Anda di halaman 1dari 22

K. H.

RUHIAT (1911-1977);
ULAMA PEJUANG DARI CIPASUNG

MAKALAH
Dipresentasikan dalam Seminar Nasional
Pengusulan Alm.K.H. Rukhiat sebagai Pahlawan Nasional
Di Gedung Rektorat Institut Agama Islam Cipasung, Tasikmalaya
Pada hari Senin, Tanggal 3 Mei 2010

Oleh:
Miftahul Falah, S. S., M. Hum.

DISELENGGARAKAN ATAS KERJASAMA

YAYASAN MSI JAWA BARAT


DENGAN
TIM PENELITI DAN PENGKAJI GELAR DAERAH (TP2GD)
PROPINSI JAWA BARAT

K. H. RUHIAT (1911-1977);
ULAMA PEJUANG DARI CIPASUNG
Oleh:
Miftahul Falah, S. S., M. Hum.
Asisten Ahli pada Program Studi Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran.

A. Pengantar
Rasa-rasanya, generasi muda saat ini lebih mengenai sosok K. H.
Muhammad Ilyas Ruhiat, mantan Rais Aam PB NU (1994-1999) dan mantan
anggota DPA (1998-2004) daripada sosok K. H. Ruhiat. Padahal, K. H. Ruhiatlah yang telah berperan dalam membentuk karakter dan keulamaan K. H. Muh.
Ilyas Ruhiat. Pesantren Cipasung yang didirikan K. H. Ruhiat dan telah
melambungkan nama K. H. Muh. Ilyas Ruhiat, merupakan salah pesantren
terbesar dan berpengaruh di Jawa Barat.1
Namun sekali lagi, peranan K. H. Ruhiat dalam perjuangan bangsa sudah
banyak dilupakan orang. Kondisi tersebut wajar terjadi mengingat Abah Ajengan
(panggilan akrab K. H. Ruhiat) telah 33 tahun meninggalkan umatnya untuk
menghadap Sang Khalik. Meskipun demikian, jasa-jasanya terhadap perjuangan
bangsa terutama di bidang pendidikan tidak akan pernah dilupakan orang.
Makalah ini akan mencoba merekonstruksi peranan K. H. Ruhiat dalam
perjuangan bangsa sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan.

Anonim, 2006: 1.

B. Riwayat Keluarga dan Pendidikan


Pada dasawarsa pertama abad ke-20, Desa Cipakat yang terletak di
Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya dipimpin oleh seorang kepala
desa yang bernama H. Abdul Ghafur bin Umray. Ia menikahi Hj. Umayah bin
Indra dan dikaruniai enam orang anak. Salah seorang anaknya dilahirkan di
Kampung Cisaro, Desa Cipakat pada 11 November 1911. Oleh kedua orang
tuanya anak itu lantas diberi nama Ruhiat bin H. Abdul Ghafur. Sang anak
memiliki tiga orang kakak yang masing-masing bernama Hj. Sofiah, H. Masum,
dan H. Syujai; serta dua orang adik yakni H. Muharam dan Hj. Jamilah. Selain
itu, Ruhiat pun memiliki lima orang saudara seayah karena H. Abdul Ghafur bin
Umray memiliki tiga orang istri.2
H. Abdul Ghafur orang tua yang sangat memperhatikan pendidikan anakanaknya. Ketika usianya sudah memasuki masa sekolah, H. Abdul Ghafur
memasukkan Ruhiat ke Vervolghschool di Sukasenang. Pendidikan formalnya itu
hanya ditempuh sampai kelas empat yakni dari tahun 1918-1921. Setelah keluar
dari Vervolgschool, Ruhiat belajar ilmu agama Islam ke berbagai pesantren. Dari
tahun 1922-1927, Ruhiat belajar ilmu agama Islam di Pesantren Cilenga
(Leuwisari) di bawah bimbingan K. H. Sobandi. Setelah lima tahun menuntut
ilmu kepada K. H. Sobandi, dalam kurun waktu 1927-1928, Ruhiat menuntut
melakukan tabarruk ke beberapa ulama yakni kepada K. H. Emed dari Pontren
Sukaraja (Garut), K. H. Abas Nawawi dari Pontren Kubang (Cigalontang), dan K.
2

Selain memiliki saudara kandung seayah-seibu, K. H. Ruhiat pun memiliki lima orang saudara
seayah. Empat orang saudaranya lahir dari istri pertama ayahnya yang bernama Hj. Murtamah,
yaitu Hj. Siti Sobriah, Encoh, Uwen Juansah, dan Acih. Sementara itu, saudara seayah K. H.
Ruhiat yang lahir dari istri ketiga ayahnya (H. Zainab binti H. Idris) bernama H. Abdul Hamid
(Anonim. t.t.: 2).

H. Thoha dari Pontren Cintawana (Singaparna). Tahun 1929, Ruhiat kembali


menunut ilmu kepada K. H. Sobandi di Pesantren Cilenga sampai tahun 1931.3
K. H. Ruhiat mempunyai dua orang istri yakni Hj. Aisyah binti
Muhammad Sayuti dan Hj. Badriyah binti H. A. Kosasih Abdul Hamid. Dari
perkawinannya itu, K. H. Ruhiat dikaruniai 27 orang anak, masing-masing 14
orang anak dari istri pertamanya dan 13 orang anak dari istri keduanya. Dalam
membina rumah tangganya, K. H. Ruhiat sangat berlaku adil sehingga kerukunan
dan ketentraman senantiasa memayungi keluarga besarnya itu.
Foto 1: K. H. Ruhiat bin H. Abdul Ghafur

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

Anonim, t.t.: 3; Anonim. 2007: 1; MUI Jabar, 2005: 26.

Diagram 1: Silsilah K. H. Ruhiat

Foto 2: K. H. Ruhiat bersama Keluarga

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

C. Peranan K. H. Ruhiat dalam Perjuangan Bangsa


1. Di Bidang Pendidikan
Setelah selesai menuntut ilmu keagamaan di berbagai pesantren, K. H.
Ruhiat kembali ke kampung halamannya untuk mendirikan pesantren. Pada akhir
tahun 1931, K. H. Ruhiat mendirikan Pesantren Cipasung dengan santri berjumlah
40 orang. Keempat puluh santrinya itu sebagai pemberian dari K. H. Sobandi dari
Pesantren Cilenga.4 K. H. Ruhiat memilih Cipasung sebagai tempat untuk
mendirikan pesantren karena didorong oleh kondisi lingkungannya yang kotor.
Artinya, pada waktu itu kehidupan masyarakat di daerah tersebut masih dipenuhi

Wawancara dengan K. H. Agus Saiful Bahri, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

oleh kemaksiatan,

seperti

perjudian

dan

perzinahan.5

Dengan

maksud

memberantas kemaksiatan itulah, K. H. Ruhiat mendirikan sebuah pesantren yang


kemudian berkembang menjadi lembaga pesantren tradisional tetapi modern.
K. H. Ruhiat merupakan seorang ulama tradisional, tetapi memiliki
pikiran progresif. Ia memiliki keyakinan bahwa jika santrinya hanya memiliki
pengetahuan keagamaan saja, keinginan untuk memberantas kebodohan akan sulit
diwujudkan. Oleh karena itu, K. H. Ruhiat memiliki pandangan perlunya para
santri diberi bekal ilmu pengetahuan umum yang tentunya harus diselaraskan
dengan pengetahuan agamanya. Hal tersebut terlihat dari misi perjuangannya di
bidang pendidikan yakni keimanan dan ketaqwaan, pengembangan ilmu yang
bermanfaat, serta pengabdian kepada negara, agama, dan masyarakat.6
Foto 3: Masjid Pesantren Cipasung Sekitar Tahun 1957

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.


5
6

Wawancara dengan Abdul Hadi, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.


MUI Jabar, 2005: 27.

Foto 4: Masjid Pesantren Cipasung Tahun 2010

Sumber: Dokumentasi Penulis, 18 Januari 2010.

Foto 5: Salah Satu Asrama Putra Pesantren Cipasung

Sumber: Dokumentasi Penulis, 18 Januari 2010.

Untuk

mewujudkan

misinya

itu,

K.

H.

Ruhiat

tidak

hanya

mengembangkan Pesantren Cipasung sebagai lembaga pendidikan keagamaan


saja. Sebagai ulama dengan pikiran yang progresif, K. H. Ruhiyat mendirikan
lembaga pendidikan yang pada waktu belum begitu populer di kalangan pesantren
salafiyah. Empat tahun setelah mendirikan Pesantren Cipasung, tepatnya pada
1935, K. H. Ruhiat mendirikan Madrasah Diniyah atau di kalangan masyarakat
dikenal dengan istilah sakola agama. Melalui madrasah ini, K. H. Ruhiat
menginginkan agar pembinaan keagamaan terhadap anak-anak usia muda dapat
dilakukan secara optimal. Sementara itu, untuk membina para santrinya agar
menjadi seorang mubaligh yang handal, K. H. Ruhiat pun terobasan baru dengan
mendirikan Kursus Kader Mubalighin wal Musyawwirin. Kursus yang dibuka
pada 1937 ini dijadikan sebagai arena latihan bagi para santri untuk mahir dalam
berpidato, berdebat, dan bermusyawarah.7
Untuk memberantas kebodohan, K. H. Ruhiat melangkah lebih jauh lagi
dengan mendirikan sekolah formal tetapi dengan landasan nilai-nilai keislaman.
Pada masa Perang Kemerdekaan, K. H. Ruhiat mendirikan Sekolah Pendidikan
Islam. Sekolah yang didirikan tahun 1949 ini tidak hanya mengajarkan ilmu
kegamaan saja, melainkan juga ilmu pengetahuan umum. Tahun 1953, Sekolah
Pendidikan Islam diubah namanya menjadi Sekolah Menengah Pertama Islam
(SMPI).8 Dengan perkataan lain, Sekolah Pendidikan Islam merupakan sekolah
formal pertama yang didirikan K. H. Ruhiat di kompleks Pondok Pesantren
Cipasung.
7
8

Anonim, t.t.: 5; Anonim, 2010: 2.


Anonim, t.t.: 5; Anonim, 2010: 2.

Foto 6: Sekolah Menengah Pertama Islam Cipasung, Tahun 1960-an

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

Pada 1953, K. H. Ruhiat mendirikan Sekolah Rendah Islam (SRI) yang


kemudian berubah menjadi Madrasah Wajib Belajar (MWB). Madrasah ini
berbeda dengan madrasah diniyah yang didirikan tahun 1935, karena materinya
diperkaya dengan pengetahuan umum. Dengan demikian, K. H. Ruhiat menjadi
salah seorang ulama pelopor bagi pengembangan madrasah berbasiskan
pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Sehubungan dengan keadaan
prasarana pendidikan di Singaparna belum begitu berkembang dengan baik, K. H.
Ruhiat memutuskan untuk mejajaki bagi pembukaan sekolah menengah tingkat
atas. Hasilnya adalah tahun 1959, ia membuka Sekolah Menengah Atas Islam

(SMAI) Cipasung dengan harapan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan


umum dan agama dapat disinergiskan.9
Dengan demikian, sampai tahun 1959, lembaga pendidikan yang dikelola
oleh K. H. Ruhiat sudah relatif lengkap. Selain ada pesantren salaf sebagai tempat
menggodog calon-calon ulama, di kompleks Pesantren Cipasung pun telah berdiri
lembaga pendidikan formal mulai dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan
tingkat atas. Meskipun demikian, langkah K. H. Ruhiat untuk memajukan
pendidikan tidak lantas berhenti. Ia berkeinginan untuk mendirikan sebuah
perguruan tinggi Islam yang akan mencetak sarjana dengan tidak meninggalkan
nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam.
Keinginannya itu berhasil diwujudkan pada tanggal 25 September 1965
seiring dengan pembukaan Perguruan Tinggi Islam Cipasung. Pada awal
berdirinya, perguruan tinggi ini hanya membuka satu fakultas yakni Fakultas
Tarbiyah. Eksistensi lembaga pendidikan tinggi ini mendapat pengakuan dari
pemerintah seiring dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Agama No. 7
Tahun 1969. Untuk mengembangkan kegiatan akademiknya, K. H. Ruhiat
melakukan kerja sama dengan IAIN Sunan Gunung Jati Bandung. Selain
membina Fakultas Tarbiyah, melalui kerja sama itu pernah pula pada 1970 dibuka
Fakultas Ushuludin di Cipasung, namun hanya berjalan selama dua tahun.10
Sekarang perguruan tnggi tersebut menjadi IAI Cipasung sehingga melengkapi

Anonim, t.t.: 5.
Anonim, t.t.: 5.

10

10

lembaga pendidikan yang sebelumnya sudah berdiri mulain dari pesantren, TK,
sampai pendidikan menengah.11
Foto 7: Aktivitas Dakwah K. H. Ruhiat, Tahun 1960-an

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

Dari pemaparan singkat mengenai peranan K. H. Ruhiat dalam


perjuangan bangsa dengan jelas terlihat bahwa ia memiliki kepeduliaan terhadap
pendidikan. Kebodohan yang menjadi salah satu faktor pendorong lamanya
penjajahan yang dialami bangsa Indonesia harus dihilangkan dengan memajukan
pendidikan. Selain itu, mendikotomikan pendidikan agama dan pengetahuan
umum secara kaku tidak akan memberikan hasil optimal bagi pemberantasan
kebodohan. K. H. Ruhiat memberikan contoh bahwa dengan memadukan
pendidikan agama dan pendidikan formal, akan menghasilkan sesuatu yang jauh

11

Wawancara dengan Hj. Euis Hasanah, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung

11

lebih optimal daripada mengembangkan salah satu bentuk pendidikan saja.


Hasilnya perjuangannya berupa satu kompleks pendidikan dengan jenjang
pendidikan yang lengkap baik pendidikan pesantren maupun pendidikan formal.
Selain itu, K. H. Ruhiat pun telah melahirkan ulama-ulama berpengaruh
khususnya di Tasikmalaya, antara lain K. H. Khoer Affandi (Pesantren Miftahul
Huda Manonjaya), K. H. Bustomi (Pesantren Bahrul Ulum, Awipari), K. H.
Ahmad (Pesantren Cintapada), K. H. Hilmi (Pesantren Cilendek), K. H. Bahrum
(Pesantren Cilendek), K. H. Yusuf (Pesantren Cintapada), dan K. H. Syarif
Hidayat (Pesantren Cipanengah).12

2. Di Bidang Politik
Pengabdian K. H. Ruyhat dalam perjuangan bangsa tidak hanya
dilakukan di bidang pendidikan saja dengan landasan memperkuat keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah SWT serta pembangunan ilmu yang bermanfaat. Satu
landasan yang mendorong dirinya memiliki jasa yang besar kepada bangsa adalah
mengabdi kepada negara, agama, dan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, K.
H. Ruhiat memiliki jiwa nasionalisme yang cukup tinggi sehingga ia memiliki
kepeduliaan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dakwah dan kiprahnya di bidang pendidikan telah membuat Pesantren
Cipasung berkembang dengan pesat. Hal tersebut melahirkan kekhawatiran dari
Pemerintah Hindia Belanda sehingga memandang K. H. Ruhiat sebagai ancaman.
Terlebih setelah K. H. Ruhiat bergabung dengan Nahdlatul Ulama Cabang

12

Wawancara dengan K. H. Agus Saiful Bahri, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

12

Tasikmalaya yang pada tahun 1930-an memiliki pandangan berbeda dengan


pemerintah. Pada saat NU Tasikmalaya yang dipimpin oleh Soetisna Sendjaja
menerbitkan Al-Mawaidz pada Agustus 1933, K. H. Ruhiat ikut aktif mengasuh
rubrik agama bersama dengan beberapa orang ajengan lainnya.13
Perlu diketahui bahwa sejak tahun 1930-an, PGN14 dan NU Cabang
Tasikmalaya terlibat dalam suatu perdebatan mengenai status Pemerintah Hindia
Belanda dikaitkan dengan masalah ulil amri dalam ajaran Islam. Pada dasarnya,
PGN dan NU sependapat bahwa pemerintah kolonial bisa dipandang sebagai ulil
amri. Akan tetapi, kedua organisasi itu berbeda pendapat berkaitan dengan
substansi atau hakikat dari ulil amri. K. H. Fachroeddin menegaskan bahwa PGN
memandang predikat ulil amri bagi Pemerintah Hindia dapat dipandang dari sisi
syari. Oleh karena itu, umat Islam wajib mematuhi segala kebijakannya
sekalipun mereka itu merupakan pemerintahan kafir yang dalam perbuatannya
bersifat fasiq, jahil serta berbuat maksiat dan munkar.15
NU Cabang Tasikmalaya tidak sependapat dengan pandangan PGN.
Menurut Soetisna Sendjaja, Ketua NU Cabang Tasikmalaya, gelar ulil amri bagi
pemerintah kolonial harus dipandang sebagai suatu siyasi (politik). Dengan
demikian, NU memandang Pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintahan
yang sah, tetapi statusnya tetaplah penguasa asing yang hanya berkuasa secara
13

Pada waktu, K. H. Ruhiat belum memiliki gelar kyai haji, tetapi baru bergelar kyai seperti
tertulis dalam Al-Mawaiz edisi 5 Desember 1933 No. 17. Dalam majalah tersebut, tercatat nama
Roehiat kjai di Tjipasung yang diberi tugas mengelola rubrik agama Islam (Bunyamin, 1995:
18).
14
PGN merupakan singkatan dari Perkoempoelan Goeroe Ngaji yang didirikan oleh Bupati
Wiratanoeningrat tanggal 15 Juni 1926 yang peresmiannya dilaksanakan di Masjid Agung
Tasikmalaya dan dihadiri oleh seluruh wedana dan camat yang ada di Kabupaten Tasikmalaya
(Al-Imtisal, 26 Juni 1926. No. 7).
15
Mudzakir, 2007: 9.

13

politik. Oleh karena itu, pemerintah hanya memiliki wewenang mengatur


masyarakat sepanjang berkaitan dengan urusan politik. Di luar itu, terutama di
bidang keagamaan, pemerintah sama sekali tidak memiliki wewenang mengatur
masyarakat. Seluruh urusan yang berkaitan dengan masalah keagamaan, sejatinya
diserahkan sepenuhnya kepada para ulama yang menjadi panutan rakyat.16
Pandangan NU tersebut bukanlah pandangan pribadi K. H. Ruhiat, tetapi
sebagai pengurus bisa dipastikan pandangannya mengenai kedudukan Pemerintah
Hindia Belanda sejalan dengan pandangan NU. Oleh karena itu, Pemerintah
Hindia Belanda mengawasi gerak-gerik K. H. Ruhiat khususnya ketika ia sedang
berdakwah. Sehubungan dengan materi dakwahnya dipandang bisa menumbuhkan
patriotisme di kalangan santri dan bisa menumbuhkan nasionalisme di kalangan
masyarakat, tanggal 17 November 1941 Pemerintah Hindia Belanda menangkap
K. H. Ruhiat bersama-sama dengan K. H. Zaenal Mustofa, Haji Syirodz, dan
Hambali Syafei dengan tuduhan menghasut rakyat untuk memberontak kepada
pemerintah. K. H. Ruhiat ditahan satu hari di Penjara Tasikmalaya untuk
kemudian dimasukkan ke Penjara Sukamiskin. Penjara ini merupakan tempat
penahanan para pemimpin pergerak nasional. Setelah ditahan selama 53 hari di
Penjara Sukamiskin, pemerintah membebaskan K. H. Ruhiat. Meskipun demikian,
aktivitas materi dakwahnya tidak berubah sehingga pada akhir Februari 1942
untuk yang kedua kalinya, K. H. Ruhiat ditangkap dan ditahan di Penjara Ciamis.

16

Falah, 2009: 90; Mudzakir, 2007: 10.

14

Pemerintah Hindia Belanda kembali menuduh dirinya telah menghasut rakyat


untuk memberontak kepada pemerintah.17
Foto 8: Penjara Kota Tasikmalaya, Tahun 2008

Keterangan: Di Penjara Kota Tasikmalaya, K. H. Ruhiat pernah ditahan selama satu hari sebelum
dipindahkan ke Penjara Sukamiskin, Bandung
Sumber: Dokumentasi Penulis, Mei 2008.

Penahanan K. H. Ruhiat yang kedua kalinya tidak berlangsung lama


karena

Pemerintah

Hindia

Belanda

menyerahkan

kekuasaannya

kepada

Balatentara Jepang. Penguasa perang Jepang segera membebaskan seluruh


tahanan politik sehingga K. H. Ruhiat kembali dapat melakukan aktivitas
dakwahnya. Dalam pandangan K. H. Ruhiat, pendudukan Jepang tidaklah berbeda
dengan Belanda yang sama-sama ingin menguasai bangsa Indonesia. Bersama-

17

Lubis, 2006: 121-122.

15

sama dengan K. H. Zaenal Mustofa, ia berupaya menumbuhkan nasionalisme


meskipun gaya dan caranya menunjukkan perbedaan dengan sahabatnya itu. Bagi
K. H. Ruhiat, keteguhan hati dalam memegang akidah jauh lebih penting daripada
bertindak secara fisik. Pikiran tersebut terungkap ketika K. H. Ruhiat bersama
dengan ulama lainnya melakukan seikerei di bawah todongan senjata tentara
Jepang.18
Foto 9: Pondok Pesantren Sukamanah

Keterangan: K. H. Zaenal Mustofa yang mendirikan Pesantren Sukamanah merupakan sosok


ulama yang memiliki pemikiran sejalan dengan K. H. Ruhiat meskipun berbeda
stratetgi dalam perjuangannya. Di pesantren ini, pada Februari 1944, K. H. Zaenal
Mustofa melakukan perlawanan kepada Balatentara Jepang.
Sumber: Dokumentasi Penulis, Mei 2008.

Sementara itu, tekad K. H. Zaenal Mustofa untuk memberontak kepada


Jepang semakin kuat. Beberapa hari sebelum Peristiwa Sukamanah meletus, K. H.
Zaenal Mustofa berkunjung ke rumah K. H. Ruhiat untuk mengajaknya bergabung
18

Lubis, 2006: 123; Wawancara dengan Abdul Hadi, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung

16

mengangkat senjata melawan Jepang. K. H. Ruhiat lebih memilih untuk berjuang


di bidang pendidikan sambil berkataKang abdi mah mung tiasa ngaduakeun
bae, mudah-mudahan cita-cita Akang tiasa kawujudkeun. Abdi sawios bade
ngadidik masyarakat bae margi abdi mah masih nyaah kanu bodo Lantas K. H.
Zaenal Mustofa pun mendoakan yang sama dan kemudian sama-sama bertekad
untuk berjuang di bidang masing-masing.19 Meskipun K. H. Ruhiat tidak terlibat
dalam pertempuran di Sukamanah, namun ia tetap ditahan oleh Pemerintah Militer
Jepang dengan tuduhan memiliki keterkaitan dengan K. H. Zaenal Mustafa
meskipun tidak secara aktif terlibat dalam peristiwa tersebut. Selama dua bulan K.
H. Ruhiat mendekam di Penjara Tasikmalaya.
Jepang hanya berkuasa di Indonesia sampai 15 Agustus 1945 dan harus
menyerahkan kembali kepada Sekutu sebagai pemenang dalam Perang Dunia II.
Sebelum itu dilakukan, bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan
pada 17 Agustus 1945. Ketika berita kemerdekaan itu sampai ke Cipasung, K. H.
Ruhiat segera berangkat ke Kota Tasikmalaya untuk menyatakan dukungannya
kepada Republik Indonesia. Dengan padang yang terhunus, ia berpidato di
babancong, podium terbuka di alun-alun Tasikmalaya ia menyatakan dengan
tegas bahwa kemerdekaan yang sudah diumumkan sejalan dengan perjuangan
Islam. Sehubungan dengan itu, kemerdekaan tersebut harus dipertahankan dan
jangan sampai jatuh kembali ke tangan penjajah. Ia meneriakkan pekik merdeka

19

Wawancara dengan Abdul Hadi, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

17

seraya menghunuskan pedangnya itu yang dibalasa dengan pekikan merdeka dari
umatnya yang berkumpulan di alun-alun Tasikmalaya.20
K. H. Ruhiat membuktikan ucapannya itu dengan ikut mempertahankan
kemerdekaan meskipun ia tidak ikut mengangkat senjata. Yang ia lakukan adalah
menanamkan kesadaran bahwa di kalangan masyarakat bahwa kemerdekaan itu
harus dipertahankan. Penjajahan jangan kembali dialami oleh bangsa Indonesia. Ia
pun selalu menginformasikan pergerakan tentara Belanda sehingga para pejuang
bisa mengatur strategi perjuangannya.21 Tindakannya itu telah mendorong
Belanda menjadikan K. H. Ruhiat sebagai ajengan yang harus dibunuh.
Sehubungan dengan itu, tentara NICA datang ke pesantren ketika ia sedang solat
ashar bersama tiga orang santrinya. Tanpa peringatan apapun, tentara NICA
tersebut memuntahkan peluru ke arah K. H. Ruhiat, tetapi tidak mencapai sasaran.
K. H. Ruhiat lolos dari upaya pembunuhan yang dilakukan tentara NICA, namun
dua santrinya tewas dan seorang lagi cedera di kepala. Gagal membunuh,
Pemerintah NICA menangkap dan menjeblos K. H. Ruhiat ke Penjara
Tasikmalaya selama sembilan bulan pada saat Agresi Militer II. Ketika
Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, K. H. Ruhiat pun
dibebaskan dari Penjara Tasikmalaya.22
Bukti lain yang menunjukkan bahwa K. H. Ruhiat mendukung
kemerdekaan RI adalah penolakannya terhadap eksistensi Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII). Ia menolak tawaran untuk menjadi salah seorang imam
Darul Islam karena gerakan tersebut dipandangnya sebagai bughat yang berusaha
20

Anonim, 2006: 2.
Wawancara dengan Abdul Hadi, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.
22
Anonim, 2006: 2-3.
21

18

mendirikan negara di dalam negara. K. H. Ruhiat mendukung bagi terjaganya


keutuhan NKRI sehingga ikut serta secara aktif dalam pertemuan kaum ulama
dengan pemerintah dan militer di Gedung Mitra Batik pada 1956. Dalam
pertemuan itu disepakati untuk mengembalikan dan menjaga keamanan daerah
Priangan Timur sebagai upaya mempersempit gerakan DI/TII. Akibat menolak
gerakan DI/TII, K. H. Ruhiat dijadikan sasaran tembak pemberontak. Namun
upaya DI/TII tersebut selalu gagal karena K. H. Ruhiat memiliki tempat
persembunyian di kompleks pesantrennya.23
Aktivitas di bidang sosial politik lainnya yang dilakukan oleh K. H.
Ruhiat adalah berusaha membesarkan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Selain
pernah menjadi Rois Syuriah NU Cabang Tasikmalaya, ia pun aktif di NU Jawa
Barat. Di tingkat pusat, K. H. Ruhiat pernah menjadi Awan (pembantu) Dewan
Syuriah PBNU dari tahun 1954-1959. Pada 28 November 1977, seluruh
aktivitasnya berhenti seiring kepergiannya menghadap Sang Khalik.
Foto 10: K. H. Ruhiat Menerima Kunjungan Ketua PB NU,
K. H. Dr. Idham Khalid Tahun 1960-an

23

Wawancara dengan H. Sahid, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

19

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

Foto 10: K. H. Ruhiat Menerima Kunjungan Menko Kesra,


K. H. Dr. Idham Khalid Tahun 1964

Sumber: Koleksi K. H. A. Bunyamin Ruhiat, Pimpinan Ponpes Cipasung.

20

DAFTAR SUMBER
Buku, Dokumen, dan Surat Kabar
Anonim. t.t. Riwayat Singkat K. H. Ruhiat (Almarhum) Pendiri Pondok Pesantren
Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Tasikmalaya.
Bunyamin, H. A. E. 1995. Lintasan Sejarah Perkembangan Nahdlatul Ulama di
Tasikmalaya. Tasikmalaya.
Falah, Miftahul. 2009. Perubahan Sosial di Kota Tasikmalaya. Tesis. Bandung:
Program Pascasarjana Fasa Unpad.
Lubis, Nina H. 2006. 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat. Bandung: Puslit
Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lemlit Unpad.
MUI Jabar. 2005. MUI dalam Dinamika Sejarah (BMAU ke MUI di Jawa Barat).
Bandung: MUI Propinsi Jawa Barat.
Al-Imtisal, 26 Juni 1926. No. 7.
Wawancara
Abdul Hadi, 84 Tahun, Santri K. H. Ruhiat, Tanggal 10 Januari 2010 di Pontren
Cipasung.
H. Sahid, 76 Tahun, Santri K. H. Ruhiat, Tanggal 10 Januari 2010 di Pontren
Cipasung.
Hj. Euis Hasanah, 58 Tahun, Putra Ke-10 K. H. Ruhiat dari istri pertamanya,
Tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.
K. H. Agus Saiful Bahri, 49 Tahun, Putra bungsu K. H. Ruhiat dari istri
pertamanya, tanggal 10 Januari 2010 di Pontren Cipasung.

Web Site
Anonim. 2006. K. H. Ruhiat Cipasung Seorang Ajengan Patriot. Diakses dari
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=83
35, tanggal 29 April 2010, pukul 19.45 WIB.
Anonim. 2007. Diakses dari http://mui-jabar.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=96&Itemid=50, tanggal 29 April 2010, pukul 19.50
WIB.
Mudzakir, Amin. 2007. Pengusaha dan Islam di Tasikmalaya 1930-1980an.
Diakses dari http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/pengu
saha_dan_islam_di_tasikmalaya.html, tanggal 13 Agustus 2009, Pukul
22.05 WIB.

21

Anda mungkin juga menyukai