ada suara tambahan ( Whezing, Ronki) Bunyi
jantung I dan II regular, tak ada bising jantung
Abdomen
Inspeksi

: Permukaan rata tidak distensi darm contur darm stifung negatif, tak tampak

masa atau benjolan sikatrik, bekas luka maupun caput medusa


Auskultasi

: Peristalik positif, bising usus positif, Hiper atau hipo peristaltik negatif

Palpasi

: Perut supel, defans muscular negatif, nyeri tekan negatif, nyeri tekan pada Mc

burney negatif, revsing sign negatif, nyeri rebountendernes negatif, hepar dan lien tidak teraba,
tidak ada pembesaran lln, nyeri tekan daerah supra pubic negatif, tidak teraba massa
Perkusi

: Seluruh lapang perut timpani, Pada daerah para sternal kanan redup hepar sedikit

dibawah arcus costa, nyeri ketok ginjal dan ureter nrgatif

Status Lokalis pada regio Coxae dextra


Inspeksi

: Udema, tidak tampak deformitas pada regio coxae

Palpasi

: Nyeri tekan pada regio penonjolan Trochanter femur dextra, terdapat pulsasi,

sensasi baik, NVD baik, akral hangat


Tes Pergerakan

- Rotasi dalam : Nyeri dan gerakan sangat


terbatas

- Abduksi

: Nyeri dan gerakan sangat

terbatas

- Rotasi luar

: Nyeri dan gerakan sangat

terbatas
- Adduksi

: Nyeri dan gerakan sangat

terbatas

- Aktif

: Nyeri dan gerakan sangat

terbatas
- Fleksi

: Nyeri dan gerakan sangat

terbatas

- Pasif

: Nyeri dan gerakan sangat

terbatas
- Ekstensi

: Nyeri dan gerakan sangat

terbatas
Perkusi

: Terdapat nyeri ketok sumbu pada femur dengan daerah ketok patela

Assesment Suspect Fractur Trochanter Dextra


Pemeriksaan penunjang Diagnostik Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah Foto
rongent Regio pelvik femur, dan sudah dilakukan sejak di ruang IGD
Hasil pemeriksaan Hasil pemeriksaan rongent menunjukkan gambaran struktur tulang yang
porotik, dan tampak fractur trochanter regio femur coxae dextra dengan posisi tulang baik.
Diagnostik Fractur Trochanter Dextra
DD: fractur pelvis, fractur columna femur, osteoatritis

Tata laksana dan terapi Penatalaksanaan awal adalah dilakukan reposisi pada dearah fractur
kemudian dilakukan pemasangan traksi Buck dengan tujuan mereposisi daerah yang mengalami
protusio hingga posisi tulang benar-benar sehingga tulang dapat tersambung secara sempurna.
Kemudian dilakukan pengobatan konservatif dengan menggunakan asam mafenamat antasida
dan amoxicilin

FRAKTUR
BAB I
PENDAHULUAN
Tulang mempunyai banyak fungsi yaitu sebagai penunjang jaringan tubuh, pelindung
organ tubuh, memungkinkan gerakan dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan garam mineral,
namun fungsi tersebut biasa saja hilang dengan terjatuh, benturan atau kecelakaan.
Pengertian dari fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000). Sedangkan fraktur colum femur adalah
fraktur yang terjadi pada colum femur.
Kecelakaan merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan biasanya terjadi mendadak
dan bisa mengenai semua umur. Fraktur collum femur merupakan jenis fraktur yang sering
ditemukan.. tetapi dalam penanganannya masih banyak masyarakat yang berobat ke alternatif,
akan tetapi kenyataannya tidak semua orang berhasil dengan pengobatn alternatif tersebut
sehingga mengakibatkan keadaan yang yang lebih buruk atau terjadinya komplikasi seperti mual
unioun, non union ataupun delayed union, pada akhirnya keadaan tersebut mendorong orang
untuk berobat ke RS.
Data yang diperoleh dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
bahwa angka kejadian fraktur khususnya fraktur femur pada tahun 2007 dari bulan januari
sampai bulan Oktober mencapai orang.Tampak adanya peningkatan angka kejadian fraktur
femur, maka profesi sebagai seorang perawat dituntut untuk dapat melakukan asuhan
keperawatan dengan cara promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif sehingga masalah dapat
teratasi dan klien dapat terhindar dari komplikasi yang lebih buruk.
Macam-Macam Fraktur Femur Dan Manajemennya
1. Fraktur leher femur
Fraktur leher femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering pada
wanita yang disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat kombinasi proses penuaan dan

osteoporosis pasca menopause. Fraktur dapat berupa fraktur subkapital, transervikal, dan
basal, yang kesemuanya terletak di dalam simpai sendi panggul atau interkapsuler, fraktur
intertrokanter dan subtrokanter terletak ekstrakapsuler. Fraktur intrakapsuler umumnya sulit
untuk mengalami pertautan dan cenderung terjadi nekrosis avaskuler kaput femur.
Pendarahan kolum yang terletak intraartikular dan pendarahan kaput femur berasal dari
proksimal a. sirkumfleksa femoris lateralis melalui simpai sendi. Sumber perdarahan ini
putus pada fraktur intraartikular. Pendarahan oleh arteri di dalam ligamentum teres sangat
terbatas dan sering tidak berarti. Pada luksasi arteri ini robek. Epifisis dan daerah trokanter
cukup kaya vaskularisasinya, karena mendapat darah dari simpai sendi, periosteum, dan a.
nutrisia diafisis femur.
Fraktur kolum femur yang terletak intraartikular sangat sukar sembuh karena bagian
proksimal perdarahannya sangat terbatas sehingga memerlukan fiksasi kokoh untuk waktu
yang cukup lama.
Semua fraktur di daerah ini umumnya tidak stabil sehingga tidak ada cara reposisi
tertutup terhadap fraktur ini kecuali jenis fraktur yang impaksi, baik yang subservikal
maupun yang basal.
Sering dapat dilihat pemendekan bila dibandingkan tungkai kiri dengan kanan. Jarak
antara trokanter mayor dan spina iliaka anterior superior lebih pendek karena trokanter
terletak lebih tinggi akibat pergeseran tungkai ke kranial. Penderita umumnya datang dengan
keluhan tidak bisa jalan setelah jatuh dan terasa nyeri. Umumnya penderita tidur dengan
tungkai bawah dalam keadaan sedikit fleksi dan eksorotasi serta memendek. Gambaran
radiologis menunjukkan fraktur leher femur dengan dislokasi pergeseran ke kranial atau
impaksi ke dalam kaput.
Kegalian fraktur ini disebabkan kontraksi dan tonus otot besar dan kuat antara
tungkai dan tubuh yang menjembatani fraktur, yaitu m. iliopsoas, kelompok otot gluteus,
quadriceps femur, flexor femur, dan adductor femur. Inilah yang menggangu keseimbangan
pada garis fraktur. Adanya osteoporosis tulang mengakibatkan tidak tercapainya fiksasi
kokoh oleh pin pada fiksasi interna. Ditambah lagi, periosteum fragmen intrakapsuler leher
femur tipis sehingga kemampuannya terbatas dalam penyembuhan tulang. Oleh karena itu,

pertautan fragmen fraktur hanya bergantung pada pembentukan kalus endosteal. Yang
penting sekali ialah aliran darah ke kolum dan kaput femur yang robek pada saat terjadinya
fraktur.
Penanganan fraktur leher femur yang bergeser dan tidak stabil adalah reposisi
tertutup dan fiksasi interna secepatnya dengan pin yang dimasukkan dari lateral melalui
kolum femur. Bila tak dapat dilakukan operasi ini, cara konservatif terbaik adalah langsung
mobilisasi dengan pemberian anestesi dalam sendi dan bantuan tongkat. Mobilisasi
dilakukan agar terbentuk pseudoartrosis yang tidak nyeri sehingga penderita diharapkan bisa
berjalan dengan sedikit rasa sakit yang dapat ditahan, serta sedikit pemendekan.
Terapi operatif dianjurkan pada orang tua berupa penggantian kaput femur dengan
prosthesis atau eksisi kaput femur dengan prosthesis atau eksisi kaput femur diikuti dengan
mobilisasi dini pasca bedah.
a. Terapi Konservatif
Dilakukan apabila fraktur memiliki kemungkinan sebagai berikut :
Gangguan peredaran darah pada fragmen proksimal
Kesulitan mengamati fragmen proksimal
Kurangnya penanganan hematom fraktur karena adanya cairan synovial.
Penanganan konservatif dapat dilakukan dengan skin traction, dengan buck extension.
b. Terapi Operatif
Pada umumnya terapi yang dilakukan adalah terapi operasi, fraktur yang bergeser
tidak akan menyatu tanpa fiksasi internal, dan bagaimanapun juga manula harus bangun
dan aktif tanpa ditunda lagi kalau ingin mencegah komplikasi paru dan ulkus dekubitus.
Fraktur terimpaksi dapat dibiarkan menyatu, tetapi selalu ada resiko terjadinya
pergeseran pada fraktur-fraktur itu, sekalipun ditempat tidur, jadi fiksasi internal lebih
aman. Dua prinsip yang harus diikuti dalam melakukan terapi operasi reduksi anatomi
yang sempurna dan fiksasi internal yang kaku.

Merode awal yang menstabilkan fraktur adalah fiksasi internal dengan Smith
Petersen Tripin Nail. Fraktur dimanipulasi dengan meja khusus orthopedi. Kemudian
fraktur difiksasi internal dengan S.P. Nail dibawah pengawasan Radiologi. Metode
terbaru fiksasi internal adalah dengan menggunakan multiple compression screws.
Pada penderita dengan usia lanjut (60 tahun ke atas) fraktur ditangani dengan
acara memindahkan caput femur dan menempatkannya dengan metal prosthesis, seperti
prosthesis Austin Moore.
Penderita segera di bawa ke rumah sakit. Tungkai yang sakit dilakukan
pemasangan skin traction dengan buck extension. Dalam waktu 24-48 jam dilakukan
tindakan reposisi, yang di lanjutkan dengan reposisi tertutup dengan salah satu cara
menurut Leadbetter.
Penderita terlentang di atas meja operasi dalam pengaruh anastesi, asisten
memfiksir pelvis, lutut dan coxae dibuat fleksi 90 untuk mengendurkan kapsul dan
otot-otot sekitar panggul. Dengan sedikit adduksi paha ditarik ke atas, kemudian pelanpelan dilakukan gerakan endorotasi panggul 45, kemudian sisi panggul dilakukan
gerakan memutar dengan melakukan gerakan abduksi dan extensi. Setelah itu di
lakukan test.
Palm Halm Test : tumit kaki yang cedera diletakkan di atas telapak tangan. Bila
posisi kaki tetap dalam kedudukan abduksi dan endorotasi berarti reposisi berhasil baik.
Setelah reposisi berhasil baik, dilakukan tindakan pemasangan internal fiksasi dengan
teknik multi pin percutaneus. Kalau reposisi pertama gagal dapat diulang 3 kali.
Kemudian dilakukan open reduksi, dilakukan reposisi terbuka, setelah tereposisi
dilakukan internal fiksasi alat internal fiksasi knowless pin, cancellous screw, atau plate
Pengawasan dengan sinar X (sebaiknya digunakan penguat) digunakan untuk
memastikan reduksi pada foto anteroposterior dan lateral.
Diperlukan reduksi yang tepat pada fraktur stadium III dan IV, fiksasi pada
fraktur yang tak tereduksi hanya mengundang kegagalan kalau fraktur stdium III dan IV

tidak dapat direduksi secara tertutup dan pasien berumur dibawah 70 tahun, dianjurkan
melakukan reduksi terbuka melalui pendekatan anterolateral.
Tetapi pada pasien tua (60 tahun keatas) cara ini jarang diperbolehkan, kalau dua
usaha yang dilakukan untuk melakukan reduksi tertutup gagal, lebih baik dilakukan
penggantian prostetik.
Sekali direduksi, fraktur dipertahankan dengan pen atau kadang dengan sekrup
kompresi geser yang ditempel pada batang femur. Insisi lateral digunakan untuk
membuka femur pada bagian atas kawat pemandu, yang disisipkan dibawah pengendali
fluroskopik, digunakan untuk memastikan bahwa penempatan alat pengikat adalah
tepat. Dua sekrup berkanula sudah mencukupi, keduanya harus terletak memanjang dan
sampai plate tulang subkondral, pada foto lateral keduanya berada ditengah-tengah pada
kaput dan leher, tetapi pada foto anteropsterior, sekrup distal terletak pada korteks
inferior leher femur.
Sejak hari pertama pasien harus duduk ditempat tidur atau kursi. Dia dilatih
melakukan pernafasan, dianjurkan berusaha sendiri dan mulai berjalan (dengan
penopang atau alat berjalan) secepat mungkin.
Beberapa ahli mengusulkan bahwa prognosis untuk fraktur stadium III dan IV
tidak dapat diramalkan, sehingga penggantian prostetik selalu lebih baik. Pandangan ini
meremehkan morbiditas yang menyertai penggantian. Karena itu kebijaksanaan kita
adalah mencoba reduksi dan fiksasi pada semua pasien yang berumur dibawah 60 tahun
dan mempersiapkan penggantian untuk penderita yang :
Penderita yang sangat tua dan lemah
Penderita yang gagal mengalami reduksi tertutup
Penggantian yang paling sedikit traumanya adalah prostesis femur atau prostesis
bipolar tanpa semen yang dimasukan dengan pendekatan posterior.
Penggantian pinggul total mungkin lebih baik :

Kalau terapi telah tertunda selama beberapa minggu dan dicurigai ada kerusakan
acetebulum.
Pada pasien dengan penyakit paget atau penyakit metastatik.
Penanganan nekrosis avaskuler kaput femur dengan atau tanpa gagal-pertautan
juga dengan eksisi kaput dan leher femur dan kemudian diganti dengan prosthesis
metal.
Pada fraktur leher femur impaksi biasanya penderita dapat berjalan selama
beberapa hari setelah jatuh sebelum timbul keluhan. Umumnya gejala yang timbul
minimal dan panggul yang terkena dapat secara pasif digerakkan tanpa nyeri. Fraktur ini
biasanya sembuh dalam waktu 3 bulan tanpa tindakan operasi, tetapi apabila tidak
sembuh atau terjadi disimpaksi yang tidak stabil atau nekrosis avaskuler,
penanganannya sama dengan yang di atas.
2. Fraktur trokanter femur
Fraktur ini terjadi antara trokanter mayor dan minor. Sering terjadi pada orang tua
dan umumnya dapat bertaut dengan terapi konservatif maupun operatif karena perdarahan di
daerah ini sangat baik. Terapi operatif memperpendek masa imobilisasi di tempat tidur.
Penderita biasanya datang dengan keluhan tidak dapat berjalan setelah jatuh disertai
nyeri yang hebat. Penderita terlentang di tempat tidur dengan tungkai bawah eksorotasi dan
terdapat pemendekan sampai 3 cm disertai nyeri pada setiap pergerakan. Pada bagian luar
pangkal paha terlihat kebiruan akibat hematom subkutan. Pada foto Rontgen terlihat fraktur
daerah trokanter dengan leher femur dalam posisi varus yang bisa mencapai 90O.
Fraktur ini ditangani secara konservatif dengan traksi tulang, dengan paha dalam
posisi fleksi dan abduksi, selama 6-8 minggu. Terapi operatif dapat dilakukan dengan
pemasangan pelat trokanter yang kokoh, kemudian mobilisasi segera pascabedah.
3. Fraktur batang femur
Pada fraktur diafisis femur biasanya perdarahan dalam cukup luas dan besar
sehingga dapat menimbulkan syok. Secara klinis penderita tidak dapat bangun, bukan saja
karena nyeri, tetapi juga karena ketidakstabilan fraktur. Biasanya seluruh tungkai bawah

terotasi ke luar, terlihat lebih pendek, dan bengkak pada bagian proksimal sebagai akibat
perdarahan ke dalam jaringan lunak. Pertautan biasanya diperoleh dengan penanganan
secara tertutup, dan normalnya memerlukan waktu 20 minggu atau lebih.
Fraktur yang dapat diatasi dengan traksi adalah fraktur intertrokanter dan
subtrokanter, fraktur diafisis oblik, segmental, dan kominutif, serta fraktur suprakondiler
tanpa dislokasi berat, dan fraktur kondilus femur. Yang tidak dapat ditangani dengan traksi
adalah dislokasi tertentu berat.
Pada orang dewasa, fraktur ditangani secara konservatif dengan traksi skelet, baik
pada tuberositas tibia maupun suprakondiler. Cara ini biasanya berhasil mempertautkan
fraktur femur. Yang penting ialah latihan otot dan gerakan sendi, terutama m. quadriceps otot
tungkai bawah, lutut, dan pergelangan kaki. Akan tetapi, cara traksi skelet memerlukan
waktu istirahat di tempat tidur yang lama sehingga untuk mempercepat mobilisasi dan
memperpendek masa istirahat di tempat tidur, dapat dianjurkan untuk melakukan reposisi
terbuka dan pemasangan fiksasi interna yang kokoh. Fiksasi interna biasanya berupa pin
Kuntscher intramedular. Untuk fraktur yang tidak stabil, misalnya fraktur batang femur yang
kominutif atau fraktur batang femur bagian distal, pin intramedular ini dapat dikombinasi
dengan pelat untuk neutralisasi rotasi.
Pada fraktur femur tertutup, dilakukan traksi kulit dengan metode ekstensi buck,
tujuan traksi kulit untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih
lanjut di sekitar daerah yang patah.
Fraktur batang femur pada anak-anak umumnya dengan terapi non operatif, karena
akan menyambung dengan baik, pemendekan kurang dari 2 cm masih dapat diterima karena
di kemudian hari akan sama panjangnya dengan tungkai normal. Hal ini kemungkinan
karena daya proses remodeling pada anak-anak.
Pengobatan non-operatif dapat dilakukan dengan metode Perkin, metode balance
skeletal traction, traksi kulit Bryant, dan traksi Russel. Sedangkan indikasi operatif karena
penanggulangan non-operatif gagal, fraktur multipel, robeknya arteri femoralis, fraktur
patologik dan fraktur pada orang-orang tua.
4. Fraktur femur suprakondiler

Fraktur ini relatif lebih jarang dibandingkan fraktur batang femur. Seperti halnya
fraktur batang femur, fraktur suprakondiler dapat dikelola secara konservatif dengan traksi
skeletal dengan lutut dalam posisi fleksi 90O. Traksi ini juga memerlukan waktu istirahat di
tempat tidur yang lama sehingga lebih disukai reposisi terbuka dan pemasangan fiksasi
interna dengan pelat suprakondiler yang kokoh, yang memungkinkan mobilisasi segera dan
menggerakkan sendi lutut. Hal yang terakhir ini penting karena gerakan sendi lutut yang
segera dapat mencegah sendi kejur akibat perlekatan otot dan atau perlekatan jaringan lunak
di sekitar sendi lutut.
5. Fraktur femur interkondiler
Fraktur ini juga relatif jarang dan biasanya terjadi sebagai akibat jatuh dengan lutut
dalam keadaaan fleksi dari ketinggian. Permukaan belakang patella yang berbentuk baji ,
melesak ke dalam sendi lutut dan mengganjal di antara kedua kondilus dan salah satu atau
keduanya retak. Pada bagian proksimal kemungkinan terdapat komponen melintang
sehingga didapati fraktur dengan garis fraktur berbentuk seperti huruf T atau Y.
Secara klinis, sendi lutut bengkak akibat hemartrosis dan biasanya disertai goresan
atau memar pada bagian depan lutut yang menunjukkan adanya trauma. Di sini patella juga
dapat mengalami fraktur.
Untuk fraktur kondilus tunggal lateral atau medial, paling baik dilakukan reposisi
terbuka dengan fiksasi interna dengan sekrup tulang spongiosa.
Pada patah tulang kondilus ganda, yaitu fraktur kondilus T atau Y juga dilakukan
reposisi terbuka dengan fiksasi interna yang kokoh pada kedua kondilus dan pada komponen
melintang bila sarananya tersedia.
Pada fraktur kominutif berat di interkondiler, tindakan terbaik adalah traksi skelet
kontinu yang memungkinkan gerakan sendi lutut begitu nyeri akut menghilang. Gerakan ini
kadang dapat menjadi patokan untuk menilai apakah fragmen sendi sudah pada posisi yang
diinginkan dan mengurangi resiko kekakuan sendi. Pada orang tua, fraktur femur
interkondiler femur umumnya lebih baik ditangani secara konservatif dengan traksi skelet.
BAB II

TINJAUAN TEORI
1. Pengertian
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Syamsuhidayat. 2004: 840). Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (Brunner &
Suddarth. 2001 : 2357).
2. Etiologi
a. Trauma langsung: benturan pada tulang mengakibatkan fraktur ditempat tersebut.
b. Trauma tidak langsung: tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari
area benturan.
c. Fraktur patologis: fraktur yang disebabkan trauma yamg minimal atau tanpa trauma.
Contoh fraktur patologis: Osteoporosis, penyakit metabolik, infeksi tulang dan tumor
tulang.
3. Lokasi Terjadinya Fraktur Femur
Fraktur femur dapat terjadi pada beberapa tempat diantaranya:
a. Kolum femoris

d. Suprakondiler

b. Trokhanter

e. Kondiler

c. Batang femur

f. Kaput

4. Manifestasi Klinis
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai tulang dimobilisasi.
b. Deformitas disebabkan karena pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai.

c. Pemendekan tulang terjadi karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah
tempat fraktur.
d. Krepus, teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
e. Pembengkakan lokal dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan gangguan sirkulasi yang mengikuti fraktur.
5. Klasifikasi Fraktur
a. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami
pergeseran. (bergeser dari posisi normal).
b. Fraktur tidak komplit adalah patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah
tulang.
c. Fraktur tertutup tidak menyebabkan robeknya kulit.
d. Fraktur terbuka merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membrana mukosa
sampai kepatahan tulang, fraktur terbuka digradasi menjadi:
1) Grade 1 dengan luka bersih panjangnya kurang dari 1 cm
2) Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif
3) Grade III luka yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan
lunak ekstensif, merupakan yang paling berat
e. Fraktur juga digolongkan sesuai pergeseran anatomis fragmen tulang:
1) Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya
membengkok
2) Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang

3) Obllik: fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak stabil
dibanding transversal)
4) Spiral: fraktur memuntir sepanjang batang tulang
5) Komunitif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
6) Depresi: fraktur dengan pragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi
pada tulang tengkorak dan tulang wajah)
7) Kompresi: fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang
belakang)
8) Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang,
penyakit paget, metastasis tulang, tumor)
9) Avulsi: tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada perlakatannya
10) Epifiseal: fraktur melalui epifisis
11) Impaksi: fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang yang
lainnya.
6. Proses Penyembuhan Fraktur Tulang
a. Fase hematoma: Proses terjadinya hematoma dalam 24 jam. Apabila terjadi fraktur
pada tulang panunjang, maka pembuluh darah kecil yang melewati kanalikuli dalam
sistem haversian mengalami robekan pada daerah luka dan akan membentuk
hematoma diantar kedua sisi fraktur.
Fase hematoma Terjadi perdarahan di sekitar patahan tulang yang disebabkan
terputusnya pembuluh darah pada tulang dan periost. Perdarahan ini akan
memebentuk hematoma disekitar dan di dalam fraktur, dan yang tidak mendapat
persediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua millimeter. Fase ini berlangsung
selama 2-3 minggu setelah fraktur.

b. Fase proliferasi/ fibrosa: terjadi dalam waktu sekitar 5 hari. Pada saat ini terjadi reaksi
jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan, karena adanya selsel osteogenik yang berpoliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksternal
serta pada daerah endosteum membentuk kalus internal sebagai aktifitas seluler dalam
kanalis medularis.
Fase radang dan proliferasi seluler Proliferasi sel-sel periosteal dan endoosteal,
yang menonjol adalah proliferasi sel-sel lapisan dalam periosteal dekat daerah fraktur.
Hematoma terdesak dan diabsorbsi oleh tubuh. Bersamaan dengan aktivitas sel-sel
sub periosteal maka terjadi aktifitas sel-sel dari kanalis medularis masing-masing
fragmen. Proses dari periosteum dan kanalis medularis dari masing-masing fragmen
bertemu dalam satu proses yang sama sehingga menjembatani permukaan fraktur satu
sama lain. Pada fase ini sudah terjadi pengendapan kalsium.
c. Fase Pembentukkan Kalus: Waktu pembentukan kalus 3-4 minggu. Setelah
pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel dasar yang
berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang rawan.
Fase pembentukan kalus (pertautan klinis) minggu 3-8 Pada fase ini terbentuk
kalus fibrosa dan disini tulang menjadi osteoporotik akibat resorbsi kalsium untuk
penyembuhan. Sel-sel osteoblas mengeluarkan matriks intra selluler yang segera
bersatu dengan garam-garam kalsium, membentuk tulang immature atau young callus
Pada akhir stadium terdapat 2 macam kalus internal callus dan diluar disebut external
callus.
d. Fase Osifikasi: Pembentukan halus mulai mengalami perulangan dalam 2-3 minggu,
patah tulang melalui proses penulangan endokondrol, mineral terus-menerus ditimbun
sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras.
Fase konsolidasi (minggu 8-12) callus menjadi tulang yang lebih dewasa (mature)
dengan pembentukan lamela-lamela. Terjadi pergantian fibrous callus menjadi
primary callus. Secara berangsur-angsur primary bone callus diresorbsi dan diganti
dengan second bone callus yang sudah mirip dengan jaringan tulang yang normal.
Kekuatan kalus ini sama dengan tulang biasa. Fase ini terjadi pada minggu ke 8-12
setelah fraktur.

e. Fase Remodeling: Waktu pembentukan 4-6 bulan. Pada fase ini perlahan-lahan terjadi
reabsorbsi secara eosteoklastik dan tetap terjadi prosesosteoblastik pada tulang dan
kalus eksternal secara perlahan-lahan menghilang.
Fase remodeling union sudah lengkap, tulang baru yang terbentuk pada umumnya
berlebihan, mengelilingi daerah fraktur. Dengan mengikuti stress/tekanan dan tarik
mekanis, misalnya gerakan, kontraksi otot dan sebagainya, maka callus yang sudah
mature secara pelan-pelan terhisap kembali dengan kecepatan yang konstan sehingga
terbentuk tulang yang sesuai dengan aslinya. Fase ini terjadi 12 minggu setelah
fraktur terjadi. (Rasjad, 1998 : 400 ).

7. Komplikasi
Komplikasi awal
a. Syok: Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan eksternal kejaringan
yang rusak.
b. Sindrom emboli lemak: Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau
karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi asam
lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah.
c. Sindrom kompartemen: merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam
otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan
karena penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot
terlalu ketat, penggunaan gips atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi
kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai
masalah (misal : iskemi, cidera remuk).
Komplikasi lambat

a. Delayed union: proses penyembuhan tulang yang berjalan dalam waktu yang lebih
lama dari perkiraan (tidak sembuh setelah 3-5 bulan)
b. Non union: kegagalan penyambungan tulang setelah 6-9 bulan.
c. Mal union: proses penyembuhan tulang berjalan normal terjadi dalam waktu
semestinya, namun tidak dengan bentuk aslinya atau abnormal.
8. Faktor yang mempercepat penyembuhan tulang
a. Immobilisasi fragmen tulang

e. Latihan pembebanan berat badan


untuk tulang panjang

b. Kontak fragmen tulang maksimal


f.
c. Asupan darah yang memadai
d. Nutrisi yang baik

Hormon-hormon

pertumbuhan,

tiroid, kalsitonin, vitamin D,


g. Potensial listrik pada patahan
tulang

9. Faktor yang menghambat penyembuhan tulang


a. Trauma berulang

e. Infeksi

b. Kehilangan massa tulang

f. Radiasi tulang (nekrosis tulang)

c. Immobilisasi yang tak memadai

g. Usia

d. Rongga atau jaringan diantar

h.

fragmen tulang

Kortikosteroid

(menghambat

kecepatan perbaikan)

10. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik


a. Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
b.Scan

tulang,

tomogram,

CT-scan/

MRI:

Memperlihatkan

frakur

dan

mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak


c. Pemeriksaan darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel),
Peningkatan Sel darah putih adalah respon stres normal setelah trauma.
d. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
11. Penatalaksanaan medik
Empat prinsip penanganan fraktur menurut Chaeruddin Rasjad tahun 1988,adalah:
a. Recognition: mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan
klinik dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan: lokasi, bentuk
fraktur, menentukan teknnik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang
mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
b. Reduction: reduksi fraktur apabila perlu, restorasi fragment fraktur sehingga didapat
posisi yang dapat diterima. Pada fraktur intraartikuler diperlukan reduksi anatomis
dan sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi
seperti kekakuan, deformitas serta perubahan osteoartritis dikemudian hari. Posisi
yang baik adalah: alignment yang sempurna dan aposisi yang sempurna. Fraktur yang
tidak memerlukan reduksi seperti fraktur klavikula, iga, fraktur impaksi dari humerus,
angulasi <5>
c. Retention, immobilisasi fraktur: mempertahankan posisi reduksi dan memfasilitasi
union sehingga terjadi penyatuan, immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi

eksterna meliputi pembalut gips, bidai, traksi, dan fiksasi interna meliputi inplan
logam seperti screw.
d. Rehabilitation : mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin.

DAFTAR PUSTAKA
Apley. A. Graham. 1995. Orthopedi dan Fraktur Sistem Apley. Edisi 1. Jakarta : EGC.
Brunner and Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 3. Volume 8. Jakarta
: EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan Edisi 2. Jakarta :
EGC .
Donges, Marilyn B, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Lukman and Sorensens. 1993. Medical Surgical Nursing. 4th Edition buku 11. USA : WB
Sunder Company.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid II. FKUI. Media
Aesculapius.
Price, Slyvia A Dan Laraine M. Wilson.1995. Patofisiologi. Buku I . Edisi 4. Jakarta :
EGC.
Rasjad, Chairudin. 1998. Ilmu Bedah Orthopedi. Ujung Pandang : Bintang Lamupate.
Smetzer, Suzanna. C. dkk. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth.
Edisi 8, vol 3. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai