PENDAHULUAN
1.1.
Tujuan Percobaan
1. Mempelajari faktor
yang
mempengaruhi
absorpsi
obat
yang
Absorpsi 1
Absorpsi 2
berbeda-beda, namun bisa saja terjadi absorpsi ke dalam aliran darah dan
dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Absorpsi ke dalam darah
dipengaruhi secara bermakna oleh cara pemberian.
Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang
sesuai adalah sebagai berikut:
a. Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam
vena, onset of action cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk
obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain,
biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2)
pendek).
b. Intramuskular (IM) (Onset of action bervariasi, berupa larutan dalam
air yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam
minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki
kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya
partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses
absorpsi).
c. Subkutan (SC) (Onset of action lebih cepat daripada sediaan
suspensi, determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan
dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah
lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat
dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah
mukopolisakarida dari matriks jaringan).
d. Intratekal (berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada
selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP
yang akut).
e. Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya.
Pemberian obat per oral merupakan pemberian obat paling umum
dilakukan karena relatif mudah dan praktis serta murah. Kerugiannya ialah
banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor
penderita, interaksi dalam absorpsi di saluran cerna).
Intinya absorpsi dari obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa
diantaranya dapat diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan,
sedangkan yang lainnya tidak.
1.3.
Hipotesis
Absorpsi 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel
suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan
biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Untuk
mencapai reseptor, dari tempat pemberiannya obat harus dapat diabsopsi.
Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional yang mencakup
dua fungsi penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal
Absorpsi 4
tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya
memodulasi fungsi yang sudah ada.
Efek terapeutik obat dan efek toksik obat adalah hasil dari interaksi obat
tersebut dengan molekul di dalam tubuh pasien. Sebagian besar obat bekerja
melalui penggabungan dengan makromolekul khusus dengan cara mengubah
aktivitas biokimia dan biofisika makromolekul, hal ini dikenal dengan istilah
reseptor.
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam
darah bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran
cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru,otot, dan lain lain. Yang
terpenting adalah cara pemberian obat per oral dengan cara ini tempat absorbs
utama adalah usus halus karena memiliki permukaan absorbsi yang sangat luas,
yakni 200m2. Kecepatan banyaknya obat yang diabsorpsi untuk kemudian
mencapai reseptor memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap onset obat,
sedangkan lamanya obat berada di reseptor menentukan durasi atau lamanya kerja
obat.
Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif,
karena itu absorpsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut
dalam lemak. Absorpsi secara transpor aktif terjadi teutama di dalam usus halus
untuk zat-zat makanan : glokusa dan gula lain, asam amino, basa purin, dan
pirimidin, mineral, dan beberapa vitamin. Cara ini juga terjadi untuk obat-obat
yang struktur kimianya mirip struktur zat makanan tersebut. Misalnya levodopa,
metildopa, 6-merkaptopurin, dan 5-flourourasil.
Kebanyakan obat merupakan elektrolit lemah, yakni asam lemah atau basa
lemah. Dalam air, elektrolit lemah ini akan terionisasi menjadi bentuk ionnya.
Untuk asam lemah, pH yang tinggi (suasana basa ) akan meningkatkan
ionisasinya dan mengurangi bentuk nonionnya. Sebaliknya untuk basa lemah, pH
yang rendah (suasana asam ) yang akan meningkatkan ionisasinya dan
mengurangi nonionnya. Hanya bentuk nonion yang mempunyai kelarutan lemak,
sehingga hanya bentuk nonion dan bentuk ion berada dalam kesetimbangan, maka
setelah bentuk nonion diabsopsi, kesetimbangan akan bergeser kearah bentuk
nonion sehingga absorpsi akan berjalan terus sampai habis.Zat-zat makanan dan
Absorpsi 5
oabt0obat yanng strukturnya mirip makanan, yang tidak dapat / sukar berdifusi
pasif memerlikan membran agar dapat dapat diabsorpsi dari saluran cerna maupun
direabsopsi dari lumen tubulus ginjal.(2)
Lambung merupakan tempat penyerapan yang penting, terutama untuk asam
lemah yang berada dalam bentuk non ion yang larut lipid dan mudah berdifusi.
Sebaliknya basa lemah akan mengion dalam getah lambung yang bersifat asam
karena sifatnya yang tidak mudah diserap. Perbedaan hal absorbsi juga
dipengaruhi oleh adanya plasma yang beredar. Asam lemah dalam bentuk ion
terlarut dalam plasma dan dapat ditransport, namun basa lemah dalam bentuk ion
akan berdifusi kembali ke dalam lambung.
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi, yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Derajat Ionisasi
Dosis dan waktu pemberian obat
pH dan pK
Pelarut obat dan bentuk obat
Luas permukaan absorpsi
Aliran darah
Kondisi usus dan kecepatan pengosongan lambung
Interaksi dengan obat lain
Selain mengalami absorpsi dan distribusi, sebagian obat mengalami
Absorpsi 6
BAB III
METODE KERJA
3.1.
Absorpsi 8
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Data Pengamatan
4.1.1. Data Biologis Hewan Coba
Hewan coba
Pengamatan
Sebelum
Sesudah
Penyuntikan
Penyuntikan
Bobot Badan
80,7 gram
80,7 gram
Frekuensi Jantung
116
80
Laju Nafas
100
80
Refleks
+++
++
Tonus Otot
+++
++
Kesadaran
+++
++
Rasa Nyeri
+++
++
Gejala Lain:
-Defekasi
-Salifasi
-Urinasi
Absorpsi 9
4.1.2.
Persentase Absorpsi
Kelompok
Ct0
Ct1
% Absorpsi
0%
0%
0%
0%
40
87,5%
10
-100%
0%
0%
8
4.2. Perhitungan
Kelompok 1
Persentase Absorpsi =
=
Ct 0Ct 1
Ct 0
55
5
x 100%
x 100%
= 0%
4.3.
Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari praktikum kali ini, presentase
absorpsi asam salisilat dalam suasana basa (NaHCO3 0,3 M) yang diperoleh
cenderung sama dengan absorpsi asam salisilat dalam suasana basa (HCl 0,1
N). Namun, salah satu dari beberapa kelompok yang mendapatkan hasil
87,5% yaitu dengan larutan asam salisilat dalam suasana asam (HCl 0,1N).
Hal ini dikarenakan asam salisilat mengalami absorpsi yang baik didalam
lambung dalam suasana asam. Obat atau senyawa kimia yang bersifat asam
akan berdisosiasi dalam suasana basa menjadi bentuk ion dan anion dan
sebaliknya, pH pelarut akan menentukan kecepatan dan banyaknya obat yang
diabsorbsi. Dalam percobaan kali ini, asam salisilat dilarutkan dalam larutan
dengan suasana asam (HCl) dan dengan suasana basa (NaHCO 3). Pengaruh
Absorpsi 10
pH yang semakin rendah (asam) dalam pelarut ditambah lagi dengan pH asam
dari lambung meningkatkan absorpsi dari asam salisilat. Sehingga asam
salisilat tidak terionisasi (non ion) didalam lambung dan mudah larut dalam
lemak serta memudahkan proses absorpsi. Asam salisilat diabsorbsi dengan
mekanisme difusi pasif dalam bentuk molekul tak terionkan melewati
membran gastrointestinal dan dipengaruhi oleh pH larutan.
Jika pH
Absorpsi 11
BAB V
KESIMPULAN
Dari percobaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan, bahwa:
1. Tidak adanya perbedaan yang signifikan pada percobaan kali ini dikarenakan
larutan asam salisilat dalam suasana asam ataupun basa terkontaminasi zat
lain sehingga hasil tidak sesui literatur.
2. pH pelarut dan media merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
absorpsi obat dalam hal ini adalah asam salisilat. Agar memudahkan serta
meningkatkan kecepatan absorpsi, asam salisilat lebih baik dilarutkan dalam
pelarut yang bersifat asam. Karena obat tidak akan terionisasi dan mudah
larut dalam lemak.
Absorpsi 12
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi Kelima. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia
(UI).
Ganiswara, S.G., Setiabudi, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi
(Editor).1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian
Farmakologi FK UI
Katzung, Bertram, G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi Kelima. Bandung : Penerbit ITB.
Staf
Pengajar
Farmakologi.
1995.
Absorpsi
dan
Eksresi.
Banjarbaru:
Absorpsi 13