Anda di halaman 1dari 4

Panduan Praktik Klinis

SMF/KSM ILMU BEDAH


BAGIAN TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK

RSUD KabupatenMimika
TGL/BLN/THN
PENGESAHAN
:

Revisi Ke.

DITETAPKAN OLEH
DIREKTUR RSUD MIMIKA

Dr. Maurits Okoseray, MARS


NIP. 19570530 199003 1 001

KARSINOMA NASOFARING (ICD X: C 11)


1. Pengertian (Definisi)

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari


epitel mukosa nasofaring atau kelenjar yang terdapat di
nasofaring.

2. Anamnesis

Penyebab timbulnya karsinoma nasofaring masih belum


jelas, namun banyak yang berpendapat bahwa berdasarkan
penelitian-penelitian epidemiologik dan eksperimental, ada
tiga faktor yang berpengaruh,yakni:
1. Faktor genetik (ras mongolid)
2. Faktor virus (virus EIPSI'EIN BARR)
3. Faktor lingkungan (polusi asap kayu bakar, bahan
karsinogenik, d11).
Banyak ditemukan pada usia 40-50 tahun, laki-laki lebih
banyak daripada wanita dengan perbandingan 3:1.

3. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi luar: wajah, mata, rongga mulut, leher.


Pemeriksaan THT
1. Otoskopi: liang telinga, membran timpani.
2. Rinoskopi anterior:
Pada tumor endofitik tak jelas kelainan di rongga hidung,
mungkin hanya banyak sekret. Pada tumor eksofitik.
tampak tumor di bagian belakang rongga hidung,
tertutup sekret mukopurulen. fenomena palatum mole
negatif.
3. Rinoskopi Posterior:
Pada tumor endofitik tak terlihat tumor, mukosa
nasofaring tampak agak menonjol, tak rata dan
vaskularisasi meningkat.
Tumor eksofitik tampak tumor kemerahan.
Bila perlu rinoskopi posterior dilakukan dengan
menarik palatum mole ke depan dengan kateter
Nelaton.
4. Faringoskopi dan Laringoskopi:
Kadang- kadang faring menyempit karena penebalan
jaringan retrofaring. Refleks muntah dapat menghilang
(negatif).
Dapat dijumpai kelainan fungsi laring.

4. Kriteria Diagnosis

1. Gejala dini : merupakan gejala pada saat tumor masih


terbatas pada nasofaring:
i) Telinga: tinitus, pendengaran berkurang, grebek-grebek.
ii) Hidung: pilek kronis, ingus/dahak bercampur darah.
2. Gejala lanjut : merupakan gejala yang timbul oleh penyebaran
tumor secara ekspansif. infiltratif dan metastasis.

a. Ekspansif
1) Ke muka : menyumbat koane, terjadi buntu hidung.
2) Ke bawah : mendesak palatum mole (bombans)/
menonjol, terjadi gangguan menelan sesak
napas.
b. Infiltratif
1) Ke atas: masuk ke foramen laserum, menyebabkan
sakit kepala, paresis/paralisis N III. IV, V, VI secara
sendiri atau bersama-sama, menyebabkan gangguan
pada mata (ptosis, diplopi. oftalmoplegi, neuralgi
trigeminal).
2) Ke samping:
Menekan N IX, X: paresis palatum mole, faring,
gangguan menelan.
Menekan N XI: gangguan fungsi otot sternokleidomastoideus dan otot trapezius.
Menekan N XII: deviasi lidah.
Metastasis
Melalui aliran getah bening, menyebabkan pembesaran
kelenjar getah bening leher. (kaudal dari ujung
mastoid, dorsal dari angulus mandibula, medial dari
otot sternokleiodomastoideus).
Metastasis jauh ke: hati, paru, ginjal, limpa, tulang
dan sebagainya.
5. Diagnosis

a. Anamnesis yang cermat.


b. Pemeriksaan fisik:
Inspeksi luar: wajah, mata, rongga mulut, leher.
c. Pemeriksaan THT
1) Otoskopi: liang telinga, membran timpani.
2) Rinoskopi anterior:
Pada tumor endofitik tak jelas kelainan di rongga hidung,
mungkin hanya banyak sekret. Pada tumor eksofitik.
tampak tumor di bagian belakang rongga hidung,
tertutup sekret mukopurulen. Fenomena palatum mole
negatif.
3) Rinoskopi Posterior:
Pada tumor endofitik tak terlihat tumor, mukosa
nasofaring tampak agak menonjol, tak rata dan
vaskularisasi meningkat.
Tumor eksofitik tampak tumor kemerahan.
Bila perlu rinoskopi posterior dilakukan dengan
menarik palatum mole ke depan dengan kateter
Nelaton.
Faringoskopi dan Laringoskopi:
Kadang- kadang faring menyempit karena penebalan
jaringan retrofaring. Refleks muntah dapat menghilang
(negatif).
Dapat dijumpai kelainan fungsi laring.
d. Pemeriksaan penunjang
Biopsi:
Biopsi sedapat mungkin diarahkan pada tumor/daerah
yang dicurigai. Dilakukan dengan anestesi lokal.
Biopsi minimal dilakukan pada dua tempat (kiri dan
kanan), melalui rinoskopi anterior, bila perlu dengan
bantuan cermin melalui rinoskopi posterior. Bila perlu
biopsi dapat diulang sampai tiga kali.

Bila tiga kali biopsi hasil negatif, sedang secara klinis


mencurigakan adanya karsinoma nasofaring, biopsi dapat
diulangi dengan anestesi umum.
Biopsi melalui nasofaringoskopi dilakukan bila penderita
trismus, atau keadaan umum kurang baik.
Biopsi kelenjar getah bening leher dengan aspirasi jarum
halus dilakukan untuk konfirmasi.
X-foto: CT scan, untuk melihat perluasan tumor serta untuk
kepentingan pemberian radiasi.
6. Diagnosis Banding

7. Pemeriksaan Penunjang

a. TBC nasofaring
b. Adenoid persisten (pada anak)
c. Angiofibroma nasofaring juveniles (pada laki-laki muda).
1. X-foto: CT scan, untuk melihat perluasan tumor serta
untuk kepentingan pemberian radiasi.
2. Biopsi:
Biopsi sedapat mungkin diarahkan pada tumor/daerah
yang dicurigai. Dilakukan dengan anestesi lokal.
Biopsi minimal dilakukan pada dua tempat (kiri dan
kanan), melalui rinoskopi anterior, bila perlu dengan
bantuan cermin melalui rinoskopi posterior. Bila perlu
biopsi dapat diulang sampai tiga kali.
Bila tiga kali biopsi hasil negatif, sedang secara klinis
mencurigakan adanya karsinoma nasofaring, biopsi dapat
diulangi dengan anestesi umum.
Biopsi melalui nasofaringoskopi dilakukan bila penderita
trismus, atau keadaan umum kurang baik.
Biopsi kelenjar getah bening leher dengan aspirasi jarum
halus dilakukan untuk konfirmasi.

8. Terapi

a. Terapi utama: radiasi (4000-6000 R).


b. Terapi adjuvan: kemoterapi
Empat minggu setelah radiasi selesai dilakukan evaluasi
klinis, dan biopsi. Bila hasil biopsi negarif dan klinis
membaik, dilakukan pemeriksaan fisik serta biopsi ulang setiap
bulan (pada tahun pertama)_
Bila hasil biopsi positif, radiasi ditambah (booster).
Setelah dosis radiasi penuh, biopsi tetap positif diberikan
kemoterapi. Dapat dilakukan CT-scan untuk konfirmasi.
Bila tetap negatif, pada tahun kedua pemeriksaan ulang
dilakukan setiap 3 bulan kemudian pada tahun ketiga setiap
6 bulan, seterusnya setiap tahun sampai 5 tahun.

9. Edukasi

Menghindari faktor predisposisi seperti menghindari


makanan yang menggunakan pengawet (MSG) yang
dikonsumsi

10. Prognosis

11. Tingkat Evidens


12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis

Ad vitam
Ad sanationam
Ad fungsionam

: dubia ad malam
: dubia ad malam
: dubia ad malam
I/II/III/IV
A/B/C

dr. Antonius Pasulu,MKes,Sp.THT

a.
b.

15. Kepustakaan

Sekret
Tumor

1. Neel III HB, Slavit DH. Nasopharyngeal cancer. In:


Bailey BJ and Pillsburry III HC. eds. Head and Neck
Surgery - Otolaryngology Vol. II, Philadelphia: JB
Lippincott Compam. 1993:1257-73.
2. Skinner DW, Van Hasselt CA, Tsao SY. Nasopharyngeal
carcinoma: Mode of presentation. Ann Otol Rhinol
Laryngol 1991;100:544-51.

3. Tamori AT, Yoshizaki T, Miwa T, Furukawa M. Clinical


evaluation staging system for nasopharyngeal
carcinoma: comparison of fourth and fifth editions of
UICC TNM classifica tion. Ann Otol Rhinol Laryngol
2000; 109:1125-9.
4. Prasad U. Current status of combination chemotherapy and
radiotherapy in the treatment of advanced nasopharyngeal
carcinoma. Medical Progress 2000;17:8-10.
5. Pathmanathan R. Pathology. In: Chong VFH and Tsao SY,
eds. Nasopharyngeal Carcinoma. Singapore: Armour
Publishimg Pte Ltd 1997:6-13
6. Stanley RE, Fong KW. Clinical presentation and
diagnosis. In: Chong VFH and Tsao SY. eds.
Nasopharyngeal Carcinoma. Singapore: Armour
Publishimg Pte Ltd 1997:29-41

Ketua Komite Medik


dr. Jeanne Rini P, Sp.A, MSc, Ph.D
NIP. 19660222 199102 2 003

Penyusun
dr. Antonius Pasulu,MKes,Sp.THT
NIP. 19770411 200605 1 001

Anda mungkin juga menyukai