Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masyarakat Indonesia telah lama mengenal serta menggunakan obat-obatan
yang berasal dari tanaman atau yang dikenal dengan obat tradisional. Obat
tradisional lebih mudah diterima oleh masyarakat karena selain telah akrab
dengan masyarakat, obat ini lebih murah dan mudah didapat (Hyeronimus SB,
2006).Terdapat berbagai macam obat tradisional yang berasal dari tanaman dan
telah banyak diteliti kandungan kimia dan khasiat yang berada di dalamnya.
Namun masih banyak tanaman yang belum diketahui kadar toksisitasnya,
sehingga perlu diteliti lebih lanjut (Agus D, 2008).
Keharusan adanya data uji farmakologi, uji toksisitas, dan uji klinis sudah
mulai diberlakukan dengan keluarnya UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
agar obat tradisional lebih mampu bersaing dengan obat modern dan secara medik
lebih dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya (uji farmakologi dan uji
toksisitas).
Uji toksisitas diperlukan untuk menilai keamanan suatu obat, maupun bahan
yang dipakai sebagai suplemen ataupun makanan. Hal juga untuk melindungi
masyarakat dari efek yang mungkin merugikan Efek toksik obat-obatan sering
terlihat dalam hepar, dikarenakan hepar berperan sentral dalam memetabolisme
semua obat dan bahan-bahan asing yang masuk tubuh. Hepar akan mengubah
struktur obat yang lipofilik menjadi hidrofilik sehingga mudah dikeluarkan dari
tubuh melalui urin atau empedu (Setiawan,dkk,2007). Ekskresi melalui empedu
memungkinkan terjadinya penumpukan xenobiotik di hepar sehingga
menimbulkan efek hepatotoksik (Donatus IO, 2007)
Untuk melakukan uji toksisitas umumnya menggunakan metode BSLT
(BrineShrimpLethalityTest). BSLT (BrineShrimpLethalityTest) merupakan salah
satu metode skrining bahan yang berpotensi sebagai tanaman berkhasiat. Metode
penelitian ini menggunakan larva udang (Artemia salina Leach.) sebagai
bioindikator. Larva udang ini merupakan organism sederhana dari biota laut yang
sangat kecil dan mempunyai kepekaan yang cukup tinggi terhadap toksik (Parwati
dan Simanjuntak, 1998).
1.2. Perumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan toksikologi?
b. Apa yang dimaksud dengan toksisitas?
c. Apa saja jenis-jenis toksisitas?
d. Bagaimana cara pengujian toksisitas?
1.3. Tujuan
a. Mengetahui definisi uji toksisitas dan macam-macam uji toksisitas.
b. Dengan uji toksisitas ini dapat diketahui ketoksikan suatu bahan obat
terhadap makhluk hidup.
c. Dapat mengetahui LD50 dan LC50
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Toksikologi
Toksikologi adalah pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh bahan kimia
yang merugikan bagi organisme hidup. Pengaruh yang merugikan ini timbul
sebagai akibat terjadinya inter aksi diantaraagent-agent toksis (yang memiliki
kemampuan untuk menimbulkan kerusakan pada organisme hidup) dengan sistem
biologi dari organisme.
Pada beberapa racun, yang bereaksi itu bukan agentnya sendiri, tetapi hasil
metabolismenya. Proses pengerusakan ini baru terjadi apabila pada target organ
telah menumpuk satu jumlah yang cukup dari agent toksik ataupun metabolitnya,
begitupun hal ini bukan berarti bahwa penumpukan yang tertinggi dari agent
toksis itu berada di target organ, tetapi bisa juga ditempat yang lain.
Selanjutnya, untuk kebanyakan racun-racun, konsentrasi yang tinggi dalam
badan. Maka, menimbulkan kerusakan yang lebih banyak. Konsentrasi racun
dalam badan ini merupakan fungsi dari jumlah racun yang dipaparkan, yang
berkaitan dengan kecepatan absorpsinya dan jumlah yang diserap, juga
berhubungan dengan distribusi, metabolisme maupun ekskresi agent toksis
tersebut.
Toksikologi merupakan ilmu yang sangat luas yang mencakup berbagai
disiplin ilmu yang sudah ada seperti ilmu kimia, Farmakologi, Biokimia,
Forensik, Medicine dan lain-lain. Ada beberapa toksik yang dapat ditangani
dengan mudah atau bahkan tidak dapat ditangani akibat tingkat keparahan yang
berbeda.
2.2. Jenis Toksisitas
a. Tetrodotoksin (Fugu Poisoning)
Keracunan jenis ini hanya terjadi pada ikan yang termasuk dalam orde
Tertraodontiformes,seperti puffer-like fish(fugu): globe fish, ballon fish (buntal),
blow fish dan toad fish .Keracunan biasanya terjadi setelah menyantap ikan yang
ditangkap dan tidak dikelola oleh ahlinya (uncertified handlers). Bahkan
keracunan tetrodoktosin masih sering terjadi di Jepang (terutama oleh ikan fugu),
meskipun pengolahan ikan tersebut sudah dilakukan oleh orang yang ahli. Racun
ini terkumpul di kulit dan organ dalam ikan.
Patogenesis
Tetrodotoksin adalah molekul organic berukuran kecil, bersifat heterosiklik
yang bekerja pada kanal natrium yang aktif di jaringan saraf. Racun ini memblok
difusi natrium melalui kanal natrium sehingga depolarisasi dan propagasi
potensial aksi sel-sel saraf dihambat. Dengan kata lain, tetrodotoksin merupakan
neurotoksin.
Tetrodotoksin bekerja langsung pada system saraf pusat dan perifer (saraf
otonom, motorik dan sensorik). racun ini juga mampu merangsang chemoreceptor
trigger zone di medulla oblongata dan menekan pusat pernafasan dan vasomotor
pada area tersebut.
Tetrodotoksin bersifat tahan panas (kecuali dalam suasana basa), larut dalam
air, bukan termasuk protein, menyerupai quinazoline dan ditemukan terutama
pada bagian tubuh ikan, seperti kulit, hati, ovarium, usus dan (mungkin juga)otot.
Karena kandungan toksin di dalam ovarium sangat tinggi, ikan betina akan sangat
beracun bila di makan pada musim bertelur.
Tetrodotoksin diyakini disintesis oleh bakteri atau dinoflagellata yang
berkaitan dengan ikan puffer. Kadar toksisitasnya bervariasi menurut musim. Di
Jepang, ikan golongan ini (kebanyakan fugu) terbukti bebas- racun. Oleh sebab
itu, ikan ini banyak disantap oleh penduduk setempat hanya pada bulan Oktober
hingga Maret.
Dosis toksik racun ini belum diketahui pasti karena kadar tetrodotoksin pada
tubuh ikan tidak sama. Meskipun begitu, dengan takaran 1-2mg toksin murni
dapat berakibat fatal.
Gejala Klinis
Gejala keracunan pertama kali muncul pada waktu 15 menit hingga
beberapa jam (bahkan mencapai 20jam) setelah menyantap makanan yang
mengandung tetrodotoksin. Gejala awal meliputi parestesi bibir dan lidah, yang
berlanjut ke muka dan ekstremitas (yang selanjutnya disertai oleh rasa baal).
Seterusnya terjadi pula salvias, mual, muntah dan diare yang disertai sakit perut.
Kelainan yang ditimbulkan oleh racun ini pada umumnya menyerang
system kardiovaskular dan neurologis. Gangguan fungsi motorik berupa rasa
lemah, hipoventilasi (kemungkinan timbul sebagai dampak gangguan fungsi
system saraf pusat dan perifer) dan kemudian terjadi kesulitan berbicara.
Ascending paralysis berlangsung cepat selama 4-24 jam. Paralisis ekstremitas
mendahului paralisis bulbar, yang kemudian diikuti oleh paralisis otot pernafasan
meskipun reflex tendon masih positif ketika paralisis terjadi.
Akhirnya fungsi jantung terganggu disertai oleh hipotensi, distrima
(bradikardia), gangguan fungsi system saraf pusat (koma) dan kejang. Penderita
yang mengalami keracunan berat dapat jatuh dalam keadaan koma yang dalam,
apnea, pupil terfiksasi dengan reflex negative, serta hilangnya seluruh reflex
batang otak. Kematian umumnya terjadi dalam 4-6 jam, biasanya berpangkal pada
paralisis otot pernafasan dan gagal napas.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan tanda lenyapnya fungsi neuron sensorik
dan motorik (tanda utama), asending paralysis dengan depresi pernapasan dan
sianosis dengang gagal napas. Hipotensi dapat pula disertai disfungsi miokardium.
Tanda yang mengancam jiwa adalah gangguan irama jantung, terutama
bradikardia, blok nodus atrioventrikular dan bludlebranch block. sementara itu,
berpengaruh terhadap saluran cerna tidak begitu menonjol, meskipun muntah dan
nyeri perut dapat timbul.
Penanganan
Sebelum tiba di rumah sakit, penderita membutuhkan endotracheal
intubation sebagai upaya untuk mengantisipasi kemungkinan paralisis otot
pernapasan. Kemungkinan gangguan fungsi jantung dicegah dengan pemberian
cairan IV dan obat antiaritmia.
Di rumah sakit (sewaktu di UGD), amankan saluran napas sebelum gagal
napas atau aspirasi terjadi. Cairan IV segera diberikan ketika terjadi aritmia akut,
atau vasopresor jika diperlukan. Tindakan selanjutnya adalah membuang toksin
yang mungkin masih berada dalam saluran cerna. Secara teoritis, bilas lambung
dapat dilakukan melalui jalur nasogastrik atau orogastrik, tetapi penggunaan cara
ini mungkin menimbulkan komplikasi aspirasi sekaligus merusak esophagus.
Oleh sebab itu, pemberian arang aktif dengan atau tanpa katartik dianjurkan untuk
semua penderita. Bilas lambung tidak diperkenankan jika terjadi muntah.
Tanda vital dan oksigenasi harus diperhatikan selama perawatan karena
penderita dapat mengalami dekompensasi mendadak. Perubahan setiap tanda vital
wajib ditangani secara intensif. Pengobatan selanjutnya adalah menopang fungsi
jantung hingga seluruh toksin terbuang dari dalam tubuh.
Belum ada antidotum spesifik yang dapat diaplikasikan bagi manusia. Pada
hewan, antibody monoclonal telah diujicobakan terhadap tetrodotoksin, yang
berkhasiat menyelamatkan jiwa pada tikus. Selain itu, diujicobakan pula 4-
aminopyridine (sejenis penyekat kanal kalium) terhadap kelinci yang teracuni
oleh tetrodotoksin, yang menghasilkan perbaikan dramatis terhadap status
pernapasan, jantung dan system saraf. Sayang sekali, belum ada laporan pengujian
(ekstrapolasi) obat ini terhadap manusia.
Perlu diingatkan bahwa seluruh penderita keracunan tetrodotoksin harus
dirawat di ruang ICU. Gejala klinis dapat munculdalam waktu 6 jam, tetapi kerap
timbul hingga 12-20 jam.
Prognosis
Meskipun telah ditangani dengan baik, taksiran angka kematian akibat
keracunan tetrodoksin masih mencapai 50-60%. Prognosis mungkin baik bila
penderita dapat bertahan pada 24 jam pertama.
b. Toksisitas Jamur
Kasus keracunan yang disebabkan oleh ingesti jamur beracun telah lama
dikenali. Jamur beracun yang tercatat dalam sejarah tertua adalah Amanita
Muscaria. Sekuntum Amanita dapat menyebabkan keracunan parah, sedangkan
jika termakan 3 kuntum, lebih kurang 40g, hampir dapat dipastikan menyebabkan
kematian. Secara morfologis, jamur yang beracun sulit dibedakan dengan jamur
yang boleh dimakan. Ahli jamur sekalipun, akan sulit membedakannya.
Berdasarkan masa laten (waktu antara setelah memakan dan timbulnya
gejala klinis), jamurberacun dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu (1)golongan
delayed onset dan (2)golongan rapid onset. Jamur yang mematikan adalah jenis
yang termasuk dalam golongan delayed onset, yaitu Amanita phallodies, Amanita
verna dan Galerina spp. gejala klinis akan tampak sekita 6 jam setelah menyantap
jamur. Racun tersebut bersifat sitotoksik dan sangat toksik terhadap hati dan ginjal
serta stabil pada pemanasan.
Kelompok rapid onset (gejala klinis akan muncul kurang dari dua jam
setelah memakan jamur tersebut)mencakup jamur yang mengandung zat
halusinogen, yang menghasilkan zat psikotropik dan LSD-like effect. Contoh
jamur yang termasuk dalam golongan ini adalah Amanita Muscaria dan Amanita
pantherina.
Penanganan
Penanganan yang khas sesungguhnya belum ditemukan. Penanganan yang
di anjurkan sampai saat ini hanya bersifat suportif, yaitu dengan melakukan hal-
hal berikut.
Pembilasan lambung dan pemberian arang aktif
Hal ini dilakukan untuk melenyapkan toksin yang belum tertserap. Arang
aktif memiliki affinitas yang kuat terhadap toksi jamur.
Pemasangan pipa duodenum
Dilakukan sebagai media untuk melakukan aspirasi. Aspirasi harus
dilakukan setiap jam hingga 36 jam untuk membuang toksin dari dalam
duodenum. Karena adanya sirkulasi enterohepatik, penghisapan cairan duodenum
dapat pula berarti mencegah reabsorbsi racun, yang akan mencegah kerusakan sel-
sel hati.
Dialisis
Racun amanita mudah didialisis dan berafinitas tinggi terhadap arang aktif.
Bila didialisis dilakukan dalam 24 jam sejak timbulnya gejala keracunan,
kematian kemungkinan besar dapat dicegah. Diuresis paksa tidak boleh dilakukan
karena dapat memperburuk kerusakan sel-sel ginjal.
Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa dapat dilakukan dengan cara-cara berikut.
1 Pemberian penisilin dosis tinggi
2 Pemberian sitokrom C. Sayangnya, manfaat tindakan ini belum dapat
dibuktikan;
3 Pemberian thiotic acid. Secara teoritis, thiotic acid bekerja dengan
menjaga sel-sel hati dari metabolit polipeptida amatoksin dan faloidin.
Dosis yang dianjurkan sebesar 200-300 mg, diberikan secara intravena
setiap 6 jam.
Gejala klinis kelompok rapid onset
Gejala klinis akan terlihat sekitar 1 jam setelah menyantap jamur (gejala
efek muskarinik), yaitu berupa salvias, keringat dan lakrimasi dalam jumlah besar,
sekresi bronkus yang bertambah, miosis, bradikardi, sakit perut, nausea, muntah
dan diare. Penanganan: berikan antidotum yang khas yaitu atropine.
Klasifikasi obat pereda gejala
Obat pereda gejala yang digunakan dalam upaya pemulihan keracunan
jamur dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1 Decontaminasi saluran cerna
Decontaminasi saluran cerna bekerja dengan mengikat racun yang masih
berada di dalam saluran cerna sehingga kemungkinan racun terserap secara
sistemik dapat diminimalkan
2 Antimetik
Antimetik digunakan untuk mengendalikan rasa mual dan muntah.
Metoklopramid adalah zat prokionetik yang meningkatkan motilitas saluran
cerna dan dapat mempercepat pengosongan lambung. Dosis obat tersebut
dibatasi untuk orang dewasa yaitu tidak lebih dari 1 mg/kgBB (10mg) yang
diberikan secara intarvena setiap 2-3 jam. Dosis anak (usia 6-14 tahun)
ditakar sebanyak 2,5 mg dan juga diberikan secara intavena setiap 2-3 jam.
3 Antagonis reseptor H2
Antagonis reseptor H2 digunakan sebagai penyekat (blocker) kompetitif
yang irreversible pada reseptor H2 (terutama di sel-sel parietal tempat
penghambatan sekresi asam lambung)
c. Toksisitas Timbal
Manusia senantiasa dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya
sehari-hari. Dilingkungan yang kadar logam beratnya cukup tinggi, kontaminasi
dalam makanan, air dan udara dapat menyebabkan keracunan. Timbal
(plumbum /Pb ) atau timah hitam adalah satu unsur logam berat yang lebih
tersebar luas dibanding kebanyakan logam toksik lainnya. Kadarnya dalam
lingkungan meningkat karena penambangan, peleburan dan berbagai
penggunaannya dalam industri.
Timbal berupa serbuk berwarna abu-abu gelap digunakan antara lain sebagai
bahan produksi baterai dan amunisi, komponen pembuatan cat, pabrik tetraethyl
lead, pelindung radiasi, lapisan pipa, pembungkus kabel, gelas keramik, barang-
barang elektronik, tube atau container, juga dalam proses mematri.
Keracunan dapat berasal dari timbal dalam mainan, debu ditempat latihan
menembak, pipa ledeng, pigmen pada cat, abu dan asap dari pembakaran kayu
yang dicat, limbah tukang emas, industri rumah, baterai dan percetakan. Makanan
dan minuman yang bersifat asam seperti air tomat, air buah apel dan asinan dapat
melarutkan timbal yang terdapat pada lapisan mangkuk dan panci. Sehingga
makanan atau minuman yang terkontaminasi ini dapat menimbulkan keracunan.
Bagi kebanyakan orang, sumber utama asupan Pb adalah makanan yang
biasanya menyumbang 100 300 ug per hari Timbal dapat masuk kedalam tubuh
manusia melalui pernafasan, pemaparan maupun saluran pencernaan. Lebih
kurang 90 % partikel timbal dalam asap atau debu halus di udara dihisap melalui
saluran pernafasan. Penyerapan di usus mencapai 5 15 % pada orang dewasa.
Pada anak- anak lebih tinggi yaitu 40 % dan akan menjadi lebih tinggi lagi apabila
si anak kekurangan kalsium, zat besi dan zinc dalam tubuhnya. Laporan yang
dikeluarkan Poison Center Amerika Serikat menyatakan anak-anak merupakan
korban utama ketoksikan timbal; dengan 49 % dari kasus yang dilaporkan terjadi
pada anak-anak berusia kurang dari 6 tahun. Yang lebih menghawatirkan adalah
efeknya terhadap kecerdasan (IQ) anak anak, sehingga menurunkan prestasi
belajar mereka, walaupun kadar timbal di dalam darah mereka tidak dianggap
toksik.
Timbal (Plumbum) beracun baik dalam bentuk logam maupun garamnya.
Garamnya yang beracun adalah : timbal karbonat ( timbal putih ); timbale
tetraoksida ( timbal merah ); timbal monoksida; timbal sulfida; timbale asetat
( merupakan penyebab keracunan yang paling sering terjadi ).
Ada beberapa bentuk keracunan timbal, yaitu keracunan akut, subakut dan
kronis. Nilai ambang toksisitas timbal ( total limit values atau TLV ) adalah 0,2
miligram/m3 .
Keracunan akut
Keracunan timbal akut jarang terjadi. Keracunan timbal akut secara tidak
sengaja yang pernah terjadi adalah karena timbal asetat. Gejala keracunan akut
mulai timbul 30 menit setelah meminum racun. Berat ringannya gejala yang
timbul tergantung pada dosisnya. Keracunan biasanya terjadi karena masuknya
senyawa timbal yang larut dalam asam atau inhalasi uap timbal. Efek adstringen
menimbulkan rasa haus dan rasa logam disertai rasa terbakar pada mulut. Gejala
lain yang sering muncul ialah mual, muntah dengan muntahan yang berwarna
putih seperti susu karena Pb Chlorida dan rasa sakit perut yang hebat. Lidah
berlapis dan nafas mengeluarkan bau yang menyengat. Pada gusi terdapat garis
biru yang merupakan hasil dekomposisi protein karena bereaksi dengan gas
Hidrogn Sulfida. Tinja penderita berwarna hitam karena mengandung Pb Sulfida,
dapat disertai diare atau konstipasi. Sistem syaraf pusat juga dipengaruhi, dapat
ditemukan gejala ringan berupa kebas dan vertigo. Gejala yang berat mencakup
paralisis beberapa kelompok otot sehingga menyebabkan pergelangan tangan
terkulai ( wrist drop ) dan pergelangan kaki terkulai (foot drop).
Keracunan subakut
Keracunan sub akut terjadi bila seseorang berulang kali terpapar racun
dalam dosis kecil, misalnya timbal asetat yang menyebabkan gejala-gejala pada
sistem syaraf yang lebih menonjol, seperti rasa kebas, kaku otot, vertigo dan
paralisis flaksid pada tungkai. Keadaan ini kemudian akan diikuti dengan kejang-
kejang dan koma. Gejala umum meliputi penampilan yang gelisah, lemas dan
depresi. Penderita sering mengalami gangguan system pencernaan, pengeluaran
urin sangat sedikit, berwarna merah. Dosis fatal : 20 - 30 gram. Periode fatal : 1-3
hari.
Keracunan kronis
Keracunan timbal dalam bentuk kronis lebih sering terjadi dibandingkan
keracunan akut. Keracunan timbal kronis lebih sering dialami para pekerja yang
terpapar timbal dalam bentuk garam pada berbagai industri, karena itu keracunan
ini dianggap sebagai penyakit industri. seperti penyusun huruf pada percetakan,
pengatur komposisi media cetak, pembuat huruf mesin cetak, pabrik cat yang
menggunakan timbal, petugas pemasang pipa gas. Bahaya dan resiko pekerjaan
itu ditandai dengan TLV 0,15 mikrogram/m3, atau 0,007 mikrogram/m3 bila
sebagai aerosol.
Keracunan kronis juga dapatbterjadi pada orang yang minum air yang
dialirkan melalui pipa timbal, juga pada orang yang mempunyai kebiasaan
menyimpan Ghee (sejenis makanan di India) dalam bungkusan timbal.
Keracunan kronis dapat mempengaruhi system syaraf dan ginjal, sehingga
menyebabkan anemia dan kolik, mempengaruhi fertilitas, menghambat
pertumbuhan janin atau memberikan efek kumulatif yang dapat muncul
kemudian.
Gejala gejala
Secara umum gejala keracunan timbal terlihat pada sistem pencernaan
berupa muntah muntah, nyeri kolik abdomen, rasa logam dan garis biru pada
gusi, konstipasi kronis. Pada sistem syaraf pusat berupa kelumpuhan ( wrist drop,
foot drop, biasanya terdapat pada pria dewasa). Sistem sensoris hanya sedikit
mengalami gangguan, sedangkan ensefalopati sering ditemukan pada anak-anak.
Gejala keracunan ini pada sistem jantung dan peredaran darah berupa
anemia, basofilia pungtata, retikulosis, berkurangnya trombosit dan sel
polimorfonuklear, hipertensi dan nefritis, artralgia ( rasa nyeri pada sendi ). Gejala
pada bagian kandungan dan kebidanan berupa gangguan menstruasi, bahkan dapat
terjadi abortus.
Diagnosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan urine (jumlah koproporfirin
III meningkat ). Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang paling dianjurkan
sebagai screening test pada keracunan timbal. Kadar timbal dalam urin juga bisa
membantu menegakkan diagnosis, ketika kadarnya diatas 0,2 mikrogram /liter,
dianggap sudah cukup bermakna untuk diagnosis keracunan timbal.
Pemeriksaan sinar-x pada anak-anak untuk melihat garis yang radio-opak
pada metafisis tulang-tulang panjang bisa digunakan untuk menegakkan diagnosis
keracunan timbal.
Pertolongan pertama
Jika menemukan gejala-gejala keracunan timbal, masyarakat dapat memberi
pertolongan pertama untuk sedapat mungkin menekan risiko dan dampaknya pada
penderita. Untuk keracunan akut melalui saluran pencernaan misalnya, pasien
sebaiknya segera dipindahkan agar tidak terpapar lagi dengan timbal. Bilas
mulutnya dan berikan rangsangan untuk muntah ( untuk penderita yang sadar).
Rujuklah segera ke bagian perawatan medis. Kasus-kasus keracunan kronis
dapat ditekan dengan berbagai cara dengan merujuk factor-faktor yang
memungkinkan terjadinya keracunan tersebut. Misalnya, mengurangi kadar timbal
dalam bensin untuk mengurangi pemaparan timbal melalui pernafasan. Dengan
demikian dapat diharapkan terjadi penurunan kadar timbal dalam darah manusia.
Keracunan yang biasa terjadi karena tumpahan timbal di lingkungan industri
industri besar dapat dihindari dengan membersihkan tumpahan dengan hati-hati
( untuk tumpahan sedikit), atau dilakukan secara landfills (untuk tumpahan yang
banyak ).
d. Toksisitas Alkohol
Kesadaran 4 derajat
Tingkat satu penderita ngantuk tapi mudah di ajak bicara.
Tingkat dua penderita dalam keadaan sopor,dapat di bangunkan dengan
rangsangan minimal
Tingkat tiga penderita dalam keadaan soporokoma hanya dapat bereaksi
rangsangan maksimum
Tingkat empat penderita dalam keadaan koma .
Contoh :
Menurut mula waktu terjadinya: Gejala dan diagnosis keracunan yaitu a)
kronik: di tegakkan karna gangguan timbul perlahan dan lama sesudah
perjalanan. b) Akut: Timbul mendadak setelah pajanan dan sering mengenai pada
banyak orang
Menurut organ yang terkena: Racun ssp,racun jantung,ginjal dan lain- lain.
Menurut jenis bahan kimia golongan alcohol,fenol,organokrin,dan lain lain. Cara
mengatasi keracunan pada zat alcohol(etil) disertai dengan tanda dan gejala yaitu:
muntah,delirium, dan depresi ssp.
Penanganan
Simtomatik beri kopi tubruk,Emetik dan mustard satu sendok makan
dalam air atau garam dapur. Penanganan dan penyembuhan dengan dialysis
peritoneal di percepat bila pada dialisat di tambahkan alkali dan di berikan etil
alcohol diuresis paksa dengan simtomatik dengan memperbaiki asidosis
pernapasn diawasi dan berikan etil alcohol untuk menghambat oksidasi
methanol , dan berikan asam nikotin 4 (empat) untuk dilatasi arteri retina.
Tindakan lain yang bisa di lakukan adalah dengan cara transfusi darah
pada pasien yang mengalami kerusakan elemen darah dan akibat keracunan.
Dialisis peritoneal bila kadar obat dalam darah besar,dialysis akan berguna
begitupun sebaliknya seperti alcohol dan sebagainya. Dan selain itu tindakan
memberi cairan parenteral dalam jumlah besar (0,5-1,5 it per jam). Untuk
mempercepat eskresi obat melalui ginjal dengan sarat keracunan cukup berat,obat
tidak di ekresikan melalui jalan lain seperti melalui usus dan paru ,dan tidak di
ikat protein dan lemak.
e. Toksisitas Merkuri
Toksisitas senyawa merkuri tergantung dari bentuknya. Senyawa merkuri
organik lebih toksik dibanding senyawa anorganiknya, karena mudahnya
menembus sawar darah otak dan diabsorbsi sempurna pada saluran cerna.
Berlin (1983) mencatat bahwa tidak ada perbedaan antara efek akut maupun
kronik ketika terjadi akumulasi pada ambang toksik. Menurut WHO (1976), awal
dari efek toksik metilmerkuri terjadi ketika kadar dalam darah antara 200 500
ng/mL. Kadar dalam darah ini berkaitan dengan beban tubuh menanggung 30-50
mg merkuri per kg berat badan yang setara dengan asupan harian 3-7 mg/kg. Hal
yang perlu dicatat bahwa kemunculan gejala keracunan merkuri dapat tertunda
beberapa minggu atau bulan tergantung dari akumulasi senyawa merkuri dalam
tubuh.
Menurut Berlin (1983), tingkat keparahan paparan akan menentukan cetusan
efek toksisitas subkronik dan toksisitas itu terjadi bila terpapar pada tingkat yang
lebih rendah dari pemaparan kronik. Pada tingkatan subkronik ini tanda dan gejala
yang terlihat adalah gangguan indera, penyempitan bidang penglihatan, ketulian
dan gangguan motorik.
Toksisitas kronik yang pernah terjadi adalah kasus keracunan di Irak,
Minamata dan Niigata Jepang. Kasus toksisitas kronik di Jepang pertama kali
dilaporkan pada Mei 1956 di daerah sekitar Teluk Minamata. Hingga akhir tahun
1956 pasien bertambah menjadi 52 orang termasuk 17 orang tewas. Di tahun
1957, penyakit yang tidak diketahui ini disebut penyakit Minamata.
Di Irak, di awal 1970, lebih dari 6000 orang dirawat di rumah sakit dan 459
tewas karena mengkonsumsi roti yang dibuat dari tepung yang tercemar
metilmerkuri yang berasal dari fungisida. Kadar merkuri dalam tepung saat itu
berkisar 4,8-14,6 mg/g. Meskipun tak ada bukti teratogenik yang teramati, Amin-
Zaki (1974) menemukan efek yang parah pada perkembangan (gangguan motorik,
fungsi mental, kehilangan pendengaran dan kebutaan) pada bayi yang dilahirkan
dari ibu yang terpapar metilmerkuri pada kasus tepung di Irak.
Tidak ada informasi yang pada literatur untuk efek merkuri klorida pada
tikus jantan ataupun betina pada seluruh tahapan reproduksi. Namun sejumlah
peneliti melaporkan efek para reproduksi akibat dari metilmerkuri klorida
Toksisitas metilmerkuri secara umum berakibat pada gangguan non-karsinogenik
seperti diuraikan di atas. Belum ada informasi gangguan yang bersifat
karsinogenik pada manusia. Namun pada tikus percobaan dilaporkan terjadi tumor
ginjal hanya pada hewan jantan, tidak pada betina, pada pemberian metilmerkuri
15ppm selama 53 minggu. Toksisitas merkuri di sekitar kita 5ppm.
Target Organ
Metilmerkuri menyerang susunan saraf pusat dengan target organ utama
adalah otak. Data yang ada menunjukkan bahwa otak janin yang sedang
berkembang mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi dibanding orang dewasa.
Perbedaan seks sering ditemui pada studi toksisitas pada tikus dan mencit.
Akumulasi merkuri pada ginjal hewan betina secara statistik lebih tinggi dari
jantan. Konsentrasi yang tinggi pada betina diduga karena tingginya kadar
metalothionein pada ginjal betina.
Gambar 1. Mengilustrasikan adanya daerah lesi di beberapa zona pada sistem
saraf yang menunjukkan gejala dari penyakit Minamata.
Lesi pada cerebellum (1) berakibat pada hilang keseimbangan (ataxia) dan
gangguan bicara (dysarthria).Gangguan penglihatan terjadi pada penyempitan
bidang padang, kesulitan penglihatan pada daerah tepi akibat dari kerusakan di
daearah occipital lobe (2). Gangguan sensasi atau stereo anesthesia terjadi karena
kerusakan pada postcentral gyrus (3). Kelemahan otot, kram atau gangguan
pergerakan merupakan tanda dari kerusakan pada precentral gyrus (4). Kesulitan
pendengaran disebabkan adanya gangguan pada daerah temporal transverse gyrus
(5). Keluhan pada kesulitan dan gangguan indera perasa baik rasa nyeri, sentuhan
ataupun suhu akibat adanya gangguan pada saraf sensorik (6).
Pengobatan
Akibat secara neurologis dari penyakit Minamata adalah jelas sangat
merugikan dan bersifat permanen. Tujuan dari pengelolaan penyakit Minamata
adalah mengurangi penderitaan tubuh dari total merkuri yang masuk dan
minimalisasi kerusakan lebih jauh. Karena merkuri terikat pada gugus sulfhidril
pada sel-sel tubuh, penggunaan zat pengkhelat seharusnya diberikan pada tahap
awal pengobatan. Zat ini akan berkompetisi mengikat merkuri menggunakan
gugus thiol. Saat ini, zat yang terbaik untuk mengatasi penyakit Minamata adalah
asam 2,3-dimerkaptosuksinat (DMSA). Zat ini memiliki toksisitas rendah, pada
percobaan dengan hewan memperlihatkan hasil yang jauh lebih baik dibanding
dimerkaprol (BAL) ataupun d-penisilamin (DPCN). Bahkan dalam kasus
keracunan merkuri anorganik, penggunaan DMSA lebih disukai dibanding DCPN.
f. Toksisitas Pestisida
1 Klasifikasi Pestisida
Pestisida dapat digolongkan menurut penggunaannya dan disubklasifikasi
menurut jenis bentuk kimianya. Dari bentuk komponen bahan aktifnya maka
pestisida dapat dipelajari efek toksiknya terhadap manusia maupun makhluk
hidup lainnya dalam lingkungan yang bersangkutan.
Klasifikasi Bentuk Kimia Bahan active Keterangan
1. Insektisida Botani Nikotine Tembakau
Pyrethrine Pyrtrum
Rotenon -
Carbamat Carbaryl toksik kontak
Carbofuran toksik sistemik
Methiocorb bekerja pada
lambung
Thiocarb juga moluskisida
Organophosphat Dichlorovos toksik kontak
Dimethoat toksik kontak,
sistemik
Palathion
Malathion toksik kontak
Diazinon toksik kontak
Chlorpyrifos kontak dan ingesti
Organochlorin DDT
Lindane kontak, ingesti
Dieldrin persisten
Eldrin persisten
Endosulfan kontak, ingesti
gammaHCH kontak, ingesti
Herbisida Aset anilid Atachlor Sifat residu
Amida Propachlor
Diazinone Bentazaone Kontak
Carbamate Chlorprophan
Asulam
Triazine Athrazin
Metribuzine
Triazinone Metamitron Toksin kontak
Fungisida Inorganik Bordeaux mixture Protektan
Copper oxychlorid Proteoktan
Mercurous chloride
Sulfur
Benzimidazole Thiabendazole Protektan, sistemik
Hydrocarbon- Tar oil Protektan, kuratif
phenolik

2 Organophosphat
Lebih dari 50.000 komponen organophosphate telah disynthesis dan diuji
untuk aktivitas insektisidanya. Tetapi yang telah digunakan tidak lebih dari 500
jenis saja dewasa ini. Semua produk organophosphate tersebut berefek toksik bila
tertelan, dimana hal ini sama dengan tujuan penggunaannya untuk membunuh
serangga. Beberapa jenis insektisida digunakan untuk keperluan medis misalnya
fisostigmin, edroprium dan neostigmin yang digunakan utuk aktivitas
kholinomimetik (efek seperti asetyl kholin). Obat tersebut digunakan untuk
pengobatan gangguan neuromuskuler seperti myastinea gravis. Fisostigmin juga
digunakan untuk antidotum pengobatan toksisitas ingesti dari substansi
antikholinergik (mis: trisyklik anti depressant, atrophin dan sebagainya).
Fisostigmin, ekotiopat iodide dan organophosphorus juga berefek langsung untuk
mengobati glaucoma pada mata yaitu untuk mengurangi tekanan intraokuler pada
bola mata.
a Mekanisme toksisitas
Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis
pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya
dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih
dari beberapa mg untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa.
Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan
kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara
normal menghidrolisis asetylcholin menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim
dihambat, mengakibatkan jumlah asetylkholin meningkat dan berikatan dengan
reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal
tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh
bagian tubuh.
Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophosphate melakukan
fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil.
b Gejala keracunan
Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang timbul
sangat bergantung pada adanya stimilasi asetilkholin persisten atau depresi yang
diikuti oleh stimulasi.saraf pusat maupun perifer.
Tabel 2. Efek muskarinik, nikotinik dan saraf pusat pada toksisitas
organofosfat.
Efek Gejala
1. Muskarinik - Salivasi, lacrimasi, urinasi dan diaree (SLUD)
- Kejang perut
- Nausea dan vomitus
- Bradicardia
- Miosis
- Berkeringat
2. Nikotinik - Pegal-pegal, lemah
- Tremor
- Paralysis
- Dyspnea
- Tachicardia
3. Sistem saraf pusat - Bingung, gelisah, insomnia, neurosis
- Sakit kepala
- Emosi tidak stabil
- Bicara terbata-bata
- Kelemahan umum
- Convulsi
- Depresi respirasi dan gangguan jantung
- Koma
Gejala awal seperti SLUD terjadi pada keracunan organofosfat secara akut
karena terjadinya stimulasi reseptor muskarinik sehingga kandungan asetil kholin
dalam darah meningkat pada mata dan otot polos.
3 Carbamate
Insektisida karbamat telah berkembang setelah organofosfat. Insektisida ini
biasanya daya toksisitasnya rendah terhadap mamalia dibandingkan dengan
organofosfat, tetapi sangat efektif untuk membunuh insekta. Struktur karbamate
seperti physostigmin, ditemukan secara alamia dalam kacang Calabar (calabar
bean). Bentuk carbaryl telah secara luas dipakai sebagai insektisida dengan
komponen aktifnya adalah SevineR. Mekanisme toksisitas dari karbamate adalah
sama dengan organofosfat, dimana enzim achE dihambat dan mengalam
karbamilasi.
4 Organochlorin
Organokhlorin atau disebut Chlorinated hydrocarbon terdiri dari beberapa
kelompok yang diklasifikasi menurut bentuk kimianya. Yang paling populer dan
pertama kali disinthesis adalah Dichloro-diphenyl-trichloroethan atau disebut
DDT.
Tabel 3. Klasifikasi insektisida organokhlorin
Kelompok Komponen
Aldrin, Chlordan, Dieldrin, Heptachlor,
Cyclodienes
endrin, Toxaphen, Kepon, Mirex.
Hexachlorocyclohexan Lindane
Derivat Chlorinated-ethan DDT

Mekanisme toksisitas dari DDT masih dalam perdebatan, walaupun


komponen kimia ini sudah disinthesis sejak tahun 1874. Tetapi pada dasarnya
pengaruh toksiknya terfokus pada neurotoksin dan pada otak. Saraf sensorik dan
serabut saraf motorik serta kortek motorik adalah merupakan target toksisitas
tersebut. Dilain pihak bila terjadi efek keracunan perubahan patologiknya tidaklah
nyata. Bila seseorang menelan DDT sekitar 10mg/Kg akan dapat menyebabkan
keracunan, hal tersebut terjadi dalam waktu beberapa jam. Perkiraan LD50 untuk
manusia adalah 300-500 mg/Kg.
DDT dihentikan penggunaannya sejak tahun 1972, tetapi penggunaannya
masih berlangsung sampai beberapa tahun kemudian, bahkan sampai sekarang
residu DDT masih dapat terdeteksi. Gejala yang terlihat pada intoksikasi DDT
adalah sebagai berikut:
Nausea, vomitus
Paresthesis pada lidah, bibir dan muka
Iritabilitas
Tremor
Convulsi
Koma
Kegagalan pernafasan
Kematian
5 Pengobatan
Pengobatan keracunan pestisida ini harus cepat dilakukan terutama untuk
toksisitas organophosphat.. Bila dilakukan terlambat dalam beberapa menit akan
dapat menyebabkan kematian. Diagnosis keracunan dilakukan berdasarkan
terjadinya gejala penyakit dan sejarah kejadiannya yang saling berhubungan. Pada
keracunan yang berat , pseudokholinesterase dan aktifits erytrocyt kholinesterase
harus diukur dan bila kandungannya jauh dibawah normal, kercaunan mesti
terjadi dan gejala segera timbul.
Pengobatan dengan pemberian atrophin sulfat dosis 1-2 mg i.v. dan biasanya
diberikan setiap jam dari 25-50 mg. Atrophin akan memblok efek muskarinik dan
beberapa pusat reseptor muskarinik. Pralidoxim (2-PAM) adalah obat spesifik
untuk antidotum keracunan organofosfat. Obat tersebut dijual secara komersiil
dan tersedia sebagai garam chlorin.

g. Toksisitas Paracetamol
Toksisitas parasetamol disebabkan oleh penggunaan berlebihan atau
overdosis dari analgesik obat parasetamol (asetaminofen disebut di Amerika
Serikat).. Terutama menyebabkan luka hati, toksisitas parasetamol merupakan
salah satu penyebab paling umum dari keracunan di seluruh dunia. Di Amerika
Serikat dan Inggris itu adalah penyebab paling umum dari kegagalan hati akut.
Kerusakan hati, atau hepatotoksisitas , hasil bukan dari parasetamol itu
sendiri, tetapi dari salah satu perusahaan metabolit, N-asetil-p-benzoquinoneimine
(NAPQI).NAPQI menghabiskannya hati alami antioksidan glutathione dan
langsung merusak sel di dalam hati, yang mengarah kekegagalan hati. Faktor
risiko keracunan kronis yang berlebihan termasuk alkohol konsumsi, puasa atau
anoreksia nervosa , dan penggunaan obat-obat tertentu seperti isoniazid .

Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan parasetamol dari tubuh dan


menggantikan glutation. Arang aktif dapat digunakan untuk mengurangi
penyerapan parasetamol jika pasien hadiah untuk perawatan segera setelah
overdosis tersebut; penangkal asetilsistein bertindak sebagai prekursor
glutathione, membantu tubuh beregenerasi cukup untuk mencegah kerusakan hati.
Sebuah transplantasi hati sering diperlukan jika kerusakan hati menjadi berat.
liver. Pengobatan dini pada pasien memiliki prognosis yang baik, sedangkan
pasien yang mengembangkan kelainan hati besar biasanya memiliki hasil yang
buruk. Upaya untuk mencegah overdosis parasetamol termasuk membatasi
penjualan individu dan menggabungkan obat parasetamol dengan metionin , yang
diubah menjadi glutathione dalam hati.

Penanganan

Dekontaminasi Lambung

Pada orang dewasa, perlakuan awal untuk parasetamol overdosis adalah


dekontaminasi gastrointestinal. Parasetamol penyerapan dari saluran pencernaan
selesai dalam waktu dua jam dalam keadaan normal, sehingga dekontaminasi
paling berguna jika dilakukan dalam jangka waktu ini. Gastric lavage , lebih
dikenal sebagai perut memompa, dapat dipertimbangkan jika jumlah tertelan
berpotensi mengancam nyawa dan prosedur dapat dilakukan dalam waktu 60
menit menelan. Arang aktif adalah prosedur dekontaminasi gastrointestinal paling
umum karena adsorbsi parasetamol, mengurangi penyerapan gastrointestinal nya.
Penyelenggara arang aktif juga menimbulkan lebih sedikit risiko aspirasi dari
lavage lambung.
Tampak bahwa manfaat paling banyak dari arang aktif diperoleh jika
diberikan dalam waktu 30 menit untuk dua jam menelan. Penyelenggara aktif
arang paling lambat 2 jam dapat dipertimbangkan pada pasien yang mungkin
tertunda pengosongan lambung karena co-tertelan obat atau menelan berikut
berkelanjutan-atau preparat parasetamol tertunda-release.

Acetylcysteine

Acetylcysteine , juga disebut N-acetylcysteine atau NAC, bekerja untuk


mengurangi toksisitas parasetamol dengan mengisi toko tubuh antioksidan
glutathione . Glutathione bereaksi dengan NAPQI metabolit beracun sehingga
tidak merusak sel dan dapat dengan aman diekskresikan. Cysteamine dan
metionin juga telah digunakan untuk mencegah hepatotoksisitas, meskipun studi
menunjukkan bahwa keduanya berhubungan dengan lebih buruk efek dari
asetilsistein. Selain itu, asetilsistein telah terbukti menjadi penawar yang lebih
efektif, terutama pada pasien yang lebih besar dari 8 jam pasca-konsumsi.

Jika pasien menyajikan kurang dari delapan jam setelah overdosis


parasetamol, kemudian asetilsistein secara signifikan mengurangi risiko
[4]
hepatotoksisitas serius dan menjamin kelangsungan hidup. Jika asetilsistein
dimulai lebih dari 8 jam setelah konsumsi, terjadi penurunan tajam dalam
efektivitas karena kaskade peristiwa beracun dalam hati telah dimulai, dan risiko
nekrosis hati akut dan kematian meningkat secara dramatis. Meskipun asetilsistein
yang paling efektif jika diberikan lebih awal, masih memiliki efek
menguntungkan jika diberikan sebagai sebagai akhir 48 jam setelah konsumsi.
Dalam praktek klinis, jika pasien menyajikan lebih dari delapan jam setelah
overdosis parasetamol, arang aktif kemudian tidak berguna , dan asetilsistein
dimulai segera. Pada presentasi sebelumnya, arang dapat diberikan bila pasien
datang dan asetilsistein dimulai sambil menunggu hasil tingkat parasetamol untuk
kembali dari laboratorium.

Transplantasi Hati
Pasien dianjurkan untuk transplantasi jika mereka memiliki darah arteri pH
kurang dari 7,3 setelah resusitasi cairan atau jika pasien memiliki Grade III atau
ensefalopati IV, waktu protrombin lebih dari 100 detik, dan kreatinin serum lebih
besar dari 300 mmol / L Dalam 24 periode jam. Bentuk lain dari dukungan hati
telah digunakan termasuk transplantasi hati parsial. Teknik-teknik ini memiliki
keunggulan mendukung pasien sementara hati mereka sendiri melahirkan
kembali. Setelah fungsi hati kembali obat imunosupresif yang dihentikan dan
mereka menghindari minum obat imunosupresif selama sisa hidup mereka.

2.3. Jenis Pengujian Toksisitas


Uji toksikologi umum adalah berbagai uji yang dirancang untuk
mengevaluasi efek umum suatu senyawa secara keseluruhan pada hewan uji. Uji
yang termasuk dalam golongan ini, meliputi:
1. Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut adalah uji toksisitas terhadap suatu senyawa yang
diberikan dengan dosis tunggal pada hewan percobaan, yang diamati selama 24
jam atau selama 7-14 hari.
a. Tujuan uji toksisitas akut yaitu:
Menentukan jangkauan dosis letal dan berbagai efek senyawa terhadap
berbagai fungsi penting tubuh (seperti gerak; tingkah laku; dan
pernafasan) yang dapat dipergunakan sebagai indikator penyebab
kematian hewan uji,
Menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksik
spesifiknya
Memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya digunakan.
b. Dosis dan jumlah hewan:
Uji LD50 adalah menetapkan dosis yang akan membunuh 50% hewan dan
menentukan slope (kemiringan) kurva dosis vs respon.
c. Pengamatan dan pemeriksaan
Setelah perlakuan zat toksik, hewan harus diperiksa tidak hanya jumlah dan
waktu kematian, tetapi jga saraf sentral, saraf otonom, dan pengaruh terhadap
tingkah laku (termasuk reaksi awal, intensitas, dan lama reaksinya). Frekuensi
pengaruh dosis harus dicatat untuk masing-masing kelompok dosis.
Perhitungan LD50 dapat dilakukan dengan berbagai metode, yaitu:
a Miller dan Tainter (1945) : Metode statistic
b Litchfield dan Wilcoxon (1949) : Normogram
c Thomposon-Weil (Biometrics, 1952) : Menggunakan daftar dan jumlah
hewan yang sedikit, dengan taraf kebenaran 95%.
d. Klasifikasi zat kimia berdasarkan toksisitas relatif.
Klasifikasi umum sebagai berikut: No. Kategori LD50 (mg/kg)
1. Sangat tinggi <1
2. Tinggi 1-50
3. Sedang 50-500
4. Sedikit toksik 500-5000
5. Hampir tidak toksik 5000-15000
6. Relatif tidak toksik >15000
2. Uji Toksisitas Sub-kronik (Jangka Pendek)
Uji ini dimaksudkan untuk mengungkapkan berbagai efek berbahaya yang
dapat terjadi jika suatu senyawa digunakan selama waktu tertentu, selama waktu
tertentu, serta untuk menunjukkan apakah berbagai efek tersebut berkaitan dengan
dosis.
Kegunaan uji toksisitas sub-kronik adalah untuk mengetahui efek samping
dan kontraindikasi obat yang diuji. Uji ini dilakukan dengan memberikan bahan
tersebut berulang-ulang, biasanya setiap hari atau lima kali seminggu, selama
jangka waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan; yaitu 3 bulan untuk tikus,
dan 1 atau 2 tahun untuk anjing. Tetapi beberapa peneliti menggunakan jangka
waktu yang lebih pendek, misalnya pemberian zat kimia selama 14 dan 28 hari.
a Jenis Hewan Uji
Sekurang-kurangnya digunakan dua jenis hewan, hewan pengerat dan bukan
hewan pengerat. Biasanya dapat digunakan tikus dan anjing, dari dua jenis
kelamin, sehat, dewasa, umur 5 sampai 6 minggu untuk tikus, dan 4-6 bulan untuk
anjing.
b Jumlah Hewan Uji
Masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor hewan pengerat atau empat
ekor anjing untuk setiap jenis kelamin. Bila pada percobaan akan dilakukan
pengorbanan/pembedahan, maka jumlah hewan uji harus sudah dipertimbangkan
sebelumnya.
c Dosis Uji
Sekurang-kurangnya digunakan tiga kelompok dosis dan satu kelompok
kontrol untuk setiap jenis kelamin. Dosis dan jumlah kelompok dosis harus cukup,
hingga dapat diperoleh dosis toksik dan dosis tidak berefek. Dosis toksik harus
menyebabkan gejala toksik yang nyata pada beberapa hewan uji dan terjadinya
kematian tidak boleh lebih dari 10%, sedang dosis tidak berefek tidak boleh
menyebabkan gejala toksik. Sebagai dosis toksik biasanya digunakan 10-20% dari
harga LD50, dengan mempertimbangkan hasil yang diperoleh pada uji
pendahuluan, tingkat dosis lain ditetapkan dengan faktor perkalian tetap 2 sampai
10.
d Cara Pemberian Zat Uji
Pada dasarnya zat uji harus diberikan sesuai dengan cara pemberian atau
pemaparan yang diharapkan pada manusia. Bila diberikan secara oral, dapat
diberikan dengan cara pencekokan menggunakan sonde atau secara ad libitum di
dalam makanan atau minuman hewan. Bila zat uji akan dicampur dengan
makanan atau minuman hewan, jumlah zat uji yang ditambahkan harus
diperhitungkan berdasarkan jumlah makanan atau minuman yang dikonsumsi
setiap hari.
e Lama Pemberian Zat Uji
Lama pemberian zat uji selama 28 sampai 90 hari atau 10% dari
seluruh umur hewan, diberikan tujuh hari dalam satu minggu.
3. Uji Toksisitas Kronik (Jangka Panjang)
Pada dasarnya uji toksisitas kronik sama dengan toksisitas sub-akut.
Perbedaannya hanya terletak pada lamanya pemberian dosis dan masa
pengamatannya. Percobaan jenis ini mencakup pemberian obat secara berulang
selama 36 bulan atau seumur hewan, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan
untuk tikus, dan 710 tahun untuk anjing dan monyet. Memperpanjang percobaan
kronik untuk lebih dari 6 bulan tidak akan bermanfaat, kecuali untuk percobaan
karsinogenik. Umumnya satu atau lebih jenis binatang yang digunakan. Kecuali
tidak ditunjukkan, tikuslah yang digunakan, anjing dan primata merupakan pilihan
berikutnya. Karena ukurannya yang kecil, tikus tidak cocok digunakan dalam
studi toksisitas jangka panjang, meskipun mereka sering digunakan dalam studi
karsinogenesitas. Jantan dan betina dalam jumlah yang sama digunakan.
Umumnya 40-100 tikus ditempatkan dalam kelompok masing-masing dosis dan
juga dalam kelompok kontrol. Penggunaan anjing dan primata non manusia jauh
lebih sedikit.
a Metode BST
BSLT (BrineShrimpLethalityTest) merupakan salah satu metode
skrining bahan yang berpotensi sebagai tanaman berkhasiat. Metode penelitian ini
menggunakan larva udang(Artemia salina Leach.) sebagai bioindikator. Larva
udang ini merupakan organism sederhana dari biota laut yang sangat kecil dan
mempunyai kepekaan yang cukup tinggi terhadap toksik (Parwati dan
Simanjuntak, 1998).
Telurnya memiliki daya tahan hidup selama beberapa tahun dalam keadaan
kering. Telur udang dalam air laut akan menetas menjadi larva (nauplii) dalam
waktu 24 28 jam (Pujiati et al.,2002). Bila bahan yang diuji memberikan efek
toksik terhadap larva udang, maka hal ini merupakan indikasi awal dari efek
farmakologi yang terkandung dalam bahan tersebut. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa A. salina memiliki korelasi positif terhadap ekstrak yang
bersifat bioaktif. Metoda ini juga banyak digunakan dalam berbagai analisis
biosistim seperti analisis terhadap residu pestisida, miko toksin, polusi, senyawa
turunan morfin, dan karsinogenik dari phorbol ester (Meyer etal., 1982).
b Penetasan Larva Udang
Sebanyak 10 mg telur udang A. salina ditambah 100 mL air laut yang telah
disaring.Selanjutnya diberi pencahayaan lampu TL selama 48 jam sampai
telur udang A. salinamenetas sempurna dan siap diujicobakan.
c Uji Toksisitas terhadap Larva A. salina
Masing-masing sampel kemudian dipipet sebanyak 100 L dan diletakkan
dalam mikroplate, kemudian ditambah 10 L air laut yang berisi 10 larva udang
pada setiap sampel sehingga volume sampel menjadi setengahnya (1.000 ppm;
500 ppm; 250 ppm; 125 ppm; 62,5 ppm; 31,2 ppm; 15,6 ppm; 7,8 ppm). Jumlah
larva udang yang mati dan hidup dihitung setelah 24 jam. Kontrol dikerjakan
sama dengan perlakuan sampel, tetapi tanpa penambahan ekstrak. Ekstrak sampel
yang sukar larut dapat ditambahkan DMSO 1% satu sampai tiga tetes
(Kadarisman, 2000; Sutisna, 2000).

Anda mungkin juga menyukai