Anda di halaman 1dari 33

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penayakit cacingan masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia.
Jenis-jenis cacing yang banyak ditemukan dan mudah berkembang di daerah
Asia tropis dan subtropis termasuk di Indonesia adalah

cacing gelang

(Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing


tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) (Peter dkk, 2003).
WHO memperkirakan hampir 2 milyar orang terinfeksi cacing.
Diperkirakan 1,05 milyar terinfeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan
1,3 milyar orang terinfeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) (Peter dkk,
2003).
Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi,
yaitu 60%-80%. Hal ini terjadi diakarenakan Indonesia berada dalam posisi
geografis dengan temperatur dan kelembaban yang sesuai untuk tempat hidup
dan berkembang biaknya cacing (Depkes, 2006). Infeksi cacing kronik yang
paling banyak menyerang anak balita dan anak usia sekolah dasar. Infeksi
cacing usus ditularkan melalui tanah yang tercemar telur cacing, tempat
tinggal yang tidak saniter dan cara hidup tidak bersih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di Pedesaan dan di daerah kumuh perkotaan di
Indonesia (Mardiana, 2008).

Sehubungan dengan tingginya angka prevalensi infeksi cacingan ada


beberapa faktor yang dapat mempengaruhi, yaitu pada daerah iklim tropik
yang merupakan tempat ideal bagi perkembangan telur cacing, perilaku yang
kurang sehat (seperti buang air besar di sembarang tempat, bermain tanpa
menggunakan alas kaki), sosial, ekonomi, umur, jenis kelamin, pendidikan dan
perilaku individu, sanitasi makanan dan sanitasi sumber air (Rampengan,
2007).
Bedasarkan latar belakang di atas, untuk meneliti hubungan antara
tingkat pendidikan ibu dengan upaya pencegahan infeksi cacing pada balita
sebagai berikut.

B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan upaya
pencegahan infeksi cacing pada balita di Desa Sambiroto Kecamatan Baron
Kabupaten Nganjuk ?

C. Tujuan Penelitian
1.

Tujuan Umum
Untuk Mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan upaya
pencegahan infeksi cacing pada balita.

2.

Tujuan Khusus

a) Mengetahui distribusi tingkat pendidikan ibu di Posyandu Desa


Sambiroto Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk.
b) Mengetahui distribusi infeksi cacing pada balita di Posyandu Desa
Sambiroto Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi masyarakat :
Mengetahui cara pencegahan infeksi kecacingan yang baik pada balita.
2. Bagi peneliti :
Dapat menambah pengetahuan dan memberi pengalaman dalam meneliti.
3. Bagi pengembangan ilmu :
Dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Pengertian pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2005) adalah proses pengubahan cara berfikir atau tata laku seseorang
atau sekolompok orang dalam, usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Menurut Ihsan Fuad (2005) pendidikan adalah aktivitas dan usaha
manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina
potensi potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta dan budi
nurani). Pendididkan juga berarti lembaga yang bertanggungjawab
menetapkan cita-cita (tujuan) pendidikan, isi, sistem dan organisasi
pendidikan. Lembaga-lembaga ini meliputi keluarga, sekolah dan
masyarakat.

2. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan adalah tahap pendidikan yang berkelanjutan,
yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tingkat
kerumitan bahan pengajaran dan cara menyajikan bahan pengajaran.
Tingkat pendidikan sekolah terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi (Ihsan, 2005).
1) Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan
dan keterampilan, menumbuhkan sikap dasar yang diperlukan dalam
masyarakat, serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti

pendidikan menengah. Pendidikan dasar pada prinsipnya merupakan


pendidikan yang memberikan bekal dasar bagi perkembangan
kehidupan, baik untuk pribadi maupun untuk masyarakat. Karena itu,
bagi setiap warga negara harus disediakan kesempatan untuk
memperoleh

pendidikan

dasar. Pendidikan

ini

dapat

berupa

pendidikan sekolah ataupun pendidikan luar sekolah, yang dapat


merupakan pendidikan biasa ataupun pendidikan luar biasa. Tingkat
pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar.
2) Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial budaya,
dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut
dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi. Pendidikan menengah
terdiri dari pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah
kejuruan. Pendidikan menengah umum diselenggarakan selain untuk
mempersiapkan peserta didik mengikuti pendidikan tinggi, juga untuk
memasuki

lapangan

kerja.

Pendidikan

menengah

kejuruan

diselenggarakan untuk memasuki lapangan kerja atau mengikuti


pendidikan keprofesian pada tingkat yang lebih tinggi. Pendidikan
menengah dapat merupakan pendidikan biasa atau pendidikan luar
biasa. Tingkat pendidikan menengah adalah SMP, SMA dan SMK.
3) Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta


didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki tingkat
kemampuan tinggi yang bersifat akademik dan atau profesional
sehingga dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam rangka pembangunan
nasional dan meningkatkan kesejahteraan manusia (Ihsan, 2005).
Manusia sepanjang hidupnya selalu akan menerima pengaruh dari tiga
lingkungan pendidikan yang utama yakni keluarga, sekolah dan
masyarakat. Pendidikan Tinggi terdiri dari Strata 1, Strata 1, Strata 3
(Ihsan, 2005).

B. Kecacingan
1. Infeksi cacing
Infeksi cacing terdapat luas di seluruh Indonesia yang beriklim
tropis, terutama di pedesaan, daerah kumuh, dan daerah yang padat
penduduknya. Semua umur dapat terinfeksi kecacingan dan prevalensi
tertinggi terdapat pada anak-anak. Penyakit ini sangat erat hubungannya
dengan keadaan sosial-ekonomi, kebersihan diri dan lingkungan. Infeksi
kecacingan

adalah

ditemukannya

satu atau

lebih

telur

cacing

padapemeriksaan tinja (Rifdah, 2007). Manusia merupakan hospes


beberapa nematoda usus (cacing perut), yang dapat mengakibatkan
masalah bagi kesehatan masyarakat. Diantara cacing perut terdapat
sejumlah species yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted

helminths). Diantara cacing tersebut yang terpenting adalah cacing


gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale
dan Necator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura). Jenisjenis cacing tersebut banyak ditemukan didaerah tropis seperti Indonesia.
Pada umumnya telur cacing bertahan pada tanah yang lembab, tumbuh
menjadi telur yang infektif dan siap untuk masuk ke tubuh manusia yang
merupakan hospes defenitifnya (Depkes RI, 2006).
2. Penyakit kecacingan
a) Askariasis
Terdapatnya cacing Ascaris dewasa dalam jumlah yang besar
di usus halus dapat menyebabkan abdominal distension dan rasa sakit.
Keadaan ini juga dapat menyebabkan lactose intolerance, malabsorpsi
dari vitamin A dan nutrisi lainnya (Taren, Nesheim & Crompton,
1997).
Hepatobiliary dan pancreatic ascariasis terjadi sebagai akibat
masuknya cacing dewasa dari dudenum ke orificium ampullary dari
saluran empedu, timbul kolik empedu, kolesistitis, kolangitis,
pankreatitis dan abses hepar (Khuroo, Zargar & Mahajan, 1990).
a.

Patofisiologi Arcaris lumbricoides


Menurut Effendy yang dikutip Surat Keputusan Menteri
Kesehatan (2006:7) disamping itu gangguan dapat disebabkan oleh
larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan
perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma loeffler.

Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan.


Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti
mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi
berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan
makanan (Malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing
menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus
(Ileus obstructive).
b.

Gejala Klinis Ascaris lumbricoides


Gejala cacingan sering dikacaukan dengan penyakitpenyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan
eosinofilia. Anak yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak
bergairah dan kurang konsentrasi belajar. Pada anak-anak yang
menderita Ascariasis lumbricoides perutnya tampak buncit, perut
sering sakit, diare, dan nafsu makan kurang. Biasanya anak masih
dapat beraktivitas walau sudah mengalami penuruanan kemampuan
belajar dan produktivitas. Pemeriksaan tinja sangat diperlukan
untuk ketepatan diagnosis yaitu dengan menemukan telur-telur
cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai
sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi (Menteri
Kesehatan, 2006).

c.

Epidemiologi Ascaris lumbricoides


Telur A. lumbricoides keluar bersama tinja, pada tanah yang
lembab dan tidak terkena sinar matahari langsung telur tersebut

berkembang menjadi bentuk infektif. Infeksi A. lumbricoides


terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama
makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor
(Menteri Kesehatan, 2006).
b) Ancylostomiasis
Infeksi cacing tambang (hookworm) pada manusia disebabkan
oleh Necator americanus (nekatoriasis) dan Ancylostoma duodenale
(ankilostomiasis). Cacing tambang mempunyai siklus

hidup yang

kompleks, infeksi oleh larva melalui kulit dan mengalami migrasi ke


paru paru dan berkembang menjadi dewasa pada usus halus. Infeksi
cacing tambang menyebabkan anemia mikrositik dan hipokromik
karena kekurangan zat besi akibat kehilangan darah secara kronis.
Cacing dewasa terutama hidup di daerah yeyunum dan duodenum.
Telur dikeluarkan melalui tinja dan tidak infektif pada manusia. Larva
filariform yang bersifat infektif hidup secara bebas di dalam tanah dan
air (Ideham, 2007).
a.

Patofisiologi Ancylostoma
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain
mengisap darah, cacing tambang juga menyebabkan perdarahan
pada luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi oleh cacing tambang
menyebabkan kehilangan darah secara perlahanlahan sehingga
penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat
menurunkan

gairah

kerja

serta

menurunkan

produktifitas.

10

Kekurangan darah akibat cacingan sering terlupakan karena adanya


penyebab lain yang lebih terfokus (Menteri Kesehatan, 2006).
b.

Gejala klinis dan Diagnosis Ancylostoma


Lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat,
rentan terhadap penyakit,, prestasi kerja menurun, dan anemia
merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi. Di samping itu
juga terdapat eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006).

c.

Epidemiologi Ancylostoma
Insiden ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada
penduduk

yang

bertempat

tinggal

di

perkebunan

atau

pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun


luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah
gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat.
Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai
pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini
(Gandahusada, 2000). Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva
adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32C38C. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai
sandal atau sepatu bila keluar rumah.
c) Trichiuriasis
Trichuris trichiura merupakan penyebab penyakit trikuriasis.
Karena bentuknya mirip cambuk, cacing ini sering disebut sebagai
cacing cambuk (whip worm). Cacing ini tersebar luas di daerah tropis

11

yang berhawa panas dan lembab. Trichuris trichiura hanya dapat


ditularkan dari manusia ke manusia sehingga cacing ini bukan parasit
zoonosis. Adapun cacing dewasa melekat pada mukosa usus penderita,
terutama di daerah sekum dan kolon, dengan membenamkan
kepalanya di dalam dinding usus. Kadang kadang cacing ini
ditemukan hidup di apendiks dan ileum bagian distal (Soedarto,
2008).
a.

Patofisiologi Trichuris trichiura


Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum
dapat juga ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat,
terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum,
kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami
prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing
ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi
trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus.
Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Di
samping itu cacing ini juga mengisap darah hospesnya sehingga
dapat menyebabkan anemia (Menteri Kesehatan, 2006).

b.

Gejala Klinik dan Diagnosis Trichuris trichiura


Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak
memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala.
Sedangkan infeksi berat dan menahun terutama pada anak
menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia, berat badan

12

menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus rektum. Infeksi


Trichuris trichiura yang berat juga sering disertai dengan infeksi
cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan
telur di dalam tinja (Gandahusada, 2000).
c.

Epidemiologi Trichuris trichiura


Yang

penting

untuk

penyebaran

penyakit

adalah

kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat


lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius. Di
berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan
sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di
beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar
antara 30-90 %. Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat
dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan
jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan
perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan,
mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting
apalagi di negera-negera yang memakai tinja sebagai pupuk
(Gandahusada, 2000).
3. Penatalaksanaan
Antihelmintik atau obat anti cacing (Yun. Anti = lawan, helmins =
cacing) adalah obat yang dapat memusnahkan cacing dalam tubuh manusia
dan hewan. Dalam istilah ini termasuk semua zat yang bekerja lokal
menghalau cacing dari saluran cerna maupun obat-obat sistemik yang

13

membasmi cacing serta larvanya yang menghinggapi organ dan jaringan


tubuh. Obat-obat yang tidak diresorpsi lebih diutamakan untuk cacing di
dalam rongga usus agar kadar setempat setinggi mungkin. Sebaliknya
terhadap cacing yang dapat menembus dinding-dinding usus dan menjalar
ke jaringan dan organ lain, misalnya cacing gelang, hendaknya digunakan
obat sistemik yang justeru diresorpsi baik ke dalam darah hingga mencapai
jaringan (Tan, 2007).
1) Mebendazol : Vermox
Ester-metil dari benzimidazol adalah antihelmintik berspektrum luas
yang sangat efektif terhadap cacing kermi, gelang, pita, cambuk dan
tambang. Obat ini banyak digunakan sebagai monoterapi untuk
penanganan massal penyakit cacing, juga pada infeksi campuran
dengan dua atau lebih jenis cacing. Mebendazol bekerja sebagai
vermisid, larvisid dan juga ovisid. Mekanisme kerjanya melalui
perintangan pemasukan glukosa dan mempercepat penggunaan
glikogen pada cacing. Penggunaan mebendazol tdak memerlukan
laksans. Resorpsinya dari usus adalah kecil yaitu kurang dari 10%.
Kesetaraan biologis mebendazol juga rendah akibat dari first pass
effect yang tinggi. Persentase pengikatan mebendazol pada protein
adalah 95%. Ekskresinya berlangsung lewat empedu dan urin.
*Albendazol (Eskazole) adalah derivat karbamat dari benzimidazol
(1988), berspektrum luas terhadap cacing kermi, gelang, pita, cambuk
dan tambang. Golongan obat ini terutama dianjurkan pada

14

echinococciosis (cacing pita anjing). Di dalam hati, zat ini segera


diubah menjadi sulfoksida, yag kemudian diekskresikan melalui
empedu dan urin (Tan, 2007).
2) Piperazin : Upixon
Zat basa ini sangat efektif terhadap cacing gelang (Ascaris) dan cacing
kermi

(Oxyuris)

neuromuskuler,

berdasarkan

hingga

cacing

perintangan
dilumpuhkan

penerusan-impuls
dan

kemudian

dikeluarkan dari tubuh melalui gerakan peristaltik usus. Di samping


itu juga, piperazin juga mempunyai khasiat sebagai laksans lemah.
Dahulu obat ini banyak digunakan kerana efektif dan murah, tetapi
sejak tahun 1984, banyak negara Barat menghentikan penggunaannya
berhubung efek samping terutama neurotoksisitasnya. Resorpsi dari
usus adalah cepat dan kurang lebih 20% diekskresikan melalui urin
dalam keadaan utuh
*Dietilkarbamazin : DEC, Hetrazan
Derivat piperazin ini dikembangkan sewaktu perang dunia kedua,
ketika kurang lebih 15.000 tentara AS yang ditempatkan di pulaupulau Pasifik Barat menderita filariasis. Obat ini khusus digunakan
terhadap mikrofilaria cacing benang, antara lain Wucheria bancrofti
dan Loa-Loa, sedangkan kurang efektif terhadap makrofilaria. Obat
ini mengubah permukaan membran cacing sehingga sistem imun
dapat memusnahkan cacing. Resorpsinya dari usus mudah sehingga
kadar dalam plasma darah mencapai puncak dalam 1-2 jam. Waktu

15

paruh dalam plasma adalah 10-12 jam. Lebih dari 50% diekskresikan
melalui urin dalam keadaan utuh (Tan, 2007).
3) Pirantel : Combantrin
Derivat pirimidin ini berkhasiat terhadap Ascaris, Oxyuris dan
Necator, tetapi tidak efektif terhadap Trichiuris. Mekanisme
bekerjanya melumpuhkan cacing dengan jalan menghambat propagasi
impuls neuromuskuler. Kemudian, parasit dikeluarkan oleh peristaltik
usus tanpa memerlukan laksans. Resorpsinya dari usus adalah ringan
(Howland, 2006). Ia diekskresikan dalam keadaan utuh bersama
metabolitnya melalui tinja sebanyak 50% dan lebih kurang 7%
dikeluarkan melalui urin.
4) Levamisol : Levotetramisol, Askamex, Ergamisol
Derivat imidazol ini (1969) sangat efektif terhadap cacing gelang dan
cacing tambang dengan jalan melumpuhkannya. Khasiat lainnya yang
sangat

penting

adalah

stimulasi

sistem

imunologi

tubuh

(imunostimulator pada kemoterapi).


5) Praziquantel : Biltricide
Derivat pirazino-isokinolin ini berkhasiat baik terhadap jenis tertentu
Schistosoma dan Taenia, sedangkan terhadap cacing hati Fasciola
hepatica tidak efektif.
Obat ini satu-satunya digunakan pada schistosomiasis dan juga
dianjurkan pada taeniasis. Khasiatnya berdasarkan kontraksi cepat
pada cacing dan disintegrasi membran cacing

16

6) Niklosamida : Yomesan
Senyawa nitrosalisilanilida ini sangat efektif sebagai vermisid
terhadap cacing pita, tetapi tidak efektif terhadap telurnya. Khasiatnya
diperkirakan melalui peningkatan kepekaan cacing terhadap enzim
protease dalam usus penderita hingga cacing lebih mudah dicerna.
Umumnya terapi dinilai efektif bila setelah 3-4 bulan tidak ditemukan
lagi segmen cacing (proglottida) dan telurnya dalam tinja (Tan &
Rahardja, 2007). Khususnya pada infeksi oleh Taenia solium setelah
segmen dicernakan, telurnya akan dibebaskan dalam rongga usus,
sehingga timbul kemungkinan cysticercosis bagi pasien. Dalam hal itu
perlu diberikan laksans garam 3-4 jam setelah pengobatan untuk
mengeluarkan segmen mati. Laksans tidak diperlukan pada infeksi
Taenia saginata karena tidak ada resiko cysticercosis. Resorpsinya
dalam saluran cerna sekitar 15% dan sebagian besar diekskresiakan
melalui urin dalam bentuk yang sudah direduksi, sisanya melalui tinja
dalam 1-2 hari. Waktu paruhnya dalam plasma darah adalah selama 3
jam.
7) Ivermectin : Stromectol
Hasil fermentasi dari jamur Streptomyces avermitilis ini merupakan
obat terpilih untuk infeksi cacing benang (onchocerciasis). Obat ini
berdaya mengurangi mikrofilaria di kulit dan di mata dengan efektif.
Ivermectin juga sangat efektif terhadap Ascaris dan Strongyloides,
tetapi lebih ringan daya kerjanya terhadap Oxyuris dan Trichiuris.

17

Selain itu, ampuh juga terahadap kudis dan kutu rambut. Waktu
paruhnya selama 12 jam dan ekskresinya berlangsung khusus melalui
tinja. Obat ini dikontraindikasi pasa pasien mengidap meningitis dan
juga pada ibu hamil. Pembasmian mikrofilaria dapat mengakibatkan
reaksi Mazotti yaitu demam, nyeri kepala, somnolens dan hipotensi
(Howland, 2006).
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Kecacingan
a) Faktor Iklim
Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu di
daerah tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi. Sedangkan
untuk Necator americanus dan Ancylostoma duodenale penyebaran ini
paling banyak di daerah panas dan lembab. Lingkungan yang paling
cocok sebagai habitat dengan suhu dan kelembapan yang tinggi
terutama di daerah perkebunan dan pertambangan (Onggowaluyo,
2002).
b) Faktor Pendidikan
Sri Alemina Ginting (2003), menemukan bahwa kejadian
kecacingan tertinggi pada anak sekolah di Desa Suka, Kecamatan Tiga
Panah, Kabupaten Karo adalah pada anak sekolah yang orang tuanya
berpendidikan SD. Kejadian infeksi yang lebih kecil ditemukan pada
anak sekolah yang orang tuanya memiliki tingkat pendidikan yang lebih
baik (Ginting, 2003).
c) Faktor Sosial Ekonomi

18

Sebagian besar masyarakat Indonesia, berpenghasilan rendah,


hal ini menyebabkan ketidak mampuan masyarakat untuk menyediakan
sanitasi perorangan maupun lingkungan.
d) Faktor Hygiene Perseorangan
Kebersihan diri yang buruk merupakan cerminan dari kondisi
lingkungan dan perilaku individu yang tidak sehat. Pengetahuan
penduduk yang masih rendah dan kebersihan yang kurang baik
mempunyai kemungkinan lebih besar terkena infeksi cacing.
Usaha kesehatan pribadi (personal higiene) adalah daya upaya
dari

seseorang

untuk

memelihara

dan

mempertinggi

derajat

kesehatannya sendiri meliputi:


a.

Memelihara kebersihan diri (mandi 2x/hari, cuci tangan sebelum


dan sesudah makan), pakaian, rumah dan lingkungannya (BAB
pada tempatnya).

b.

Memakan makanan yang sehat dan bebas dari bibit penyakit.

c.

Cara hidup yang teratur.

d.

Meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani.

e.

Menghindari terjadinya kontak dengan sumber penyakit.

f.

Melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup


sehat seperti sumber air yang baik, kakus yang sehat.

g.

Pemeriksaan kesehatan (Entjang, 2000)

e) Faktor Lingkungan

19

Penyakit kecacingan merupakan salah satu penyakit yang


berbasis lingkungan oleh karena itu pemberantasan penyakit cacing ini
harus melibatkan berbagai pihak. Faktor lingkungan seperti tanah, air,
tempat pembuangan tinja tercemar oleh telur atau larva cacing serta
berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula yaitu
personal higiene maka dapat menimbulkan kejadian kecacingan.
5. Pencegahan infeksi cacing
Menurut Satari (2007) tidak sulit untuk mencegah kecacingan pada
anak. Adapun langkah-langkah yang diberikan untuk diterapkan pada
anak-anak, antara lain:
1) Mandikan anak setiap hari. Gunakan air bersih yang bebas dari larva
cacing. Jika perlu, gunakan sabun yang bisa membasmi larva cacing.
2) Jangan biarkan kuku anak memanjang. Guntinglah kuku anak secara
teratur. Kuku bisa menjadi tempat mengendap kotoran yang
mengandung telur atau larva cacing.
3) Biasakan anak untuk cuci tangan dengan sabun. Lakukan setiap kali
setelah anak memegang benda-benda kotor atau sebelum makan.
4) Biasakan anak untuk selalu menggunakan sandal atau sepatu bila
keluar rumah, terutama bila berjalan di tanah. Tanah yang lembab
merupakan tempat favorit cacing untuk berkembang biak.
5) Bila ingin memakan sayuran mentah (lalapan) atau buah-buahan,
cucilah dengan air bersih yang mengalir. Bila perlu gunakan sabun

20

yang bisa digunakan untuk mencuci sayuran dan buah-buahan agar


bersih dari hama.
6) Memberi anak pengertian agar tidak memasukkan jarinya ke dalam
mulut. Terangkan kepadanya akibat yang bisa terjadi.
7) Lakukan toilet training pada waktunya dan ajarkan cara menjaga
kebersihan saat buang air besar dan buang air kecil.
8) Pelihara kebersihan lingkungan, baik di dalam maupun halaman
rumah.
9) Anjurkan pengasuh anak mencuci tangan sebelum memegang anak
atau menyuapi anak.
10) Menutup makanan agar terhindar dari lalat.
11) Hindari jajan makanan sembarangan
12) Anjurkan anggota keluarga minum obat cacing setiap 3 atau 4 bulan
sekali.
13) Minumlah obat cacing secara rutin minimal 4 bulan sekali untuk
seluruh keluarga
14) Pilihlah obat cacing yang dapat membunuh semua jenis cacing,
terutama yang perlu diperhatikan adalah kemampuannya membasmi
cacing cambuk
Menurut Sasongko (2000), kunci pemberantasan cacingan adalah
memperbaiki higiene dan sanitasi lingkungan, misalnya, tidak menyiram
jalanan dengan air got. Sebaiknya, bilas sayur mentah dengan air mengalir
atau mencelupkannya beberapa detik ke dalam air mendidih. Juga tidak

21

jajan di sembarang tempat, terlebih lagi jajanan yang terbuka. Biasakan


pula mencuci tangan sebelum makan, bukan hanya sesudah makan.
Dengan begitu, rantai penularan cacingan bisa diputus. Sama halnya
dengan Sadjimin (2000) yang mengatakan bahwa higiene yang kurang
sangat mendukung penyebaran infestasi cacing.

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Tingkat Pendidikan Ibu

Keterangan :
: Diteliti

Upaya Pencegahan
Infeksi Cacing

22

: Tidak diteliti

Gambar 0.1 Kerangka Konsep Penelitian

B. Hipotesis penelitian
Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan upaya
pencegahan infeksi cacing pada balita di Desa Sambiroto Kecamatan Baron
Kabupaten Nganjuk.

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik. Pengambilan data
dilakukan pada suatu waktu tertentu dengan cara wawancara kepada
responden menggunakan kuesioner. Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan metode analisis statistik korelasi.

23

B. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau obyek yang
akan diteliti (Soehartono, 2004). Populasi target dalam penelitian ini
adalah seluruh ibu yang mempunyai balita usia 1-5 tahun di Posyandu
Desa Sambiroto Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk yang berjumlah
1579 ibu yang mempunyai balita.
2. Sampel
Sampel adalah bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah dari sebagian karakter yang dimiliki populasi (Alimul, 2003).
Sampel penelitian ini adalah ibu yang mempunyai balita usia 1-5 tahun di
Desa Sambiroto Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk.

a.

Besar sampel
Dalam penentuan besar sampel dapatdilakukan dengan beberapa rumus.
Menurut Notoadmodjo, 2002 besar sampel ditentukan dengan rumus
sebagai berikut:
N

n=

1 Nd

keterangan : N = besar populasi


n = besar sampel
d = tingkat ketepatan yang diinginkan 0,1

24

1579

1 1579 0,1

maka

n=

n=

1579
1 1579 0,01
1579
16,79

n=
n = 94,044073853
n = 95 sampel

b. Teknik Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel menggunakan simple random sampling.
Penarikan sampel acak sederhana (simple random sampling) adalah
sebuah metode untuk memilih n unit dari N sehingga setiap elemen dari
c sampel yang berbeda mempunyai kesempatan yang sama untuk

N n

dipilih. Dalam praktek, penarikan sampel acak sederhana dipilih unit


per unit. Unit-unit dalam populasi diberi nomor dari 1 sampai N.
Serangkaian bilangan acak antara 1 dan N kemudian dipilih, dengan
cara menggunakan sebuah tabel bilangan acak atau dengan cara
menggunakan sebuah program komputer yang menghasilkan tabel
bilangan acak. Pada setiap penarikan, proses yang digunakan harus
memberikan kesempatan terpilih yang sama untuk setiap bilangan
dalam populasi. Unit-unit yang terpilih ini sebanyak n merupakan
sampel.

25

c. Kriteria Inklusi
1) Ibu yang mempunyai balita usia 1-5 tahun
2) Ibu balita yang bersedia untuk menjadi responden dan telah
mendapatkan informed consent sebelumnya untuk mengikuti
penelitian.
d. Kriteria Eksklusi
1) Ibu yang tidak mempunyai balita usia 1-5 tahun
2) Ibu balita yang tidak mau menjadi responden

C. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Posyandu Desa Sambiroto Kecamatan
Baron Kabupaten Nganjuk. Sedangkang pengambilan sampel dilaksanakan
selama bulan Sepetember 2015.

D. Variabel Penelitian
Variabel pada penelitian ini terdiri dari :
1. Variabel Independen
Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini adalah Tingkat
Pendidikan Ibu.
2. Variabel Dependen
Variabel Dependen (tergantung) dalam penelitian ini adalah Upaya
Pencegahan Infeksi cacing.

26

E. Definisi Operasional dan Cara Pengukuran


Tabel 0.1 Definisi operasional penelitian
No.
1.

Variabel

Definisi Operasional

Tingkat
pendidikan
ibu

Tingkat pendidikan
terakhir yang
ditamatkan responden
saat mengisi kuisioner

Kategori & Kriteria


a. Tidak Sekolah

Alat Ukur

Skala

Kuesioner

Nominal

Kuesioner

Ordinal

b. Pendidikan Dasar:
SD/SMP sederajat
c. Pendidikan
menengah: SMA
sederajat
: SMA sederajat

2.

Upaya
Pencegahan
Infeksi
Cacing

12 cara pencegahan
infeksi kecacingan
pada balita menurut
Satari, 2007
1. Memandikan anak
dengan air bersih.
2. Memotong kuku
anak.
3. Mencuci tangan
dengan sabun.
4. Biasakan anak
gunakan sandal
atau sepatu.
5. Mencuci sayuran
dan buah-buahan
sebelum di
konsumsi.
6. Melarang anak
memasukkan
tangannya ke
dalam mulut.
7. Mengajarkan anak
menggunakan
toilet.
8. Memelihara
kebersihan
lingkungan.

d. Pendidikan Tinggi:
Diploma / S1 / S2 /
S3
Baik, bila total skor
jawaban responden
sebanyak 29 - 36
Sedang, bila total skor
jawaban responden
sebanyak 18 - 28
Kurang, bila total skor
jawaban responden <
18

27

9. Mencuci tangan
sebelum menyuapi
anak atau
memegang anak.
10. Menutup makanan
dengan tutup saji.
11. Hindari jajan.
sembarangan.
12. Anjurkan minum
obat cacing setiap
3 atau 4 bulan
sekali.

F. Prosedur Penelitian
1.

Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Jenis data yang diambil dalam penelitian ini meliputi data primer.
Data primer meliputi identitas responden, umur, dan tingkat
pendidikan ibu.
2. Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung dengan

2.

ibu balita berdasarkan kuesioner.


3. Alat Pengumpulan Data
Sebagai instrumen pengumpul data adalah kuesioner.
Pengolahan Data

28

Data dari kuesioner berdasarkan wawancara dikumpulkan akan


diproses dengan editing, coding, skoring dan tabulasi.
a. Editing
Peneliti memeriksa kembali semua data yang terkumpul
langsung setelah pengambilan data dan memastikan data tersebut
sudah lengkap. Bila terdapat data yang tidak lengkap atau kurang akan
dilakukan pendataan ulang.
b. Coding
Peneliti memberikan kode berupa angka pada jawaban atau
tindakan responden. Hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam
tabulasi dan analisis data.
c. Skoring
Pemberian skor atau nilai terhadap bagian yang perlu diberi skor.
Peneliti memberikan skor 1 pada jawaban yang benar dan skor 0 pada
jawaban yang salah.
d. Tabulating
Tabulating termasuk dalam kerja memproses data, membuat
tabulasi tidak lain adalah memasukkan data ke dalam tabel dan
mengatur angka sehingga dapat dihitung jumlah kasus dalam berbagai
kategori.

F. Analisis Data
Pada analisis data penelitian hubungan tingkat pendidikan ibu dengan
pencegahan infeksi kecacingan, maka data dapat dikumpulkan dan diolah
dalam bentuk tabel-tabel distribusi kemudian akan disajikan lebih lanjut dalam

29

bentuk diagram menurut sebaran masing-masing. Sesuai dengan definisi


operasional variabel seperti yang tersaji pada Bab IV, data pada penelitian ini
tersaji dalam bentuk data nominal dan ordinal. Alat analisis (uji hipotesis
asosiatif) statistik non parametrik yang lazim digunakan adalah Spearman
Rank Correlation yang tersedia dalam SPSS. Hubungan antar varibel dilihat
dari koefisien korelasi ( r ). Nilai positif menunjukkan hubungan searah (X
naik maka Y naik) dan nilai negatif menunjukkan hubungan terbalik (X naik
maka Y turun).
Menurut Sugiyono (2007) pedoman untuk memberikan interpretasi
koefisien korelasi sebagai berikut:
0,00 - 0,199 = sangat rendah
0,20 - 0,399 = rendah
0,40 - 0,599 = sedang
0,60 - 0,799 = kuat
0,80 - 1,000 = sangat kuat

30

DAFTAR PUSTAKA

Alimul A. 2003. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Edisi 1. Jakarta:
Salemba Merdika, hal. 38-41.

Departemen Kesehatan R.I. 2006.

Pedoman Umum Progam Nasional

Pemberantasan Cacingan di Era Desentralisasi.

Entjang I. 2001. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Citra Aditya Bakti: Bandung, hal
131-133.

Gandahusada S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ke 3. Jakarta. EGC, hal. 97105.

Ginting S. A. 2003. Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi Dengan Kejadia


Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar di Desa Suka Kecamatan Tiga
Panah Kabupaten Karo Sumatera Utara. Digitized by USU didital library.

Howland D.R., Mycek M.J., 2006. Lippincotts Illustrated Review of


Pharmacology. 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins: 165-173

Ideham, B, 2007. Helmintologi Kedokteran. Airlangga University Press,


Surabaya, hal. 23-26.

31

Ihsan Fuad. 2005. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta, hal 33-40.

Kementerian Kesehatan RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Rupublik


Indonesia

Nomor

424/MENKES/SK/VI/2006

Tentang

Pendoman

Pengendalian Cacingan. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.


Jakarta.

Khuroo MS, Zargar SA, Mahajan R. 1990. Hepatobiliary and pancreatic


ascariasis in India. Lancet 335: 1503-06.

Mardiana, D. 2008. Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah Dasar Wajib
Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Daerah Kumuh di
Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 7 No. 2, 769-774

Notoadmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta:


13-15

Rifdah, Ifdah. 2007. Hubungan Kondisi Sanitasi Lingkungan Dan Higiene


Perorangan Dengan Kejadian Kecacingan Pada Murid Sekolah Dasar
Negeri Di Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor Tahun 2007. (tesis).
FKM UI Depok

32

Onggowaluyo JS. 2002. Parasitologi Medik I (Helmintologi). Jakarta: EGC, hal.


51-59.

Peter, J. Hotes. 2003. Soil Transmitted Helminth Infection: The Nature Causes
and Burden of the condition. WHO: Departemen of Mikrobiologi and
Topical Medicine The George Washington University, hal 17,21,22.

Rampengan, TH. 2007. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Edisi 2. Jakarta: EGC,
hal. 84-87.

Sadjimin, Toni, 2000. Gambaran Epidemiologi Kejadian Kecacingan Pada Siswa


SD di Kecamatan Ampana Kota Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Jurnal
Epidemiologi Indonesia. Vol. 4 Edisi 1. Yogyakarta: 652-663.

Sasongko, DP. 2000. Kebisingan Lingkungan. Semarang: Universitas Diponegoro,


hal 154-156

Satari, dkk. (2007). Profesi Keguruan. Jakarta: Universitas Terbuka, hal 123-125.

Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 424/MENKES/SK/VI. 2006.


Pedoman Pengendalian Cacing. Depkes RI: Jakarta.

33

Soedarto, 2008. Parasitologi Klinik, Airlangga University Press, Surabaya, hal 7075

Soehartono, I. 2004. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,


hal. 91-94.

Tan, H.T., Rahardja, K., 2007. Obat-Obat Penting; Khasiat, Penggunaan dan
Efek Sampingnya. edisi ke 6. Pt. Elex Media Komputindo, 197-206.

Taren DL, Nesheim MC, Cromptom DW. 1997. Contribution of Ascariasis to


poor nutritional status in children from Chiriqui Province, Republic
Panama. Parasitology 95: 603-11.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, ed. 3. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, hal 243-247.

Anda mungkin juga menyukai