Anda di halaman 1dari 3

Panduan Praktik Klinis

SMF/KSM ILMU BEDAH


BAGIAN TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK

RSUD KabupatenMimika
TGL/BLN/THN
PENGESAHAN
:

Revisi Ke.

DITETAPKAN OLEH
DIREKTUR RSUD MIMIKA

Dr. Maurits Okoseray, MARS


NIP. 19570530 199003 1 001

ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILIS


(ICD X: D 106)
1. Pengertian (Definisi)

Suatu tumor pembuluh darah yang berasal dari dinding


posterolateral nasofaring. Secara hispatologi jinak, namun
secara klinis ganas karena mempunyai sifat ekspansi kuat
dan progresif sehinga menekan tulang dan jaringan sekitar.

2. Anamnesis

1. Laki-laki, usia muda (pubertas).


2. Sering epistaksis.
3. Gejala-gejala yang berhubungan dengan pertumbuhan
tumor.

3. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi: tampak mata menonjol dan bentuk muka frog


face.
b. Rinoskopi anterior: didapatkan tumor di bagian posterior
rongga hidung, fenomena palatum mole negatif.
c. Rinoskopi posterior: tampak tumor di nasofaring yang
berwarna merah keunguan.

4. Kriteria Diagnosis

1. Gejala khas adalah adanya epistaksis yang hebat dan


berulang karena tumor kaya pembuluh darah.
2. Gejala akibat tumor yang progresif ke anterior, dengan
masuk ke rongga hidung menimbulkan buntu hidung
unilateral/bilateral.
3. Mendesak dorsum nasi menimbulkan frog face.
4. Masuk keorbita menimbulkan protusio bulbi.
5. Ke lateral menutup tuba Eustachius menyebabkan otitis
media.
6. Bila masuk ke fisura pterigomaksilaris, fossa temporalis
timbul benjolan di pipi.
7. Perluasan ke superior: mendesak dasar tengkorak dan
masuk ke rongga tengkorak-otak.

5. Diagnosis

1. Anamnesis :
a. Laki-laki, usia muda (pubertas).
b. Sering epistaksis.
c. Gejala-gejala yang berhubungan dengan
pertumbuhan tumor.
2. Pemeriksaan fisik :
a. Inspeksi: tampak mata menonjol dan bentuk muka
frog face.
b. Rinoskopi anterior: didapatkan tumor di bagian
posterior rongga hidung, fenomena palatum mole
negatif.
c. Rinoskopi posterior: tampak tumor di nasofaring

yang berwarna merah keunguan.


3. Pemeriksaan penunjang :
a. Foto Water's dan tengkorak lateral untuk
mengetahui perluasan tumor.
b. Perlu dilakukan CT-Scan untuk melihat perluasan
tumor pada tumor yang besar. Angiograf untuk
melihat vaskularisasi tumor.
Biopsi tidak dianjurkan mengingat bahaya pendarahan,
sehingga diagnosis angiofibroma nasofaring juvenilis dapat
ditegakkan secara klinis.

Untuk menentukan derajat perluasan tumor:


a. T1 = Terbatas di nasofaring.
b. T2 = Tumor meluas ke rongga hidung atau ke
sinus sfenoid.
c. T3 = Tumor meluas ke satu atau lebih jaringan
sekitar antara lain: Antrum, etmoid, fossa
pterigomaksilaris, fossa intra temporal. orbita
dan atau Pipi
d. T4 = Tumor meluas ke intrakranial.
6. Diagnosis Banding

7. Pemeriksaan Penunjang

1. Polip koanal : permukaan rata, pucat mengkilap.


2. Adenoid : permukaan tak rata, posisi di tengah, tak ada
keluhan epistaksis.
3. Karsinonta nasofaring : usia 30-50 tahun. Sering disertai
pembesaran kelenjar leher.
1. Foto Water's dan tengkorak lateral untuk mengetahui
perluasan tumor.
2. Perlu dilakukan CT-Scan untuk melihat perluasan tumor
pada tumor yang besar. Angiograf untuk melihat
vaskularisasi tumor.
Biopsi tidak dianjurkan mengingat bahaya pendarahan,
sehingga diagnosis angiofibroma nasofaring juvenilis dapat
ditegakkan secara klinis.
Untuk menentukan derajat perluasan tumor:
a. T1 = Terbatas di nasofaring.
b. T2 = Tumor meluas ke rongga hidung atau ke
sinus sfenoid.
c. T3 = Tumor meluas ke satu atau lebih jaringan
sekitar a.l.: Antrum, etmoid, fossa
pterigomaksilaris, fossa intra temporal. orbita
dan atau Pipi
d. T4 = Tumor meluas ke intrakranial.

8. Terapi

1. Pembedahan, dengan pendekatan:


a. Ekstraksi melalui mulut dengan kabel. (khusus tumor
yang bertangkai). Transpalatal.
b. Rinotomi lateral.
c. Mid facial rlegloving.
2. Radiasi
Untuk tumor yang besar (T4) atau untuk tumor yang
residif, sisa tumor setelah operasi.
3. Hormonal
Pemberian hormon estrogen, bertujuan untuk
memperkecil tumor dan mengurangi risiko pendarahan

sehingga pembedahan lebih mudah dilakukan


9. Edukasi
10. Prognosis

Edukasi pasien tentang kronisnya penyakit penting untuk


membuat mereka lebih waspada pada rekurensinya.
Ad vitam
Ad sanationam
Ad fungsionam

11. Tingkat Evidens

I/II/III/IV

12. Tingkat Rekomendasi

A/B/C

13. Penelaah Kritis


14. Indikator Medis

: dubia ad malam
: dubia ad malam
: dubia ad malam

a.
b.

15. Kepustakaan

Ketua Komite Medik


dr. Jeanne Rini P, Sp.A, MSc, Ph.D
NIP. 19660222 199102 2 003

dr. Antonius Pasulu,MKes,Sp.THT


Epistaksis
Tumor
1. Ballenger JJ. The Nasopharynx. In: Ballenger JJ. ed.
Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th
ed Lea & Febiger Philadelphia London, 1991:294-28.
2. Krespi JP, Sevine TM. Tumours of the nose and paranasal
sinuses. In Paparella MM, Shumrick DA, Gluckman JL,
Meyerhoff WL. eds. Otolaryngology WB Saunders. Co.
31d ed. Philadelphia, London, Toronto, Montreal,
Sydney, Tokyo, 1991:1935-58.
3. Maves MD. Vascular tumors of the head and neck. In:
Bailey BJ and Pillsburry III HC. eds. Head and Neck
Surgery-Otolaryngology Vol. II Philadelphia: JB
Lippincott Company. 1993. 1397-409.

Penyusun
dr. Antonius Pasulu,MKes,Sp.THT
NIP. 19770411 200605 1 001

Anda mungkin juga menyukai