Sebaliknya dikota kurang memiliki lahan yang cukup untuk melakukan kegiatan
jasmani tersebut. Sehingga sering kita jumpai pada sekolah sekolah yang ada dikota
adanya sebuah lapangan yang multi fungsi yaitu adanya sebuah lapangan yang
digunakan untuk berbagai jenis kegiatan olahraga. Tetapi pada sekolah-sekolah yang
ada dikota memiliki sarana yang lebih lengkap.
Bila kita melihat kriteria yang telah ditetapkan oleh badan pengurus olahraga
yang mana disetiap orang dihitung minimal tiga meter persegi tentulah sekolah yang
ada didesa lebih baik dibandingkan sekolah-sekolah yang ada dikota mengenai
prasarana yang ada tetapi karena kurang tersedianya sarana yang mencukupi tentunya
ini akan menjadi sama saja bila dibandingkan dengan sekolah yang ada dikota.
Gaya mengajar yang dilakukan oleh guru dalam praktik pendidikan jasmani
cenderung tradisional. Model metode-metode praktik dipusatkan pada guru (Teacher
Centered) dimana para siswa melakukan latihan fisik berdasarkan perintah yang
ditentukan oleh guru. Latihan-latihan tersebut hampir tidak pernah dilakukan oleh
anak sesuai dengan inisiatif sendiri (Student Centered).
Minimnya sarana yang ada bukanlah masalah yang sepele meskipun dalam
pembelajaran pendidikan jasmani masalah ini dapat disiasati. Guru penjas selaku
pihak yang berhubungan dengan masalah ini hendaknya beliau harus lebih giat lagi
berusaha untuk pengadaan sarana tersebut, misalnya meminta bantuan pada pihak
sekolah atau sponsor-sponsor produk olah raga.
Kecenderungan
pembelajaran
demikian,
mengakibatkan
lemahnya
pengembangan potensi diri siswa dalam pembelajaran sehingga prestasi belajar yang
dicapai tidak optimal. Kesan menonjolnya verbalisme dalam pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar di kelas masih terlalu kuat. Hasil penelitian Rofiuddin (1990)
tentang interaksi kelas di sekolah dasar menunjukkan bahwa 95% interaksi kelas
dikuasai oleh guru. Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan oleh guru dalam interaksi
kelas berupa pertanyaan-pertanyaan dalam kategori kognisi rendah.
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa penggunaan model ini dalam rangka
mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan. Ada empat asumsi yang
mendasari model ini memiliki kedudukan yangsejajar dengan model-model
pengajaran lainnya. Keempat asumsi tersebut ialah: Pertama, secara implisit bermain
peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menekankan
dimensi di sini dan kini (here and now) sebagai isi pengajaran. Kedua, bermain
peran memberikan kemungkinan kepada para siswa untuk mengungkapkan perasaanperasaannya yang tak dapat mereka kenali tanpa bercermin kepada orang lain. Ketiga,
model ini mengasumsikan bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf kesadaran
untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Keempat, model mengajar ini
mengasumsikan bahwa proses-proses psikologis yang tersembunyi (covert) berupa
sikap-sikap nilai-nilai, perasaan-perasaan dan sistem keyakinan dapat diangkat ke
taraf kesadaran melalui kombinasi pemeranan secara spontan dan analisisnya.
Untuk dapat mengukur sejauh mana bermain peran memberikan manfaat kepada
pemeran dan pengamatnya ditentukan oleh tiga hal, yakni (1) kualitas pemeranan; (2)
analisis yang dilakukan melalui diskusi setelah pemeranan; (3) persepsi siswa
terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi nyata dalam kehidupan.
Pada tahap ini berlangsung interaksi antara guru dengan siswa, antarsiswa, dan antara
siswa dengan kelompok belajarnya.