Anda di halaman 1dari 4

Demokrasi Liheral dan Kebebasan pers

Model demokrasi liberal rruncul #u* berbagai variasi. Ia terbeutang dari, seperti
demokrasi elitis [sebagai contoh, Joseph Schumpeter], yang menekankan pada pemilihan-atas
perwaikilan yang memitiki otonomi sendiri, hingga pada, seperti Robert Dakl sang pturalis! yang
membuat model demokrasi sebagai interaksi antara kelompok kepentingin. fua yang
menjadikan mereka sama adalah pardmgan demokrasi, di urana preferensi -lnOiviOu
meudapatkau tempat yang lebih tinggi dan peran negara dibatasi oleh ponghargmn ata*
kebebasar individu. Memang, prioritas diberikan pada'kebebasat,' akaa tetapi menurut Isaiah
Berlia {1969), ia dicirikan sec&ra negatif sebagai

tid*

adanya riatang*u.

Rasionalisasi rmftrk hal ini adalah, bahwa tidak ada satu jawaban untuk pertanyaan
'bagaimana kita seharusnya hidup.' Terdapatlah berbagai macam alternatif unhrk deskipsi 'good
life,' dan tidak ada cma rurtuk menentukan manakah yaug lebih baik (Dworkin, 1978; Rawls,
1971).. Ini adalah masalah pilihan. Sehingga pofianyaan politis yang panting ha*rs diselesaikan
dengm mengadakan voting (sebagai ekualitas formal, ons man one vote) dan pemerintah merasa
enjoy uatuk menghormati pilihan bssama yang dibuat oleh warga nsgaranya. Tidak dimasukkan
di dalamnya hak bagi warga negara untuk melakukan vote terhadap seluruh isu publik;
permasalahan kebijakan yang lebih detail diseratrkan pada perwakilan mereka di fegislatif Salah
satu alasan sistem ini begitu disukai adalah bahwa dalam sistem ini warga negaranya memiliki
kesempatan (walaupun sangat sedikit terluang) untuk melakukan pengarahan urussn politik
se$ara langsung. Hal ini patut dipertimbangkan sebab ia praktis dan desirable, prahis sebab
batasannya terhadap waktu dan kompetensi, desirable sebab bahaya dari populisme (Dahl, 1956;
Schampeter, 1943)- Tugas pemerintahan lebih baik diserahkan pada mereka yang memiliki skill
dan bakat untuk tujuan semacam itu.

Dalam order demokrasi yang demikian, media ruemperlihatkan sebuah fungsi politik
khusus. Pertama, mereka tidak terikat untuk rnenyediakan dewan/forum politik yang tak
berkcsudahm. A&rm$i liberal adalah bahwa rulryat bukanlah binatang g>litik, dan belr*va pot.ititu
harus dilihat sebagai sebuah instrumen, sebagai cara mensapai tujuan. Ketika media berfungsi
mengadakan sebuah forum politih seharusnya tujuan mereka: Pertama, agar masyarakat dapat
mehilih mereka'mereka yang menginginkan jabatan dan unhrk menghakimi mereka-mereka
yang kfui sedaag mer{abat. Kedua, uutuk rueyediakan platform bagi kelompok-kelonpok
kepentingno untuk mempullikasikaa klaim-klaim dan keprihatiuaa mereka, kri befarti
menginformasikan pada warga negara tentang rencana-rencana dan pencapaian-pencapaian
(calon) wakil mereka; itu juga berftrfi rnenceflninkar tingkata* i&-ide dan pandangaa yang
berkembang dalam kelompok mereka, rnempersoalkan mereka-mereka yang milakukan sesuatu
atas narna rakyat pada posisi penyelidikan, agar mereka akuntabel. Kondisi ini mernbuaf warga
negara dapat membuat pilihan.

Realisasi gagasan gagasan ini dapat ditangkap pada gaga*an 'free pfi:ss' (tidak hauya
pada korau, tetapi juga televisi). Kebebasan pers didefinisikan sebagai sebuah medium di mana

perbedaan ide dau opini dapat dimuat; ia bulcanhh agen bagi satu macarn pandangan aku
propaganda negara. Media dianggap 'bebas' ketika ia tidak dikontrol secara terpusat. Safu pun
konFol atas konten, meneerminkan kerugian bagi kebebasan. Ide tentang kebebasan pers oleh
James Curran (2000:121), telah dilekatkan dengan konsep pasar bebas'. "Hafiya dengan

menjangliarkan media pada pasar bebas, menurut pandangar ini, sangatlah mungkin untuk
nlemastikan rnedia betar-benar independen dari pemerifttah." Due perubahar telah dilatukan di
sini: Pertarna, 'kebebaran' didefinisikan sebagai tidak adanya interferensi; Kedua, pencapaian
idealita ini te.rgantung pada kompetisi pasar di antara outlet-outlet media. Sebelum melihatJebjh
dekat pada kondisi )'ang_memungkinkan terciptanya kebebasan pers, kita perlu untgk menyadari
lebih detail, mengapa kebebasan berelspresi, hak untuk menyuarakan sequitr, dianggap UerrUtai.
Ide-ide liberal mengenai kebebasan pers munoul di setiap zamail pemikiran, dan melalui
aplikasi terhadap beberapa pendapat yarg bsrbeda, Jolm Keane (1991: l0-2O) mengambit
beberapa rutpun pemikiran yang terpisah yang telah mampu mewujudka+ kebebasari pers.
Mereka, pertama kali muncul pada abad 17 dan 18. Pendapat pertama untuk kebebasan pers
berasal, menurut Keane, dari tulisan-tulisan puisi John Milto4 yang telah menanrh perhatian
yang sangat besar terhadap efek tirani dari ortodoksi agama (Sereja). Milton adalah orarg yang
sarrgat berseurangat dalam nnengkritik kebijakan sensor agema dan ia j*ga me*rperjoar*gk*
toleransi beragama. Rakyat harus diberi kebebasan unhrk mengikuti suara hati meieka-dan
diperbolehkan untuk menguji pendiriannya dengaa klaim dari rivat-rivalnya, yang nantinya akan
memperkuat irnannya. Usaha apapun untuk menjahlhkan sebuah pandaugan tertentu akan kontra
produktif. Rasionalitas Milton tentang non-intervensi di abad 17 didengungkan pada abad 1g
oleh John Stuart MiU, Bagi Mill, pengetahuan dunia hergantung pada eross-examiuation atas
kebijakan-kebijakan konvensional yang dilakukan secara konstan.-Doguna-dogma, tidak boleh
berdiri tanpa dieksplorasi sebelumnya; mereka harus menj*di subyek bagi penelitia*l yang
seteliti-telitinya. Hanlra dengan demonshasi publik atas perselisihan dan perbedaan, ide-ide akan
berkembang dan rakyat dapat mengelola karakter individunya. MiU {1g72.119) menulis dalam
On Liberty di mana digambarkan cara hidup rakyat yang tegak "dibawah ma-ta permusuhan dan
sensor yang menakutkau." Peqielasannya di sini berkenaan pada power-power yang mengkontol
ke[yatuanan, tekaran uetuk nrelakukan apa yang diinginkan pihak tertentu untuk Oitakutan.
Konsekuensi dari hal ini adalah "pikiran itu sendiri membunglruk disebabkan bebm ymg berat"
(iblo. Ilntuk memeczllrkan beban ini, sangatlah penting unhrk nrenyirkulmkan berhagai ide
yang berbeda dan menjadikannya pokok persoalan bagi penelitian publik. Keanehan dan
kesintingan, atau hid'ah diterim4 tidak ditekan. Kebebasan pers adatatr akibat wajm yang
dibutuhkan dari hal ini (pemecahan beban).
I

Paralel yang sztxlaa bagi pendapat untak menciptakan kebebasan pers. selain berdasar pada
kebebasan untuk mengikuti suara hati dan pemikiran, adalah berdasarkan hak-hak individu.

Kaum liberal yang ditokohi John Lockg Thomas Parne, dan Mary Wollstonecraft, meuyatakan
bahwa indMdu-individu memiliki hak yang harus dihormati oleh pemerintahan yang legitimate.
Aturan-aturan yang dibuat hmuslah mendapatkan persetujuan terlebih Aunrrm, -A* ini
pernerlukaa hak-hak untuk monolak untuk bersepakat: Kesempatan
wltuk tidak mengelua,rkan
dan atau mengekspresikan pandangaa-pandaagan orang yang tidak bersepakat. pers negara atau
sensorskip n:ftra akar menjadi pelanggaram bagi hak-hak ini.

Justifikasi-justifikasi bagi kebebasan pers ini berlanjut unttrk tersirkulasikan dalam


diskusi atas isu-isu sekaraug ini, dan dalam gara-cararya yang berbeda ia memberikan kontribusi
bagi ideologi rasional unhrk menciptakan kebebasan pers hari hi. Mereka (fustifikasi-justifikasi
tsb') didengungkan mslalui mgumen2 tentang sensoiship, atau melaui p**y*-p*ruyaan atas
ksbebasan yang terlihat begitu nyata, yang disediakan oleh intemet. Siephin gotmes (1990),

4u

It

sebagai contoh, mengutip Milton, meilyusrur konsepnya tentang kebebasan pers dan cara-cara
urfirk mombatasi dan sekaligus memberikan kekuataa politik yaag akuntabel. Konsopkorsep
kebebasan pers dan perangkatnya telah diperkaya dengan Konstitusi AS dan Konvensi HAM
Eropa, akan tetapi priusip-prinsip {pikiran-pikira.n penting) ini, hanya membentuk satu dimensi
gagasan liberal modern atas kebebasan pers. Perlu diingat bahwa konsep free press, kadang

dalam kondisi terteatu tidak bisa dibenarkan argumentasinya. Karena itulah, perlu kita
men*mpfkan gagasan kebebasan pers dalam kanteksnya
Fertama, telatr ryatabah^.a pertrbahan model perdagargdil dan ekonomi, telah membmtu
mempromosikan ide 'kebebasan pers.' Pada akhir abad 19 dan awal 20an, penerbitan koran
hauyalah merupakan kegemaran politik personal saja, dan bahkan tidak rlilihat sebagai sebuah
usaha yang bersemangat (karery ia harus terbit setiap hari). Kunci dari perubahan menuju
komersialisasi penerbitan koran, adalah munculnya klan sebagai sumber utama penghasilan
{Cnrrarl da* Seaton, 1997>- Gagasan atas kebebasa* pers, dalarn konteksn3ra, merupekan
perluasan dari ide pasar bebas, di mana pers merespon pada 'insentif komersial' dan peluangpefumg yang diciptakan oteh iklan. Globalisasi liberalisasi tarif dan kontrol atas perbatasan,
adalah tekanan lain yang seimbang untuk menciptakan pers yang bebas.

Kedua, tekanan komersial yang membanhr tegaknya pers yang bebas ad*tah
ketergantungannya pada teknologi yang memungkinkan produksi mmal. Perubahan dari pars
yaag diope.rasikan oleh ta*gan rnonuju sistem prod,trc'tion-line mernbuat sirkulasi produksi
meningl<at besar, dan dengan ini, memungkinkan adanya mass-readershiB sebuah 'popular' pers
(Winston, 1998). Perubahan teknis tetap berla4iut menjadi insffumen dalarn evolusi ide tentmg
kebebasan pers.
Kisah broadcasting, sebagian, merupakaa cerita bangkitnya teknologi. Pada aw*lnya,
kknologi tansmisi dan penerimaan gelombang diasosiasikan dengan kebutuhan oot*
membatasi dan mengatur akses getombang Edffa. Ada dua masam perryebab pembatasan ini,
peftama, penggmaanya dibutuhkan trntuk kepentingan militer dan keamanan, keduq resourc&
untuk gelombang sangatlah terbatas. Terdapatlah begrtu banyak frekwensi radio yang ada;
peill'lar menggunakan frelcarensi yaflg sruna atau bordekatan sehingga mengganggu satu sama
la[. Sistem yang mengatur dan melisensi dibuhrhkan untuk mendistribusitcan aan mengonfol
akses atas gelobang. Kebebasan" dalam konteks ini, teiah dideflnisikaa melaltd prinsip-prinsip
yang rrengatur akses tersebut, dan kondisi yang menghalangi pemegang lisensi.

. Kemungkinan baru untuk menggunakar penyiaran digital telah benar-benar secara


esensial menyudahi permasalahan kelangkaan, dan oleh sebab itu rnerubah terminologitpmisologi bagaimaua meuaapai kslsha$au penyiarau peraturan tidak lagr dibufiIhkau untuk
mengelola kelangkaan. Perubahan ini dihubungkan secara paralel dengan tren menuju globalisasi
kornunikasi. Teknologi rrcdern rtemb*at batasaa-batftsaf, tregara lebih mudak ditelrrbus, dan
oteh sebab ifu membuat regulasi semakin sulit. Cifiaan global, terutama tentang internet yang tak
memitiki atruan telah mer{adi sebuah sirnbol dari gagasan-gagasan modern dari kebebar*
Src.
Apa yzng dapat terlihat dari kedua konteks, kemudi-teknologi dan kemudlperdagargan
tersetut adalah keduanp dihsungkarr dengan perubahan politik. Faktor ketiga vans mecJadi
konteks lain derni bangkitnya kebebasan pers adalah 'politik.' Pengaitan unt*u pasm dan

kebebasair adalah nyatanya semata permasalahan ideologi dan kepentingan. Indusfrialismi pers,
sebagairnana idustrialisasi dal*'rn triagkup sosial lainnya mernporpuu*h hutrurigafinya deigafl

tradisi, 'orde' feodal. Konhol negara secara bertahap terkikis. Pada abad keig, pernerintah
kapitalis menyerahkan kontrol atas kekuasaannya melalui pers, sebagaimana kini di abad 20
mereka menderegulasi penyiaran. Perubahan kebiiakan ini 6rjadi dalam sebuah kerangka kerja
politik di rnana negara, atas nama kebebasan, juga mengkontrol akses atas gelornbuog ,id*u di*

meagawasi konten mass rnedia (melalui hukum-hukum pemfitnahan, keiahasiaan,-kecabtrlan,


copyright, hak-tak kepemilikan, dll). Dengan dasar teknologi yang sam4 menghasilkan aturanahran yang berbeda di negara dm sistem yang berbeda, dm sebagai konsekuensinya, timbullalr
gagasan kebebasan pers yang berbeda. Yang dipahami sebagai kebebasan pers bergantung pada
kombinasi dari ide-ide dan keadaan materiaf terrentu. Ini bukaa berarti simplifikasi atas
iro6uf<
dari cerminan rasional ataupun konsekuensi pragrnatis dari perubahan perdagangan dan
teknologi. Ide-ide yalrg berbeda, keadaan-keuai* yang birbeda, akan rnenfrasilkan
rasi,onalisasi dm formasi i*stitusi yang berbeda. Masih tersisa satu peftaa],asn, walatrpun sebu*h
institusi yang mengurusi kebebasao pers di Barat dinilai telah birhasil melayani kepentingan
demokrasi. Perhnyaannya adatah: Apakah melalui institusi dan ide-ide yaog *eoghidupinla,
menyediakan peluang bagi terekspresikannya pandangan-pandangan yang bermacam-macam,
kepentingan-kepentinqan yang ada dapat terwakili, dan pemegangkekuaui* tetap pada posisi
yang dapat diselidiki demi akwrtabilitas?

Kita hanya dapat benar4enar mulai menjawab pertcnyaan ini jika kita pertama-tatfie
mempertanyakan apakah maksud dari definisi kebebasan pers (dalam konteks demokrasi
teufuirya)'ounhili menyediakan pandangan-pandangan yang 'bermac31rF1p&Gol1' dan "mewakili

ralrJrat'-- Tidak ada jawaban ya$g *,rduh, bahkan untuk menyingkap


I"p"ryTgP
ko{rpleksitasny4
Akses.

setidaknya kita diharuskan unhrk berkonsentrasi pada dua izu: Konten dan

Anda mungkin juga menyukai